Zhao Yao - Chapter 79
Seperti apa rasanya mati?
Mungkin sebelum mati, manusia memiliki tebakan yang tak terhitung banyaknya. Akan tetapi, ketika saat itu tiba, setelah semua indera dan perasaan menghilang, masalah tentang kematian tidak lagi penting.
Bagi aku dan Mo Qing, segel Raja Iblis ini seperti kematian.
Aku tak bisa merasakan keberadaan segelnya, ataupun keberadaan Mo Qing, atau bahkan keberadaanku sendiri. Mulanya, aku ingin turun untuk bersama dengan Mo Qing, tapi siapa yang akan menyangka bahwa ketika turun ke tempat ini, maka sama sekali tak ada apa-apa. Aku bahkan tak tahu apakah aku selalu bersama dengannya.
Meski demikian, aku tak menyesal berlari ke dalam pilar cahaya itu bersamanya. Bahkan jika keberadaanku hanya bisa menghangatkan dadanya pada saat-saat terakhir, aku merasa bahwa semua ini sepadan.
Aku tak tahu sudah berapa lama aku melayang-layang di dalam kehampaan ini, tapi tiba-tiba, kudengar suara sepotong-sepotong. Suaranya-suara itu seperti sutra, terkadang dekat, terkadang jauh, terkadang ada, terkadang tidak. Entah berapa kali aku mendengarnya, tapi perlahan-lahan aku mulai merasakan detak jantungku sendiri.
Akhirnya, suatu hari, di antara rapalan sutra-sutra itu, aku membuka mataku.
Sensasi di sekujur tubuhku kembali pulih. Aku mendapati diriku sendiri berada di dalam pelukan orang lain. Dalam pelukan itu, satu-satunya hal yang bisa kurasakan adalah detak perlahan dari jantung di dalam dadanya.
Orang itu adalah Mo Qing.
Semua di sekitarku begitu putih menyilaukan. Ketika dia memelukku, kami melayang-layang di bagian dalam segel itu, tanpa sasaran dan tak ada tempat untuk dituju. Aku juga tak tahu sudah berapa tahun dia telah memelukku seperti ini. Akan tetapi, detil-detil ini sebenarnya tak begitu penting.
Mo Qing belum sadar, dia masih tenggelam dalam kehampaan itu. Jadi, sejauh yang kuketahui, dalam dunia yang seperti ini, kalau dia masih tertidur nyenyak, kebangkitanku tak berarti.
Aku membenamkan diri dalam dekapannya dan mencari posisi yang lebih nyaman. Aku memeluk dan mendesakkan diri padanya. Kupejamkan mataku dan lanjut mendengarkan sutra-sutra itu, seraya melayang-layang di dalam cahaya putih.
Akhirnya, pada hari itu, suara-suara sutranya terdengar sangat keras. Aku tersentak bangun oleh detak jantung Mo Qing yang perlahan-lahan semakin kencang. Otakku yang sudah tidak terpakai ini butuh waktu lama untuk memahami apa yang ditunjukkan oleh detak jantung ini.
Aku mendongakkan kepalaku untuk menatapnya dan melihat bulu mata lebatnya yang tertutup es sedikit bergetar.
Kelopak matanya terangkat, dan pupil yang hitam pekat laksana langit malam akhirnya kembali memantulkan sosokku.
Aku membuka mulutku, tetapi karena aku sudah sangat lama tidak bicara, aku jadi tak tahu bagaimana aku harus menghasilkan suara.
Mo Qing menatapku, lengannya sedikit mengencang: “Aku akan membawamu… keluar dari sini.”
Suaranya sangatlah parau. Begitu suaranya memudar, sekelilingku menjadi tak berwarna seperti permukaan kaca yang mulai retak. Ketika kaca itu pecah, suara pecahnya membanjiri telingaku. Pada saat bersamaan, suara rapalan sutranya terdengar semakin dan semakin keras. Kemudian terdengar suatu suara tajam dan jernih, kemudian seluruh dunia putih itu pun runtuh sepenuhnya.
Ketika aura di sekitar menyerang tubuhku, Mo Qing melindungiku erat-erat dalam pelukannya. Ketika dia memelukku, tiba-tiba dia melompat, menerjang lapis tipis terakhir cahaya di cakrawala. Dalam sekejap, matahari yang hangat dan hembusan angin sejuk menerjang inderaku.
Di belakang kami, suara keruntuhan sepenuhnya terdengar, dan di bawah kami ada tak terhitung banyaknya orang yang tampak syok. Aku menolehkan kepalaku untuk melihat ke belakang dan mendapati bahwa di samping gua bawah tanah yang runtuh berdiri separuh anggota dari Sekte Wan Lu, Sima Rong, Gu Hanguang, dan Zhiyan. Orang-orang lainnya berasal dari Sekte Xian, Paviliun Qian Chen, dan Menara Guan Yu. Semua orang mendongakkan kepala mereka untuk menatap aku dan Mo Qing.
“Keluar….”
“Mereka keluar!”
Aku bisa mendengar teriakan-teriakan kaget tapi liar dari Shiqi dari bawah.
Ketika aku mendongakkan kepalaku dan melihat matahari membara di atas, aku hanya merasa kalau saat ini tak tertandingi. Zhu Ji bilang kalau aku ingin Mo Qing kembali ke penampilannya semula, setidaknya akan butuh waktu beberapa ratus tahun. Akan tetapi, saat ini, kami ternyata bisa keluar ketika mereka masih ada di sini….
Aku menolehkan kepalaku untuk menatap Mo Qing, hanya untuk mendapati bahwa dia juga menatapku, hanya menatapku seorang.
Begitu sudut-sudut bibirku melengkung naik, aku tertawa sepenuh hati seraya menatap Mo Qing. Cahaya di mata Mo Qing begitu lembut. Ketika aku melompat ke dalam pelukannya, mengalungkan kedua tanganku pada bahunya, melingkarkan lenganku pada lehernya.
Akhirnya, aku keluar. Walaupun dipenjara di dalam segel itu bersama dengan Mo Qing tidak semenakutkan itu, aku masih memilih kehidupan bahagia di mana aku bisa menjatuhkan diri di atasnya kapan pun aku mau.