The Glass Maiden - Chapter 48
Begitu Xuanji melihat Yu Sifeng, matanya mulai memanas. Dia menahan air matanya dan menatap pemuda itu dengan gigi terkatup. Dia bisa merasakan kalau Sifeng juga menatap dirinya. Begitu mata mereka bertemu, seakan tatapan mereka menempel dan tak bisa terpisahkan.
Lama kemudian, Xuanji akhirnya melambaikan tangannya, membuka mulutnya untuk bicara, seakan memberitahu dirinya sendiri, suaranya luar biasa lirih, “Sifeng… aku kemari untuk menjemputmu….”
Sifeng juga melambaikan tangannya, bibir bergerak samar, namun Xuanji tak bisa mendengar apa yang dikatakan.
Penguasa Agung Istana memegangi Sifeng, dikelilingi oleh orang-orangnya, menatap Liu Yihuan dan juga sang tetua yang sedang disandera, dan tiba-tiba tersenyum samar, membungkuk penuh hormat dan memberi salam, berujar, “Generasi bawah ini memberi salam kepada Senior Liu.”
Pada saat itu, pelat pinggang Istana Lize berubah dari generasi ke generasi, dan ada banyak murid berpelat merah yang menjadi guru dari murid-murid berpelat jingga. Sesuai dengan senioritasnya, sang Penguasa Istana seharusnya memanggil Guru Liu Yihuan, namun sang Penguasa Istana sebelumnya telah memberikan kata-kata terakhirnya menjelang ajal; Liu Yihuan telah dikeluarkan dari Istana Lize, jadi dia hanya boleh dipanggil Senior, tidak benar bila menyebur dia sebagai Guru.
Murid-murid Istana Lize lainnya yang tak mengerti kebenaran itu tentu saja terkejut, namun mereka harus mengikuti sang Penguasa Istana dan memberi hormat pada Liu Yihuan. Dalam sekejap, hampir semua orang di tempat itu membungkuk pada si berandal tak senonoh ini, dan Liu Yihuan jadi begitu bangga pada dirinya sendiri hingga dia akhirnya menaikkan alisnya, sedemikian rupa sehingga cuping hidungnya nyaris mencuat ke langit.
“Hei, permisi ya! Penguasa Istana kecil ini, kau tampaknya tahu bagaimana bersikap sopan! Lumayan!”
Dia memanggil sang Penguasa Agung Istana sebagai Penguasa Istana Kecil tanpa pandang bulu. Kata-kata itu agak terdengar seperti pelecehan. Sebagian besar dari murid-murid Istana Lize menampakkan amarah mereka, namun karena adanya sang Penguasa Agung Istana, mereka hanya bisa menahan diri.
Penguasa Agung Istana sama sekali tidak tampak kesal, melainkan hanya berkata lembut, “Aku sudah lama mendengar tentang reputasi Senior Liu, tapi aku tak pernah punya kesempatan untuk bertemu dengannya. Jadi aku benar-benar beruntung bisa menyaksikan gayanya hari ini.”
Sang Penguasa Agung Istana bahkan tak mengedipkan kelopak matanya ketika dia mengucapkan serangkaian kata-kata kosong ini, seolah dia bahkan tak melihat kalau Liu Yihuan masih memegangi Tetua Luo dan tengah memakai metode paling licik.
Liu Yihuan tertawa lantang dan berkata seraya mengedip, “Tidak buruk! Aku suka dengan kata-katamu! Tak heran kau menjadi Penguasa Istana!”
Sang Penguasa Agung Istana tersenyum tenang dan berkata, “Para pendahuluku sangat bermurah hati.”
Ting Nu melihat kalau mereka hanya sedang berbasa-basi, jadi dia berkata dengan suara lirih, “Jangan menunda-nunda, takutnya akan terjadi perubahan.”
Liu Yihuan hanya tersenyum dan tak mengatakan apa-apa. Tentu saja dia tahu tentang hal ini.
“Mari kita berhenti sampai di sini saja.” Dia tiba-tiba berkata, “Kita tak usah bersikap munafik. Satu pilihan, Tetua Luo atau Yu Sifeng, bagaimana?”
Sang Penguasa Agung Istana tampaknya telah memperkirakan kalau dia akan mengucapkan hal ini dan tersenyum, “Maaf, aku memberanikan diri untuk bertanya. Karena Senior telah meninggalkan Istana Lize, maka semua urusan dari Istana Lize seharusnya tak ada hubungannya dengan Senior sejak saat itu. Yu Sifeng, sebagai murid dari Istana Lize, alasan apa yang Senior punya untuk membawanya pergi bersama Senior?”
Sudah tahu! Mereka tahu kalau orang ini tidak mudah untuk diatasi! Liu Yihuan berkata lantang, “Hanya ada satu alasan kenapa aku dan dia seperti ayah dan anak, itu sudah cukup! Bahkan bila hubungan guru dan muridmu lebih besar daripada ayah dan anak, mana mungkin lebih kuat! Oh, aku tahu kalau kau akan memakai aturan Istana untuk menutup mulutku, tapi biar kukatakan padamu, sejak saat kau memasang mantra cinta pada dirinya, Yu Sifeng sudah bukan lagi anggota dari Istana! Terlebih lagi, topengnya sudah dilepaskan, yang mana merupakan penuntasan dari hukuman ini, dan mulai saat ini dia tak ada hubungannya denganmu. Alasan macam apa yang membuatmu bisa memaksa dia untuk tetap tinggal?”
Sang Penguasa Agung Istana berkata lembut, “Meski topengnya sudah dilepaskan, mantranya belum terangkat. Karena itu, dia masih murid dari Istana Lize, dan sebagai penguasa dari Istana Lize, tentu saja aku tak bisa membiarkan orang lain menculik dia.”
Liu Yihuan mencibir, “Bagaimanapun juga, kau itu cuma ingin menahan dia secara paksa. Istana Lize-mu itu akhir-akhir ini sangat hebat dalam membuat onar, melakukan berbagai perbuatan yang tak boleh dikatakan di balik layar. Kurasa kau ingin menahan dia, bukan demi aturan, melainkan demi keegoisan! Kalau kau tak tahu soal penusukan atas dirinya… jangan bilang kau tak tahu, apa kau berani menyentuh jantungmu dan bilang kalau kau tak tahu apa-apa tentang hal itu sebelumnya?”
Sang Penguasa Agung Istana berkata, “Aku bersumpah, aku tak tahu apa-apa tentang Ruo Yu! Di samping itu, bila ada memang ada masalah dengan Istana Lize, sekarang sudah bukan hak Senior untuk mengatakan apa pun. Tetua Luo adalah anggota dari Istana Lize, dan demikian juga halnya dengan Yu Sifeng, jadi aku akan melindungi keselamatan orang-orang di istana ini bahkan bila tubuhku hancur berkeping-keping!”
Orang ini begitu tangguh, benar-benar tampak sulit untuk ditangani. Liu Yihuan tak bisa memikirkan apa pun untuk diucapkan demi berdebat dengannya. Sang Penguasa Agung Istana mungkin saja menanggapinya dengan keras dan memakai kekuatan, namun sementara itu pihak mereka hanya bertiga. Xuanji kelelahan secara fisik, Liu Yihuan tak bisa membuka Mata Langitnya, dan Ting Nu adalah orang lemah yang tak bisa apa-apa. Kalau tak ada Tetua Luo di tangan Liu Yihuan, saat ini mereka bertiga akan sudah dikurung di dalam penjara bawah tanah.
Liu Yihuan masih menimbang-nimbang ketika Ting Nu yang ada di sampingnya tiba-tiba berkata, “Penguasa Istana, mengapa Anda tak bertanya pada anak ini apa yang dia inginkan? Meski dia adalah murid dari Istana Lize, dia tetaplah seorang manusia. Bagaimana Anda tahu kalau dia tak ingin pergi?”
Sang Penguasa Agung Istana sedikit tertegun saat melihat Ting Nu tiba-tiba membuka mulutnya. Dia menatap Ting Nu dari atas ke bawah secara seksama dan berbisik, “Ini adalah….”
“Ting Nu.” Ting Nu menyebutkan namanya dengan acuh tak acuh, lalu kemudian menyibakkan selimut tipis di pangkuannya, dan ekor ikannya pun langsung terlihat. “Aku adalah manusia duyung.”
Murid-murid muda Istana Lize mulanya mengira kalau Ting Nu adalah seorang cendekiawan lumpuh ketika mereka melihat yang bersangkutan duduk di kursi roda, namun mereka terkejut ketika mendapati bahwa Ting Nu ternyata seorang manusia duyung. Sang Penguasa Agung Istana buru-buru menyapukan pandangannya pada ekor ikan Ting Nu dan kelopak matanya bergetar samar sebelum dia berujar, “Jadi ini adalah Tuan Ting Nu. Karena Anda bukan anggota istana, tidaklah pantas bila mengajukan pertanyaan sesuka hati. Keinginan pribadi Sifeng tak ada hubungannya dengan ini.”
“Bagaimana bisa tak ada hubungannya? Dia kan bukan orang-orangan kayu!”
Sebuah suara nyaring lain terdengar, dan ketika sang Penguasa Agung Istana mendongak, dia melihat Xuanji berjalan menghampirinya, masih dengan sikap sama seperti gadis kecil empat tahun yang lalu, dengan kepala terangkat tinggi-tinggi dan tanpa rasa takut, menatap tajam ke arahnya.
Xuanji berkata lagi, “Anda adalah penguasa istana namun tidak bicara kepadanya. Apa alasannya?! Akulah yang telah melepaskan topengnya, dan akulah yang akan menghilangkan mantranya! Asalkan mantranya terangkat, dia bukan lagi anggota Istana Lize, kan? Aku pasti akan mengangkatnya!”
Sang Penguasa Besar Istana terkekeh, “Nona Chu….”
Sebelum dia selesai bicara, Xuanji menyelanya dengan satu lambaian tangan, “Aku tak mau mendengarkanmu! Aku mau mendengarnya dari Sifeng sendiri! Sifeng! Kita bahagia bersama-sama, aku, aku tak tahu apa yang telah kulakukan yang membuatmu merasa tidak senang. Tapi… kalau kau memilih untuk tinggal, aku takkan menyalahkanmu… tapi rasanya akan sangat menyakitkan! Begitu menyakitkan hingga aku merasa ingin mati saja! Kalau menurutmu tak masalah bila aku mati, maka kau boleh tinggal!”
Xuanji mulanya ingin mengucapkan sesuatu yang muluk, namun semakin dia bicara, semakin sedih dia merasa dan mau tak mau matanya jadi memerah dan kata-katanya tercekat, lalu pada akhirnya malah berubah menjadi ancaman untung-untungan. Ketika dia berpikir kalau Sifeng akan tinggal di Istana Lize dan mereka takkan pernah bertemu kembali, akal sehatnya lenyap dan perutnya jadi penuh dengan kegeraman dan kebingungan. Meski dia telah menetapkan pikirannya sebelum datang kemari, bahwa tak peduli pilihan apa pun yang Sifeng ambil, dia akan mendukungnya, namun ketika benar-benar terjadi, pada akhirnya dia masih menyesalinya.
Perasaan yang dominan ini, Xuanji tak tahu apa yang sedang terjadi. Bagaimanapun, Yu Sifeng seharusnya menjadi miliknya seorang, tak ada seorang pun yang boleh membawa pemuda itu pergi. Mereka telah sepakat untuk bersama selamanya, dan janji ini harus ditepati sampai mati.
Yu Sifeng tak bicara, hanya menatap lurus padanya, seakan ada lautan api yang membara di dalam matanya.
Sifeng menghembuskan napas panjang dan tiba-tiba berbalik, berkowtow penuh hormat tiga kali kepada sang Penguasa Agung Istana dan berkata lantang, “Penguasa Istana, Sifeng tidak pantas.” Dia tak lagi menyebut dirinya sebagai murid, jelas-jelas ingin melepaskan dirinya dari Istana Lize.
Dia bangkit dan pergi, berjalan lurus ke arah Xuanji, tiap langkahnya seakan menginjak awan, dan dirinya hampir kehilangan keseimbangan.
Orang-orang yang menyaksikan semuanya terperanjat. Tak ada seorang pun yang pernah berani meninggalkan istana tepat di depan mata mereka! Bahkan dahulu, Liu Yihuan telah memilih waktu malam yang sunyi untuk melarikan diri secara diam-diam. Kini saat semua tetua serta Penguasa Agung Istana ada di tempat, dia tak memiliki keraguan setitik pun tentang berpindah pihak pada orang lain. Keberanian semacam ini patut dikagumi, namun juga agak lebih tak tahu aturan.
Xuanji begitu gembira hingga air matanya mengalir, dan dia tak mau repot-repot menyekanya. Dia menghambur maju dan memeluk Sifeng, hanya untuk merasakan tubuh pemuda dalam pelukannya sedikit gemetar, dan tiba-tiba Sifeng berlutut di tanah, terbatuk pelan.
“Lukamu!”
Xuanji mencari-cari untuk mengambil obat namun Sifeng menangkap pergelangan tangannya lalu roboh ke tanah. Dia menatap Xuanji seakan gadis itu adalah orang asing, namun sorot matanya begitu intens hingga seakan mampu membakar seluruh angkasa. Dia memandangi Xuanji untuk waktu yang lama dan akhirnya berbisik, “Kau tak boleh mati. Bahkan bila kau mati, kita akan mati sama-sama.”
Xuanji membentangkan tangannya dan memeluk Sifeng erat-erat, begitu erat hingga dia rasanya tak sabar untuk membungkus pemuda itu ke dalam dadanya. Sikap sembarangan semacam ini membuat banyak murid muda merona dan beberapa dari mereka diam-diam merasa iri pada kedua orang itu, berharap mereka bisa kabur dari tempat ini dengan mulus dan berpasangan dengan indahnya.
Barulah setelah lama waktu berlalu, perlahan Yu Sifeng melepaskan Xuanji dan mengeluarkan topeng di dalam lengan bajunya, yang mana masih menangis. Kali ini, dia menatapnya, hanya tersenyum, tidak terpengaruh sama sekali, meletakkannya di tanah, mengeluarkan pedangnya, lalu membacoknya kuat-kuat.
“Semua ini hanyalah ilusi. Baru sekarang aku benar-benar memahami apa yang nyata.” Sifeng mengucapkannya dengan acuh tak acuh, memungut topeng yang rusak itu lalu melemparkannya jauh-jauh ke laut, tanpa ada penyesalan sedikit pun.
“Sifeng.” Xuanji meraih tangannya dan dengan lembut memanggil namanya.
Sifeng menundukkan kepalanya dan tersenyum, menarik Xuanji bangkit dari pasir, dan berkata lembut, “Ayo, kita pergi dari sini.”