The Glass Maiden - Chapter 47
Xuanji memasukkan kembali Beng Yu ke dalam sarungnya, meremas tangannya dan berniat memakai teknik pertarungan api. Ting Nu mencengkeram pergelangan tangannya dan berkata, “Pakai Dingkun Yuhuo! Jangan dibiarkan begitu saja!”
Xuanji tercengang dan menatap kebingungan padanya. Ting Nu mengernyit, tampaknya menyadari bahwa dirinya telah mengucapkan sesuatu yang salah, dan bergegas mengubah kata-katanya: “Jangan biarkan… pedangmu… apa namanya?”
Menuruti kata-kata Ting Nu, Xuanji mencabut Beng Yu. Seakan hidup, pedang itu bergetar dan melolong di tangannya. Ledakan percikan api menyembur, seakan mendesaknya agar melakukannya dengan cepat. Hampir secara instingtif Xuanji tahu bagaimana cara melakukannya dan menyusurkan jemarinya dengan lembut pada permukaan pedang itu, bagian di mana dia menyentuhkan jarinya berpendar bagai api.
Xuanji mengulurkan lengannya, mengeluarkan jurus pedang dan berkata, “Namanya Beng Yu – juga pernah disebut Ding Kun!”
Seketika Pedang Ding Kun tampak seperti ditelan oleh lidah-lidah api, dan tak terhitung banyaknya naga-naga api kecil berputar-putar di mengelilinginya, dengan hawa panas yang luar biasa. Liu Yihuan menatapnya dengan kaget dan kagum, lalu bergumam, “Pusaka itu… inilah pusakanya!”
Begitu suaranya keluar, Xuanji telah menerjang keluar dari area yang diberi medan pelindung, dan memelesat melewati hujan hitam yang lebat dan korosif. Liu Yihuan menontonnya dengan ngeri, dan berulang kali berseru, “Hati-hati! Di sana…. Uh! Hati-hati!”
Ting Nu mendesah, “Semakin lama aku semakin merasa kalau kau bukan tipe ayah.”
“Apa?” Liu Yihuan memelotot balik padanya dengan tampang polos.
“Kau itu adalah ibu, jenis ibu yang paling bawel.”
“….” Tanpa terduga Liu Yihuan merona.
Ting Nu berbisik, “Dia tak apa-apa. Sejak dahulu, dia bertempur seorang diri seperti ini, melawan ribuan pasukan dan kuda…. Bahkan Kaisar Langit juga dibuat tercengang oleh keefektifan tempurnya.”
“Kau tahu banyak,” Liu Yihuan mengangkat bahu, “Kesedihan macam apa yang pernah kau alami bersamanya dulu? Sampai-sampai melibatkan kehidupan sekarang.”
Ting Nu tersenyum lemah, dan setelah lama, dia berkata lirih, “Aku hanya – ingin melihat lagi gaya sang Jenderal Dewa Perang.”
Keberanian luar biasa semacam itu, sifat kejam yang tanpa ampun, sikap dingin yang tak bisa dipercaya – pada waktu itu dia ingin melihat sang Jenderal lebih dekat.
Sementara Ting Nu bicara, Xuanji sudah berlari menuju laut dan berputar. Pedang Ding Kun yang memukau serta naga api yang memutarinya tiba-tiba tumbuh seratus kali lebih besar, dan seluruh langit tampak seakan terbakar. Xuanji mengangkatnya tinggi-tinggi ke arah para naga api, dengan stabil menggerakkan Dingkun untuk menggambar lingkaran di udara, lalu berkata, “Lepaskan!”
Naga-naga api melolong dan menerjang maju, saling berbelitan erat dengan ular-ular itu. Meski sosok naga-naga apinya tak sebesar ularnya, hawa panas luar biasa yang mampu membakar langit telah menyulitkan untuk bernapas. Ular-ular itu meraung dan bergegas kembali ke dalam laut. Api pada tubuh naga api langsung padam begitu mereka menyentuh air. Tanpa bantuan dari naga api, Xuanji juga terjatuh dari tengah udara.
Ting Nu mengernyit, “Bukan! Itu bukan Api Sejati Samadhi! Dia tak mengerti!”
Sebelum suaranya hilang, mereka mendengar lolongan keras dari luar-ular yang ada di dalam laut. Meski api biasa memang ganas, api itu hanya bisa menyebabkan luka pada kulit dan daging. Ular-ular itu mendesak majikan mereka untuk menarik mereka dari laut. Begitu keluar, mereka akan membuka baskom darah lalu menelan Xuanji. Gadis itu sedang mengambang sendirian di laut, jelas-jelas tak punya tempat untuk bersembunyi.
Liu Yihuan begitu panik sampai-sampai rambutnya hampir berdiri, serunya, “Kalau begitu kau buatlah dia mengerti! Cepat!”
Ting Nu mengatupkan mulutnya rapat-rapat dan tak mengatakan apa-apa.
Sebenarnya, apa yang bisa dia katakan?
Xuanji buru-buru berenang maju dalam air laut, dan beberapa sosok di belakangnya langsung menyusulnya dalam hitungan detik dan tiba-tiba melompat keluar dari dalam air, dengan kepala mereka di bawah tubuh gadis itu, Xuanji terlontar ke atas bagai awan dan kabut, lalu sosok-sosok itu mengerumuninya. Menjulurkan leher panjang mereka, mengincar untuk mencaploknya lebih dulu.
Xuanji langsung jadi gugup dan tak bisa menggerakan tangan dan kakinya di udara. Dia melihat seekor ular meraung dan mengatup ke arahnya, dengan gigi-gigi bagai kaitan yang rapat di mulut ular itu. Masing-masing giginya lebih besar daripada sekujur tubuh Xuanji. Dia begitu syok dan secara instingtif menuruti keinginan hatinya, berniat memejamkan matanya dan menunggu kematian.
Beng Yu di tangannya memekik tidak rela, bergetar hebat, seakan hendak menyalahkan dirinya karena telah begitu tak berguna. Xuanji harus bertarung lebih keras lagi, selagi menunggu ular itu menggigit dirinya, dia menempatkan Beng Yu dalam posisi tegak lurus di dalam mulut bau dan berdenyar si ular, mengangkat kakinya di atas gigi ular itu, menendangkannya, mencelat kuat-kuat dan membentuk segel dengan kedua tangan. Seekor naga api yang baru kembali membubung.
Bagaimanapun, dia belum boleh mati. Dia belum menemui Sifeng, belumm menyelamatkan Linglong, dan belum membawa pulang Shixiong Keenam dari Gunung Buzhou.
Dia masih punya banyak hal yang harus dilakukan, bagaimana bisa dia mati di tempat semengerikan ini! Dan – dia menatap jijik pada ular yang ada di hadapannya – dia lebih baik bunuh diri daripada mati terbunuh oleh monster-monster jelek ini!
Untuk suatu alasan tertentu, ketika dia memikirkan tentang kata ‘bunuh diri’, jantungnya tiba-tiba bergetar, seakan tersentuh. Beng Yu yang menancap di dalam mulut si ular berpendar terang lalu terlontar ringan, seakan bernyawa, dan terjatuh tepat di telapak tangan Xuanji. Gagang pedang yang membara itu, sentuhan semacam itu… seakan dia pernah menggenggamnya erat-erat, memakainya untuk mengakhiri hidupnya dalam kondisi putus asa.
Ular-ular itu tak lagi takut pada naga api, mereka bergerak-gerak di depan mata Xuanji, mencari saat terbaik untuk menyerang. Angin laut yang asin mengamuk, dan ludah dari mulut ular-ular itu berjatuhan bagai hujan, terjatuh di atas tangan Xuanji. Pakaiannya langsung terkorosi membentuk sebuah lubang besar, dan kulitnya pun terbakar dengan luar biasa menyakitkan.
Xuanji berteriak dan berdiri.
Lawan!
Dia membelai lembut Beng Yu di tangannya dengan punggung tangan, dan darah panasnya tertuang pada pedang yang panas itu, asap putih mendesis. Xuanji menggertakkan giginya dan menghimpun seluruh qi yang ada dalam tubuhnya ke ujung-ujung jemarinya, dan perlahan menyapukan jarinya pada bilah pedang yang mulus dan panas itu. Sedikit demi sedikit, Beng Yu berubah menjadi seperti pedang yang terbakar dengan warna merah jingga.
Rasanya seperti ada sebuah jantung kecil di tangannya, berdenyut dan berdebar, beratnya yang tak disangka-sangka nyaris membuat Xuanji tak mampu memeganginya. Warna api yang cemerlang memancar dari pedang itu, dan jemari Xuanji menjentik, energinya tertarik keluar bagaikan sutra, perlahan berubah menjadi ribuan helai benang merah, membungkus Beng Yu di dalamnya.
Pergelangan tangan Xuanji bergetar hebat, dan karena peningkatan bobot yang tiba-tiba, dia akhirnya menggertakkan gigi untuk mengangkat pedang itu, mengerahkan segenap tenaga yang ada di sekujur tubuhnya, lalu menyabet. Benang-benang sutra sewarna api yang berkilauan meluncur keluar, dan bertumbuh semakin panjang ketika bertemu dengan angin, panjangnya berubah hingga menjadi beberapa meter. Naga-naga api kecil berkumpul rapat, jumlahnya tak diketahui.
Ular-ular itu tampak luar biasa waspada pada naga-naga api kecil ini, dan setelah buru-buru mundur, mereka harus bersembunyi di dalam laut. Namun hal itu tak bisa mencegah mereka dari terkena sapuan naga-naga api, yang menutupi kepala ular-ular tersebut. Ular-ular itu memekik kesakitan, meronta hebat di dalam laut, mengaduk air laut bagai sup yang mendidih dalam waktu lama.
Anehnya adalah bahwa naga-naga api kecil itu tidak seperti naga-naga api yang sebelumnya tadi. Mereka tak mati ketika menyentuh air. Bahkan di dalam laut, mereka masih membakar, menyebabkan kabut putih membubung pada lautan di sekitarnya, seakan kabut yang berat tiba-tiba muncul.
Melihat kalau kepala dari ular-ular itu terbakar seluruhnya, tampak jelas kalau mereka takkan mampu bertahan hidup. Xuanji juga kelelahan, dan dikirim kembali ke tepian oleh naga-naga api itu, hanya terbaring di sana tanpa mampu bergerak. Tiba-tiba teringat sesuatu, dia berjuang untuk bangkit, matanya berbinar, dan dia berbalik lalu berseru pada Ting Nu, “Apa kau lihat? Aku telah membunuh mereka! Kali ini aku benar-benar telah membunuh mereka!”
Ting Nu tersenyum samar, menarik kembali lapisan pelindungnya, mendorong kursi rodanya mendekat, mengulurkan tangan untuk membantunya, dan berkata lembut, “Yang kau lakukan itu sangat indah, tapi kau pasti akan bisa melakukannya dengan lebih indah lagi di masa mendatang.”
Liu Yihuan juga berlari menghampiri, menatap Beng Yu dengan sorot mata cerah. Dia ingin mengulurkan tangan namun tak berani melakukannya dan bahkan berkata, “Luar biasa! Xiao Xuaji… pedangmu… benar-benar indah… apa kau bisa memberikannya padaku? Untuk dilihat-lihat?”
Xuanji tersenyum, dan sudah akan menyerahkan pedangnya dengan murah hati. Tiba-tiba, bayangan hijau melintas di depannya. Tetua Luo, yang telah mengamati pertempurannya, tiba-tiba menerkam, mencengkeram baju luar Liu Yihuan dan membuatnya terjajar mundur beberapa langkah, berteriak tanpa henti.
“Bunuh! Tolong! Aku mau dibunuh!” Liu Yihuan berteriak dengan lebih pilu daripada babi disembelih.
Tetua Luo mendengus dingin, mendorongnya ke tanah, menginjak dadanya dengan satu kaki, lalu berkata galak, “Meski aku tak membunuhmu hari ini, aku pasti akan membawamu ke Aula Imbalan dan Hukuman untuk kejahatan tertentu! Begitu hukumanmu sudah ditentukan, kau akan dikorbankan untuk menyembahyangi Penguasa Istana Sebelumnya!”
Rusuk Liu Yihuan diinjak oleh Tetua Luo dan dia memekik kesakitan. Dia hanya mampu mengayun-ayunkan kaki dan tangannya dengan terburu-buru, namun sia-sia belaka. Xuanji bergegas melangkah maju untuk membantu, namun dihentikan oleh Ting Nu yang berbisik, “Jangan bergerak, lihatlah dia.”
Tetua Luo mencibir, “Kenapa, bukankah kau selalu menyombong kalau kau adalah petarung nomor satu di Istana Lize? Aku sudah tak bertemu dengannya selama bertahun-tahun tapi ternyata dia telah berubah menjadi manusia tanpa kekuatan untuk bahkan menangkap ayam? Apa kau kira aku akan mengampunimu bila kau berpura-pura tampak mengibakan?”
Liu Yihuan yang diinjak mengucurkan keringat dingin dan wajahnya memucat, seakan dirinya sudah hampir mati, namun nada suaranya begitu aneh karena dia tertawa dan berkata, “Aahhhhh… itu bukan menyombong… Lao Luo, kau itu, aku tahu isi hatimu, sebenarnya siapa yang kalah dari siapa…. Ah!” Dia berteriak lagi, dan lama kemudian, dia kembali berkata, “Sekarang kau telah menemukan kesempatan untuk balas dendam… aku tahu kalau kau akan menghukumku. Itu… kau itu, kau selalu merasa harus melaporkan sesuatu… karena tubuh kecilmu, Penguasa Istana sebelumnya meremehkanmu, bahkan bila kau berusaha sebaik mungkin untuk berlatih… hehe… penguasa istana tetap saja menyerahkannya pada para juniormu… kau, kepala aula macam apa kau ini sekarang… segenerasi murid pelat merah… apa kau tak malu….”
Meski Tetua Luo mengenakan topeng dan wajahnya tak terlihat, orang-orang dalam jarak sepuluh kaki darinya bisa merasakan amarah yang memuncak dalam dirinya. Tetua Luo langsung berkata, “Meski kau punya mulut yang hebat, kelak kau takkan punya kesempatan untuk bicara.”
Tetua Luo membungkuk seakan berniat mengangkatnya, dan Liu Yihuan tiba-tiba tersenyum, “Apa yang bisa kau lakukan padaku? Tidak ada! Hewan-hewan spiritual yang telah kau besarkan sedemikian lamanya telah dibunuh oleh seorang gadis kecil dengan begitu mudahnya…. Kalau kulihat-lihat, kau itu jadi semakin dan semakin mengalami kemunduran daripada sebelumnya!”
Setelah itu, Liu Yihuan tiba-tiba mencabut sebilah belati entah dari mana, memutar pergelangan tangannya, dan dengan cepat menusuk betis Tetua Luo. Tetua Luo bereaksi dengan cepat, dan langsung melompat. Baru saja dia mendarat pada kaki kanannya, dia langsung dengan sekuat tenaga menerjang maju, berusaha menangkap Liu Yihuan sebelum yang bersangkutan bisa bangkit. Siapa sangka si paman licik gemetaran ini ternyata lebih cepat daripada dirinya, dan dalam satu gerakan menakjubkan, menangkap kaki Tetua Luo yang menendang, kembali memutar pergelangan tangannya, lalu menyayatkan pisau ke arah lutut sang tetua.
Tetua Luo terkejut dan membuat langkah bodoh. Dia kabur duluan. Liu Yihuan mengikutinya seperti bayangan. Bayang-bayang kelabu tampak berada di belakangnya. Tak peduli bagaimanapun dia berusaha bersembunyi ataupun memukul, dia tak bisa berbuat apa-apa. Sebenarnya, selama bertahun-tahun ini, Tetua Liu tidak membuang-buang waktunya dalam usahanya meningkatkan kemampuan hari demi hari, dan kemampuannya tidak kalah daripada Liu Yihuan. Namun bagaimanapun juga, bayang-bayang bahwa dirinya pernah dikalahkan oleh Liu Yihuan masih bercokol. Melihat kalau Liu Yihuan telah memakai trik yang sama dengan sebelumnya, bagaimana bisa dia melawan balik? Ketika Liu Yihuan tiba di dekatnya, mau tak mau dia jadi panik, menarik sesuatu kuat-kuat dari dalam lengan bajunya, hanya terdengar beberapa suara ‘syuut‘, dan terlontarlah beberapa senjata rahasia beracun yang diarahkan tepat pada bayang-bayang kelabu di belakangnya.
Liu Yihuan menggenggam belatinya dan menggambar lingkaran di depan dirinya. Terdengar suara dentingan, dan senjata-senjata rahasia itu pun berhasil ditangkis olehnya dan terjatuh ke tanah. Tetua Luo bergerak kembali, dan sudah akan berbalik untuk memanfaatkan celah dan menyerang. Tak disangka-sangka, sesuatu yang dingin tiba-tiba menyentuh lehernya, dan belati itu pun terlihat.
Liu Yihuan memuntir tangan Tetua Luo dan menariknya ke belakang, tersenyum, “Lao Luo, kau masih tak percaya padaku saat kubilang kau telah mengalami kemunduran. Aku sudah tidak membuat kemajuan selama bertahun-tahun ini, tapi kau masih tak mampu mengalahkan aku. Penguasa Istana terdahulu memang benar dan aku mungkin semakin membuatmu kesal. Benar, kan?”
Tetua Luo merasa dingin dan putus asa. Selama bertahun-tahun, hampir tiap malam dia telah dibangunkan oleh mimpi buruk dikalahkan oleh Liu Yihuan. Habis-habisan dia berusaha meningkatkan kemampuannya, berharap pada suatu hari dia akan bisa mempermalukan dan mengakhiri nyawa si pengkhianat ini. Dia juga telah membayangkan berkali-kali bagaimana mereka akan benar-benar melakukannya. Dia telah dengan seksama mempelajari setiap gerakan Liu Yihuan, namun tak pernah bisa menemukan jawabannya. Saat dia akhirnya berhasil, dirinya masih saja kalah pada si kepala licin ini.
Selama bertahun-tahun dia telah dikalahkan, bukan oleh Liu Yihuan, melainkan oleh setan hatinya sendiri.
Melihat Tetua Luo terdiam, Liu Yihuan tahu kalau keadaannya tidak baik, dan langsung mengangkat tangannya untuk menarik dagu pria itu. Bagaimanapun juga, dia tetap terlambat selangkah, dan darah mengalir dari antara bibir sang tetua – dia benar-benar belajar cara menggigit lidah dan membunuh dirinya sendiri seperti perempuan? Apakah rasa terhina karena kalah kepadanya sedemikian besarnya?
“Shixiong….” Liu Yihuan mendesah, dan tiba-tiba mengubah nada suaranya.
Ketika Tetua Luo mendengar sebutan ini, sekujur tubuhnya mengejang, dan mau tak mau dia teringat kembali pada kenangan ketika beberapa orang shidi-nya sedang berlatih beladiri. Liu Yihuan adalah murid terkecil, tetapi juga paling pintar. Jurus-jurus dan mantra-mantra rumit apa pun bisa dipelajarinya dalam waktu tiga hari. Para murid merasa iri dan cemburu padanya. Liu Yihuan memiliki karakter asli yang berandalan dan penuh nafsu. Pada waktu itu aturan di Istana Lize tak sebanyak sekarang. Liu Yihuan akan seringkali menyelinap keluar untuk mencari wanita. Saat dia pulang, dia kembali dengan membawa keharuman bedak. Sang Penguasa Istana terdahulu memarahinya sepanjang hari. Akan tetapi, pada akhirnya, sang Penguasa Istana terdahulu tetap saja paling menyayanginya.
Sebenarnya, Tetua Luo sendiri tak menyukai Liu Yihuan, tetapi dia tak suka mengucapkan hal-hal buruk di belakang punggung yang bersangkutan seperti para senior dan mengenakan sepatu kecil padanya. Sekali waktu ketika dia masih bicara pada Liu Yihuan di hadapan Guru – dia tak ingin membantu Liu Yihuan tetapi hanya tak bisa melihat rencananya dan akhirnya dijebak oleh pria itu.
Sejak saat itu, dia jadi ditempeli oleh berandalan itu, dan dia harus bersama dengan Liu Yihuan tak peduli apa pun yang sedang dia lakukan, bahkan menyeret paksa dirinya untuk mencari wanita-wanita itu….
Memikirkan tentang hal ini, mau tak mau Tetua Luo merasakan amarah menggelegak dalam dadanya, dan berkata galak, “Aku bukan shixiong seorang berandal sepertimu! Kau marah pada Penguasa Istana sebelumnya, apa masih punya muka untuk memanggilku shixiongi?!”
Bagian tengah lidahnya telah sedikit tergigit, dan kata-katanya tidak jelas, namun momentumnya tetap tidak pudar. Murid-murid di sekitar Istana Lize ingin maju untuk membantu, tapi tak berani, jadi mereka hanya bisa mengepung orang-orang itu dan mengawasi perubahan yang terjadi.
Liu Yihuan bersuara ‘ck‘ dan mendesah, “Aku hanya tak suka kalian orang-orang sok dan aturan-aturan sok kalian. Kalau kau ingin menjadi manusia, maka kau harus gembira dan jujur, kalau tidak, sebagai manusia, apa yang akan kulakukan? Shixiong, kau dulu pernah minum-minum bersamaku, bukankah di restoran berkata bahwa kehidupan semacam ini sangat menyenangkan?”
Menyenangkan?
Ya, pada saat itu, Tetua Luo memang dengan gegabah telah menemani Liu Yihuan. Meski dia terus mengeluh, dia sebenarnya menikmati kesukacitaan dan kebebasan yang tak pernah dia alami sebelumnya pada hari-hari kenakalan semacam itu. Akal sehatnya selalu mengingatkan dirinya bahwa hal ini tidak benar, tidak boleh dilakukan, ini melanggar aturan. Tetapi setiap kali kau melanggar hukum, rasa dari bahaya, penyesalan, dan kegembiraan itu bagaikan candu.
Dia mengira kalau seluruh hidupnya akan berlalu seperti ini, namun pada suatu hari Liu Yihuan tiba-tiba pergi, meninggalkan Istana Lize diam-diam. Meski kemudian Liu Yihuan berhasil ditangkap kembali dan dijebloskan ke dalam penjara bawah tahan, sang Penguasa Istana Tua yang memiliki harapan tinggi untuk Liu Yihuan muntah darah dan mati dalam hitungan hari.
Mana yang benar atau salah? Sejujurnya saja, dia sama sekali tak mengetahuinya. Akan tetapi, kalau kau ingin menjadi manusia, kau harus memiliki keyakinan. Bila jalan yang ini salah dan akan membuat banyak orang bersedih, maka pilihlah jalan lainnya. Yang terbaik dari kedua dunia, kenangan-kenangan bahagia semacam itu, hanya bisa dianggap sebagai mimpi.
Tetua Luo terdiam dalam waktu lama sebelum kemudian berkata, “Kau hanya memedulikkan tentang kebahagiaanmu sendiri, tapi kau tak tahu ada berapa banyak orang yang telah dicelakai oleh kebahagiaan semacam ini! Tak ada orang yang lebih egois daripada dirimu di dunia ini!”
Liu Yihuan mengangkat alisnya dan berkata, “Aku egois bagaimana? Aku juga ingin meninggalkan Istana Lize! Kalau kau menekankan hukum besinya seperti ini, apakah kau bisa mengajari orang? Kau lebih baik sekalian saja tanya pada murid-murid muda ini, ada berapa banyak dari mereka yang pernah melihat wanita, apakah pernah melihat dunia luar? Siapa yang egois bila kau bahkan tak memberi mereka hal-hal yang paling mendasar ini?!”
Tetua Luo gemetaran: “Aku takkan berdebat denganmu! Kekalahan di tanganmu hari ini juga karena takdir. Cepatlah bunuh aku!”
Liu Yihuan berdecak dan berkata, “Kalau kau tak bisa memberitahuku, kau hanya akan memakai kematian untuk memaksakan dirimu. Kau dan Penguasa Istana sebelumnya memiliki kebajikan yang sama. Aku ingin hidup demi diriku sendiri, bukan demi ide-ide kalian. Nyawamu ada di tanganku, aku akan bunuh kalau aku ingin bunuh. Bila aku tak mau membunuh, ya tidak bunuh, apa yang bisa kau lakukan padaku? Hei!”
Liu Yihuan menempelkan belati pada tenggorokan Tetua Luo, dan tiba-tiba menariknya memutar. Murid-murid Istana Lize di sekitarnya mundur menjauh karena takut pria itu akan melukai Tetua Luo.
Liu Yihuan berkata lantang, “Hei! Kalau kau tak melepaskan Yu Sifeng, aku benar-benar akan membunuh dia! Aku, Liu Yihuan toh adalah seorang pengkhianat berhati serigala. Satu orang sudah mati karena kesal, dan sekarang tak ada bedanya bila aku membunuh satu orang lagi!”
Setelah dia berseru begitu, beberapa murid pun meninggalkan gerbang Istana Lize dalam diam, tanpa bersuara.
Liu Yihuan tak bergerak. Dia hanya berdiri menunggu di sana, berkata, “Kalau kau berpikir bahwa seorang murid kecil itu lebih penting daripada seorang tetua, aku tak bisa bilang apa-apa lagi. Kesabaranku ada batasnya. Aku akan hitung sampai lima. Aku benar-benar punya pisau, lho!”
Begitu kata-katanya terucap, Liu Yihuan mendengar gerbang Istana Lize yang berat berderit, dan perlahan membuka.
Di dalamnya, sejumlah murid berjalan keluar, dan akhirnya muncullah belasan tetua dengan pelat-pelat jingga atau merah pada sabuk mereka. Dua orang yang ada di tengah tidak mengenakan topeng. Yang satu berusia sekitar empat puluh tahun, dengan mata secerah bintang-bintang, dan yang lainnya adalah seorang pemuda tampan. Mereka adalah Penguasa Agung Istana serta Yu Sifeng.