Like Wind on A Dry Branch - Chapter 48
Santa Tania berayun naik ke punggung kudanya, berkata Beliau akan kembali di malam hari, lalu pergi menuju tempat-tempat penampungan di wilayah barat. Ini adalah sebuah tindakan yang begitu asertif sehingga bahkan Killian, yang telah membayar dengan harga tinggi untuk menyewanya, menatap dengan raut menyetujui. Santa Tania adalah jenis orang yang tak kenal lelah dan terus bergerak.
Killian dan Rietta tinggal di kastel. Killian harus melakukan perjalanan yang gila-gilaan selama beberapa waktu, tapi akhirnya dia bisa mengerjakan tanggungjawabnya yang sudah menumpuk berkat kedatangan sang santa dan para pendeta.
Rietta memandangi kepergian Santa Tania dengan raut melamun dan tanpa bersuara jemarinya bergerak-gerak dengan kepala tertunduk. Dia sudah menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya. Kini sudah waktunya dia pulang.
“… Saya juga akan pergi sekarang, Tuan.”
Dia telah menjadi bagian dari Kastel Axias. Tapi kini, Killian mungkin takkan memberinya tanggungjawab apa pun. Karena dia telah menunjukkan betapa lemah dirinya di hadapan Killian. Karena dia telah membuat Killian cemas. Dia tak bisa berbuat apa-apa dengan hal yang harus dilakukannya dengan susah payah, dan kini sudah ada para pendeta yang hebat dan bahkan Santa Tania…. Apa pentingnya seorang pemberi berkat lemah yang bahkan tak mampu menyembuhkan atau menyucikan?
Rietta menundukkan kepalanya ke arah Killian. Killian menatap Rietta dan mendecakkan lidahnya. “Kau malah kelihatan seperti selir kesayangan Santa Tania, bukannya selirku.”
“… Tuan?”
“Apa kau tahu seperti apa tampangmu sekarang?”
Dengan kikuk Rietta menyentuh wajahnya.
“Kau kelihatan cukup kecewa karena Santa Tania pergi.”
Tanpa sadar Rietta menyusurkan tangan menuruni pipinya untuk menarik turun dagu dan lehernya. Diarahkannya pandangan ke arah kepergian Santa Tania. Sekarang sosok Santa Tania tampak semakin dan semakin kecil, hampir tak lagi kelihatan. Rietta mundur selangkah, matanya mengikuti jejak itu, tapal-tapal kuda yang berderap tak kenal takut melintasi tanah yang basah.
“Kau pasti cukup menyukai dia.”
Rietta tertawa lemah. Pertanyaan ini kelihatannya tak membutuhkan jawaban, namun Rietta menggumam pada dirinya sendiri. “Tentu saja…. Beliau adalah idola saya.”
Rietta berpikir kalau dia sedang membicarakan sesuatu yang benar-benar tidak penting, tapi dia bahkan telah berdebat dengan Killian dengan suara lantang, jadi tampaknya tak ada apa pun yang benar-benar bisa dia katakan. Tanpa sadar dia jadi merasa sedikit nyaman bersama pria itu. Tanpa suara matanya terus menatap Santa Tania.
Killian menatap profil Rietta dengan raut wajah aneh. Pertanyaan dari sebelumnya tentang kenapa Rietta tak menjadi pendeta. Killian tahu jawabannya, bagaimana Rietta ‘tidak lulus ujian’. Killian mulai mengenali ekspresi-ekspresi wanita itu. Jadi dia pun mengajukan pertanyaan yang sedikit berbeda. “Apa kau ingin menjadi pendeta?”
Rietta menjawab, “Ya.” Ada senyum damai di wajahnya, tampak agak bebas namun juga agak sedih. Seakan dirinya sedang memikirkan masa lalu yang jauh, dia pin menambahkan, “Saya ingin.”
Wuush….
Angin menghembus dedaunan hija, dan beberapa ekor burung kecil beterbangan. Rietta menyisir rambutnya dengan jemari, tersipu, dan tersenyum. “Seperti halnya anak mana pun yang tinggal di biara pasti menginginkannya pada suatu ketika. Semua ini hanyalah angan-angan masa lalu.”
Rietta sedang berusaha menekan impiannya sebagai sesuatu yang umum, namun Killian bisa mengenali bahwa ini adalah mimpi yang dimiliki Rietta untuk waktu yang sedikit lebih lama dari itu. Killian terus menatap bisu padanya sebelum kemudian berpaling.
“Hari ini aku tak mengizinkanmu atas hal ini.”
Rietta mendongak menatap Killian.
“Tapi kelak, aku sendiri yang akan mengantarkanmu untuk mengikuti sang santa dan kau bisa memberikan bantuanmu sesuka hati.”
“Tuan?”
Killian memberi isyarat pada seorang pelayan yang berdiri cukup jauh dari situ. “Untuk sementara ini, kau akan tinggal di dalam kastel. Apakah kamar yang biasa cukup sesuai untukmu?” Ekspresi Rietta tampak kebingungan. Killian meneruskan. “Kau tak boleh berkeliaran sendiri. Kau boleh memberikan bantuan ini hanya kalau kutemani. Walaupun kurasa kita akan sering berkeliling tempat-tempat penampungan untuk memeriksa.”
Mata Rietta melebar. “A-Anda tak usah sampai seperti itu demi saya, Tuan. Saya tak ingin merepotkan.”
Killian mendengus. “Tentunya kau tak menganggap aku sebagai orang yang penurut.”
Killian memerintahkan kepada pelayan yang sudah berlari menghampiri untuk menyuruh tukang kebun memangkas ranting-ranting yang telah tumbuh lebat dari jendela-jendela Gedung Timur supaya cahaya matahari bisa masuk. Dan agar memberitahu Ern si pengurus rumah supaya menyiapkan kamar Rietta.
Mata merah itu lalu kembali ke Rietta. “Cedric Caballam.” Wajah Rietta membeku ketika nama yang telah dia lupakan tiba-tiba muncul kembali. “- Kau tahu tentang pria yang berkunjung kemarin malam ini, kan?”
Kemarin malam. Pria itu telah dipergoki oleh sang Duke Agung dan diseret pergi. Rietta ingat pada mata yang putus asa dan tangan yang terjulur ke arahnya, memohon agar diselamatkan ketika diseret pergi oleh Killian.
“Aku yakin kau kenal dengan orang ini.”
Cuma kenal? Kematian putrinya dan wasiat sebelum mati Cassarius semua keluar dari mulutnya.
“… Ya, Tuan. Saya ingat dia.”
Entah sial atau beruntung, tak ada kesempatan untuk memikirkan hal itu karena dirinya telah dipaksa untuk tidur oleh iblis mimpi. Dirinya lalu dikejutkan oleh Killian, berlumuran darah begitu dia terbangun, dan tak sempat menarik napas untuk mengingat kembali kejadian itu. Setelahnya dia kembali tertidur, lalu terkena keisengan Yang Mulia Duke Agung. Kemudian dia bertemu dengan idola seumur hidupnya, Santa Tania. Karena kejadian yang saling beruntutan, satu demi satu, tak ada kesempatan bagi Rietta untuk merasa kaget atau takut karena melihat Cedric Caballam.
Tapi kadang-kadang, dia ingat kalau pria itu berada dekat dan cukup memikirkannya sehingga dia akan harus terdiam. Kenapa dia ada di Axias? Dan kenapa dia ada di sana? Apa dia sedang mencariku? Rietta kesulitan bernapas.
Sebuah tangan yang besar terjatuh ke atas bahunya. Kepala Rietta tersentak naik dan mendongak menatap pria di hadapannya. Wajah datar acuh tak acuh itu sedang menunduk menatap dirinya. Dengan tenang pria itu memeganginya dengan kekuatan yang cukup untuk tidak sampai membuatnya kesakitan.
“Apa kau pernah melihat dia di Axias sebelum aku menemukannya?”
Dengan linglung Rietta menggelengkan kepalanya. “Tidak, Tuan. Kemarin adalah kali pertama saya melihatnya…. Setelah saya meninggalkan Sevitas.”
Killian menyipitkan matanya. Embun telah menempel pada wajah lelah dan membeku Rietta. “Apa ada orang lain?”
“Tak ada seorang pun yang pernah datang untuk mencari saya.”
Rasanya Killian ingin menyingkirkan helaian rambut pada dahi Rietta, namun akhirnya dia hanya menepuk bahu wanita itu.
Rietta menghembuskan napas yang tanpa sadar telah ditahannya.
Killian menggumam dengan suara dingin, “Keluarga Sevitas pasti penasaran ingin tahu apakah kau punya kegunaan lagi bagi mereka.”
Jemari Rietta berkedut.
Killian meneruskan, “Karena itu kau harus tinggal dalam perlindungan kastel dan tidak boleh berkeliaran seorang diri.”
Supaya aku bisa menemukan orang-orang licik lainnya kalau mereka mendekat.
Rietta telah berdiri membisu selama beberapa saat, dan barulah setelahnya dia mampu membuka mulut. “Kepada saya…. Dari Sevitas? Kenapa….”
Apa yang mereka inginkan…? Sampai datang sejauh ini. Dia tak tahu sebabnya, namun jantungnya berdebar.
“Siapa yang tahu. Itu bukan urusanku.” Killian menjawab dingin, hampir bernada merendahkan. “Bukankah sesuatu soal menginginkanmu kembali kalau kau berhubungan baik denganku?”
Wajah Rietta memutih. Lebih dari merasa bersalah terhadap pria di hadapannya, pertama-tama dia mempertimbangkan apakah orang-orang di Sevitas masih waras. Harga untuk dirinya adalah menghapuskan hutang sebesar dua puluh juta emas. Apakah mereka sebegitu tak tahu malunya sampai berpikir untuk meminta lebih banyak bahkan setelah dengan begitu konyolnya memeras sang Duke Agung? Dari Duke Agung Axias, pula. Ini sudah melampaui tak tahu malu, ini adalah kesintingan yang tak kenal takut.
Tapi Killian belum selesai. “Yah, itu adalah kemungkinan yang paling wajar.”
“…?”
Jemari Killian membelai gagang pedangnya secara sambil lalu. “Mereka bisa saja menyewa bandit untuk menculikmu dan menawanmu untuk minta tebusan. Mereka telah mengkonfirmasi bahwa uang tak menjadi masalah ketika berhubungan denganmu.”
Wajah Rietta semakin memutih.
Merupakan sebuah kesalahan jika menghapuskan hutang yang diwarisi seorang putra dari ayahnya, berpikir bahwa ini bukanlah kesalahan sang putra. Killian takkan melakukan cara ini jika dalam situasi normal. Penilaiannya goyah sesaat ketika memikirkan tentang betapa konyolnya mengubur wanita itu hidup-hidup, dan dia pun memilih untuk berbuat baik. Ck. Selalu saja mendatangkan kesusahan baginya ketika dia menunjukkan kebaikan dalam hal keuangan.
Killian mengetukkan ibu jarinya pada gagang pedang panjangnya dan menurunkan tatapannya tanpa bersuara. Melihat kondisi Sevitas, tampak jelas kalau mereka akan memeras rakyat mereka. Kalau Sevitas bertindak demikian, maka urusannya takkan menyenangkan, tak peduli rakyatnya bersalah atau tidak.
Rietta terperangah pada imajinasi Killian. Dia ingin mengingkarinya dan mempertanyakan apakah mereka akan berbuat sampai sejauh itu, tapi fakta bahwa bahwa dia juga berpikir kalau hal itu memungkinkan bahkan lebih serius lagi. Rietta memang sering keluar masuk kediaman, dan orang-orang sudah berkali-kali melihat dirinya berjalan bersama sang Duke Agung. Bahkan jika hal itu memang benar, kalau seseorang berusaha mencari Janda dari Sevitas, maka takkan sulit bagi mereka untuk mendengar bahwa dirinya adalah kesayangan sang Duke Agung.
Bahkan meski Axias tertutup bagi orang luar, sisi luar dinding kediaman adalah area yang terlalu besar, dan mustahil untuk menghalangi akses untuk semua orang luar. Desas-desus bisa menyebar dengan mudah di luar dinding kastel, dan pekerjaannya juga seperti itu, jadi rumahnya juga bisa terkenal dengan mudah. Rumah Pemberi Berkat di dalam dinding kastel. Amat sangat mudah untuk bertemu dengannya dengan menanyakan di mana dirinya tinggal. Dan kalau seseorang memutuskan untuk memakai desas-desus itu untuk tujuan buruk….
“Aku sudah membujuk Caballam agar menyampaikan pesan bahwa kau sudah mati karena wabah.” Mata Killian menerawang jauh dan berkata, “Kalau Sevitas memercayai sepenuhnya hal itu dan menyudahi semuanya, maka hal itu adalah penyelesaian terbaik. Kalau mereka tak memercayainya dan berinisiatif untuk menggali lebih jauh lagi….” Dengan kasar Killian menyeringai keji. Dibiarkannya kata-katanya tak selesai.
Rietta memikirkan kembali adegan yang telah dilihatnya. Caballam, kakinya menendang-nendang di lantai, diseret oleh Killian ke suatu tempat seperti seekor hewan yang akan disembelih. Bagaimana cara dia membujuk Cedric Caballam? … Apa dia juga menghukumnya? Tak peduli seberapa pun Rietta memikirkannya, kata-kata Killian “Aku sudah membujuknya” tidak kedengaran seperti artinya cuma begitu saja. Rietta membayangkan pria itu membujuk Caballam dengan memakai segala jenis ancaman serta teror lalu buru-buru menggelengkan kepalanya.
Killian berpaling ke arah Rietta. “Jadi tidak baik kalau kau tinggal di tempat kau bisa dijangkau dengan mudah. Untuk sementara waktu ini, kau akan terlindungi oleh bagian dalam kediaman.”
Seringai keji itu telah menghilang pada titik tertentu, dan hanya ekspresi pasif nan lembut yang tertinggal pada wajah pria itu. Rietta mengubur kegelisahannya, setengah mengangguk, dan berkata, “Baiklah, Tuan. Terima kasih.”
Rumah Rietta berada di dalam dinding kastel, tapi dia tak bisa cuma tinggal di bagian dalam dinding itu, dan bahkan jika dia memang tetap tinggal di dalam, selalu memungkinkan bagi siapa pun yang punya niat untuk bersembunyi dan kemudian menyerang. Tapi di dalam Kediaman Axias, yang dilindungi oleh dinding-dinding tinggi, parit, dan jembatan angkat dengan para kesatria berpatroli secara bergiliran, juga gerbang besi ganda dengan prajurit penjaga, sudah jelas bahwa orang-orang mencurigakan yang ingin mendekati dirinya dengan niat jahat takkan mampu melakukannya.
Ini memang tak tahu malu…. Tapi ini adalah jalan yang bisa diambil agar Yang Mulia tak terlalu cemas.
“Aku ingin kau ada dalam jangkauanku. Kau akan bisa membantu Santa Tania yang sangat kau sukai itu. Karena Beliau bilang kau berguna.”
Wajah Rietta bagai bunga yang merekah ketika mendengar apa yang Killian tambahkan, seakan dia sudah lupa pada hal serius yang baru saja mereka diskusikan. “Saya…. Berguna?”
Padahal baru sesaat yang lalu wajahnya pucat, kelihatan seperti orang yang hampir mati. Bagaimana bisa wajahnya merekah secerah itu begitu mendengar kalau sang Santa menganggap dirinya berguna?
“Tak bisa.” Killian tiba-tiba memotong. “Kau hanya bisa membantu saat aku sedang melakukan peninjauan karena kau juga dibutuhkan di kastel.”
Rietta mendongak kebingungan pada Killian.
“Kemungkinan besar aku akan lebih membutuhkanmu ketimbang sang Santa,” sahut Killian, agak keki. “Dengan melandanya wabah, pemberkatan akan dibutuhkan di seluruh kastel, bukan cuma di kamarku dan Gedung Timur. Ada banyak yang akan kutugaskan padamu, jadi lebih baik kalau kau menarik napas dalam-dalam dan bersiap.”
Mata biru langit yang membulat dengan kaget itu menatap Killian. “Memberkati kastel, Tuan?”
Kata-kata itu dimaksudkan untuk mengejutkan Rietta, namun nada suaranya terdengar agak aneh. Killian menatap wajah wanita itu. Ini bukan wajah yang dibuat Vetere, Colbryn, atau Damien ketika mereka bereaksi pada sesuatu semacam ini. Kenapa… ekspresinya begitu?
Ketika akhir-akhir ini dia melakukan perjalanan dengan para pendeta yang hampir mati karena kelebihan beban kerja, Killian juga jadi mengetahui seberapa beratnya pekerjaan memberkati. Memberkati Kediaman Axias bukanlah permainan anak-anak, jadi jelas bahwa perintahnya untuk bertanggungjawab memberkati kastel hanyalah dirinya yang sedang mengekspresikan kekesalannya. Killian langsung mengatupkan mulutnya rapat-rapat setelah melihat mata Rietta.
“Tunggu.”
Dia mengangkat satu tangannya untuk menghentikan Rietta dan memijit dahinya. Dia sudah lupa kalau yang sedang diajaknya bicara adalah Rietta. Wanita itu adalah jenis orang yang bisa maju dan berkata akan bekerja sekeras mungkin asalkan Killian meminta dan melakukannya secara sungguh-sungguh dengan sepenuh hati. Bukankah belum lama ini Killian jadi marah gara-gara sesuatu semacam itu?
Dia melihat ekspresi ketakutan Rietta ketika wanita itu mengamati dirinya mempertimbangkan kembali kata-katanya, cemas dia akan menarik kembali perintah itu, dan Killian dibuat terperangah. Ekspresi putus asa itu bahwa tak diragukan lagi Rietta akan selangkah lebih jauh dari ‘cukup bagi saya kalau Anda mengizinkan saya membalas budi kepada Anda’.
… Apa dia tidak yakin?
Tanpa sadar mulut Killian bergerak, mengikuti instingnya. “… Aku akan suruh beberapa orang pemberi berkat agar menemanimu.”
Bulu mata panjang Rietta naik lebih tinggi daripada sebelumnya, mendongak menatap Killian, lalu mengerjap dua kali.
“Kau yang akan memimpin mereka…. Dan mengurus tugas memberkati kastel.”
Mata biru nan murni itu menatap dirinya dan jadi lebih besar lagi seakan wanita itu telah mendengar sesuatu yang tak bisa dipercaya.
Bukan begini. Dia ingin menyuruh Rietta beristirahat. Dia harus menyuruh Rietta istirahat.
“Apakah saya… memberkati kastel?”
Killian berakhir dengan tak bisa menarik balik perintah itu. Dia harus berusaha amat sangat keras untuk membuka mulutnya demi melanjutkan. “… Karena pemberkatanmu adalah pemberkatan yang bahkan telah diakui oleh sang Santa.” Killian mengangkat kalungnya. “Dan kau adalah orang yang telah membuat ini.”
Killian melepaskan kalung itu dan kembali memasangkannya pada leher Rietta. Untuk kali ini Rietta tidak menghindarinya dan menatap Killian dengan ekspresi yang tak bisa dibaca.
“… Kau yang menyimpannya saat kita berada di dalam kastel. Karena di dalam kastel aman.” Dengan terlambat Killian mengatur pemikiran-pemikirannya seraya bicara. … Benar. Tak ada hal baik yang akan datang kalau membiarkan seorang pemberi berkat menganggur…. Akan lebih rasional kalau menyerahkan pemberkatan kastel kepada Rietta daripada membiarkan wanita itu pergi berkeliaran di area karantina dengan gegabah.
Batin Killian harus menenangkan dirinya sendiri, tapi entah bagaimana dia merasa begitu gugup rampai rasanya ingin mengunyah habis bibirnya sendiri. Dia toh akan terus mengawasi Rietta untuk memastikan wanita itu tak bekerja terlalu keras, dan Rietta akan berada dalam jangkauannya, jadi tak masalah kalau dia memberi pekerjaan pada Rietta. Setelah dia meletakkan kalung itu pada leher Rietta…. Mungkin wanita ini akan tersenyum. Apa yang akan terjadi kalau tiba-tiba wanita ini tersenyum? Yang itu semacam firasat. Killian sepertinya menantikannya tapi juga ingin menghindarinya.
Ketika dengan pikiran liar Killian mempertimbangkan logika dan rasionalitas, Rietta mendongak menatapnya dengan bola mata biru langit itu.
“… Sekarang kau pergilah istirahat. Aku akan menugaskan beberapa pemberi berkat padamu. Kau bisa mulai bekerja dengan bangunan utama Kediaman Axias dan gerbang depan setelah mereka tiba….”
Tak ada jawaban.
”… Kemungkinan besar tubuhmu belum benar-benar pulih, jadi mulailah setelah kau sembuh sepenuhnya. Aku akan kembalikan kalungnya bahkan meski kau tidak memberkatiku, jadi jangan cemaskan hal itu.”
“Ti-tidak! Saya tak bisa berbuat begitu, Tuan!”
Dengan jawaban Rietta yang terburu-buru tapi jelas, hal yang Killian takuti pun muncul. Seulas senyum mengembang di wajah Rietta, bagai bunga liar di padang rumput.
Mata Killian berkedut. Dia merasakan suatu perasaan terbenam seakan sudah mengetahui bahwa Rietta mungkin akan tersenyum adalah sebuah pengungkapan yang mengejutkan. Ada apa dengan senyum itu yang membuat hatiku terasa berat? Dia tak bisa memalingkan matanya dari wajah gembira yang biasa, namun tak terlalu biasa itu.
“… Kenapa kau sesenang itu? Aku sedang menyuruhmu bekerja.”
Ini bukan sesuatu yang lucu, tapi Rietta tertawa lagi. “Tolong beri saya banyak pekerjaan, Tuan. Saya suka bekerja.” Nada suara Rietta lebih tinggi daripada biasanya. “Saya juga ingin berguna, Tuan.”
Komentar tambahan itu agak bodoh dan tidak sesuai. Killian menatap Rietta. Rietta tampak malu-malu, pipinya sedikit memerah seakan dia tahu bahwa yang dia katakan adalah sesuatu yang aneh.
Berguna. Apa dia berpikir kalau dirinya tak berguna?
Senyum yang membelai kulit Rietta mendatangkan kesadaran seketika. Dengan cepat Killian menelaah apa yang telah terjadi sejauh ini tanpa membiarkannya ketahuan. Ini konyol. Apa dia itu bodoh?
“Sopan santun bisa menjadi kelancangan kalau dilakukan berlebihan.”
Rietta mengarahkan matanya pada Killian. Killian sedang memelototinya dengan mata nyaris membara.
“Kau sangat membantu, lebih dari yang bisa kau bayangkan. Sampai-sampai kau membuatku, orang yang sangat berguna ini, merasa seakan ini adalah situasi kritis.”
Rietta tertawa seakan tidak memercayainya. Selama sedetik Killian merasa tercekat jauh dalam hatinya. Bibirnya bergerak hampir secara refleks. “Aku, sang Santa, para pendeta, orang-orang di klinik, semuanya menggapmu berguna.”
Bagaimana bisa aku tak mengetahuinya hingga saat ini? Dengan sengaja Killian mengernyitkan alisnya ketika matanya bertemu dengan mata biru pada wajah jelita itu, merasakan tatapannya melembut.
“Jadi berhentilah.”
… Musim panas adalah musim yang merusak.
“Ada juga jatah untuk kemalasan, jadi pertimbangkan itu ketika kau bekerja.”
Rietta tertawa, tak tahu kapan harus menganggap kata-kata Killian sebagai candaan.
Wuush….
Beberapa helai rambut yang laksana cahaya bulan menari-nari di atas wajah Rietta yang tersenyum. Dengan suara angin yang diterangi cahaya mentari berhembus lewat sela-sela kehidupan menghijau pada ranting-ranting pohon, merasa aneh, Killian melirik Rietta, yang kini mulai banyak tersenyum.