Like Wind on A Dry Branch - Chapter 39
Balai kota di dekat kamp penampungan sementara. Suara-suara keras yang tidak biasanya terdengar dalam ruang rapat yang disiapkan untuk kunjungan-kunjungan dari penguasa atau bangsawan.
Bruk!
“Haa, haa…. Haa.”
Killian menyeret Cedric Caballam dari tengkuk lehernya dan melemparkannya ke dalam ruangan. Orang yang bertugas di penampungan itu masuk mengikuti mereka, meletakkan benda-benda yang Killian perintahkan untuk dia bawa masuk ke atas meja pualam, lalu memberi hormat. Kemudian dia meninggalkan ruangan itu. Dia telah membawa sebotol minuman keras, yang kabarnya mampu menguatkan si peminum terhadap angin padang pasir, dan dua buah gelas pada nampan ke atas meja tersebut.
Cedric Caballam tersengal-sengal seraya menenangkan diri dan bersimpuh di lantai, gemetaran. Killian melirik tubuh gemetaran Caballam yang ada di lantai dan melontarkan tawa sinis.
“Kau membuatku kehilangan selera untuk minum.”
Krak.
Ada pembuka sumbat botol di situ, tapi Killian mematahkan botolnya agar terbuka dengan tangan kosong. Aroma menyengat dari alkohol yang keras menyebar ke seluruh ruangan.
Klak.
Killian meletakkan tegak gelasnya dan berkata, “Apa yang kau lakukan? Berdiri dan tuangkan segelas untukku.”
Caballam berdiri gemetaran, tak mampu menatap mata Killian, lalu mengambil botol itu dengan tangan bergetar. Dia lalu memiringkan botolnya ke arah gelas di depan Killian. Killian mengamati gelasnya yang mulai terisi minuman, kemudian mengangkatnya ke bibir dan menghabiskannya begitu gelas tersebut penuh. Lalu dia meletakkan gelas lain di sisi lain meja, mengisyaratkan pada sisi yang itu.
“Kau tuangkan juga segelas untuk dirimu sendiri.”
Cedric Caballam menggelengkan kepalanya, bergidik ketakutan. “Sa… saya merasa terhormat, Yang Mulia.”
Killian tertawa dingin, “Tentu saja.”
Dengan tangannya sendiri Killian menuangkan segelas penuh untuk Caballam. Pecahan kaca dari botol yang pecah itu jatuh berdenting ke dalam gelas tersebut. Dengan santai dia menyilangkan kakinya yang mengenakan sepatu bot ke atas meja.
“Akan sulit untuk menghadapi ini dalam kondisi sadar, jadi aku berbelas kasihan padamu. Ayo, minumlah.”
Cedric Caballam menatap gemetaran pada gelas minuman keras di atas meja. Pecahan botolnya berputar-putar di dalam gelas kristal yang jernih itu.
Suara dingin tersebut meneruskan. “Axias tidak mengizinkan orang luar untuk masuk sejak wabah menyebar….”
“.…”
“Karenanya, kau tak mungkin mendapat izin untuk masuk kemari.” Suara yang membekukan darah dari pedang yang dicabut dari sarungnya mengiringi olokan dingin tersebut. “Aku yakin kau menganggap urusan yang membawamu kemari lebih penting daripada nyawamu sendiri.”
Kaki Cedric Caballam menyerah, dan dia pun jatuh berlutut. “Ya-Yang Mulia.”
“Aduh. Berhentilah meringkuk di terus di lantai.” Killian kembali mengangkat botolnya. “Gaya gemetaranmu yang menyedihkan itu mirip serangga.” Killian memiringkan kepalanya dan tersenyum manis. “Dan takutnya aku mungkin akan membunuhmu tanpa disengaja.” Meletakkan tangannya yang menggenggam pedang, Killian mengangguk ke arah kursi di seberang meja. “Cobalah meniru sikap manusia dan duduklah di kursi.” Lagi-lagi, botolnya dimiringkan. “Hanya dengan begitu manusia bisa bicara.”
Killian menuangkan satu gelas lagi untuk dirinya sendiri dan menenggaknya dalam sekejap. Dia menghembuskan napas dari hidungnya dengan gaya malas seraya memejamkan mata seakan sedang menikmati keharuman alkohol tersebut, lalu membuka mata merahnya untuk menatap Cedric.
Cedric Caballam merangkak ke kursi sembari gemetaran seperti sehelai daun ketika mata yang tenang mengancam itu berpaling ke arahnya. Susah payah dia mengangkat dirinya sendiri dengan tangan gemetaran mencengkeram kursi lalu duduk. Tubuhnya basah kuyup oleh keringat dingin.
Sementara itu, Killian telah mengisi ulang gelasnya dan sedang memutar-mutarnya seraya memandangi permukaan cairan tersebut.
“Namamu?”
“Cedric…. Caballam, Tuan.”
“Benar. Cedric Caballam.”
Mata merah menusuk itu menatap tenang ke arahnya. Caballam berjengit seakan sorot mata itu telah menyerangnya secara fisik.
“Ada urusan apa kau mencari Rietta Tristi?”
Setetes keringat bergulir jatuh dari dagu Caballam. “Sa, saya…. Hanya ingin tahu…. Apakah dia baik-baik saja….”
Killian menghabiskan isi gelas ketiganya. Dia mencibir, menunduk pada gelasnya yang sudah kosong, lalu meletakkannya. Mata itu lalu terarah kembali pada Cedrik dengan dingin, memancarkan amarah yang diliputi hawa membunuh.
“Ini lelucon ya?”
Caballam, tercekik oleh hawa mengerikan itu, terhuyung dan mendorong tubuhnya lebih jauh ke kursi.
Killian mengangkat belati yang tadi telah menakuti Cedric. Seraya memainkan senjata itu, Killian tersenyum samar. “Apakah roh Cassarius kembali meminta Rietta? Atau mungkinkah Frederik?”
“Itu….”
Tatapan Killian menyapu bilah belati tersebut. “Apa mereka mengirimmu kemari untuk melihat apakah wanita penggoda yang mahal itu masih bernapas, atau untuk melihat apakah ada lebih banyak keuntungan yang bisa diambil dari transaksinya?”
“Tentu saja tidak, Yang Mulia….”
“Kuhk…!”
Belati itu tiba-tiba muncul tepat di samping kepala Caballam, yang matanya memelotot. Keringat dingin mengucur di punggungnya seiring dengan suara deru di udara.
“Kurasa pertanyaan semacam itu akan terlalu sulit untuk dijawab oleh pelayan setia sang count.”
Killian mengangkat botolnya lagi dengan tangannya yang kini kosong lalu memiringkannya. Matanya tetap tertuju pada Caballam.
“Seharusnya aku lebih percaya pada penilaianmu karena orang licik sepertimu pasti akan punya kecerdikan untuk memberitahu tuannya bahwa Rietta Tristi sudah lama mati karena terjangkit wabah.”
Perlahan Killian memutar-mutar gelasnya yang sudah terisi kembali dan tersenyum.
“Benar, kan?”
Cedric Caballam menjawab tanpa bisa bernapas .”Te-tentu saja, Yang Mulia.”
Killian mengosongkan gelas keempatnya. Pedang panjangnya tetap berada di tempatnya tadi menaruh senjata itu di atas meja. Killian bersikap seakan dia bahkan tak tahu bahwa ada sesuatu seperti itu di sana, namun Caballam tak bisa mengalihkan matanya dari pedang tersebut. Minuman keras yang kabarnya mampu mengusir hawa dingin yang kejam dari padang pasir menghilang seperti air.
“Ah.”
Seakan tiba-tiba terpikirkan olehnya, Killian mengeluarkan kalung yang melingkari lehernya. Dia mengangkat benda itu supaya Caballam bisa melihatnya. “Coba katakan, apa yang kau tahu tentang benda ini?”
Wajah Caballam membeku ketika melihat cincin yang menggelantung di ujung kalung tersebut. Dia menghindari tatapan sang duke agung dengan mata gemetaran dan menjawab, “Ci-cincin itu milik…. Anak perempuan Rietta. Nama anak itu Adele.”
Mata Killian menyipit. “Kalau begitu beritahu aku apa yang kau tahu tentangnya.”
Caballam tak tahu harus bagaimana dan menundukkan kepalanya. “Ca-Cassarius, Count Sevitas yang sebelumnya, terus-terusan merayu Rietta setelah suaminya meninggal…. Tapi ketika wanita itu tak mau menerima –”
“Aku sudah tahu kalau dia mengambil anak Rietta dan menjual gadis itu ke pedagang budak.” Killian memotong kata-katanya. “Pengetahuan yang kucari adalah mengenai cincin ini.”
Caballam tak mampu berkata-kata. Killian menaikkan sebelah alisnya dengan malas. “Apa aku harus mengulangnya untukmu?”
Caballam buru-buru menggelengkan kepalanya. “Ti-tidak, Yang Mulia! Ha-hanya saja saya tak tahu terlalu banyak lagi….”
Killian menyandarkan punggung pada kursinya seakan sudah mabuk dan mengeluarkan tawa tak percaya.
“Cedric Caballam.”
“Y-Ya, Tuan?”
“Aku ingin percaya bahwa kau datang untuk bekerjasama.”
“Ta-takutnya saya tak mampu memahami – “
Suara tajam yang kejam membelah udara.
“Berani.”
Kelihatannya seperti kalau tangan Killian mungkin telah menyapu pada pedang yang tergeletak di atas meja, tapi kursi tempat Caballam duduk terguncang mundur dengan suara berderak.
“Kau berani mengujiku?”
Pedang itu diarahkan ke sisi leher Caballam. Gelombang teror melanda. Bahkan tanpa menyentuhnya, Caballam tahu kalau lehernya berdarah dari bilah pedang yang menggoresnya.
“Bisa kita mulai dengan bagaimana kau mengenali cincin seorang anak rakyat jelata hanya dengan sekali lihat?”
Pelipis Caballam berdenyut-denyut dan tubuhnya gemetaran akibat adanya bilah pedang dingin yang menempel di sisi lehernya. Kalau tangan sang Duke Agung tergelincir sedikit saja, pedang itu akan menembus lehernya. Bau alkohol yang memenuhi udara membuatnya sadar kembali. Aroma tajamnya terasa seperti racun, mencekik tenggorokannya.
Sang Duke Agung Axias perlahan berdiri dari kursinya dan melangkah ke arahnya. Sang Duke Agung mencondongkan tubuh ke arahnya dan berbisik, keharuman alkoholnya semakin lama semakin pekat. “Kubilang padamu, katakan padaku apa yang kau tahu.”
Killian mencabut pedangnya dengan satu gerakan cepat. Cedric Caballam, membeku di kursinya dalam kengerian, merasakan sesuatu yang dingin di bawah dagunya.
“Satu-satunya hal yang akan bisa kau uji adalah apakah kau hidup atau mati, Cedric Caballam.” Killian mengangkat dagu Cedric dengan ujung pedangnya dan menyeringai. “Akan bijak bagimu kalau tidak menguji kesabaranku.”
Klang!
Pedang Killian melayang di antara jari tengah dan jari manis Caballam lalu menancap ke meja pualam. Percikan api beterbangan, dan sebuah retakan muncul di permukaan meja itu.
Tangan pucat Caballam yang membeku terbentang lebar dan gemetaran. Jemarinya nyaris terpotong. Gigilan merayap naik di punggungnya dan membuat rambutnya berdiri tegak.
Sorot mata Killian menyapu dengan kepala dimiringkan, dan dia menjilat bibirnya dengan wajah tenang. “Apa kita perlu melihat seberapa bagus peruntunganmu?” Killian mengetuk dagu Caballam dengan ujung pedangnya. “Aku yakin orang tidak membutuhkan jemarinya untuk bicara…. Tapi kau mungkin tidak sependapat.”
Caballam memekik ketakutan. “Cin, cincin itu!” Pria tersebut, yang sepertinya sudah menua sepuluh tahun, menjawab terbata. “Cin, cincin itu diambil tepat sebelum putri Rietta dijual kepada para pedagang budak…!”
Akhirnya, sebuah jawaban yang benar pun muncul, dan Killian mengulas senyum ramah lalu mengangguk. “Jadi?”
Pedang itu membelai rahang Caballam dengan penuh kasih sementara yang bersangkutan bergidik. Mata hitamnya bergetar, dan dia meneruskan. “Rietta datang dan meminta agar putrinya dikembalikan seperti yang telah dijanjikan, sebagai pertukaran untuk menjadi selir Count…!” Ujung yang tajam itu perlahan bergerak ke pipinya. “Ayah Tuan sudah sakit parah…. Dan karena di terus-terusan datang, membuat mereka kesal, membuat urusannya jadi sulit…. Makanya mereka memberitahu dia kalau putrinya sudah mati…!” Kini pedang itu berputar-putar di telinganya. Caballam megap-megap sementara kata-katanya terus ditumpahkan dengan terburu-buru. “Tapi dia… dia tak memercayainya…. Dan bersikap keras kepala, jadi untuk membuat dia menyerah…. Mereka mengirim kembali cincin itu pada Rietta.” Pedang Killian, yang kini ada di pelipisnya, berhenti.
Wajah Killian berkerut mengerikan dan menakutkan. “Tapi tentunya hanya sebuah cincin tak bisa menjadi bukti yang memadai dari seorang anak yang sudah mati.”
“Wa, wabah. Dari wabah…!” Ketika pedangnya tak lagi sekedar membelai namun mengandung kekuatan di belakangnya, Caballam tergagap dengan wajah seperti tak dialiri darah. “Cincin itu berada di dalam…. Dalam peti yang berisi mayat anak yang sudah mati….” Mata Caballam sarat dengan kengerian seakan dia tak bisa memercayai apa yang sedang dia katakan. Tapi dia tak berhenti. “Dan kemudian menunjukkannya kepada Rietta…!”
Wajah Killian tak lagi tampak seperti manusia.
Mulut Cedric Caballam terus menumpahkan kata-kata tanpa henti. “Mayat itu sudah rusak karena kremasi, dan dia pasti sudah melihat cincin di jari anak itu, dan percaya kalau mayat itu adalah putrinya sendiri.”
Kesunyian yang menggelisahkan melanda. Mata merah yang menakutkan itu seakan melubangi tubuh Caballam yang membeku. Kesunyian yang mendirikan bulu kuduk terasa seakan berlangsung hingga ribuan tahun.
“Ha.” Killian bersuara dan perlahan menarik kembali pedangnya.
Dengan gugup Caballam mengawasi pedang itu, yang kemudian menghilang ke dalam sarungnya dengan mata memicing. Dan pada detik berikutnya, tubuhnya diangkat oleh Killian dengan mencengkeram lehernya. “Ack…!”
Suara mengerikan yang membekukan darah itu mengoyak udara. “Kalian orang-orang tolol menunjukkan mayat yang sudah rusak kepada seorang ibu…. Dengan memasangkan cincin itu ke jari mayat anak lain?”
“Kuhk, kuh, kuhk.” Caballam tak bisa menjawab. Wajahnya merah sepenuhnya.
Killian tertawa pahit. Dengan tangannya yang lain dia mencengkeram bagian belakang kepala Caballam dan menghantamkannya langsung ke meja pualam.
Pekikan teredam. Darah memercik di seluruh permukaan meja.
“Dengan bodohnya aku sudah menyuruh binatang agar meniru sikap manusia.”
Killian membenturkan kepala Caballam tiga kali lagi. Tangan Caballam yang meronta-ronta berusaha memegangi meja dan kepalanya untuk menghentikan hal itu, tapi tangan yang tak kenal ampun itu menghantamkan kepalanya, meretakkannya sementara darah memercik ke mana-mana.
Kali keempat kepalanya dihantamkan ke meja, sebuah suara yang menampakkan kekaguman berbisik menakutkan.
“Atas perintah siapa hal ini dilakukan?”
Caballam memohon dengan darah dan air mata mengaliri wajahnya. “Mo-mohon…. Ampun!”
“Apakah ini idemu?”
Lagi-lagi, Caballam diangkat dengan dicengkeram tengkuknya. Ketinggian baru tempatnya berada itu membuat Caballam merasakan ketakutan atas nyawanya, dan dia memekik. “Saya mohon! Saya mohon! Itu bukan ide saya! Sama sekali bukan!”
Killian melemparkannya ke tanah. Sebelum Caballam bisa menarik napas dengan cepat, rambutnya ditarik dan dirinya dipaksa mendongak.
“Jangan takut pada risiko kematian yang akan lama datangnya.”
Seakan hawa membunuh hingga tadi itu hanyalah permainan anak-anak, kini mata Killian yang bersitatap dengan mata Caballam penuh dengan kekejian mengerikan. Kekejian intens yang mendirikan bulu kuduk membuat wajah Cedric Caballam semakin putih lagi oleh teror.
“Buat aku harus mengulang pertanyaanku sekali lagi…. Dan kau akan bertemu ajalmu sekarang juga di sini oleh tanganku sendiri.”