Like Wind on A Dry Branch - Chapter 34
“Saya juga ikut pergi,” Rietta berbisik ketika dia mengamati kedua calon pendeta dan Kepala Biara bersiap untuk pergi memasuki Gedung Timur. Kilian mengabaikannya terang-terangan.
“Kemampuan saya sangat rendah jika dibandingkan dengan ketiga pendeta suci yang hebat itu, tapi saya bisa membantu jika sampai terjadi sesuatu karena saya bisa melihat iblis. Iblis mungkin juga sudah masuk ke sana.” Rietta merasa agak malu…. Suaranya yang melirih akhirnya tinggal menjadi gumaman.
Tapi Killian berpikir bahwa takkan jadi ide bagus kalau menyuruh Rietta masuk lagi dan menghadapi jenazah Anna. Setidaknya dia, satu-satunya orang yang bisa menangani Rietta, harus berada di sisi wanita itu kalau-kalau terjadi sesuatu. Kalau dia tak bisa masuk, maka Rietta juga tidak.
Rietta terus bicara, ragu-ragu tapi tak kunjung berhenti. Sama sekali tak peduli. Killian sepenuhnya mengabaikan permintaan Rietta untuk bergabung dengan ketiga pendeta itu pergi memasuki Gedung Timur.
Rietta begitu gelisah dan terus mengamati reaksi Killian, atau tepatnya ketiadaan reaksi pria itu, dan dengan cukup cerdik, menyelinap pergi ke belakang para calon pendeta itu. Kilian bahkan tidak menatapnya, tapi pria itu menangkap pergelangan tangan Rietta ketika yang bersangkutan coba-coba berjalan pergi. Rietta berjengit dan mendongak menatap Killian.
“Serahkan urusan ini kepada mereka,” Killian berkata dingin dan menarik pergelangan tangan Rietta. Rietta terhuyung dan tertarik ke sisi pria itu.
“Aku takkan memaafkan kalau kau melanggar keinginanku lagi seperti yang telah kau lakukan tadi.”
Rietta menatap pergelangan tangannya yang berada di tangan Killian dan kembali mendongak memandangi pria itu. Gagapnya, “Sa… saya punya bawaan tubuh yang aneh, jadi saya tidak mudah terjangkit wabah. Jadi, saya masuk ke sana itu….”
“Kau bilang tak ada iblis di sana.”
“Ya, Tuan.… Tapi….”
“Bukankah sudah cukup kalau hanya memberikan berkat jika ini adalah wabah tanpa iblis, terutama karena kalian bisa mengerahkan kekuatan suci?”
Kedua pemuda itu menjawab ketika mereka memberikan berkat pada tubuh satu sama lain. “Tentu saja, Tuan.”
Killian menunduk menatap Rietta dan berkata dingin, “Mereka semua lebih mampu ketimbang dirimu. Dan mereka semua adalah laki-laki, jadi mereka cukup kuat untuk menggotong keluar satu orang.”
Para pemuda itu selesai memberkati satu sama lain dan mengangkat usungan di atas bahu mereka.
“Dan Kepala Biara berkata bahwa pemurnianmu begitu kuat sampai-sampai para iblis takkan bisa masuk ke sana selama beberapa waktu.”
Memang benar, udaranya bukan sekedar murni, tapi juga penuh dengan energi suci. Orang-orang awam juga bisa merasakan udara yang bersih dan menyegarkan dengan anehnya.
Rietta berkata tergagap. “Set, setidaknya, biarkan saya masuk untuk membantu Kepala Biara, Tuan. Beliau kesulitan berjalan, tapi saya masih muda, Tuan.”
Killian menatap Rietta dan menyatakan dengan tegas kepadanya, “Tempatmu di sini.” Dia menatap langsung ke dalam mata biru Rietta dan dengan kokoh memegangi pergelangan tangan wanita itu. “Jangan buat aku mengulang kata-kataku untuk yang ketiga kalinya.”
Sang Kepala Biara yang bersandar pada tongkatnya menatap tangan mereka. Beliau berpura-pura tak melihat apa-apa dan tersenyum cerah pada Rietta. “Jangan khawatir, Nona Rietta. Saya belum setidakberguna itu.”
Merona merah, Rietta meminta maaf, berkata bahwa bukan itu maksud perkataannya, tidak tahu harus bagaimana. Dirinya masih dengan canggung berada di dalam cengkeraman Killian sambil menggerak-gerakkan kepalanya. Killian menggenggam di bagian pergelangan tangan dan punggung tangannya untuk memastikan pria itu tidak menyentuh ujung jemari Rietta yang diperban, tapi bisa selalu memastikan bahwa Rietta tak bisa bergerak hanay dengan satu jari.
Rietta menatap bolak-balik dari pergelangan tangannya yang ada dalam genggaman Killian serta wajah pria itu yang tidak menoleh ke arahnya dan diam saja. Tangan yang menyentuhnya terasa canggung dan aneh. Pria itu bukan hanya tinggi menjulang dengan tangan besar, namun juga adalah orang yang memakai pedang. Dalam genggamannya, tangan Rietta tak ada bedanya dengan tangan mungil anak kecil. Fakta bahwa Killian menggenggam tangannya membuat Rietta merasa tidak nyaman dalam berbagai segi, jadi dia berusaha melepaskannya, namun tak bisa bergerak.
Pada akhirnya, ketiga pendeta itu pergi ke Gedung Timur bertiga saja tanpa Rietta.
Killian, Rietta, dan wanita-wanita yang tak bisa pergi ke Gedung Timur semuanya berdiri di depan dengan wajah menggelap, mempersiapkan diri mereka untuk kedatangan Anna. Namun lama kemudian, para pendeta itu kembali dengan tangan kosong.
Para wanita di Gedung Timur tak mengizinkan mereka mengambil jenazah Anna. Mereka minta waktu satu hari. Para pendeta pun menyampaikan pesan dari nona-nona Gedung Timur.
Mereka bertanya-tanya apakah mereka akan bisa melihat Anna lagi kalau mereka mengizinkan jenazah Anna dibawa keluar. Orang-orang yang ada dalam Gedung Timur yang dikarantina takkan bisa keluar hingga setelah Anna dimakamkan, dan mereka takkan bisa menghadirinya. Nona-nona itu benar, namun orang-orang di luar tak memperkirakannya.
Para wanita dari Gedung Timur minta waktu satu hari. Waktu untuk melakukan perkabungan mereka sendiri, waktu untuk mengantar kepergian Anna, hanya satu hari.
Seira mulai menangis karena pesan mereka akhirnya membuatnya merasa bahwa kematian Anna memang nyata. Elise meletakkan sebelah tangan ke bahu Seira dan menyeka air matanya dengan lengan baju. Kepala Rachel tertunduk sedih sebelum dia pergi tanpa suara. Giselle menatap Gedung Timmur dalam kebisuan. Dia memandanginya dengan sorot mata hampa.
Rietta menatap kosong pada langit. Langit malam yang berawan telah menggelantung di atas kepala mereka.
****
Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk kembali di waktu yang sama pada keesokan harinya, lalu mereka semua pun bubar. Orang-orang yang kelelahan itu semuanya menyebar ke rumah-rumah penginapan yang terpisah.
Rietta mengikuti Killian tanpa pikir panjang seperti yang dia lakukan ketika mereka berada di Kuil Havitas. Killian melakukan seperti yang biasa dia lakukan dan berjalan memasuki kamarnya dengan Rietta mengekori di belakangnya. Rietta mengikuti Killian memasuki kamar tidur pria itu dengan pikiran kosong, dan baru ketika dia melihat Killian mulai melepas dan berganti baju, dia tersentak sadar kembali.
Kenapa aku mengikuti dia kemari padahal di sini adalah Kastel Axias?
Rietta buru-buru memalingkan kepalanya dengan bingung dan berkata, “Sa-saya akan undur diri ke tempat saya.”
Rasanya ini seperti deja vu. Dia ingat pada kamar yang selalu ditidurinya ketika dia datang kemari. Dia pun keceplosan, di bawah tekanan untuk mengucapkan sesuatu.
“Oh, atau apakah saya harus menginap di sini?”
Yang dia maksud adalah ‘Apakah saya harus menginap di kamar yang selalu saya tempati?’ Gelombang deja vu pun melanda Rietta ketika dia menceploskan sesuatu yang jauh lebih besar daripada apa yang ada dalam pikirannya.
Astaga!
Dia teringat kembali pada kesalahan mengerikan yang telah dia buat baru beberapa saat yang lalu.
Merona, Rietta berlari cepat untuk menutupi kesalahannya, “Yang saya maksudkan, karena saya adalah seorang pemberi berkat dan kita kekurangan orang, dan saya toh besok akan dibutuhkan di sini, mungkin saya bisa bermalam di kamar yang kadang-kadang saya pakai….” Rietta mulai meracau dalam kepanikannya. “Tapi tentu saja, rumah saya tidak terlalu jauh, jadi saya harus pulang ke rumah dan berganti pakaian, itulah yang harus saya lakukan.”
“Bermalamlah di sini,” sahut Killian.
Rietta mengerjap dan menatapnya. Entah bagaimana Killian sudah berganti baju dengan pakaian tidur.
“Saya akan melakukannya. Terima kasih, Tu – “
“Di dalam kamar ini.” Killian menyentakkan dagu ke arah ranjangnya.
“Maaf?”
Killian mengabaikan Rietta, tak peduli wanita itu mengoceh atau tidak, dan berbaring di ranjangnya. Rietta bisa melihat leher dan tulang selangka pria itu yang dibayangi oleh pakaian tidur yang longgar. Dia tak tahu harus melihat ke mana.
Aku sudah salah dengar, kan?
Suara yang lebih pelan daripada biasanya, mungkin karena lelah, berkata, “Berbaringlah di sini.”
Rietta tak bisa memercayai telinganya dan menatap pria yang sedang berbaring di ranjang itu. Killian telah mengubur dirinya dalam selimut, dan satu mata merah yang kelihatan mengerjap pelan serta menatap Rietta.
“Ranjangku cukup luas untuk ditempati kita berdua,” Killian menggumam acuh tak acuh. Itulah yang Rietta ucapkan dulu waktu di Kuil Havitas.
“Kepala Biara memberitahuku bahwa aku harus menjaga agar pemberi berkat yang berbakat sepertimu tetap berada di sisiku.” Killian bergerak menyamping, masih berbaring, dan mengulurkan tangan pada Rietta. “Jadi, kemarilah.”
Seakan pria itu sedang menyuruhnya agar masuk ke dalam pelukannya. Rasanya seakan pria itu sedang bicara pada seorang anak. Tubuh yang tampak buas, kelihatan jelas dari balik pakaiannya, serta wajah yang begitu menakutkan tampannya, begitu menggoda bahkan ketika tidak melakukan apa-apa, membuat napas terhenyak dari udara yang mengelayut dan stagnan. Lengannya terjulur, dan tangannya memanggil seakan dia sedang memanggil seorang anak sementara dirinya sendiri tampak seperti itu.
Rietta merona. Dia tak bisa menyembunyikannya.
Killian membiarkan lengannya jatuh dan terkikik ketika Rietta bergerak-gerak gelisah, membeku di tempatnya berdiri. “Aku tak punya maksud tersembunyi, selain dari sedikit menghukummu,” Killian menggumam tanpa perubahan ekspresi sedikit pun. “Kuperingatkan padamu agar jangan pernah menempatkan dirimu dalam bahaya seperti itu lagi tanpa persetujuanku…. Tapi kau tak berpikir bahkan sedetik pun.”
Killian merenggangkan tubuhnya keluar dan meraih pergelangan tangan Rietta. Gerakannya tidak cepat, tapi Rietta sudah begitu kebingungan sampai-sampai tak bisa menghindarinya. Dia pun menarik tubuh Rietta ke ranjang.
“Karenanya, ini akan menjadi hukumanmu. Malam ini kau akan istirahat di sampingku.”
Killian melepaskan pergelangan tangan Rietta lalu mengangkat pinggiran selimut ringannya seakan dia sedang membuka gerbang menuju neraka. Mulut Rietta menganga, dan dia menatap lengan terangkat Killian dengan wajah pucat pasi.
“Nah?” Killian menganggukkan kepalanya, lengan masih terangkat, dan mendesak Rietta sementara yang bersangkutan berdiri di sisi ranjang. “Cepatlah.”
Mata biru Rietta bergetar, tak mampu menatap sang Duke Agung. Mata merah yang pantang menyerah itu membuatnya membeku tanpa ada sedikit pun ruang untuk kabur.
Killian kembali mendesaknya, tanpa ekspresi. “Kuulangi, kemarilah.”
Rietta menyadari bahwa itu memang adalah hukuman yang menakutkan. Bagaimana bisa dia berani menolak perintah dari seorang bangsawan, apalagi sang duke agung yang telah menyelamatkan dirinya? Dia tak pernah berpikir untuk menolak, bahkan ketika dia mengira dirinya berada di sini untuk melayani pria itu di kamar.
Namun lama kemudian, Rietta berhasil memaksa keluar sebuah jawaban, dan jawaban itu adalah sebuah penolakan.
“Sa-saya takkan pernah menempatkan diri saya dalam bahaya lagi, Tuanku.”
Kumohon lepaskan yang kali ini saja.
Tapi Killian tanpa ampun. “Kau boleh tetap memakai pakaianmu untuk tidur. Atau melepaskannya, kalau kau mau…. Tapi aku akan mengharapkan kau tidak melepasnya.”
Mati-matian Rietta berharap Killian sedang bercanda, tapi tak ada keluwesan dalam kata-kata pria itu. Mulut Rietta menganga.
“Tu-tuanku.”
“Akan butuh lebih dari sekedar kau datang kemari sebelum aku menginginkan lebih darimu malam ini.”
Rietta tampak nyaris pingsan, tapi akhirnya dia memanjat ke atas ranjang dan berlutut.
Begitu dia naik ke ranjang, Killian menjatuhkan selimut ke atas lutut Rietta dan perlahan berbalik. Pria itu bahkan menyilangkan tangannya untuk menunjukkan pada Rietta bahwa Killian telah bertekad untuk tidak menyentuhnya.
Secara obyektif, jarak di antara mereka cukup jauh, sejauh ketika mereka ada di Kuil Havitas. Rietta berlutut seperti sedang dihukum, membeku dengan kepala tertunduk.
Killian menatap bisu padanya dengan kepala terkubur dalam bantal, dan tiba-tiba terkekeh. “Apa harus aku sendiri yang membaringkanmu?”
Merasa amat nelangsa, dengan enggan Rietta beringsut ke dalam selimut. Tidak seperti kali terakhir, Killian tidak memunggunginya. Pria itu menempatkan lengannya untuk menyangga kepala dengan tubuh menghadap Rietta, dan memandangi wanita itu tanpa bersuara. Mata Killian, tak bergerak karena lelah, memancarkan hawa gelap dan jahil. Ranjang ini lebih luas ketimbang ranjang yang ada di kuil, tapi tatapannya memenuhi ruang itu tanpa sisa, dan membuat ranjangnya terasa sempit.
Rietta nyaris membuat lubang di langit-langit dengan matanya, begitu malu sampai rasanya ingin mati saja, berbaring diam di sisi Killian. Waktu tidak pernah berjalan selambat ini, bahkan selama upacara pemberkatan agung. Waktu berjalan begitu lambat sampai-sampai Rietta berpikir bahwa dia lebih baik pingsan saja.
Sudah berapa lama waktu berlalu?
“Yang terjadi pada Anna….” Kesunyian rapuh yang seperti es itu pecah berkeping-keping ketika suara dingin itu bergumam. “Bukanlah kesalahanmu.”
Napas Rietta tersangkut mendengar pernyataan Killian yang tidak jelas asal muasalnya itu, dan dia pun mengerjap.
Suara Killian kering dan pecah karena kelelahan. Killian menggumam seakan sedang bicara pada dirinya sendiri. “Kerjamu bagus.”
Suara ini tak kedengaran seperti suara manusia namun lebih seperti bisikan angin. Suara ini mengalir jauh ke dalam dada Rietta. Ini bukanlah pernyataan yang megah. Namun hati Rietta melambung. Mendadak tenggorokan Rietta terasa menebal, dan dia kesulitan menelan. Dengan keras kepala dipelototinya langit-langit dan memaksa air matanya agar tidak mengalir, tapi dia tak sanggup lagi menahannya, maka dia pun mulai terisak dengan kepalan tangan ditekankan kuat-kuat ke matanya. Dia kira dirinya akan tampak sangat jelek kalau seperti itu, jadi dia pun berbalik memunggungi Killian. Tanpa suara sebuah tangan tak terlihat menyentuh bahunya dan perlahan, sangat perlahan, membelai punggungnya.
****
Apakah mereka berusaha untuk tidak menangis atau apakah mereka memang menangis. Atau apakah mereka berbaring atau duduk di sana. Apakah mereka merasa tenang atau apakah mereka ditenangkan. Di atas ranjang. Atau di atas kursi goyang. Atau di bawah cahaya rembulan. Orang-orang, kelelahan karena perjalanan panjang mereka, tertidur untuk pertama kalinya setelah beberapa hari ini. Bahkan jika tidak semua orang mengatakan segala yang ada dalam pikiran mereka, hanya bersama dengan satu sama lain dalam diam terasa menenangkan.
Bulan purnama pertama dalam dua belas tahun. Bulan yang tak berperasaan, tersia-sia hanya dalam beberapa hari, mencondong ke arah barat.