Like Wind on A Dry Branch - Chapter 33
“Apakah dia adalah Janda dari Sevitas yang didesas-desuskan itu?”
“Ya, saya rasa Anda sudah mendengarnya,” Killian menjawab tenang.
“Dia memang secantik yang mereka katakan.”
Killian bahkan tak mengiyakan kesan jelas yang dimiliki semua orang dan menjatuhkan dirinya ke sofa.
Sang Kepala Biara menambahkan, “Sayang sekali.”
Killian mendongak menatapnya, “Yang mana?”
“Bakatnya lebih hebat daripada sebagian besar pendeta, terlebih lagi kemampuan sucinya yang besar. Dan ditambah lagi, dia mampu melihat iblis…. Dengan pelatihan dan upaya yang seksama, saya yakin dia akan mampu menyembuhkan dan menyucikan dalam waktu singkat.”
“.…”
“Tentunya dia unggul ketika masih di biara. Kenapa dia tak menjadi pendeta?”
Killian menjawab dingin. “Biara Sevitas mensyaratkan ujian kemampuan saat lulus.”
“Kemampuan saya kurang.”
Jawaban tenang Rietta bergema dalam kepala Killian.
“Dia mengaku bahwa kegagalan dalam ujian ini menyebabkan dia menghentikan upayanya.”
Sebelumnya Killian telah beranggapan bahwa Rietta hanya kurang pintar, tapi…. Selama beberapa hari terakhir dirinya bersama Rietta, Killian juga berpikir bahwa wanita itu tampaknya berpendidikan, tidak seperti rakyat jelata biasa.
Bahkan jika mereka berkata bahwa kekuatan suci bisa dikembangkan lewat pelatihan, ada banyak pendeta yang hanya bisa memberkati untuk seumur hidup mereka. Kalau seseorang dengan kekuatan suci sebesar itu sampai gagal, siapa yang bisa menjadi pendeta di Sevitas? Sang Kepala Biara sepertinya membicarakan tentang hal itu.
“Saya rasa Anda telah menyuruhnya tinggal di Gedung Timur.” Sang Kepala Biara menyarankan dengan suara lirih.
Killian terkekeh. “Saya memang berniat begitu.”
Sang Kepala Biara adalah satu dari sedikit orang yang tahu rahasia tentang Gedung Timur. Killian mendukung anak-anak berbakat di biara dalam berbagai pelajaran mereka, dan gadis-gadis yang tampak menjanjikan dalam ilmu beladiri di bawa ke Gedung Barat dan dilatih untuk menjadi bagian dari pasukan khusus dengan kedok menjadi selir-selirnya. Ada banyak kesatria wanita dari Gedung Timur yang berasal dari Biara Axias. Lahir dan dibesarkan di Axias, sang Kepala Biara adalah rekan Killian selama tiga belas tahun Killian mengembangkan wilayah ini sembari menjadi penasihat dan tangan kanannya yang berbagi rahasia-rahasia dekat.
Killian telah memberitahunya apa yang terjadi di Kuil Havitas. Situasi yang berhubungan dengan wabah. Delegasi sang Permaisuri. Penemuan jenazah Kepala Pendeta di dalam kamarinnya. Kematian sang Uskup Agung. Malam upacara pemberkatan agung yang berkubang darah. Serta akhir dari kehidupan relijius di Kuil Havitas.
Sang Kepala Biara memejamkan matanya dengan pilu ketika mendengar cerita mengerikan ini. Untuk sesaat Beliau berdoa untuk saudara-saudara pendetanya, dirinya sendiri sebagai seorang pendeta, dan berkabung atas orang-orang yang telah tiada.
****
“Merupakan hal paling baik karena dia telah bertindak sebagai Kepala Pendeta selama upacara pemberkatan agung.”
Killian mengernyit kesal. Tak peduli apa pun yang mereka diskusikan, topiknya sepertinya selalu kembali pada Rietta.
Sang Kepala Biara membelai jenggotnya dengan penuh pemikiran dan meneruskan. “Aliran energi suci dari upacara itu sekarang sudah hilang, tapi tubuh mempertahankan ingatan akan pembengkakan energi sehebat itu. Dengan cukup perawatan dan pelatihan, bakat-bakatnya akan berkembang hingga taraf yang tak terbayangkan. Entah itu menyembuhkan atau menyucikan, dia akan jadi sangat berguna untuk Anda, Tuanku. Anda harus terus menempatkan dia di sisi Anda.”
“Saya akan memerhatikan kata-kata Anda. Sekarang mengenai urusan-urusan yang mendesak.”
Sang Kepala Biara merendahkan suaranya, tersenyum nakal. “Boleh saya bertanya satu hal lagi saja?”
Killian tidak suka dengan sikap tenang sang Kepala Biara yang aneh, tapi dia menyentakkan dagunya dengan kesal karena dia harus mengajukan banyak permintaan sulit kepada Beliau.
“Apakah dia adalah selir Anda yang sebenarnya?”
“Hanya sebagai kedok untuk urusan-urusan pemerintahan.”
Si pria tua tampak kecewa pada jawaban datar Killian. “Bukankah mereka semua begitu? Sepertinya hingga saat ini Anda tak punya satu pun yang sungguhan.”
Killian mengernyit. Sang Kepala Biara begitu santai, hampir seperti kalau pria tua itu tak sadar tentang seberapa mendesaknya situasi mereka. Killian bisa merasakan frustrasinya hampir menggelegak.
“Saya tak menyangka adanya kekecewaan sebesar itu atas kehidupan pribadi saya dari seorang pendeta.”
“Saya hanya mencemaskan karena Anda belum menikah, seperti halnya semua bawahan setia Anda.”
“Sementara saya, apa perlu mendengar pembicaraan mengenai urusan sepele macam itu ketika kastel sedang menghadapi kesedihan seperti ini,” Killian membalas masam.
Tak disangka-sangka sang Kepala Biara menyeringai. “Anda tak perlu mencemaskan soal wilayah barat.” Killian mengangkat sebelah alis. Sang Kepala Biara meneruskan, “Para calon pendeta kami yang sedang menanti kelulusan tahun ini cukup berbakat. Saya menantikan tambahan seorang pendeta penyembuh dan seorang pendeta penyuci.”
Mata Killian melebar. Para calon pendeta dari biara?
“Mereka telah diam-diam memasuki wilayah-wilayah terisolasi untuk merawat para pasien dari wilayah barat. Kita akan segera mendengar kabar dari mereka kalau mereka berhasil lolos tanpa ketahuan seperti yang telah mereka lakukan sebelumnya.”
Killian menatap tak percaya pada Beliau. “Mereka diam-diam memasuki wilayah yang diisolasi?”
Dia dan orang-orang yang punya wewenang untuk memberi perintah di wilayahnya, seperti Giselle dan Leonard, sedang tidak ada di tempat, jadi orang-orang yang tersisa tak bisa memanggil para pendeta dari luar ataupun melakukan apa-apa. Tentu saja, para kesatria yang menjaga area terisolasi tak bisa mengizinka para calon pendeta di bawah umur untuk memasuki area yang terkena wabah hingga Killian memerintahkannya.
“Kekuatan dari anak-anak muda yang penuh tekad selalu bisa menemukan jalannya.” Sang Kepala Biara tampak malu, namun wajahnya menampakkan kasih yang tak bisa terus Beliau sembunyikan. “Dan dengan kemampuan saya yang sudah semakin tua ini, saya ingin memberdayakan mereka begitu mereka kembali. Meski, saya memang cemas kalau pria-pria muda seperti mereka itu memasuki tempat seperti Gedung Timur. Saya tahu jelas mengenai perasaan Anda atas Gedung Timur, namun apakah Anda akan mengizinkan anak-anak lelaki naif ini memasuki kediaman selir-selir Anda?”
Ha. Killian menghembuskan napas keras-keras. Padahal dia mengira mereka akan harus menunggu para pendeta dari Kuil Alpheter tanpa bisa melakukan apa-apa selama seminggu lebih, hanya mampu meremas-remas tangan. Ini adalah secercah bantuan yang tak disangka-sangka.
“… Oh Dewa.” Killian mendesah tak percaya. “Saya mengaku bahwa saya belum meyakini dewa mana pun….” Dia tak bisa menahan diri untuk mengulas sebuah senyum yang tidak biasa untuk muncul di wajahnya. “Tapi saya memang percaya bahwa Anda mungkin adalah gambaran dari sesosok dewa di antara kami umat manusia.”
Biasanya, ketika sepuluh atau lebih orang terinfeksi wabah telah ditemukan, jumlah pasiennya akan berlipat ganda dalam waktu dua hari. Saat ini seharusnya sudah ada lebih dari lima ratus, namun malah berhenti pada angka hanya sekitar seratus delapan puluh. Ini bukanlah keberuntungan. Anak-anak itu telah menyelinap masuk dan membantu wilayah barat.
Sang Kepala Biara menyeringai. “Anak yang bisa menyembuhkan itu telah diselamatkan oleh tangan Anda dari medan perang delapan tahun yang lalu. Anak yang bisa menyucikan itu telah diselamatkan oleh tangan Anda dari gerombolan perampok lima tahun yang lalu.”
Wajah Killian membeku begitu mendengar anekdot yang tak disangka tersebut.
Wajah sang Kepala Biara berbinar dengan kekaguman.
“Tuanku, sayalah yang telah menyaksikan gambaran dari sesosok dewa di antara umat manusia.”
****
Giselle dan tabib telah mendudukkan Rietta dan sedang menceramahinya ketika Killian kembali ke kamar tidurnya. Jemari Rietta yang terluka masing-masing telah dibalut rapi dengan perban putih. Rietta setengah dipaksa untuk berbaring di ranjang Killian, namun dia merona dan buru-buru berusaha bangun ketika Killian masuk. Tapi dirinya dihentikan oleh pelototan Giselle.
“Jangan bangun.” Killian menyahut sambil lalu dan berpaling ke arah tabib. ‘Bagaimana kondisinya?”
Sang tabib menjawab bahwa Rietta mengalami dehidrasi, tapi tidak ada masalah penting dengan tubuhnya selain di bagian tangan dan lecet-lecet di lututnya. Akan tetapi, sang tabib menekankan perlunya nutrisi yang memadai dan banyak istirahat karena Rietta kelelahan secara umum telah menjadi lebih lemah.
Rietta, yang tak bisa ingat apa yang telah terjadi sebelumnya, tampak kewalahan pada minat berlebihan terhadap luka-luka kecilnya. Dia tak tahu kenapa mereka jadi begitu overprotektif.
Setelah sang tabib pergi, Giselle lanjut mengocehinya soal tetap tenang dan tidak melakukan apa-apa yang bisa membuat dirinya tertekan dan agar mengistirahatkan tubuhnya dengan benar.
“Sudah cukup. Kondisimu sendiri tidak jauh lebih baik, Giselle.” Killian menghentikan Giselle dengan suara lirih. “Yang lainnya sudah pergi tidur dan kau juga harus melakukannya. Kau hampir tidak tidur selama beberapa hari ini.”
Giselle dengan wajah kuyunya bangkit tanpa bersuara.
Bahkan meski Killian mengatakannya, mungkin tak seorang pun yang berpikir untuk tidur. Saat ini mungkin semua orang sudah tahu tentang kematian Anna. Kondisi Giselle tampak sangat buruk akibat kelelahan fisik dan mental.
Killian berkata, “… Aku sudah memanggil Kepala Biara. Sepertinya sang Kepala Biara dan para calon pendeta akan bisa membantu kita malam ini.”
Giselle dan Rietta sama-sama menatap Killian.
“Saat mereka tiba, akua kan meminta mereka membawa Anna keluar dari Gedung Timur. … Karena kita tak bisa membiarkan dia begitu saja di sana.”
Akan sangat tidak mengenakkan kalau melihat jenazah orang yang sudah mati, tapi….
Killian meneruskan, “Kalian takkan bisa pergi ke Gedung Timur. Tapi apa kalian mau menunggu di depan dengan kami?”
****
Mereka telah dikabari bahwa para calon pendeta dan calon kesatria yang telah menyelinap ke dalam area karantina sudah tertangkap oleh para kesatria patroli dan diseret pulang ke kastel. Sang Kepala Biara tersenyum tanpa daya dan mengangkat bahu. Killian mendesah pelan dan menyuruh mereka membawa kelompok anak-anak itu kepadanya.
Lima orang biarawan, dua calon pendeta, dan tiga orang calon kesatria, semuanya berusia antara lima belas hingga tujuh belas, dibawa masuk dengan kepala tertunduk, tampak malu.
Killian menatap mereka semua dari berbagai sudut. Para kesatria yang membawa mereka masuk telah memberitahu Killian secara singkat tentang tuntutan terhadap mereka, rute yang mereka pergunakan, serta metode-metode mereka. Akhirnya mereka tertangkap karena mereka tidak sepenuhnya menutupi jejak mereka dari penggunaan liang rubah yang sebelumnya.
“Liang rubah,” Killian mengulang tak percaya.
Sang kesatria menyenggol sisi tubuh para pemuda itu ketika kesunyian terjadi. Para pemuda itu, sudah bukan anak-anak lagi, mulai bergerak-gerak gelisah dan berkata, “Kami minta maaf, Tuan.”
Killian terkekeh dan menggosok dagunya. “Siapa yang mengajarkan itu pada kalian?”
Kesatria yang membawa mereka masuk berkata enggan, “… Kami tidak mengajari mereka cara menemukan liang rubah, Tuan.”
Calon kesatria yang tampak paling muda menggumam dengan bodohnya, “… Kalau bukan karena Dyana, kami takkan bisa keluar dari sana tanpa ketahuan.”
Kesatria yang membawa masuk calon kesatria yang bersungut-sungut itu menyodok bagian belakang kepalanya. Para kesatria Axias bergiliran melatih dan mendidik para calon kesatria biara, jadi mereka saling mengenal satu sama lain dengan baik. Itu jugalah sebabnya kenapa mereka bisa masuk ke dalam area karantina yaitu karena mereka mengenal strategi-strategi patroli para kesatria itu.
Killian memiringkan kepalanya dan mencibir. “Lumayan juga untuk seorang calon kesatria. Dan tampaknya aku akan harus memberikan lebih banyak cinta dan perhatian kepada para kesatriaku yang telah membiarkan mereka menyusup.”
Wajah-wajah para kesatria itu berubah kelabu begitu mendengar kata-kata Killian, merasa telah disalahi. “Tuanku, siapa yang bisa mengantisipasi adanya penyusup di sebuah wilayah yang penuh dengan korban wabah?”
“Harap pertimbangkan bagaimana kami telah berhasil menangkap mereka saat keluar!”
“Kami sudah berusaha sekuat tenaga dengan sumber daya sangat sedikit yang kami punya!”
Killian terkekeh. “Kalian banyak cakap ya untuk ukuran pria-pria terlatih yang telah disusupi oleh beberapa orang calon pendeta kecil.”
Para kesatria pun menutup mulut cemberut mereka rapat-rapat. Menatap para berandalan ini membuat Killian merasa agak lebih santai.
“Vetere.”
Killian memanggil Kepala Biara yang duduk di belakangnya, yang kemudian berdiri, mengangkat tongkatnya dan menyeringai sebagai tanggapan.
“Para calon pendeta boleh pergi menghadap Kepala Biara lebih dulu.”
Kedua calon pendeta itu menundukkan kepala mereka dengan bingung dan berjalan ke arah sang Kepala Biara.
Sementara sang Kepala Biara memberitahu mereka tentang tugas yang akan mereka lakukan dan informasi di sekitarnya, para calon kesatria yang telah membantu mereka menyusup ke dalam area karantina berdiri di hadapan sang Duke Agung Axias, kaku dan gugup. Hal ini tampak jelas hanya dari postur mereka saja. Mereka masih muda, tapi dasar mereka kokoh. Wajah-wajah muda yang gesit itu tampak begitu fokus.
“Sebutkan nama kalian.”
“Claudio, Yang Mulia!”
“Dyanna, Yang Mulia!”
“Lucian, yang Mulia!”
Ketiga pemuda itu menyerukan nama mereka berturut-turut. Kemudian mereka mengernyit dan saling memelototi satu sama lain. Para kesatria menggosok dahi mereka sendiri seakan sedang kesakitan.
“Aku mengerti.” Killian tertawa, satu sudut mulutnya terangkat. “Aku akan mengingat nama-nama itu.”
“Kehormatan bagi kami, Yang Mulia!”
Kali ini suara mereka begitu kompak. Wajah dua anak laki-laki dan satu anak perempuan itu berbinar dengan kebanggaan. Kalau semuanya berjalan dengan baik, kata-kata ‘kehormatan bagi kami’ ini segera akan menjadi ‘kami mencintai Anda’. Telah menyimpan pernyataan cinta mereka untuk di masa mendatang, Killian menaikkan pandangannya pada para kesatria dan menyeringai. “Sekarang, benahi mereka.”
Ketiga kesatria itu tersenyum lebar. “Serahkan kepada kami, Tuan.”
Axias punya masa depan yang cerah.
Para calon kesatria yang muram itu diseret keluar, dan segera dua orang calon pendeta berusia tujuh belas tahun pun dibuat berdiri di hadapan Killian. Killian menatap mereka.
“Nama kalian.”
Para calon pendeta itu hanya beberapa tahun lebih tua daripada para calon kesatria, tapi mereka menjawab pertanyaan itu dengan tenang secara bergiliran.
“Damien, Tuanku.”
“Colbryn, Tuanku.”
Killian mengangguk. “Baiklah, Damien dan Colbryn. Kepala Biara sudah bicara pada kalian berdua. Beliau telah memberitahuku bahwa kalian memiliki kemampuan suci yang hebat.”
Para calon pendeta muda itu menundukkan kepala mereka untuk menunjukkan sikap merendah.
Suasana langsung mendingin saat Killian berkata, “Apa kalian pernah melihat jenazah?”
Kedua pemuda itu mengangguk, agak gugup. “Pernah.”
Killian menyilangkan tangannya, sedikit menunduk. “Aku mengerti. Kalian berdua telah dengan berani masuk dan keluar dari area yang dikarantina akibat wabah.”
Para calon pendeta mendongak menatapnya tanpa bersuara, wajah mereka penuh hormat namun teguh.
Dengan tenang Killian meneruskan, “Ancaman wabah di dalam bangunan tertutup lebih besar, jauh lebih besar daripada di lahan terbuka di wilayah-wilayah terisolasi. Dan kami sudah kehilangan salah seorang dari antara kami karena wabah itu.”
“.…”
“Apa kalian siap untuk menghadapi bahaya semacam itu?”
Para calon pendeta itu menjawab tegas. “Ya, Tuan.”
“Kami sudah siap sejak lama.”
“Bagus sekali.” Sejenak berlalu, lalu Killian berkata, “… Kalau begitu aku akan membawa kalian pada Anna.”