Like Wind on A Dry Branch - Chapter 32
Rietta tak tahu mengapa dirinya berada di dalam kamar tidur Killian. Dia berpikir bahwa dirinya telah hilang kesadaran setelah melepaskan kecemasannya saat menyampaikan permintaan Gedung Timur untuk memanggil tabib.
Dengan canggung Rietta menjawab, “Saya baik-baik saja, Tuan.”
Mata merah menusuk yang memeriksa Rietta mengernyit tidak puas. Killian bertanya seraya mengamati Rietta dengan hawa tidak senang, “… Dan tanganmu?”
Rietta mendongak dan menatap bertanya-tanya pada wajah Killian, ingin tahu apa yang pria itu maksudkan, dan menyadari bahwa ujung-ujung jemarinya terasa berdenyut-denyut. “Oh.” Rietta mendapati ujung-ujung jemarinya berdarah dengan kuku-kukunya patah. Dia pun melepaskan bingkai pintu untuk menyembunyikan tangannya di belakang tubuh seakan merasa malu. Ujung-ujung jemarinya saling bergesekan.
“Sepertinya saya terluka ketika jatuh.”
Rietta hendak berkata lagi bahwa dirinya baik-baik saja, tapi kemudian dia menahan napas. Ini adalah jawaban yang tidak disukai Duke Agung. Pria itu berkata sudah muak mendengarnya. Dan ketika kini menatapnya, Killian memang tampak tidak senang. Dengan susah payah Rietta mengendalikan dirinya dan memaksa keluar jawaban yang tak terlalu jauh berbeda. “… Tidak terlalu sakit, Tuan.”
Killian menyadari bahwa Rietta tak bisa ingat saat dirinya kehilanga akal sehat. Apakah ini lebih baik? Killian mendesah dan bertanya pada wanita itu tentang apa yang tadi dikatakannya. “Dan apa yang ingin kau katakan?”
Tatapan Rietta beralih melewati bahu Killian. Pertama-tama Rietta menundukkan kepalanya seakan memohon pengertian, menguji situasi dengan pendeta tua yang sedang duduk di ruang kerja. Kemudian Killian ingat bahwa sang Kepala Biara ada di belakangnya, menyeka dahinya, dan mundur beberapa langkah.
Dia mengisyaratkan pada kursi di seberang sang Kepala Biara. “Duduk.”
Bagaimanapun juga, bagus kalau Rietta sudah kembali waras. Ada banyak yang perlu diperhatikan. Akan lebih baik jika mendiskusikannya bersama-sama, terutama dengan situasi di Gedung Timur.
Killian mengikuti Rietta dan menatap bisu wanita itu dari belakang. … Jadi, tampaknya Rietta tidak ingat. Dan wanita itu kelihatan sudah tenang kembali.
Diam-diam sang Kepala Biara mengangkat alis putihnya untuk menatap Killian. Mata Killian sepertinya tertuju sejenak terlalu lama pada Rietta. Tentu saja, wanita itu tak punya mata di bagian belakang kepalanya, jadi dia tak menyadarinya dan hanya berjalan dalam diam menuju tempat yang telah disuruh oleh Killian lalu berdiri di sana. Dan Rietta kembali menundukkan kepalanya, meminta maaf kepada sang Kepala Biara karena telah menyela percakapan mereka. Wanita cantik pirang itu tampak cukup elegan dan sedih, cocok dengan sempurna dengan selera Duke Agung Axias.
… Tetap saja, dia jauh lebih murah hati daripada biasanya. Apa wanita ini adalah seseorang yang sangat dia hargai sampai-sampai dia membuat pengecualian untuknya?
Killian bukanlah seseorang yang bisa membiarkan sikap lancang hanya karena dia suka dengan penampilan seorang wanita, jadi dengan mudah sang Kepala Biara menerka bahwa wanita ini adalah pemberi berkat yang pingsan itu takkan ada alasan lain bagi Killian untuk menyuruh duduk seorang wanita yang tidak dia kenal tepat di hadapannya saat ini juga.
… Walaupun memang patut diperhatikan bahwa wanita itu keluar dari kamar tidur sang Duke Agung.
Hanyalah setelah Killian duduk, Rietta baru duduk. Rietta menunggu karena dia tak berani bicara sebelum sang duke agung bicara. Kepala Biara Vetere tersenyum penuh kasih dan memperkenalkan dirinya sendiri sementara Rietta sedang menunggu.
“Pendeta Vetere memberi salam kepada Anda, Nyonya. Saya melayani sebagai kepala biara dari Kastel Axias.”
Rietta jelas tampak terlonjak pada pernyataan Beliau. “Dan saya memberi salam kepada Anda, Kepala Biara Vetere. Saya Rietta Tristi. Saya hanyalah seorang pemberi berkat dengan bakat rendahan.”
Sang Kepala Biara mengangguk dan tersenyum. “Halo, Saudariku.”
Rietta melambaikan tangannya dengan sikap merendah pada panggilan yang dipakai oleh para pendeta terhadap satu sama lain. “Saya bukan pendeta. Harap panggil dengan nama saya saja.”
Bahkan beberapa sebutan juga tidak cocok untuk Rietta. Menyebut ‘nyonya’ kepada seorang wanita yang terkenal sebagai janda muda sepertinya terlalu tragis dan menyebutnya ‘nona’ akan kedengaran seperti olokan. Dia juga tak bisa dipanggil ‘Nyonya Janda’. Untuk seseorang yang tak bisa disebut sebagai puan, atau nyonya, atau nona, Nyonya adalah pilihan paling aman dari semuanya, namun Rietta tampak terlalu muda untuk disebut dengan itu, dan sang Kepala Biara berhati-hati soal memanggil seorang wanita yang memiliki hubungan tidak jelas dengan Duke Agung Axias.
Memanggil Rietta ‘Pemberi Berkat Tristi’ rasanya seperti memasang batasan di antara dirinya sendiri sebagai pendeta dan orang-orang bukan pendeta yang memiliki kekuatan suci. Tak ada yang bisa dilakukan selain mengikuti apa yang wanita itu inginkan karena Rietta terlonjak ketika Beliau menyebutnya saudari, gelar yang Beliau pikir akan menjadi paling aman seraya masih mengekspresikan rasa hormat.
Tetap saja, sang Kepala Biara memiliki cukup pengalaman selama bertahun-tahun untuk menyesuaikan diri dengan sebagian besar situasi. Sang Kepala Biara tersenyum hangat, tampak baik hati. “Kalau begitu boleh saya panggil Anda Nona Tristi?”
“Rietta saja.”
Vetere menyeringai. “Baiklah. Nona Rietta. Apakah kebetulan Anda adalah orang yang menggunakan kekuatan suci di Gedung Timur?”
“Oh, ya. Ada iblis…. Saya telah memurnikannya.”
Apakah itu benar-benar pemurnian? Yang itu? Sang Kepala Biara sangat terkesan.
“Saya hanyalah seorang pemberi berkat dengan bakat rendahan.”
Wanita ini begitu merendah sampai-sampai hampir terasa seperti lelucon yang kasar. Beliau yakin bahwa jika wanita ini memang sekuat itu, dia pasti akan bisa menyembuhkan dan menyucikan.
Killian berkata, “Apa kita bisa mendengar tentang situasi di Gedung Timur lebih dulu? Kepala Biara adalah pendeta yang bisa menyembuhkan, jadi Beliau datang untuk membantu.”
Mendengar bahwa sang Kepala Biara adalah seorang pendeta penyembuh, Rietta terlonjak dengan alasan yang berbeda dari sebelumnya dan buru-buru mencondongkan diri ke depan. “Terima kasih, Kepala Biara Vetere. Saat ini Gedung Timur amat sangat membutuhkan penyembuhan. Ada tujuh passien. Dua orang sudah sakit selama lima hari, dan lima orang terkena kekuatan pertama iblis setelah memangsa kematian pertamanya. Kelima orang itu akan mulai menampakkan gejala-gejalanya dalam waktu satu hari.” Rietta buru-buru meneruskan. “Saya akan masuk bersama Anda dan memberitahu Anda lima orang mana saja yang butuh perawatan, tapi nama mereka adalah Celine, Helen, Chloe, Cheryl, dan Caren. Saya sudah memberitahu mereka sebelum saya pergi, jadi mereka juga akan mengetahuinya.”
Sang Kepala Biara mengangkat alisnya dan bertanya. “Kekuatan pertama? Bagaimana Anda yakin dengan hal itu? Apakah Anda ada di sana ketika iblisnya lahir?”
Wajah Rietta sedikit berkerut seakan sedang mengingat kenangan yang menyakitkan. Saat-saat ketika iblis wabah lahir. Tanpa melalui kondisi koma. Anna, yang mati sebelum mereka bisa bersiap untuk melepaskannya….
“Ya…. Saya ada di sana.”
Sang Kepala Biara menatapnya, sedikit menegang. “Apa Anda baik-baik saja, Nona Rietta? Boleh saya memeriksa Anda untuk melihat apakah iblis telah menempelkan dirinya pada Anda?”
Merupakan hal lazim jika orang-orang yang berada dekat dengan serangan pertama iblis terluka. Tak ada kepastian dirinya aman dari wabah.
Rietta menggelengkan kepalanya. “Saya baik-baik saja. Saya bisa melihat iblis.” Dia menambahkan setelah terdiam sejenak. “Iblisnya tidak menyerang saya dan saya masuk setelah memberkati diri saya sendiri, jadi saya takkan terjangkit wabah.”
Sang Kepala Biara agak terkejut ketika mendengar kalau Rietta bisa melihat iblis dan mengangguk seakan dirinya mengerti. Jadi itulah sebabnya kenapa dia bisa tahu dengan begitu jelas siapa saja yang telah diserang oleh iblis. Ini merupakan hasil sangat bagus karena hanya lima orang yang terkena serangan pertama yang ditunjukkan oleh iblis yang baru lahir setelah seseorang meninggal. Tampaknya pemurniannya telah dilakukan dengan baik.
Dan bahwa wanita ini bisa melihat iblis…. Ini benar-benar sebuah kemampuan yang langka. Sebagian besar orang yang punya kekuatan suci melebihi pemurnian mampu merasakan energi iblis dari menyentuh kulit seseorang. Namun melihatnya dengan mata telanjang adalah kemampuan bawaan. Sudah merupakan kepastian jika seseorang seperti ini menjadi pendeta tingkat tinggi di kuil mana pun, dan sudah cukup bahkan jika ingin mencoba menjadi pendeta sang Kaisar. Bagaimana bisa orang semacam ini hanya menjadi pemberi berkat? Dia bisa menjadi seorang pendeta yang sangat terkenal.
“Apa yang terjadi pada iblis itu? Apa secara kebetulan Anda telah mengusir iblis yang baru lahir itu dengan pemurnian yang Anda kerahkan pada saat itu?” Sang Kepala Biara mengklarifikasi perkataan Killian yang belum bisa dipastikannya.
“Ya. Iblis itu telah dipaksa kembali ke neraka. Satu-satunya yang tersisa hanyalah wabahnya. Tak ada iblis yang menempel pada tubuh orang-orang lainnya kecuali pada korban pertama. Tapi seperti yang Anda ketahui, iblis wabah tertarik pada wabah, jadi kalau kita menunda….”
“Anda berkata bahwa iblis-iblis lain bisa datang dan menempelkan diri mereka.” Sang Kepala Biara mengangguk dan tersenyum untuk menenangkan wanita yang cemas itu. “Saya mengerti. Tapi menilik pada pemurnian yang telah Anda berikan, saya rasa takkan ada iblis mana pun yang akan mampu mendekat selama beberapa waktu. Jadi tak usah terlalu cemas. Saya akan masuk dan merawat mereka yang telah Anda sebutkan.”
Wajah Rietta merileks, dan dia menundukkan kepalanya, menekankan tangannya ke dada. “Terima kasih…. Sungguh, terima kasih.”
Sang Kepala Biara berpikir bahwa cara bicara Rietta entah kenapa agak ganjil. “Tapi, Nona Rietta, Anda tidak menyembuhkan atau menyucikan…?”
“Oh, saya hanya tahu cara memurnikan. Saya tak bisa menyembuhkan atau menyucikan.”
Sang Kepala Biara tampak terperanjat. Ini adalah keanehan yang Beliau rasakan dari percakapan mereka. Rietta tak mampu menyembuhkan. Ataupun menyucikan. Jadi itulah sebabnya kenapa wanita ini begitu mati-matian meminta bantuan.
Sang Kepala Biara buru-buru menenangkan dirinya sendiri. “Oh astaga! Saya kira Anda akan tahu cara menyembuhkan. Saya akan membantu memeriksa tangan Anda.”
Sang Kepala Biara mengulurkan tangan ke arah Rietta. Pada saat itu juga, Rietta melompat mundur dengan syok.
“Ah.”
Dia melompat sedemikian rupa sampai-sampai sang Kepala Biara merasa direndahkan.
Mata Rietta bergetar karena malu dan takut pada apa yang mungkin terjadi. Sebelum sang Kepala Biara bisa segera minta maaf karena telah meraih tangannya, Rietta buru-buru berkata, “Sa-saya baik-baik saja. Kuku-kuku saya rusak, jadi jika saat ini saya menerima sihir penyembuhan, kuku saya takkan bisa menempel kembali. Saya akan membungkusnya erat-erat dan menerima penyembuhan nanti saja.”
Vetere menarik kembali tangannya dan tersenyum. “Ah, begitu ya. Saya mengerti. Silakan minta ketika Anda membutuhkannya.”
Rietta ikut mengangguk dan balas tersenyum. Dengan cepat Rietta kembali mendapatkan kedamaian, namun Killian juga merasakan ada sesuatu yang aneh. Dia memandangi tangan dan wajah pucat Rietta dari atas ke bawah.
Tampaknya urusan-urusan mendesak sudah didiskusikan. Killian mengesampingkan setitik kecurigaan itu dan menanyakan tentang apa yang tadi telah Rietta katakan. “Dan bagaimana menurutmu tentang pemakaman Anna?”
Rietta meragu sementara Killian dan sang Kepala Biara menatapnya.
“Saya tahu bahwa mengkremasi orang yang meninggal karena wabah adalah cara terbaik. Tapi jika kita terus-terusan memurnikannya, maka pemakaman biasa bisa dijalankan tanpa bahaya apa pun…. Itu….” Rietta menggigit bibirnya dan memelintir-melintirkan jemarinya pada roknya. “Saya akan tetap tinggal di sisi Anna jika Anda mengizinkan. Jadi….” Rietta menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Apakah tak mungkin kita bisa menguburkan dia alih-alih mengkremasinya?”
Killian menatap tenang pada Rietta. Dia kemudian mengangguk pelan dan memberikan izin. “Kita akan melakukannya.”
Sang Kepala Biara menatap keheranan pada sang Duke Agung Axias, pria yang hari ini telah berkali-kali mengejutkan Beliau.
“Apakah ada alasannya?” Jika ini adalah Killian yang normal, dia akan bertanya sebabnya terlebih dahulu. Tapi yang ini malah memberikan izinnya terlebih dahulu.
Ada batasan tentang sejauh apa Rietta bisa membantu sebagai orang yang memiliki kekuatan suci jika dia tak mampu menyembuhkan dan menyucikan, namun kekuatan pemurniannya sangat hebat. Tidaklah efisien untuk membiarkan pemberi berkat yang langka untuk tetap tinggal bersama orang mati dalam kondisi darurat selama berhari-hari ini. Sang Duke Agung bukanlah jenis orang yang akan mengizinkan terlebih dahulu tanpa mendengar alasannya, bahkan meski dalam hati telah memutuskannya. Sang duke agung yang telah menakhlukkan wilayah besar dan keras di bawah kakinya ini adalah seseorang yang bertindak dengan cara yang takkan membuat dirinya tampak lemah.
Namun Rietta tak bisa langsung menjawab Killian, dan mulutnya menutup rapat. Dia belum mempersiapkan alasan rasional untuk meyakinkan sang Duke. Dia langsung melompat turun dari ranjang dan berlari begitu dia bangun dan mendengar kata-kata yang ditolaknya secara instingtif.
Rasanya seakan jika mereka melakukannya dengan cara kremasi, maka akan terasa seperti kalau wabahnya memang ada di tanah ini. Seperti Sevitas. Axias juga. Orang-orang yang ceria dan ramah, jalanan yang sarat dengan kehidupan, udara yang menyegarkan. Wilayah yang menakjubkan ini…. Rasanya seolah akan dengan cepat berubah menjadi gersang seperti Sevitas. Sevitas baik-baik saja untuk ditinggali sebelum wabah melanda. Tapi semuanya berubah setelah wabah menyerang. Orang-orang kehilangan ketenangan pikiran dan mengunci pintu mereka, dan para tetangga serta teman yang baik hati pun satu persatu berhenti mendatangi rumahnya setelah suaminya meninggal akibat wabah. Dan dalam kondisi terisolasi di mana tak ada seorang pun yang mengulurkan tangan…. Semua mimpi buruknya dimulai.
Tapi hal itu tak bisa menjadi alasan. Dengan raut hampa Rietta menggerakkan sedikit bibirnya.
“Kalau Anna punya keluarga.”
Rietta tak bisa meneruskan, dia terdiam ketika merasakan emosi-emosi dalam dirinya. Kalau Anna punya keluarga…. Mereka takkan ingin melakukan kremasi, kan? Ini sudah kelewat batas. Ini cuma alasan. Bagaimana bisa Rietta mengatakan hal itu dengan yakin?
Rietta juga mengetahuinya. Bukan karena itu dia tak menginginkan kremasi.
“.…”
Darah terkuras dari wajah Rietta ketika dia teringat kembali pada kenangan mengerikan itu. Tangannya mulai terasa kaku.
Killian mengenali perubahan kecil pada ekspresi Rietta saat wanita itu tak sanggup bicara, dan dia pun memecah keheningan. “Yah. Akan bagus kalau ada makam yang bisa dikunjungi oleh para wanita di Gedung Timur.”
Kepala Rietta mendongak.
Killian menatap ke arah lain saat dia meneruskan. “Tabibnya sudah datang. Rietta.” Killian menyentakkan dagunya ke arah kamar tidur. “Kembalilah ke kamarmu dan biarkan tabib memeriksamu. Aku akan membereskan semuanya dengan Kepala Biara.”