Like Wind on A Dry Branch - Chapter 26
Begitu kerumunan besar mayat hidup menghilang dari depannya, Elise memutar tubuhnya dan mengayunkan pedangnya pada si iblis, si uskup agung.
Bang!
“Kiaaah! Kiaah! Kiaaahk!”
Iblis yang terluka merintih dan memekik. Kulitnya yang seperti besi melesak.
Berhasil!
Begitu dia mundur untuk mengayunkan pedangnya lagi, Killian berseru, tangan terulur.
“Lemparkan padaku!”
Elise tetap menekuk lengannya ke belakang dan hanya mengubah arah, melemparkannya ke arah Killian dengan satu ayunan penuh. Killian menyambar pedang itu, melemparkannya ke udara seperti sebuah peluru ganjil raksasa, seakan dia sedang menyambar anak panah di udara, lalu memasukkan energi yang luar biasa besar ke dalam pedang yang terbang itu.
Bagus sekali, dia harus menyuruh Eron mencarikan satu yang seperti ini untuknya sendiri. Killian berpikir santai seraya melompat dan mengayunkan pedang itu ke bawah dalam bentuk sabit lagi, menghujam turun. Tak bisa dipercaya, kepala si iblis terbelah jadi dua.
Lolongan mengerikan mengguncang bumi. Satu-satunya mata si monster yang tersisa, berputar dalam lubangnya, meredup, dan asap hitam dari tubuhnya mulai memudar. Kulit hitam si iblis mulai retak-retak dan berjatuhan serta menjadi debu yang dibasuh bersih oleh hujan.
Ketika tubuh si uskup agung roboh ke tanah, iblis telah memudar darinya, pertarungan semua orang pun berakhir.
Kemudian perlahan, hujan pun berubah menjadi kabut ringan, dan langit timur menjadi lebih terang. Mata orang-orang yang selamat semua berpaling pada Rietta, yang sedang berdiri di bawah air suci pada air mancur, berdoa. Orang-orang kemudian menghembuskan napas. Ada orang-orang yang mengulas senyum lega.
Sejenak, ekspresi Killian berubah. Dia berlari ke arah air mancur dan meraih tangan Rietta. Rietta sedang larut dalam doanya dan matanya yang tampak menerawang mendongak menatap Killian. Irisnya berubah dalam warna yang aneh.
Killian mengangkat tangannya ke wajah Rietta dengan perasaan tak percaya. Ujung-ujung jemari Killian menyapu telinga Rietta. Jemarinya menyentuh darah lengket yang bahkan tak bisa dibersihkan oleh air hujan.
Dengan pikiran kosong Rietta mengangkat sebelah tangan ke telinganya setelah melihat darah di tangan Killian dan menyentuh sendiri telinganya. Darah mengalir keluar dari telinganya dan menetes-netes dari dagunya. Pandangannya mengabur, dan kepalanya serasa berputar.
“Rietta!”
Rietta bisa mendengar seseorang memanggil dirinya dari kejauhan. Suatu perasaan yang familier, namun aneh menarik turun tubuhnya yang berat.
****
Sang Permaisuri menggumam dengan wajah lelah. “Andai saja Dewi Pemberi Maaf menunjukkan dirinya sendiri kepada Killian…. Bisakah Beliau menghentikan Killian membunuh William dan Salerion?”
Sang Permaisuri menatap sekeliling dan menyadari.
“Ah. Uskup Agung tak mampu menjawab pertanyaan ini, karena dia sudah mati.”
Sang Permaisuri menatap belati iblis di tangannya, belati yang di dalamnya tersegel sesosok iblis. Kini benda itu adalah belati biasa tanpa kekuatan apa pun. Sang Permaisuri menatap belati yang berlumur darah sang Uskup Agung lalu melemparkannya keluar dari jendela menara lonceng dengan raut wajah bosan.
Sang Dewi belum turun di hadapan Killian. Dan sang Dewi belum muncul di hadapanku. Kalau sang Dewi memiliki pikiran untuk memberi maaf kepada seseorang, maka Beliau akan sudah berada di sini.
“Maka hanya bisa diartikan bahwa para Dewa belum menginginkan aku memaafkan dia. Jelas ini berarti bahwa aku harus melanjutkan pembalasan dendamku.”
Itu adalah pesan dari yang di atas, untuk jangan memaafkan dulu. Untuk jangan berhenti membalas dendam dulu.
“Jadi…. Berilah aku kekuatan. Wajah Dewi Pembalasan Dendam.”
Dia masih bisa melanjutkan perjalanan yang membosankan ini. Entah bagaimana, Killian dan dirinnya mungkin merupakan orang-orang yang takdirnya telah dihapuskan, agar mereka bermusuhan selamanya.
Sang Permaisuri berdiri dan berjalan selangkah diatas anak-anak tangga berlumur darah, tapi kemudian berhenti. Dia kembali berjongkok di atas anak tangga, lalu melepaskan sepatunya, menjinjingnya dengan satu tangan. Dia pun mulai kembali menuruni anak-anak tangga dengan bertelanjang kaki, menggumamkan nada pendek dengan kekanakan.
“Ah… Uskup Agung.” Permaisuri Aversati tertawa dalam kikikan kekanakan. “Andai saja kau bisa menghentikan upacaramu di sana, kita takkan perlu sampai sejauh ini.”
Sisa-sisa terakhir dari kekehan seorang wanita elegan pun menghilang. Hanya jejak-jejak kaki berlumur darah pada anak-anak tangga berputar menara lonceng yang tersisa.
****
Pembantaian yang baru pertama kali ini terjadi di Kuil Havitas membuat orang-orang terperanjat. Kuil dalam kondisi yang begitu kacau, sampai-sampai kehilangan fungsinya sebagai tempat suci. Mereka berusaha membungkusnya dalam sebuah kisah haru tentang bagaimana kelompok Duke Agung Axias dan para kesatrianya telah menyelamatkan rakyat dan mengevakuasi mereka, juga sang penyihir jelita, yang menjadi pendeta tinggi pada upacara pemberkatan agung, telah memurnikan kuil dan mengusir iblis, namun….
Sang uskup agung tewas pada upacara pemberkatan agung itu. Para pendeta kuil mengamuk sebagai mayat hidup. Jenazah sang uskup agung diambil alih oleh iblis dan menyebabkan kematian banyak orang. Ini adalah sesuatu yang tak boleh sampai terjadi.
Orang-orang yang telah melalui neraka dan berhasil lolos darinya sudah menyaksikan wujud mengerikan sang uskup agung. Satu-satunya orang yang melihat Rietta memurnikan kuil dan mengusir iblis serta aksi-aksi para pendamping Killian adalah beberapa orang pendeta yang selamat sampai akhir serta delegasi Lectus Eustio. Teror dari pembantaian, yang akan berlangsung selamanya dalam batin rakyat sebagai mimpi buruk yang tak terlupakan, akan menggantikan ketenaran Kuil Havitas.
“… Kuil Havitas sudah berakhir sebagai kuil.”
“Aku tahu, mengapa Permaisuri harus terlibat?”
“Apa kata Permaisuri?”
Leonard menjawab pertanyaan Killian dengan raut wajah tidak puas. “Yang Mulia Permaisuri…. Rupanya telah kehilangan kesadaran setelah lonceng berdentang, ketika sang Uskup Agung katanya menyerang dirinya….”
“Lancang sekali!”
“Penistaan!”
Para kesatria menjadi marah dan mulai ribut.
“Apa dia bahkan terluka dalam penyerangan yang diragukan kebenarannya ini?”
“Memangnya itu jadi masalah ketika tak terhitung banyaknya nyawa telah melayang?”
“Ini bukan masalah yang bisa diabaikan, Yang Mulia. Anda harus menemui Kaisar!”
“Kita seharusnya mencabut nyawanya dengan tangan kita sendiri! Bukan dia satu-satunya orang yang bisa pura-pura tak bersalah!”
Kekacauan meledak di depan Killian ketika para kesatrianya saling bertukar kata-kata kasar tentang keluarga kekaisaran tanpa kenal takut. Killian mengernyit dan melambaikan tangannya, mengisyaratkan mereka agar berhenti.
“Dan di mana Permaisuri sekarang?”
Leonar angkat bicara namun tampak seperti tak ingin melakukannya. “Akibat gucangan batin besar yang dia alami, kereta Permaisuri berangkat pagi-pagi sekali menuju istana kekaisaran untuk memulihkan diri.”
****
“Saat ini aku juga tak mengharapkan banyak.” Permaisuri menjulurkan kakinya yang terasa kaku. “Setiap kali William mengungkapkan muslihat-muslihat hebatnya padaku, aku selalu diyakinkan bahwa rencana-rencana itu takkan gagal. Tapi aku sudah tak sanggup lagi menanggung kelakuan semacam itu.”
Sepatu yang dia letakkan di sudut kereta terguling oleh ibu jari kakinya. Sang Permaisuri menggumam seraya menatap sepatu berlumur darah itu. “Ini adalah sepatu kesukaanku…. Sungguh disayangkan kalau membuangnya setelah dipakai sekali….” Sungguh disayangkan kalau membuangnya setelah baru dipakai sekali.
Sang Permaisuri menyenggol sepatu-sepatu itu dengan kaki untuk menegakannya. Namun alih-alih kembali berdiri, sepatu-sepatu itu malah terguling lebih jauh lagi.
Dia tak bisa mengingat nama dari wanita muda cantik itu…. Janda dari Sevitas. Seorang penyihir besar?
Sang Permaisuri tampak bosan lagi.
“Dia selalu punya keberuntungan yang bagus dengan sekutu-sekutunya.”
Sang Permaisuri berpaling ke arah jendela, meletakkan sikunya pada ambang jendela, dan menyandarkan dagunya ke tangan.
“Aih…. Betapa membosankannya…. Hal yang kita sebut hidup ini.”
****
Orang-orang Killian mendengar bahwa Lectus Eustio dan delegasi Kaisar yang lainnya akan pergi. Lectus Eustio, setelah selesai mempersiapkan keberangkatannya, telah datang ke kediaman mereka untuk berpamitan. Killian dan beberapa orang kesatrianya mengawal mereka ke gerbang kuil yang terbengkalai itu.
“Saya berterima kasih sekali atas bantuan Anda, Duke Agung.”
“Kepergian yang lebih awal.”
“Ya, Yang Mulia. Ada banyak hal yang harus saya laporkan kepada Baginda Kaisar dan saya harus melakukannya sendiri. Kuil Havitas mungkin takkan menjadi kuil lagi, namun saya mempertimbangkan untuk meminta Bantuan Beliau dalam mengurus semua yang terjadi setelah insiden ini.”
“Baiklah.”
Lectus Eustio berniat pergi ke istana. Sang Permaisuri mungkin akan tiba lebih dulu. Membunuh Uskup Agung, dan membuat kuil ini, satu dari hanya tiga kuil agung yang ada di Kekaisaran, berada dalam kondisi seperti ini…. Kali ini, Permaisuri sudah keterlaluan.
Namun, meski demikian, tak ada bukti bahwa orang yang ada di belakang semua ini adalah sang Permaisuri. Kalau saja mereka tak mampu melindungi Lectus Eustio dan pendeta-pendeta yang tersisa, mereka mungkin disalahkan atas seluruh insiden ini. Bukti yang jelas dibutuhkan untuk menjatuhkan wanita paling kuat di Kekaisaran ini.
Lectus Eustio adalah seorang hakim yang adil. Killian ingat padanya, bahkan meski dia pura-pura tak tahu. Ketika sang Kaisar mencari orang-orang yang bisa membela dirinya ketika dia praktis tak bisa berjalan keluar dari istana, Lectus adalah hakim yang dipandang sangat tinggi oleh sang Kaisar. Lectus Eustio adalah orang yang adil dan tidak berkompromi terhadap semua bukti yang diberikan. Namun dia seharusnya memiliki penilaiannya sendiri.
Killian berkata singkat, “Sampaikan salamku kepada Kaisar. Dan kepada Permaisuri.”
“Saya akan menyampaikannya, Yang Mulia. Dan sebelum saya lupa….” Lectus Eustio mengulurkan surat yang dicap dengan segel Permaisuri. “Yang Mulia Permaisuri telah meninggalkan pesan untuk Yang Mulia.”
Giselle, yang berdiri di belakang Killian, melangkah maju dan menerimanya.
Lectus berkata dengan tenang. “Tidak ada racunnya.”
Giselle menyeringai. “Tugas saya adalah menjalankan protokol kami sendiri, Tuan.”
Lectus Eustio menatap Giselle dan berkata, “Dan protokol mendekritkan bahwa Yang Mulia hanya boleh ditemani oleh tidak lebih dari dua belas orang kesatria bersenjata.”
Giselle menutup mulutnya rapat-rapat begitu mendengar kritik tenang dari Lectus. Killian menelengkan kepalanya ke samping dengan santai dan tertawa.
“Apa Anda juga akan melaporkan ini kepada Baginda?”
Lectus menundukkan kepalanya mendengar pertanyaan Killian dan menjawab, “Itu akan menjadi tugas saya.”
Leonard yang terengah-engah menyela dengan hati-hati. “Tapi nona-nona dari Gedung Timur adalah rahasia yang paling tersembunyi dari Kastel Axias.”
Giselle menyodokkan tangannya ke sisi tubuh Leonard. Leonard menyeru dan memegangi rusuknya.
Giselle melirihkan suaranya, mempertahankan senyumannya, dan berkata dari sela-sela gigi, “Tidak lagi, berkat lidah lemasmu itu.”
Lectus Eustio menjawab tanpa perubahan ekspresi apa pun. “Tapi saya hanya menyaksikan adanya tiga orang kesatria wanita, dan saya menyatakan rasa terima kasih saya yang mendalam kepada Kesatria Seira atas bantuannya.”
Seira tersenyum, merona dan mengangkat bahu. “Kalau begitu boleh saya menyarankan agar Anda menghilangkan panggilan kesatria itu sebagai tanda terima kasih Anda?”
“Seperti yang Anda inginkan, Nona Seira. Terima kasih juga kepada nona-nona yang lain atas keahlian mereka yang luar biasa dalam mengayunkan senjata. Saya tak menyangka akan menyaksikan hal-hal semacam itu, namun saya merasa luar biasa kagum.”
Sejenak, seulas senyum samar muncul di wajah Lectus Eustio sebelum kemudian menghilang. Giselle memicingkan matanya pada komentar ganjil itu.
“Sekarang saya harus berangkat untuk menyampaikan pesan saya. Semoga perjalanan Anda seterusnya senantiasa aman.”
Killian menjawab tenang. “Selamat tinggal.”
Lectus Eustio dan para kesatria pengawalnya pun pergi. Giselle dan Leonard, menyaksikan mereka pergi, berbalik saling berhadapan, lalu Leonard bertanya, “Apa dia tahu?”
Jawabannya tidak datang dari Giselle melainkan dari Killian. “Jadi dia tahu.”
Killian menatap santai pada Giselle. “Apa isi pesannya?”
Giselle buru-buru mengamati surat itu dan membuka segelnya. Bacanya, “Duke Agung, saya merasa sangat berduka atas kejadian di Kuil Havitas. Mengetahui Anda tidak terluka membuat saya merasa sangat tenang. Saya menyesali karena tak bisa berpamitan pada Anda sebelum saya pergi, tapi saya akan menyampaikan salam Anda kepada sang Kaisar. Saya mendoakan semoga Anda pulang dengan selamat ke Axias. Semoga tanah Anda penuh dengan kedamaian. Permaisuri Aversati.”
Giselle menyerahkan surat itu ketika Killian mengulurkan tangannya. Killian kembali menyapukan pandangannya pada surat tersebut. Ini adalah surat yang normal. Namun ada sesuatu yang terasa ganjil baginya.
“Dan Rietta?”
“Dia masih tertidur nyenyak. Rachel sedang menjaganya, tapi apa saya harus ke sana dan memeriksa keadaannya?”
Tepat pada saat itulah, mereka melihat iring-iringan kereta mendaki jalur gunung dan menuju ke arah gerbang. Iring-iringan itu adalah delegasi dan pendeta sang Permaisuri, semuanya tampak dalam kondisi sangat buruk karena kelelahan. Dan juga hadiah-hadiah untuk Permaisuri dari Axias.
Delegasi itu mengenali orang-orang Duke Agung Axias dan berhenti di depan mereka. Vilhelm yang tampak kuyu melangkah keluar dari kereta dan membungkuk memberi hormat.
“Astaga, mereka pasti adalah cheetah atau semacamnya.”
Killian terkekeh mendengar apa yang digumamkan diam-diam oleh salah seorang kesatrianya.
“Yah, itu cepat juga.”
“Sa-saya minta maaf, Tuan. Apakah upacaranya berjalan dengan baik….”
Killian berkacak pinggang dan memalingkan kepalanya.
“Yang Mulia Permaisuri sudah pergi. Kalian pasti ingin istirahat, tapi Vilhelm, sepertinya kau akan harus pergi ke istana kekaisaran sekarang juga.”
“Tuan?” Vincent bertanya lagi dengan wajah melongo.
Killian mengabaikannya dan menambahkan, “Para pendeta harus meneguhkan diri mereka sendiri. Telah terjadi sesuatu di kuil.”
“Tuan?”
Kali ini, para pendeta itu tampak kebingungan. Killian berpaling, tak menambahkan apa-apa lagi.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan Rietta untuk sembuh? Tubuhnya lumayan terbebani di beberapa tempat. Kalau memungkinkan, Killian ingin membawa Rietta pergi setelah wanita itu membaik.
Tepat pada saat itulah, suara Leonard menghentikan pemikirannya. “Eh…. Saya yakin saya melihat seorang kesatria dari Axias sedang menuju kemari!”
Mereka semua mendongak melihat pembawa panji di atas seekor kuda sedang berderap turun dari jalan gunung. Kain hitam dan merah di atas pelana, serta pinggiran emas jelas membuktikan bahwa yang ini adalah salah satu dari kesatria Axias. Si pembawa panji itu sedang mencongklang menyusuri jalan gunung, memaksa kudanya untuk terus maju. Ketika si kesatria semakin mendekat, identitas pembawa panji itu pun menjadi lebih jelas.
“Sepertinya itu Vector, kan?”
“Kau benar. Kuda abu-abu itu. Itu Falcon.”
Kelompok Killan berdiri di tempat dan menunggu. Kesatria tercepat dari kelompok kesatria Axias, dan kebetulan juga adalah orang yang menjadi pembawa pesan, mendekat dengan cepat. Si pembawa panji memelesat melewati gerbang, melompat turun dari kudanya seperti terjatuh, lalu jatuh berlutut di kaki Killian. Falcon, sisi-sisi tubuhnya berlumur keringat, meringkik penuh semangat dan Leonard pun meraih tali kekangnya, menenangkan hewan itu.
“Haa, haa… Tu… Tuanku Duke Agung, Ya-Yang Mulia… Haa… Kesatria, Vector….”
“Tak perlu. Langsung katakan saja tujuanmu.” Secara instingtif Killian merasa kalau ini bukanlah kabar kecil dan langsung menanyakannya.
Vector merintih seakan sedang memuntahkan darah. “Wabah sedang menyerang Axias!”
Seperti ada petir menyambar di siang bolong. Wajah-wajah terkejut orang-orang memutih seketika.
Killian meremas surat di tangannya.
‘Semoga tanah Anda penuh dengan kedamaian.’
Rasanya seakan darahnya membeku.
“Di mana tepatnya? Dan seberat apa?” Giselle segera menekankan.
“Lebih dari 80 orang penduduk desa di bagian barat kastel telah jatuh sakit…. Dan tiga orang nona dari Gedung Timur Kastel Axias!”
“Gedung Timur?”
Wajah-wajah mereka berubah dari putih menjadi biru karena syok.
“Si-siapa?” Sebuah suara terdengar dari suatu tempat di luar. Orang-orang pun berbalik.
Rietta yang sepucat hantu sedang berdiri di sana, dipapah oleh Rachel. Rietta adalah orang yang bertanggungjawab memberkati Gedung Timur.
“Siapa orang di Gedung Timur yang terkena wabah?”
Rietta terus mendesak meminta jawaban dengan suara gemetaran.
Apakah mereka tertular dari tempat yang tidak mendapat cukup berkat? Andai… Andai aku juga memberkati Irene secara penuh, maka mungkinkah hal ini takkan terjadi? Karena hatiku tidak menyukai dia atas apa yang telah Irene katakan. Karena ketulusanku dalam memberi berkat tidak cukup. Mungkinkah itu sebabnya aku tak mampu menghentikan ini?
Rasanya berjam-jam telah lewat sebelum Vector bicara.
“Nona Charlotte, Nona Deborah, dan Nona Kecil Anna.”
Ekspresi para wanita pun membeku.