Like Wind on A Dry Branch - Chapter 25
Sang uskup Agung bergerak selangkah ke belakang dan mundur dari pertarungannya melawan Killian, dan para mayat hidup yang berkerumun di sekitar mereka pun berlari ke arah Killian seakan sedang melindungi sang Uskup Agung. Killian menghindari mayat hidup pertama yang sampai ke dekatnya, menghujamkan pedangnya pada leher makhluk itu, dan berlari melewatinya. Dia memancang yang berikutnya dengan pedangnya ke sebuah pilar yang ada di altar. Dia lalu berayun untuk menghantam mayat hidup yang mendekat dari samping, dengan mayat hidup kedua masih meronta-ronta di pedangnya, lalu menendang mayat hidup yang mencakari pergelangan kakinya.
Mayat hidup berlari masuk dengan kecepatan luar biasa namun Killian membantai mayat hidup itu dengan penuh tepat waktu, bahkan tanpa berkedip. Ketika si mayat hidup ternyata bukan tandingan Killian, si uskup agung menerkam marah ke arah Killian, namuun Killian tak memedulikannya, dan memotong ke sisi tubuh si uskup agung. Bagian dalam lukanya berwarna merah, seperti lava. Ini adalah tubuh iblis.
Energi biru menghujam si uskup agung, yang mundur dan mengangkat tongkatnya. Si uskup agung meraung marah, mengayunkan tongkatnya, dan menangkis energi tersebut. Energi yang tak bisa dia tangkis menghantam altar, memecahkan pualamnya. Si uskup agung mengayunkan tongkat dan menyerang Killian dengan energi iblis, namun perisai biru Lana menyebar di udara dan menghadang serangan iblis itu.
Si uskup agung yang marah mengangkat tongkatnya. Tangan kiri Killian yang kosong, dengan pedangnya masih menancap dalam pada tubuh mayat hidup, terulur ke arah si uskup agung. Seberkas cahaya biru memancar dari tangan kiri Killian yang tak bersenjata. Si uskup agung, yang hendak membangkitkan lebih banyak lagi mayat hidup, mendesis marah dan menangkis dengan tongkatnya. Si uskup agung yang marah itu terus-terusan dihentikan dari upayanya membantai demi mendapat lebih banyak kekuatan, dan memelototi Killian.
Killian menendang tubuh mayat hidup dengan santai lalu menggenggam kembali pedangnya. Dengan tenang dan penuh perhitungan Killian meremukkan tubuh si mayat hidup di bawah kakinya. Jumlah energi terlatih yang dia pertunjukkan dari tubuhnya yang bagai ukiran, begitu cepat sehingga hampir tak bisa dilihat dengan mata manusia, sungguh tak bisa dipercaya. Ini adalah kali pertama dia berhadapan dengan iblis namun roh-roh jahat Axias yang berlatih bersamanya tidak kalah kuat.
Ilmu pedang tradisional yang dia miliki dilatih oleh ahli pedang kekaisaran, karena itu adalah haknya sebagai putra pertama sang Kaisar, dan setelah bertahun-tahun menyesuaikan diri tinggal di Axias, dia telah memperoleh gaya tanpa ampun yang terasah dengan baik. Ilmu pedang Killian dipuji sebagai kemampuan yang sudah lengkap sebelum dia bahkan berusia 18 tahun, memaksa roh-roh jahat dan kaum barbar bertekuk lutut, mengasah kemampuan-kemampuannya menjadi lebih brutal namun indah.
Tajam dengan halusnya, agresif, elegan, dan ganas. Tidak menjadi masalah apakah lawannya adalah manusia atau roh jahat, tak ada belas kasihan pada tangan yang mengincar titik-titik vital. Keahlian berpedangnya sudah melampaui titik di mana dia harus berhati-hati terhadap lawannya ataupun senjata mereka.
Kemenangannya semakin dekat. Tak ada mayat hidup baru dan jumlah monsternya berkurang berkat para kesatria yang tersebar di seluruh alun-alun. Killian menerobos kerumunan iblis dan mayat hidup mendatanginya dengan kekuatan mencengangkan dan bahkan menghalangi pergerakan si uskup agung dari kejauhan.
Si uskup agung yang bermata merah memuntahkan asap hitam dan meraung ke angkasa. Tubuh si uskup agung mulai terkoyak. Iblis di dalam tubuh si uskup agung kini sudah cukup kuat sehingga bahkan orang-orang yang tak punya kekuatan suci juga bisa melihatnya dengan jelas. Tubuh si uskup agung tak lagi mirip dengan tubuh manusia. Sepasang tanduk dan sebuah ekor besar muncul dari tubuhnya.
Ekor si iblis menghantam dua kali ke tanah lalu makhluk itu memekik mengerikan. Asap hitam menyebar dengan cepat dan menyebabkan mayat-mayat hidup di dekatnya mengejang sambil merintih-rintih. Mayat hidup yang tubuhnya semakin membesar, kini sudah jadi sedemikian besarnya sehingga mengoyak jubah-jubah mereka, mengeluarkan energi hitam dari tubuh mereka, dan mengikuti pekikan si uskup agung ke arah langit.
Sisa-sisa mayat hidup yang hancur, tak lagi mampu bertarung, mulai berkedut dan menyatu, merah membara. Cakar-cakar raksasa mencuat keluar dari tangan-tangan para mayat hidup, dan gigi-gigi mereka memanjang menjadi taring. Mereka sudah tak lagi tampak seperti mayat hidup. Para mayat hidup itu membengkak dan menempel jadi satu, lalu mulai bangkit. Sesosok chimera.
“Astaga….” Teriakan seseorang terdengar seperti desahan.
Para monster memutar kepala mereka dan memekik berbarengan. Mereka berniat menyerang Killian. Monster-monster raksasa melompat ke arah Killian, cahaya merah memancar dari kedua tangan mereka.
Giselle berteriak, “Yang Mulia!”
Pada saat bersamaan, pedang Giselle melayang. Pedang itu menancap pada bahu chimera yang sedang menerkam Killian dan membuatnya terlontar.
Giselle berteriak mendesak, “Leonard! Pedang!”
“Sialan, terus aku bagaimana?”
Sebilah pedang meluncur dari tengah-tengah para kesatria yang sedang bertarung di antara para mayat hidup, diiringi oleh berbagai bahasa. Giselle menyambar pedang itu dari tengah udara seperti yang dilakukan Killian lalu melompat dari tanah. Dibabatnya kerumunan mayat hidup yang mengerumuni Killian.
Mayat hidupnya sekarang jauh lebih cepat dan lebih kuat daripada beberapa saat yang lalu.
Dengan cekatan Leonard menyambar pedang dari tangan seorang pendeta yang sudah mati dan bergabung dalam pertarungan.
****
Energi suci yang menyumbat tenggorokan Rietta terlepas dan dia pun terengah menarik napas seperti orang yang ditarik keluar dari permukaan. Pita suara Rietta baru saja terbebas tapi dia sudah berteriak mati-matian.
“Mata kanan adalah kelemahan mereka!”
Si uskup agung mengayunkan ekornya dan menjatuhkan sebuah pilar, berpaling ke arah Rietta, mata berputar. Sekejap kemudian, sebilah belati perak datang melayang entah dari mana dan menancap ke dalam mata si uskup agung.
“Aaaaahk!”
Suara lolongan si uskup agung membuat bulu kuduk berdiri dan dia pun menjatuhkan tongkatnya. Si uskup agung memegangi matanya dan meronta-ronta kesakitan, tanpa sengaja menendang tongkatnya dan membuat benda itu bergulir. Tubuh si uskup agung mengeluarkan asap hitam.
Killian berlari dan mengayunkan tongkatnya ke arah tenggorokan si uskup agung. Iblis itu memutar kepalanya dan mencabut belati dari matanya, lalu memelotot.
Klang!
Logam berbenturan dengan logam bergema, bunga api memercik, dan pedang Killian terpental dari tubuh si uskup agung. Tubuh iblis yang tampak dari balik tubuh si uskup agung yang terkoyak tampak merah membara. Dengan suara menjijikkan, tubuh si iblis pun membengkak hingga seukuran rumah.
Air suci yang mengalir dari patung sang Dewi kini berwarna merah.
Tubuh si iblis dikelilingi asap hitam yang berbau belerang tajam dan dia mengangkat kedua tangannya. Para mayat hidup dan chimera mulai semakin menggila.
Chimera yang memuntahkan darah karena ada pedang Giselle di dadanya mencabut pedang di tubuhnya bersama dengan tangan Giselle. Begitu Giselle menyerang dengan pedang di tangannya yang lain, mata di dahi si chimera berkilau merah dan dengan tangan kosong dia menangkis pedang yang turun ke arahnya. Suara dentang menggema. Rasanya seperti menghantam baja.
Sebuah potongan tangan merayap ke arah Giselle seakan punya pikiran sendiri, mencengkeram pergelangan tangan Giselle, dan meremas. Mata Giselle melebar.
“Giselle!”
Si chimera bermata merah memamerkan cakarnya dan menerkam ke arah Giselle, yang pergelangan kakinya masih tertahan dan tangannya masih dicengkeram oleh si monster. Killian mengayunkan pedangnya ke arah kepala chimera yang menyerang namun chimera lainnya menyabetkan ekornya seketika itu juga dan menjatuhkannya ke samping. Orang-orang menatap ngeri dan berteriak.
Krak.
Terdengar suara tulang yang patah. Tepat sebelum cakar-cakar itu berhasil masuk ke dalam leher Giselle, seorang pria melompat masuk di antara keduanya dan menyambar Giselle, membuat mereka berdua bergulingan di tanah.
“Kweeeehk!” Cakar-cakar si chimera menancap ke bahu dan punggung kanan Leonard. Si chimera memekik. Si chimera tidak puas karena telah luput mengenai leher Giselle dan dia pun menyapukan cakarnya pada Leonard, membuatnya menancap lebih dalam. Darah memancar di mana-mana ketika daging dan tulang Leonard terkoyak tanpa daya.
Leonard menggertakkan giginya dan mengangkat pedangnya, tidak bersuara sedikit pun. Namun tangannya yang gemetaran tak bisa diangkat ke atas bahunya. Giselle terbelalak, wajahnya seperti kehilangan semua darah. Dan si chimera memamerkan taring-taringnya untuk ditancapkan ke dalam tenggorokan Leonard.
Duk!
Mereka mendengar suara hantaman berat dan kepala si chimera pun melesak. Seluruh tubuh bagian atas si chimera berubah menjadi debu. Rietta melihat ke bawah ke arah mereka dengan wajah seputih kertas, dialah yang telah mengayunkan tongkatnya pada si chimera. Giselle dan Leonard menatap syok pada Rietta.
Rietta menunduk menatap tongkat di tangannya, tertegun pada kekuatan luar biasa yang dimilikinya. Ini adalah kekuatan penyucian, kekuatan yang sebelumnya tak bisa dia peroleh. Dan tingkat kekuatannya juga luar biasa tinggi. Sebagai kepala pendeta dari upacara pemberkatan agung, tubuh Rietta masih luar biasa kuat, berkat energi suci yang terpusat yang dia terima.
Begitu dia menggenggam tongkat itu, sebuah relik kuil yang mampu meningkatkan energi iblis, kekuatan di dalam tangannya mulai berdenyut, telah menemukan tempat untuk menunjukkan diri. Rietta tak pernah menghadapi iblis yang agresif tapi dia menyadari bahwa dia harus menggunakan kekuatan ini dengan cara yang dia bisa dan berdiri tegak.
Secara instingtif dia menatap ke arah Killian. Pedang yang Killian lempar untuk menyelamatkan Giselle kebetulan berada di dekat kaki si uskup agung. Iblis itu menginjaknya dan menghancurkannya hingga berkeping-keping. Iblis yang tinggi menjulang, tubuhnya sekeras baja, sudah melampaui iblis biasa. Hanya sangat sedikit orang yang bisa keluar hidup-hidup jika melawan monster jahat di alun-alun yang telah diubah menjadi neraka oleh chimera-chimera dan mayat hidup yang begitu kuat. Tak ada seorang pun yang bisa membantu Killian.
Rietta mulai berlari membabi-buta ke arah Killian, tongkat tergenggam di tangan.
“Rietta! Di belakangmu!”
Begitu mendengar peringatan Giselle, Rietta memejamkan matanya seakan dia tak sanggup melihat mayat hidup yang menerkam ke arahnya dan mengayunkan tongkat yang penuh dengan energi suci. Seketika itu juga si mayat hidup berubah menjadi debu, bahkan tidak sampai bersentuhan dengan tongkat tersebut. Tongkat yang dipenuhi oleh energi iblis bereaksi dengan energi suci dalam jumlah luar biasa besar, sarat dengan kekuatan penyucian, dan bersinar menyilaukan.
“Jangan mendekat lagi!” Giselle berseru sambil dengan panik berusaha membebat luka-luka Leonard. “Chimera-chimera ini tidak seperti mayat hidup lainnya! Mereka takkan bisa dikalahkan dengan mudah! Kau harus menyentuhnya! Kau tak bisa melakukannya sendiri!”
Aku tak bisa lebih dekat lagi?
Kesadaran Rietta kembali dan dia pun mengamati kekacauan di hadapannya. Pertempuran yang begitu ganas sehingga tak bisa dipahaminya dengan mata kepalanya sendiri sedang berlangsung di hadapannya. Tak ada mayat hidup biasa yang menyerbu ke arah Killan. Sebagian besarnya adalah para chimera. Mayat hidup di dekat Killan sebagian besarnya merupakan mayat hidup yang sudah bermutasi, menjijikkan dan besar.
Apa aku bisa mendekat pada kerumunan itu?
Giselle benar. Tak peduli sebesar apa pun kekuatan yang dia punya, tetap tak berguna. Tak mungkin dia bisa selamat dalam kegilaan itu, apalagi menyerang. Rietta gundah, tak tahu harus bagaimana. Dia mengangkat tongkatnya. Energi putih berdenyut di kedua tangannya.
Sesuatu akan terjadi… Sesuatu!
“Tolong…. Seseorang harus membantu Rietta!” Giselle memekik.
Namun tak ada seorang pun yang bisa membantu Killian, jadi tak mungkin ada satu orang pun yang punya waktu untuk melindungi Rietta. Rietta mengangkat tongkatnya ke arah iblis yang merasuki si uskup agung. Pusaran angin keperakan berhembus di sekitar tubuhnya.
“Surga yang penuh kasih….” Gemetaran Rietta menatap ke arah musuh dan berbisik. “Hukumlah iblis-iblis ini.”
Cahaya menyilaukan yang meledak keluar dari tongkat di kedua tangannya memancar, dan menjadi sambaran petir yang mengerikan, menyerang tubuh si iblis.
“Kiaaah!”
Dengan dentuman berderak-derak, halilintar suci menghujam tubuh si iblis dan membuatnya melolong. Si iblis mengayun-ayunkan ekornya ke segala arah. Seira memakai tombak kapaknya sebagai tongkat lompatan untuk menghindari terjangan ayunan yang tak bisa diprediksi, melenting ke udara, dan dalam jarak dekat berhasil lolos dari ekor raksasa itu. Namun ekor itu sangat panjang, tombak kapak Seira tersangkut pada onggokan yang menyabet-nyabet itu dan tersentak lepas dari tangannya.
Seira hampir saja tak bisa menyeimbangkan diri dan terpeset pada landasan. Ketika Seira mendongak untuk mengambil kembali senjatanya, Killian melompat dan menyambar tombak kapak Seira dari tengah udara pada saat itu juga. Hampir seketika, bilah tajam pada tombak kapak Seira membara kebiruan. Killian memakai daya lentur dari tombak kapak itu, terbang di udara, membentuk lengkungan raksasa, dan menghujamkannya tepat ke dalam lubang mata kosong si iblis.
Klang!
Daging si iblis mengeluarkan suara seperti logam dan darah hitam pun menyembur.
“Kieeeehk!”
Si iblis memancarkan darah yang menghitam ke segala arah dan mulai merintih kesakitan. Killian meninggalkan tombak kapak itu di dalam lubang mata si iblis, lalu memutar tubuhnya, menghindari sambaran si iblis dalam jarah hanya sehelai rambut. Para chimera dan mayat hidup semuanya tersentak ketika sumber kekuatan mereka diserang dan mulai jadi gelisah.
Iblis merah raksasa itu merintih-rintih kesakitan di tanah, mencakari matanya, tidak ada secercah pun tubuh sang uskup agung yang tersisa. Setiap kali ekor merah dan tungkai-tungkainya berayun di tanah, bagian tubuh itu memecahkan lempengan batu di tanah, membuat pecahannya beterbangan. Para mayat hidup dan chimera terkena sambaran si iblis.
Mata Rietta membelalak lebar dan dia melihat si iblis berusaha bertahan.
Sudah cukup!
Secara instingtif Rietta berlari ke arah patung Dewi. Leonard mendorong Giselle kuat-kuat dengan tangan kirinya dan berseru, “Pergilah!”
Tatapan Giselle tampak goyah ketika Leonard mendorongnya. Tapi kegoyahan itu juga hanya berlangsung sekejap. Giselle pun mencengkeram pedangnya dan melompat berdiri.
Pedang Giselle dan sihir Lana dengan cepat mengikuti Rietta dan mulai melindunginya. Ketika Rietta memusatkan energi suci pada tongkat di tangannya, ujung tongkat itu berkilau keperakan, seakan purnama telah terbit di atasnya.
“Oh Dewi. Lindungi kami. Tolonglah tanah yang telah dirampas oleh iblis ini.”
Energi suci menderu di sekeliling Rietta seiring dengan doanya. Rietta menyapukan tangan pada air hujan di matanya lalu memercikkannya pada air mancur darah, lalu menarik napas dalam-dalam. Dia mendongak. Air suci semerah darah menderu bagai air terjun dari bejana air sang Dewi.
“Wahai Dewi, lindungilah kami…. Kuserahkan kekuatan besar ini sebagai persembahan pada altar sucimu.”
Rietta melantunkan doanya, memejamkan matanya rapat-rapat, dan menurunkan tongkat yang penuh dengan energi suci ke dalam air suci sewarna darah.
Krak!
Air di dalam air mancur itu berguncang dengan dentum memekakkan telinga dan kembali ke warna aslinya yang jernih dan murni. Pada saat bersamaan, seberkas cahaya membutakan pun meledak.
“Lindungilah tanah sucimu!”
Cahaya membaur ke seluruh alun-alun.
“Kiaaaah!”
“Kieeeh!”
Tiba-tiba, para iblis mulai melemah, seakan fajar telah datang. Para mayat hidup yang menerima cahaya suci secara penuh mulai memekik dan terbakar sendiri. Para chimera semakin melemah seiring dengan cahaya suci yang membanjiri tempat itu dan tubuh mereka pun mulai bertumbangan. Tubuh-tubuh mereka yang berkelojotan hancur di bawah bilah pedang para kesatria.
Cahaya putih menerpa si iblis secara telak, ketika makhluk itu mencabut tombak kapak dari lubang matanya dan melemparkannya ke samping.