Like Wind on A Dry Branch - Chapter 24
Perlahan Rietta memutar kepalanya. Killian duduk di altar, berlutut dengan satu kaki dan menundukkan kepalanya. Dia berusaha memanggil pria itu, namun suaranya tak keluar. Tubuhnya juga tak bisa digerakkan. Rietta menggerakkan perlahan kakinya, rasanya seakan dirinya berada di dalam mimpi, berusaha keras memaksa tubuhnya untuk bergerak.
Seolah tidak menyadari Rietta yang mendekat, Killian masih menundukkan kepalanya. Dengan susah payah Rietta menghampiri di belakang Killian dengan menggerakkan tubuhnya yang terasa berat dengan tidak biasanya, kedua tangannya yang terjulur ke arah Killian seakan bukan miliknya. Perlahan Rietta menyentuh bahu Killian.
Satu, dua, tiga, empat. Ujung-ujung jemarinya menyentuh satu persatu. Ketika telapak tangannya menyentuh bahu Killian, perlahan Rietta mengusapkannya ke bawah. Akan tetapi, entah apakah Killian tidak menyadari apa yang sedang berusaha Rietta katakan atau apakah perasaan menyentuh bahu Killian itu sendiri adalah palsu, Killian tak menoleh ke belakang padanya.
‘Ada seseorang yang bukan pendeta.’
Suara Rietta tak keluar. Kata-katanya sepertinya tak mencapai telinga Killian. Rietta menjadi gugup.
Di sepanjang lingkaran sihir raksasa yang menyebar di lantai alun-alun, lingkaran sihir yang bersinar di bawah kaki Killian menyorot menyilaukan dan terserap ke dalam tubuhnya. Sebagai hasilnya, tubuh Killian bersinar dengan gambar bayang-bayang keperakan. Ketika angin berhembus naik, tepian baju pria itu berkelepakan lalu terjatuh kembali tak lama setelahnya.
Pemberkatan besar telah dirapalkan. Rietta menjadi pusing ketika merasakan kekuatan suci mengalir keluar dari tubuhnya. Syaraf-syarafnya yang tegang tiba-tiba melonggar dan perasaan tertekan pada tubuhnya memudar. Rietta berusaha lagi membuka mulutnya namun tak ada suara sama sekali.
‘Tuanku… Tuanku!’
[Kalau ada di antara mereka yang sepertinya bukan pendeta, letakkan tanganmu pada bahuku. Dan kalau kau melihat iblis wabah atau sesuatu yang berbahaya, rangkul leherku.]
Rietta roboh seakan terjatuh di belakang punggung Killian dan merangkul leher pria itu di dalam waktu yang seakan mengalir dengan lambat.
‘Saya bisa melihat iblis’
Waktu berlalu dengan begitu lambatnya. Perlahan Killian memutar kepalanya dan mencengkeram lengan Rietta.
Kriet….
Sang Uskup Agung muncul dengan khakkhara-nya setelah membuka pintu menara lonceng. Tawanya mengerikan, tak lagi menjadi orang yang sama dengan yang telah memanjat menara lonceng. Berlumuran darah, sang Uskup Agung mengangkat khakkhara tinggi-tinggi dan membelalakkan matanya lebar-lebar. Momen itu panjangnya seperti seribu tahun.
“!”
Waktu kembali ke normal. Killian menarik Rietta dari punggungnya dan merundukkan tubuh wanita itu.
Buum!
Detik berikutnya, suatu benda hitam melintas di atas mereka dengan menakutkan dan meledak.
“Argh! Uskup Agung!”
Teriakan terdengar di mana-mana.
“Tundukkan kepalamu!”
Seorang pendeta memekik. Sekejap kemudian, dia kehilangan kepalanya. Belasan pendeta yang sedang berdoa tiba-tiba mencabut pedang dari balik pakaian mereka dan mulai menebaskannya pada pendeta-pendeta lain di sekitar mereka.
Kedua mata sang Uskup Agung melihat ke dua arah yang berbeda, tersenyum mengerikan dan mengayunkan khakkhara. Kegelapan yang terlontar keluar dari khakkhara itu menghujam tubuh orang-orang seperti anak-anak panah. Kerumunan saling dorong dan mulai berteriak serta bertemperasan.
Dalam sekejap, neraka terbuka. Serta merta, sang Uskup Agung memutar kepalanya dalam sudut yang ganjil. Dia tersenyum dan berlari ke arah Killian. Setelah menyadari bahwa dirinya adalah target dari serangan itu, Killian mendorong Rietta ke samping dan merundukkan tubuhnya untuk menghindar dari serangan yang nyaris mengenainya itu.
Titik yang sebelumnya merupakan tempat Killian berada telah hancur dan menghitam. Killian mengulurkan tangan ke udara dan berseru.
“Pedang!”
Di antara kerumunan, sebilah pedang yang dilemparkan oleh seseorang melayang ke arahnya. Killian menyambar pedang itu dari udara dan lari. Khakkhara yang dipegang oleh sang Uskup Agung sekali lagi menghancurkan lantai batu tempat Killian tadinya berada.
Sang Uskup Agung yang serangannya lagi-lagi mengenai tempat kosong, membuat suara menggerung dan memelototkan matanya. Iblis yang menguasai raga sang Uskup Agung mengangkat Khakkhara itu tinggi-tinggi ke udara. Energi kuning gelap menyebar ke segala arah bagaikan awan debu.
Sinar hitam keluar dari mayat-mayat para pendeta yang tertebas. Mereka menjadi mayat hidup dan bangkit berderit-derit. Sesosok mayat hidup menyerbu ke arah Rietta sementara wanita itu terduduk di atas altar. Begitu Killian berusaha menerjang dengan mulut mengeluarkan makian, sang Uskup Agung berlari ke arahnya.
Traang!
Khakkhara dan pedang berbenturan.
“Giselle!” Killian berseru, menggertakkan giginya. “Lindungi Rietta!”
Secepat kilat, salah seorang pendeta yang membawa pedang melompat masuk dan menghadang Rietta. Cahaya putih dari bilah pedang berkelebat dan membelah tubuh mayat hidup secara tegak lurus. Karena senjata itu adalah pedang bermata perak, tubuh mayat hidup yang tertebas langsung terbakar dan menghitam.
Rietta terperangah dan menutupi mulutnya. Ditatapnya punggung pendeta yang menghadangnya. Seorang wanita yang mengenakan jubah pendeta melepaskan tudungnya dengan gerakan kasar. Rambut coklat yang diikat ekor kuda dan tahi lalat di bawah mata yang menawan terpampang di bawah cahaya rembulan.
“Lana! Bantu Yang Mulia!”
Pada detik berikutnya, para mayat hidup menyerbu dari semua sisi. Dengan cepat Giselle berbalik dan melompat bersama Rietta. Dalam sekejap, tanah jadi terlihat jauh. Rietta melihat ke bawah dengan tak percaya.
Beberapa orang pria berjubah pendeta adalah yang pertama mencabut pedang mereka dan menghunuskannya untuk menghentikan para pendeta palsu. Rietta menyadari bahwa banyak di antara orang-orang berjubah pendeta yang mengayunkan pedang ternyata adalah para kesatria Killian. Para kesatria bercampur dalam kerumunan bergabung dengan para kesatria kuil yang kewalahan dan kebingungan.
“Seira! Utusan Kaisar!”
Seira, yang menyusup di antara para pendeta, sudah berlari tanpa mengenakan jubah pendeta. Dia mengayunkan tombak berkampak ke tanah dan melompat bersalto ke atas altar.
Lectus Justin dan para pengawalnya sedang menghadapi para mayat hidup dengan pedang, namun mereka mati-matian bertahan dan tidak bertarung dengan benar.
Begitu kakinya menyentuh tanah, Seira berputar selingkaran penuh seperti sedang menari. Dia mengayunkan tombaknya yang berat secara mendatar dengan kedua tangan. Seketika, barisan belakang mayat hidup terbuka dan tiga mayat hidup beterbangan. Seira kembali menghujamkan tombaknya ke lantai dan bersalto. Tombak itu berputar secara vertikal dari ketinggian. Ketika senjata itu mendarat dan bilah kapaknya menancap ke tanah, tubuh sesosok mayat hidup besar yang berlari dari arah belakang Lectus Justin pun roboh, terbelah dari puncak kepala hingga ke selakangan.
Tak ada waktu untuk menikmati tarian tombak Seira yang memukau. Para mayat hidup yang mengenakan jubah pendeta berkerumun di tempat Giselle dan Rietta mendarat. Giselle menekan bahu Rietta untuk merendahkan posturnya. Giselle mengayunkan pedangnya di atas kepala dan menebas mayat-mayat hidup yang menghambur ke arah mereka sebelum kembali melompat mundur. Para mayat hidup, yang berlari ke arah mereka dari kedua sisi, saling mencakar dan berjatuhan.
Tembakan terus keluar dari khakkhara yang digenggam sang Uskup Agung, tombak kegelapan menyerang dan menjatuhkan orang-orang yang berlarian. Mayat orang-orang yang berjatuhan setelah terkena hujaman langsung dari tombak itu bergemeretakan bangkit dan mulai menyerang tanpa pandang bulu, menangkap pergelangan kaki orang-orang yang barusan tadi berlarian bersama mereka.
Mayat-mayat para pendeta yang mati bangkit sebagai mayat hidup yang lebih besar dan lebih kuat seiring dengan panggilan dari iblis yang menguasai raga sang Uskup Agung. Mayat-mayat hidup dari para pendeta tingkat tinggi telah tumbuh luar biasa besar dengan kekuatan suci yang telah kotor, mereka menjadi monster yang melampaui wujud manusia.
Mereka bergerak lebih kuat dan lebih gesit daripada mayat hidup biasa. Mereka terus-terusan menyerbu ke arah Rietta dan para pendeta lainnya, yang memancarkan kekuatan suci yang besar, supaya bisa menciptakan teman yang lebih kuat.
Killian adalah target sang Uskup Agung, dirinya sendiri tidak bebas. Para kesatria Killian, yang telah mengamankan jalan mundur rakyat yang kabur dan berlari kembali menembus kerumunan, ikut bergabung dalam pertempuran.
Lana menjentikkan jarinya. Dalam kegelapan beriring derai hujan, di mana sulit untuk mengidentifikasi orang yang ada di sampingnya, tubuh-tubuh manusia yang dikuasai oleh iblis menyala dengan api biru. Mayat-mayat hidup itu memelankan gerakan mereka dan tampak menderita karena terbungkus oleh api biru.
Tanpa ragu para kesatria Killian menebas tubuh-tubuh mayat hidup yang telah ditandai oleh Lana dan mulai melindungi serta mengevakuasi rakyat. Para kesatria kuil yang kelabakan dan kebingungan segera meniru mereka, entah menebas musuh-musuh yang telah ditandai atau membantu mengamankan jalan mundur orang-orang.
Iblis yang menguasai raga sang Uskup Agung mengayunkan khakkhara tanpa henti untuk menciptakan lebih banyak lagi mayat hidup. Beberapa di antara mereka menerjang ke arah Killian dan beberapa menyerang para kesatria yang sedang melindungi pendeta-pendeta yang masih selamat.
Giselle menurunkan Rietta dan dengan cepat mengedarkan pandangan. Para mayat hidup di sekitarnya menghambur masuk setelah mendapati bahwa Rietta adalah seorang manusia dengan kekuatan suci yang menggiurkan. Dalam sekejap, Giselle mencabut pedang satu lagi dari pinggangnya dan mulai membantai para mayat hidup yang menerjang ke arah mereka dengan pedang di kedua tangan. Dengan tatapan tak percaya Rietta memandangi wanita itu ketika dalam jarak dekat Giselle memenggal leher-leher para mayat hidup dengan wajah tenang lalu menginjak-injaknya.
“Elise! Hancurkan mereka!”
Seorang wanita tinggi yang mengenakan jubah pendeta sudah menari di tengah-tengah pertempuran.
Setelah memutar sebilah pedang dua tangan raksasa yang kelihatan setinggi tubuhnya dengan kedua tangan, tudung wanita itu menggelincir turun, menampakkan rambut pirang berpotongan bob serta sebentuk wajah cerdas nan elegan.
Dengan bebas Giselle menggerakkan pedang di kedua tangannya dan membantai beberapa musuh pada saat bersamaan. Dia bergerak begitu cepat sampai-sampai sulit untuk mengikuti sosoknya dengan mata telanjang. Kesemuanya ini terjadi hanya dalam satu tarikan napas Rietta.
“Tolong evakuasi ke sebelah sini!”
Kesatria Kuil Niston berseru lantang. Orde Kesatria Kuil berdiri dalam satu barisan dan membangun tameng untuk membentuk dinding pelindung, mengamankan jalan orang-orang untuk evakuasi. Giselle menendang punggung sesosok mayat hidup lalu mencabut pedangnya dari makhluk itu. Dia berputar di udara lalu membelah bagian tubuh atas dan bawah dari mayat-mayat hidup yang mengejar dirinya.
Pada detik berikutnya, kecepatan Giselle memelan seakan dirinya tiba-tiba dihentikan. Seberkas cahaya biru mengalir naik dari tubuhnya.
Sorot mata dinginnya yang terarah ke bawah tiba-tiba membuka. Seberkas cahaya biru membara dari kedua pedang Giselle. Sejenak kemudian, Giselle menghilang secepat kilat setelah merundukkan tubuhnya. Barulah sekejap kemudian tubuh-tubuh para mayat hidup itu terbelah dan rubuh seakan waktu telah berhenti.
Meski mayat hidup dalam jumlah lumayan berkumpul di sekitar Rietta, tak ada mayat hidup yang bisa bergerak setelah Giselle menghilang sejenak lalu kembali.
Giselle menyilangkan kedua pedangnya. Dia menggoreskan keduanya, dan darah pada bilah pedangnya berkumpul di ujung pedang lalu mengalir bercampur dengan hujan.
Begitu mayat hidup di dekat Rietta sudah dibersihkan, Giselle melepaskan jubah pendeta yang memberatinya dan melemparnya jauh-jauh. Mata Giselle dan Rietta bersirobok. Giselle tersenyum cerah dan menempatkan jari telunjuknya di depan bibirnya.
‘Ssttt.’
Giselle melenting kembali ke udara dan melompat ke tengah-tengah pendeta di baris kanan altar di mana para kesatria sedang mati-matian berusaha melindungi para pendeta yang masih hidup. Kini karena dirinya sudah bebas, Giselle pun bergerak seakan terbang. Berkata bahwa dia tak punya waktu untuk merasa kejam adalah kebohongan. Rietta terpana dan mengikuti gerakan Giselle dengan matanya.
“Sebelah sana! Lari ke belakang dinding pelindung!”
Dengan bantuan para kesatria kuil, orang-orang yang selamat kabur ke belakang perisai mereka. Di baris seberang, Elise menghunus dan mengayunkan pedang sebesar tubuhnya dengan kedua tangan. Dia membelah udara dengan senjatanya, mengincar seorang pendeta yang agresif. Si pendeta terhuyung mundur, nyaris tak bisa lolos dari pedang raksasa Elise.
Seakan sedang menari, Elise menarik pedang yang telah terayun hingga ke belakangnya mengikuti gerak kelembaman lalu memeluknya. Mendorong badan pedang dengan tangan yang lain, tubuhnya sedikit berputar lalu menusuk ke sisi bagian bawahnya. Tanpa disangka-sangka, pedangnya menusuk dari sudut miring dan membelah lengan mayat hidup yang berlari dari belakangnya. Setelah merundukkan tubuh dan menjegal si mayat hidup, Elise menempatkan pedangnya di depan tubuh sebagai sumbu. Dia berputar seraya dengan santainya menginjak punggung si mayat hidup.
Seakan pedang raksasa itu adalah rekan menarinya, tengkuk si mayat hidup terkoyak bersamaan dengan gerakan elegannya. Memakai kekuatan putaran, Elise mengangkat pedangnya pada satu sudut dan memosisikannya di depan hidung. Dia mengayunkan pedangnya secara mendatar dan berputar sekali lagi. Pedang berbilah biru itu pun membentuk sebuah lingkaran raksasa.
Pendeta palsu bersenjatakan belati yang mendekatinya langsung rubuh dan terhuyung mundur akibat angin kuat dari pedangnya. Para mayat hidup, yang tak punya kecerdasan cukup untuk membaca keseluruhan situasinya, mendekati Elise dan berakhir dengan tengkorak-tengkorak hancur serta beterbangan bersama hujan.
Ketika dirinya bebas selama sejenak, Elise memejamkan matanya dan menarik napas. Aura biru terangkat dari tubuhnya. Elise memiringkan pedangnya ke belakang, mengangkat satu kaki dengan anggun, dan mengayunkan senjata itu dengan kedua tangan. Energi biru yang luar biasa kuatnya menghancurkan lantai dan menerjang lurus untuk menghempaskan para pendeta palsu yang kelimpungan jauh-jauh.
Elise kembali berbalik dan menempatkan pedang itu di depan dadanya. Matanya menemukan sasaran berikutnya. Bahkan mayat hidup yang memiliki ego secara instingtif merasakan ancaman di depan radius serangan luar biasa serta keberadaan ekstrim dari pedang itu. Mayat hidup itu pun memelankan diri dan menjauh dari Elise.
“Jangan mendekat!”
Para kesatria kuil yang sudah akan bergabung dengan pertempuran langsung mundur setelah mendengar suara tegas yang menghentikan mereka. Dengan sengaja Elise bergerak ke tempat di mana tak ada rekannya di dalam jangkauan serangan. Dengan gerakan elegan yang bagaikan menari, dia membantai para pendeta palsu dan mayat hidup.
Gerakannya dalam mengayunkan pedang besar dan beratnya tidak secepat dan seluwes Giselle, yang menggunakan pedang ganda, namun radius serangan mengerikan dari pedang raksasa nan panjang itu menutupi apa pun batasan kecepatan yang dimilikinya.
Para pendeta palsu yang masih selamat di kedua sisi altar menjadi gentar dan mundur setelah menyaksikan tarian pedang yang tak terbayangkan tajamnya dari para wanita. Mereka pun mulai berlarian kabur. Suara tajam Giselle terdengar di udara.
“Rachel! Jangan biarkan siapa pun kabur hidup-hidup!”
Rachel tidak menampakkan diri ataupun menjawab. Akan tetapi, suara desingan tajam terdengar menyayat udara. Darah mengalir dari kepala atau leher para manusia yang berlarian kabur, dan mereka pun berjatuhan.