Like Wind on A Dry Branch - Chapter 23
Untung saja, ramuan penahan sakit buatan Giselle bekerja dan tubuh Rietta berada dalam kondisi yang memampukannya untuk bergerak. Bulan purnama menampakkan dirinya dari balik awan dan tertangkap di ujung-ujung jemari patung Dewi yang menghadap ke ujung langit. Barulah hingga tiba waktu untuk pindah ke alun-alun ketika Killian kembali.
Setelah kembali, wajah Killian masih tampak kaku. Ketika dia melihat kondisi Rietta telah membaik, tanpa bersuara dia mengulurkan tangan pada wanita itu. Mengenakan busana ritual biru langit, Rietta meletakkan tangannya pada tangan Killian.
“Katakan padaku kalau kau kesulitan.”
“Baik, Tuanku.”
Sudah tiba waktunya untuk upacara pemberkatan besar dimulai.
****
Sebuah alun-alun yang luas membentang di titik tertinggi kuil itu. Menara lonceng yang tinggi bisa terlihat di mana pun di kuil agung, dan di depannya terdapat sebuah altar berbentuk T kira-kira setinggi pinggang di atas podium yang kosong. Di bagian pusat altar, terdapat sebuah patung Dewi yang tangan kanannya terangkat tinggi-tinggi ke angkasa, berfungsi sebagai air mancur raksasa yang menuangkan air suci dari sebuah bejana yang dipegang ada tangan kanannya.
Di depan patung, terdapat sebuah karpet merah berhiaskan benang-benang emas dengan enam puluh orang pendeta yang masing-masingnya mengenakan jubah bertudung. Mereka berbaris dalam dua barisan di sisi kanan dan kiri, memegang lilin di tangan mereka dan berdoa. Di belakang mereka, kerumunan besar rakyat mengelilingi alun-alun. Ketika bunyi terompet membahana kencang, para pendeta dan kerumunan pun menjadi sunyi.
Rietta, mengenakan tudung, berdiri di depan Killian dan berjalan ke arah altar, di tangannya tergenggam sebuah Khakkhara*, yang merupakan relik suci dari kuil agung. Killian mengikutinya, tak bersenjata dan juga mengenakan busana ritual.
(T/N: Tongkat dengan sebuah lingkaran besar di bagian puncak dan beberapa cincin kecil di terpasang di situ, sehingga menghasilkan suara gemerincing ketika digerakkan. Untuk mudahnya, ini seperti tongkat yang dipakai oleh Bhikkhu Tang dalam kisah Kera Sakti)
Sang Uskup Agung menaiki podium di depan menara lonceng. Gemuruh tepuk tangan dari kerumunan menyambutnya. Di bagian pidato pembuka, salam dari sang Uskup Agung pun dimulai.
“Banyak terima kasih kepada sang Dewi dan Baginda Ratu, karena telah mempersiapkan acara ini dengan mengambil keputusan yang sulit. Saya juga ingin mengungkapkan rasa terima kasih mendalam saya kepada para anggota keluarga kuil serta seluruh penganut yang telah berkumpul di sini. Saya berharap saat ini akan menjadi sama terberkahinya seperti bulan purnama.”
Sang Uskup Agung menatap ke arah seorang ibu di antara kerumunan yang sedang menghibur anaknya yang tengah menangis lalu tersenyum kepadanya.
“Kalian telah datang jauh-jauh ke alun-alun ini, di puncak gunung tertinggi ini. Saya harap perjalanan kalian akan sepadan dengan rasa sakit di kaki kalian.”
Matanya terarah ke angkasa, menampakkan raut muram.
“Saat ini diharapkan untuk menjadi rembulan paling terang dalam kurun waktu bertahun-tahun ini, namun kini ketika kita berusaha memulainya, langit malah menjadi gelap. Mungkin sang Dewi sedang mengawasi kita karena tampaknya saat ini hujan sudah hampir turun. Saya ingin tahu orang bodoh mana yang menetapkan hari ini sebagai hari baik?”
Kerumunan tertawa mendengar candaan sang Uskup Agung.
“Meski demikian, kita harus memaafkan. Kita harus memaafkan uskup agung bodoh yang telah menetapkan hari hujan sebagai hari baik dan kita harus memaafkan leluhur kita yang membangun kuil ini di tempat setinggi ini.”
Sang Uskup Agung mengangkat tangannya dan melantunkan bait-bait dari kitab suci.
“Kalian semua datang ke dunia ini untuk makan, bernapas, berpakaian, dan setiap hal kecil yang ada dalam darah, keringat, dan kehidupan makhluk-makhluk lain. Saat kau membenci, mendengki, dan mendendam kepada orang lain, pikirkanlah dosa-dosa yang telah kau lakukan.”
Mengikuti lantunannya, para pendeta pun melantunkan bait-bait berikutnya.
“Mencintai, bersimpati, dan memberkati yang lainnya adalah satu-satunya jalan untuk membayar dosa telah terlahir ke dunia ini dengan menyebabkan penderitaan kepada ibu kalian, dan untuk membayar dosa menempatkan hidup kalian ke dunia ini dengan memakai kematian dari makhluk lain sebagai batu pijakan. Kalian tidak boleh mengorbankan darah makhluk lain di atas altarku.”
Bait berikutnya dilantunkan oleh sang Uskup Agung dan kerumunan.
“Pemberian yang lebih bernilai daripada pengorbanan apa pun adalah pemberian maaf; letakkanlah maaf pada altarku dan buat aku gembira.”
Sang Uskup Agung membuat bentuk salib pada dirinya sendiri lalu perlahan membuka matanya. Titik-titik hujan tipis mulai berjatuhan satu demi satu. Kerumunan mengangkat tangan mereka ke atas kepala untuk menghalangi titik-titik hujan. Demi mencegah agar lilin di tangan mereka tidak padam, para pendeta mengangkat telapak tangan mereka untuk menutupi lilinnya. Menunduk menatap mereka, dengan tenang sang Uskup Agung membuka mulutnya.
“Hari ini, upacara pemberkatan besar ini datang dari niat seorang ibu untuk memaafkan orang yang telah mengambil nyawa orang-orang tersayangnya.”
Kerumunan dipenuhi oleh dengung ribut-ribut pada komentar menusuk tak disangka-sangka yang bisa dianggap tidak hormat kepada sang Ratu dan Killian. Perlahan sang Uskup Agung mengedarkan tatapannya pada kerumunan dengan sorot penuh belas kasihan dan berkata dengan penuh kekuatan.
“Ini adalah pemberian maaf yang mulia.”
Hujan mulai turun. Kerumunan menatap ke arah Ratu Aversati, yang duduk diam di sebuah bangku sedikit lebih jauh dari sang Uskup Agung. Banyak mata mengamati dirinya, bertanya-tanya apakah sang Ratu benar-benar berniat memaafkan Killian.
“Semua orang yang berkumpul di sini akan mengetahui kisah tentang seorang Pangeran kuno yang pertama kali membuktikan keberadaan Dewi Havitas.”
“.…”
Kesunyian melanda kerumunan. Sang Uskup Agung meneruskan.
“Sang Pangeran hidup hanya demi membalas dendam kepada wanita yang telah menghancurkan kerajaannya, mengambil keluarganya, dan menghancurkan hidupnya. Dia telah mengatasi 38 kesukaran selama 38 tahun hanya demi membalas dendam. Dan pada akhirnya, dia bertemu dengan musuhnya.”
“.…”
“Akan tetapi, pada akhirnya sang Pangeran menyadari bahwa wanita itu, juga, merupakan ibu yang baik bagi seseorang. Dihadapkan dengan musuh yang telah dicarinya habis-habisan, akhirnya sang Pangeran melepaskan pembalasan dendamnya dan memaafkan si wanita dengan air mata darah. Pada saat itu jugalah, dia berjumpa dengan Dewi Havitas, yang telah menitis dalam tubuh wanita itu.”
Orang-orang menahan napas mereka ketika mereka mendengar mitos tentang Dewi Havitas yang diceritakan oleh sang Uskup Agung. Perhatian orang-orang pun beralih kepada sang Ratu dan Duke Agung Axias yang sedang berlutut di altar. Kata-kata sang Uskup Agung mulai menguat.
“Dan demikianlah menara lonceng ini dilahirkan. Tanah ini telah disaksikan oleh Dewi cinta, pengorbanan, dan pengampunan. Saya pikir Baginda Ratu Aversati dan Yang Mulia Duke Agung Axias adalah orang yang paling cocok untuk berdiri di tempat ini pada hari ini.”
Kata-kata sang Uskup Agung dipenuhi oleh kekuatan suci yang luar biasa dan menyebar dengan gema nan berat.
“Mari kita berdoa bagi Baginda Ratu Aversati yang telah memeluk kebencian paling menyakitkan yang terlahir dari rasa cinta kepada keluarga, sebagai rasa cinta kepada keluarga dan telah memilih pengampunan yang paling sulit.”
Yang mengejutkan orang-orang, Ratu Aversati, yang sebelumnya telah duduk tanpa ekspresi, kini menitikkan air mata. Raut terkejut muncul di wajah-wajah mereka yang menyadarinya.
Bahkan ada orang-orang yang menangis bersama dengan sang Ratu. Sang Uskup Agung mengangkat lengannya dan membasahi tangannya dengan titik-titik hujan yang jatuh dari langit.
“Semoga begitu banyak air mata darah dari masa puluhan tahun silam hari ini dibasuh dengan air mata sang Dewi. Semoga kau diberkahi dengan kekuatan suci. Semoga berkat dari sang Dewi beserta dengan tanah ini. Lucielli*.”
(T/N: Semoga Tuhan menyelamatkanmu dengan cahaya)
Mendengar kata-kata sang Uskup Agung, orang-orang pun merangkapkan tangan mereka untuk berdoa.
“Lesiel*.”
(T/N: Semoga kehendak Tuhan terlaksana)
Upacara pun dimulai dengan disaksikan semua orang. Seratus dua puluh orang pendeta menundukkan kepala mereka dan mulai berdoa.
Killian, yang menatap sang Ratu tanpa bersuara, maju ke depan patung Dewi dan berlutut dengan satu kaki. Rietta, yang berdiri di sisinya, mengangkat khakkhara yang memancarkan cahaya keperakan dengan kedua tangannya. Dia menunjuk ke atas bahu Killian dan kemudian ke atas kepala pria itu.
Kemudian Rietta pergi menuju air mancur dan mengisi sebuah gelas dengan air suci yang mengalir dari patung Dewi. Suatu cahaya transparan memancar di sekujur tubuh Rietta dan air di dalam gelas itu pun berpendar dengan kilau lembut. Setelah mencelupkan tangannya ke dalam air suci dari gelasnya, Rietta membalikkan tubuh dan menempatkan tangannya pada dahi Killian. Begitu keduanya bersentuhan, cahaya menyilaukan perlahan menyebar di antara mereka.
Killian meletakkan tangannya di depan dada dan menunjukkan sikap hormat, kemudian meraih tangan Rietta dan mencium punggung tangannya.
Rietta meletakkan tangannya pada bahu Killian kemudian memberkati Killian dengan menciumnya tepat di dahi.
Orang-orang menahan napas mereka ketika menyaksikan pemberkatan yang dilakukan oleh kepala pendeta berparas jelita. Ini adalah sebuah upacara yang baru pertama kali terlihat di Havitas. Yang Rietta kira sebagai upacara di Havitas sebenarnya diusulkan dan diajukan oleh para pendeta yang dibuat terkesan oleh tindakannya. Pemberkatan dari seorang kepala pendeta wanita, yang merupakan hal langka pada upacara pemberkatan besar, terasa asing, suci, dan mengesankan baik bagi rakyat maupun para pendeta.
Rietta kembali mengambil Khakkara dari pendeta dan lanjut berjalan ke hadapan Uskup Agung di atas altar. Dia naik menuju altar yang ada di ujung tangga dan berlutut di hadapan sang Uskup Agung, kemudian menyerahkan Khakkharanya kepada sang Uskup Agung dengan kedua tangan.
Sang Uskup Agung mengambil Khakkhara dan mengarahkannya ke atas bahu dan kepala sang Ratu. Kemudian, seperti yang telah Rietta lakukan, Beliau memberkati sang Ratu dengan air suci yang mengandung berkat. Cahaya intens dari pemberkatan itu berpusar mengelilingi sang Uskup Agung dan sang Ratu. Tangan lembut sang Ratu yang ada di balik sarung tangan putih diletakkan di atas tangan sang Uskup Agung. Kini tibalah giliran sang Uskup Agung dan sang Ratu untuk menaiki menara lonceng.
Kerumunan mempersiapkan doa mereka dan menantikan mereka memasuki menara lonceng. Tapi alih-alih, sang Uskup Agung berlutut, mencium punggung tangan sang Ratu, lalu sekali lagi berdiri di atas podium.
Sang Uskup Agung memejamkan matanya dan membentangkan tangannya, menyebarkan kekuatan sucinya yang meluap-luap. Air hujan yang berjatuhan diwarnai oleh rona keperakan nan cemerlang. Kerumunan, yang tanpa disangka-sangka dimandikan oleh air suci, menatap hujan keperakan itu dengan terkejut.
Beberapa orang membentangkan lengan mereka dan memandikan diri mereka sendiri di dalam air suci. Sementara itu, si ibu, yang tadi sedang menghibur anaknya, mengangkat anaknya itu dan membiarkan si anak bermandikan air suci. Sang Uskup Agung menyelesaikan upacaranya dan membuat salib di depan dirinya sebagai tanda penghormatan.
“Sekali lagi saya memberikan kehormatan untuk memperkaya altar Dewi ini. Semoga sang Dewi beserta dengan keluarga kekaisaran Lilfaeum dan Kekaisaran Dimpel. Lucielli.”
“Lesiel!”
Orang-orang berseru lantang. Tepuk tangan membahana terdengar menggemuruh. Meninggalkan suara tepukan tangan dari kerumunan di belakangnya, sang Ratu mengambil sebuah lentera dan menghilang ke dalam menara lonceng dengan bimbingan sang Uskup Agung.
Rietta kembali ke belakang Killian dan tetap berada di tempat duduknya. Ketika sang Ratu dan Uskup Agung memanjat menara loneng yang setinggi 38 lantai, orang-orang mengelilingi patung Dewi atau berlutut dan mulai berdoa sesuka hati. Upacara sedang menuju puncaknya.
Dengan doa dari orang-orang, kekuatan suci yang besar terpusat di alun-alun, dan Rietta merasakan suatu pemenuhan spiritual yang belum pernah dia alami dalam hidupnya. Kekuatan luar biasa besar berkumpul dan menindih Rietta, dan kekuatannya sendiri meningkat begitu pesat hingga dia merasa tak memiliki batasan.
Lonceng berdentang setelah doa yang panjang. Kekuatan suci yang terpusat menjadi sebuah pemberkatan kuat dan menyebar ke udara. Dengan suara nan megah, pemberkatan luar biasa besar dari Dewi menimpa kepala orang-orang bersamaan dengan titik-titik hujan.
Rietta mengangkat Khakkhara. Kekuatan penuh di udara berkumpul dan meluap-luap di dalam khakkhara serta tubuh Rietta. Sebuah lingkaran sihir suci raksasa muncul di bawah tubuh Killian dan mulai bersinar terang.
Rietta memejamkan matanya dan mulai berdoa untuk Killian. Kekuatan suci yang dimampatkan di dalam tubuh Rietta berdentum-dentum seakan hampir meledak. Sukar bagi Rietta untuk bernapas. Waktu memelan tanpa batas. Dia menatap pada para pendeta dan kerumunan orang-orang dalam kesan samar seolah dirinya telah jatuh ke dimensi lain.
Rietta bisa merasakan seratus dua puluh orang pendeta yang penuh keyakinan satu demi satu sedang berdoa. Indera-inderanya yang kini telah menjadi sensitif membuatnya mengetahui semuanya.
Akan tetapi, dalam waktu yang singkat itu, dia juga menyadari adanya beberapa hal yang ganjil. Beberapa pendeta tidak sedang berdoa. Mereka yang tidak memiliki keyakinan tulus, mereka yang memiliki niat berbahaya, dan orang yang bukan pendeta ada di antara para pendeta.
*****
“Anda telah bekerja keras, Baginda Ratu. Anda bisa beristirahat sebelum turun.”
Karena dirinya telah memanjat menara setinggi 38 lantai, sang Ratu, bermandi keringat, duduk di atas tangga. Barulah setelah terengah selama beberapa saat dia mulai menjawab.
“Sungguh pidato yang mengharukan, Uskup Agung.”
Sang Uskup Agung menyeringai. “Bicara lebih mudah daripada melakukannya. Pngampunan Anda bahkan lebih menyentuh, semua orang yang berkumpul di sini pasti berpikir demikian.”
“Pengampunan….”
Derai tawa lemah keluar dari bibir sang Ratu.
“Akankah keluarga sang Pangeran, yang sudah mati itu… telah memaafkan dia karena memilih untuk memaafkan?”
“Sejak awal, keluarga yang mencintai dirinya takkan ingin sang Pangeran tenggelam dalam jalan pembalasan yang menyakitkan demi mereka.”
“Uskup Agung.”
Sang Ratu mendongakkan kepalanya. Mata abu-abunya meredup dan beralih pada sang Uskup Agung. “Anda tidak meminum teh yang saya berikan kepada Anda. Apakah Anda tidak memercayai saya?”
Ini adalah pertanyaan mendadak. Kemudian, lenteranya padam.
“Baginda Ratu? Harap nyalakan lenteranya. Saya tidak bisa melihat Anda.”
Suara kebingungan sang Uskup Agung menggema di dalam kegelapan.
“Uskup Agung… apakah di sini gelap?” Suara sang Ratu berlanjut, seakan sedang terisak.
“Saya sudah terlalu lama berada di dalam kegelapan…. Setelah mengantar kepergian William dan Salerion tiga belas tahun yang lalu, saya telah berjalan di dalam kegelapan sepanjang waktu.”
Titik-titik hujan nan lebat berderai dihembus angin dan memukul-mukul jendela menara lonceng.
“Satu-satunya hal yang selama ini menjadi cahaya bagi saya adalah wajah-wajah anak-anak saya yang terkadang muncul di dalam mimpi saya dan memanggil-manggil saya….”
Sang Ratu menggesek batu api untuk membakar rabuk dan menyalakan pelita. Ditatapnya rabuk yang menyala-nyala dengan mata berkabut.
“Ketika William memanggil saya, pemikiran-pemikiran fantastis muncul dalam benak saya, seperti sebuah pengungkapan. Meski semuanya selalu berakhir berpencaran dengan ingatan-ingatan bernoda darah…. Ibu tidak melupakan kami, kan? Ibu belum melupakan kami, kan?”
Sang Ratu tersenyum dan menyalakan lentera.
“Kemudian aku akan menjawab. Bagaimana aku bisa lupa….”
Sang Ratu menundukkan kepalanya dan tubuhnya terguncang-guncang, seakan sedang menangis.
“Uskup Agung… saya berada di dalam kegelapan, lorong yang panjang, dan jantung saya berhenti. Jantung saya hanya berdetak ketika saya berlari untuk melakukan pembalasan dendam…. Sepertinya hanya ketika itulah cahaya bisa terlihat.”
Sang Ratu mendongakkan kepalanya dan tersenyum lembut.
“Uskup Agung…. Berilah saya cahaya. Bahkan meski ini hanyalah cahaya sesaat, tidak mengapa.”
Darah menetes-netes menuruni tangga. Tubuh sang Uskup Agung berkedut ketika merosot lemas dan mendingin.
“Saya mendengar bahwa semakin kuat suatu makhluk spiritual yang dikotori, semakin kuat pula kegelapan yang akan dihasilkannya.”
Tubuh sang Uskup Agung berkeriut ganjil dan perlahan berdiri. Sang Ratu menatapnya dan mengilaskan seulas senyum manis, sarat dengan kekaguman.
“Saya menantikan kegelapan Anda, yang dengannya akan membimbing saya keluar dari dalam lorong….”