Like Wind on A Dry Branch - Chapter 214
Pangeran yang berbakat itu mendapati bahwa urusan-urusan sekuler membosankan dan pewarisan tahta tidak menarik. Dia menjalani kehidupan yang santai, hanya berinteraksi dengan para pendeta bangsawan, yang menyukai dirinya karena bakat mata dewanya. Namun dia tak mau mempelajari teori-teori keagamaan yang mereka pelajari.
Baik belajar keras maupun belenggu yang datang bersama dengan tahta bukanlah untuknya, menurut pendapatnya.
****
“Baginda! Yang Mulia!” Para kesatria dan pekerja kastel berteriak sekencangnya seraya mati-matian berusaha memadamkan apinya.
Ember demi ember air terayun di antara tangan-tangan mereka. Para pendeta mendesak para penonton agar menyelamatkan diri sembari berusaha memurnikan area itu.
Morbidus muncul di belakang Rietta, tak terlihat di mata semua orang lainnya. “Pelakunya Exitius,” dia berbisik.
Rietta menatap kaget ke arahnya. “Apa Permaisuri yang memanggil dia?”
“Sepertinya begitu. Penakhlukan ini berasal dari orang tanpa kekuatan suci – seseorang yang terlibat dalam sihir hitam.” Morbidus menyeringai. “Dia sudah menerima tumbal dalam jumlah luar biasa besar. Ini bukan Exitius yang kukenal. Dia jauh lebih kuat.”
Rietta berpaling persis ketika pepohonan yang ada di sekitarnya terbakar dan roboh ke jalanan.
****
Tunduk pada kekuasaan dan tunduk pada keimanan itu berbeda. Sang pangeran tertarik pada yang kedua. Sorot takut yang dia timbulkan, tatapan-tatapan hormat. Dia menikmati menjadi obyek dari keimanan dan kekaguman orang-orang. Hal itu memberinya pelepasan yang memabukkan.
Jadi, dia pun memutuskan untuk menjadi dewa.
Secara fisik terlahir sebagai putra dari seorang raja dan secara jiwa menjadi kecintaan Dewa, dia tak ragu kalau dunia akan membantu membentuk dirinya menjadi makhluk dewata sepenuhnya.
****
Dengan ragu Rietta melepaskan bahan-bahan apa pun yang mudah terbakar, seperti renda dan bulu. Kemudian dia melemparkan dirinya sendiri ke dalam api. Killian. Di mana Killian?
Dia hanya berhasil berjalan beberapa langkah sebelum Morbidus menangkap pergelangan tangannya. “Kau mau ke mana?”
“Aku harus mencari Killian,” dia memanggil.
Dengan suara derak menggema, sebatang pohon yang menyala-nyala jatuh ke arah mereka. Bara api memercik sebagai hasilnya. Morbidus menarik Rietta ke belakangnya. Terus memancangkan mata pada api, dia berseru, “Mundur. Aku yang akan mencari dia.”
“Aku ikut denganmu.”
“Tidak, kau tidak ikut. Kau tak bisa melawan iblis api.”
Rietta memelotot. “Apa yang bisa dilakukan oleh iblis wabah sepertimu terhadapnya?”
“Setidaknya aku bisa berlari lebih cepat daripadamu.”
Dengan suara derak lagi, dua batang pohon saling bertabrakan dan roboh. Morbidus menarik sabitnya dan memotong pohon-pohon yang terbakar itu. “Aku harus pergi sekarang juga.”
“Jangan konyol. Aku ikut denganmu.” Rietta maju selangkah, namun Morbidus memanggil brown padang, iblis-iblis pelayannya.
Sesuatu menangkap pergelangan tangan Rietta. Benda logam yang bentuknya seperti borgol mengatup di pergelangan tangan itu dan menariknya mundur.
Secara refleks Rietta memanggil kekuatan sucinya. Rantai-rantai sihirnya berderak tapi tidak patah.
Morbidus? Terperangah, Rietta ternganga menatap rantai-rantai itu. Apa ini belenggu sihir?
Morbidus memunggunginya. “Jangan maju lebih jauh lagi. Kau akan aman di sini, tapi tidak kalau maju lebih jauh.” Dengan kata-kata itu, dia menarik dinding pelindung yang telah menyembunyikan Rietta.
Para kesatria dan pendeta yang sedang berlarian panik tiba-tiba membeku dan tercengang menatapnya. “Rietta! Kenapa kau masih di sini? Kau harus evakuasi!”
Rietta mengalihkan pandangannya dari Morbidus dan menatap ke arah kerumunan. Kakinya tak bergerak.
“Rietta!” seorang kesatria mengulurkan tangan ke arahnya.
Persis pada saat itulah, Rachel menepis tangan si kesatria. Dia memeluk Rietta, mendesakkan diri ke antara mereka. “Kami yang akan melindungi dia.”
Si kesatria berjengit dan melangkah mundur.
Akhirnya Rietta menyadari apa yang sedang terjadi dia menatap syok pada Rachel. Sihir pengikat pada rantai-rantainya bergetar ketika terhubung pada pergelangan tangan Rachel.
“Rietta!” Seira bergabung untuk membantu menutupi Rietta sementara Elise memeriksanya. Rietta menatap rantai-rantai yang menyatukan mereka semua. Sihir Morbidus, tak kelihatan bagi yang lain, tampak jelas di matanya. Si iblis wabah telah mengikat dirinya pada para kesatria wanita dari Gedung Timur.
Tertegun, Rietta menatap gelang ankh yang berdenting di pergelangan tangannya. Bagaimana bisa Morbidus melawan perintahku dan mengikatku? Ini seharusnya takkan bisa terjadi.
Tetapi dia punya hal lain yang perlu dicemaskan. Para kesatria wanita mencengkeram tangannya dan lari.
“Tunggu!” dia berseru, menarik diri. “Rachel. Elise. Aku harus mencari Killian. Dia belum keluar!”
“Dia akan selamat,” Rachel meyakinkan dirinya.
Dengan itu, para kesatria wanita pun berlari membawa Rietta ke tempat aman.
****
Dirinya tidak seperti manusia-manusia lain. Adiknya akan berkuasa atas manusia sebagai raja sekuler, namun dia akan membuat mereka tetap setia sebagai pangeran spiritual.
Di antara para calon pendeta, dia mendedikasikan hidupnya pada agama dan menyerahkan tahta kepada adiknya. Orang-orang menghormati dirinya karena hal itu dan kenaikan spiritualnya pun dimulai.
Dia tak perlu melakukan hal istimewa apa pun. Dia adalah seorang pangeran agung, kakak dari raja kerajaan ini. Ordo menunjuk dirinya sebagai pendeta tinggi bahkan tanpa bertanya untuk memastikan kredensial ataupun rekam jejaknya.
Dia mulai menjelajahi dunia bersama para pendetanya, mengeluarkan berbagai perintah seakan dialah rajanya. Dia menyatakan kalau dia perlu tetap berada dekat dengan rakyat, untuk mengingatkan mereka pada kedigdayaan suci sang Dewa.
Dia terutama suka mengunjungi wilayah-wilayah yang telah ditakhlukkan oleh adiknya, untuk mengingatkan musuh-musuh mereka bahwa merekalah yang disukai oleh Dewa.
Tak lama sebelum adiknya, yang dulunya raja, menjadi Kaisar pendiri benua yang telah disatukan, Pendeta Tinggi Rutenfeld menerima gelarnya sendiri.
****
Killian memastikan untuk kembali pada Rietta sebelum semuanya terlambat.
“Killian!” Begitu Rietta melihatnya, wanita itu berlari ke arahnya untuk dipeluk. Dia melingkarkan lengannya pada punggung Rietta dan membelainya. “Kau baik-baik saja? Kau terluka?”
Dia tertawa. “Telapak tanganku sedikit tergores, tapi aku tak apa-apa. Bagaimana denganmu?”
Rietta mengangguk. Dia kelihatan seperti hampir menangis. Sementara itu, api menyebar melewati istana dan memasuki hutan.
*****
Apinya tidak berhenti di hutan.
Para pemeriksa berkumpul untuk memeriksa kerusakan yang ditinggalkan oleh iblis api. Masyarakat umum juga melihatnya.
Celah yang lebih lebar lagi tumbuh di antara para kardinal. Beberapa tidak setuju soal mengundur sidang dan menunda upacara pemberkatan besar. Yang lebih konservatif di antara mereka telah mengetahui bahwa para pemeriksa telah menghubungi para kardinal yang lebih moderat, memengaruhi mereka.
Para kardinal itu meminta diadakannya rapat umum, berkata bahwa mereka ingin menentang tuduhan tidak adil para pemeriksa terhadap Kardinal Racionel, yang telah mulai berpuasa untuk mempersiapkan upacara pemberkatan besar.
Sementara itu, Rietta menerima undangan dari suatu sumber tanpa nama.
****
Mewakili sang Kaisar di masa perang, Rutenfeld memberangkatkan para pendeta untuk membantu dalam pertempuran. Kekuasaannya pun bertambah. Dia juga mulai mengawasi urusan-urusan diplomatis dan menerima delegasi-delegasi resmi atas nama sang Kaisar.
Si pendeta tinggi menggenggam kekuasaan di tangannya, memanfaatkan reputasi keagamaan serta statusnya sebagai kakak sang Kaisar. Walaupun ketegangan tumbuh di antara dirinya dan para pejabat Kaisar, Rutenfeld tak peduli.
Hingga pada suatu hari, ketika kepercayaannya terguncang hingga ke intinya.
Itu adalah hari ketika dia bertemu dengan Putri Beatrice, seorang delegasi dari Lamenta, yang mengunjungi kekaisaran untuk meminta perjanjian damai.
Pintunya berderit terbuka. Seorang wanita berambut hitam, mengenakan cadar, perlahan berputar ke arahnya. Semuanya berubah begitu dia melihat mata violet wanita itu.
****
“Selamat siang, Yang Mulia,” ujar sebuah suara dari belakang Putra Mahkota.
Dia terperanjat, berputar untuk menyapa tamunya. “Terima kasih atas kedatangannya.”
Rietta melangkah mundur dan mengangkat kedua tangan ketika sang pangeran menawarkan tangannya. “Tolong jangan dekat-dekat pada saya. Kedatangan saya kemari tidak berarti bahwa saya memercayai Anda.”
Sang Putra Mahkota mengangguk dan bersandar kembali pada meja kerjanya. Tersenyum, dia meletakkan jemarinya yang bertautan ke pangkuan.
Setelah ragu sejenak, Rietta bertanya, “Apakah Anda memiliki mata dewa?”
“Tidak.”
Rietta menatap ke bawah. “Seperti yang mungkin sudah Anda perkirakan, saya ditemani oleh pengawal yang tak terlihat. Saya merasa kalau akan lebih sopan jika memberitahu Anda. Maafkan saya karena menyembunyikannya, tetapi saya harus mengutamakan keselamatan saya, bahkan jika saya mengambil risiko menyinggung Anda.”
“Kau telah membuat keputusan yang tepat,” Halstead menjawab, tersenyum.
“Terima kasih atas pengertian Anda.”
Sejenak Halstead menatap Rietta. “Silakan duduk.”
Rietta menekuk lutut memberi hormat dan duduk. Sang Putra Mahkota menunggu ketika kesunyian meresapi ruangan. Akhirnya, dia berkata, “Boleh saya bertanya kenapa Anda datang menemui kami pada hari kedatangan kami? Pada mulanya, saya menerka kalau itu adalah perintah dari Permaisuri. Sekarang saya tidak seyakin itu.”
“Aku ingin melihat Anda dengan mata kepalaku sendiri sebelum pertemuan resmi kita. Utara adalah wilayah terpencil, dan kurasa Dewan Bangsawan serta Baginda Permaisuri tidak akan memberikan penilaian adil terhadap sang duke agung.”
Sang Putra Mahkota menuangkan teh. “Aku tak tahu seberapa banyak kebenaran yang ada pada cerita-cerita yang pernah kudengar tentang kakakku. Aku ingin bertemu sendiri dengannya dan membentuk pendapatku sendiri.”
Rietta mengamati cangkir tehnya. “Itu adalah interaksi yang terlalu singkat untuk dipakai menilai seseorang.”
Sang pangeran tersenyum. “Aku setuju. Tapi aku jadi mengetahui lebih banyak daripada yang kuharapkan.” Dia menawarkan secangkir teh pada Rietta.
Dengan sopan Rietta menolaknya. “Kita tak punya banyak waktu. saya ingin tahu mengapa Anda mengundang saya kemari.”
“Aku yakin Anda lebih bisa menerima kondisi kita dibandingkan yang Anda kira,” Halstead berkata. “Lebih spesifiknya, aku yakin Anda berharap untuk memaafkan Baginda Kaisar. Jadi, walaupun aku tidak yakin apakah bijak untuk mengatakan ini kepada Anda, aku percaya inilah perbuatan yang benar.”
Sang Putra Mahkota terdiam sejenak. “Seberapa banyak yang Anda ketahui tentang malam itu?”
Rietta menatap sang pangeran.
“Kubayangkan Anda sudah mendengar banyak cerita. Tapi aku mungkin lebih familier dengan insiden itu dibanding siapa pun, kecuali untuk mereka yang terlibat secara langsung.”
Ekspresi Rietta berubah kaku dan jantungnya berdebar dengan kegelisahan.
“Sejujurnya saja, aku tak tahu apakah ini akan membuat Anda marah atau memberikan kejelasan pada Anda. Namun Anda punya hak untuk tahu.” Halstead menundukkan kepalanya dan bergerak-gerak gelisah. “Kuharap ceritaku ini takkan kedengaran seperti aku sedang membela si pelaku. Tapi tolong, kabulkan keinginanku. Aku berjanji hanya akan memberitahukan kebenarannya pada Anda.”
Dia mengangkat kepalanya untuk menatap wanita yang tak mampu berkata-kata itu. “Bersediakah Anda memaafkan saya untuk bicara tentang Yang Mulia Putri Suci di hadapan Anda?”
Putri Beatrice adalah putri suci dari sebuah kerajaan yang sejarahnya berlangsung selama ribuan tahun. Begitu Rutenfeld melihat sang Putri, dia tahu kalau ternyata dirinya bukan orang kesayangan Dewa.
Sang Putri telah menjungkirbalikkan kehidupannya, mengirimnya ke dalam pusaran keputusasaan. Sang Putri begitu suci dan tanpa cela, cantik dan kuat, lebih istimewa dibandingkan siapa pun. Sang Putri adalah putri dari seorang raja, terlahir bukan hanya dengan mata dewa tetapi juga kekuatan yang lebih besar dibanding pengguna kekuatan suci mana pun yang pernah dia temui.
Rutenfeld terperanjat. Pemikirannya yang berikutnya adalah Wanita itu adalah milikku.
“Pendeta Tinggi Rutenfeld marah karena Putri Beatrice menolak dirinya,” sang Putra Mahkota berkata. “Dia berusaha melecehkan sang Putri, namun iblis pribadi sang Putri melindunginya. Mereka menelanjangi Rutenfeld dan menggantung dirinya dari dinding kastel. Dirinya dipermalukan.”
Rietta tercengang menatap sang pangeran, tak mampu memercayai telinganya sendiri.
“Para iblis juga menyembunyikan sang Pendeta Tinggi dari pandangan, jadi tak ada seorang pun yang bisa melihatnya. Bahkan sang Putri juga tak tahu apa yang telah dilakukan para iblis itu. Namun beberapa orang pendeta telah melihat Rutenfeld berlari memasuki kamar sang Putri, dan mereka tahu kalau dia telah melewatkan malam di sana.”
Sang pangeran meragu, sejenak berpikir keras. Dengan gugup dia menjilat bibirnya. “Pada waktu itu hanya sedikit orang yang tahu bahwa orang-orang yang memiliki kekuatan suci yang besar mampu menakhlukkan iblis. Sang Pendeta Tinggi memanfaatkan hal itu untuk melawan sang Putri, menyatakan sang Putri terlibat dalam ilmu sihir. Dia memaksa untuk diadakan sidang atas perbuatan bidah.”
Rietta memejamkan matanya.
“Ada banyak orang yang menentang, tapi….” Sang Putra Mahkota menggelengkan kepalanya. “Tak seharusnya hal itu sampai terjadi, namun nyatanya memang terjadi.”
Rietta nyaris tak sanggup bernapas ketika dia menatap Halstead. Ibuku datang untuk berdamai dengan musuhnya, dan alih-alih, dia malah dibakar sampai mati atas tuduhan palsu. Air mata berjatuhan dari matanya.
“Pada saat sang Kaisar kembali, semua sudah terlambat. Beliau murka. Kaisar melucuti semua hak Rutenfeld dan mengasingkannya, namun sebelum para pengawal bisa memaksanya keluar, sang Pendeta Tinggi menghilang. Baginda Kaisar tak sanggup mengungkapkan detil-detil memalukan itu. Pada akhirnya, Beliau memberitahu dunia bahwa Rutenfeld telah salah meyakini bahwa sang Putri ingin membunuh dirinya, dan malangnya, semuanya memuncak tak terkendali.”
Sang Putra Mahkota membungkuk dalam-dalam. “Aku minta maaf.”