Like Wind on A Dry Branch - Chapter 215
Rietta menangis sembari memeluk tongkatnya. Ibu bilang Ibu telah meninggalkan pesan untukku. Aku sangat butuh mendengar kata-kata Ibu.
Di belakangnya berdirilah Morbidus, mengepalkan tangannya begitu erat sehingga buku-buku jarinya memutih.
****
Kutukan yang telah berlangsung seumur hidup telah membuat Hilstead mencemaskan semuanya. Bagaimana pemberi berkat itu akan menilai Rus atau sang duke agung – ataupun mereka semua. Akankah kutukan itu memengaruhi sang duke agung, kini karena dia sudah kembali ke istana bersama dengan keturunan Lamenta?
Beberapa orang menyatakan bahwa sang duke agung sedang menyandera wanita itu, namun Putra Mahkota tidak merasa kalau itulah yang terjadi. Sekali lihat saja, sudah jelas sebesar apa wanita itu memercayai sang duke agung dan sebagai gilirannya, seberapa besar sang duke agung peduli kepadanya.
Begitu dia sudah bertemu mereka, semuanya menjadi jelas. Duke Agung Axias tidak mau menantang Putra Mahkota untuk posisi lamanya. Jika sang Duke Agung memang berniat demikian, pria itu akan sudah melakukannya sebelum sang Putra Mahkota menginjak usia dewasa. Dan pria itu jelas tidak akan bersumpah untuk melayani Rietta sebagai kesatrianya.
Sang Putra Mahkota meragu. Tidaklah mudah untuk menurunkan kewaspadaannya. Dia sudah memasangnya untuk seumur hidup. Tetapi ketika Rietta mengkonfrontir Permaisuri tanpa secercah pun rasa takut, sang Putra Mahkota pun mengubah rencananya.
“Rus.” Halstead berlutut pada satu kaki di hadapan teman satu-satunya. Ruslan tak bisa berlutut karena kecacatannya. Alih-alih, Ruslan bersandar pada tongkatnya. “Ayo kita bertaruh, Rus.”
Ruslan menghela napas. “Tolong berdirilah, Yang Mulia. Anda tak boleh lagi merendahkan diri Anda di depan saya. Kalau tidak, saya akan harus berlutut juga, dan saya tak mampu berdiri sendiri.”
Halstead tersenyum.
****
“Menurutku Putra Mahkota tahu tentang rencana kita, walaupun sepertinya dia belum punya buktinya,” bisik suatu suara lirih.
Orang-orang yang berkerumun itu bertukar tatapan gelisah.
“Apa yang harus kita lakukan?” lainnya bertanya. “Kita tak punya waktu untuk meyakinkan Beliau. Haruskah kita melanjutkannya saja? Sang Permaisuri tak punya jalan keluar, tapi mungkin Putra Mahkota punya. Jika Beliau mengejar kita, kita harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.”
Rencana mereka untuk membunuh sang Kaisar, memfitnah sang duke agung dan Rietta, serta mengendalikan Putra Mahkota sebagai boneka yang baru telah berguguran. Semua anggota mengernyit.
“Akankah Beliau sampai sejauh itu? Kita bisa menawarkan untuk menyingkirkan Kaisar dan sang duke agung dalam sekali gebrak. Bagaimanapun juga, Putra Mahkota akan menjadi Kaisar berikutnya. Kita sudah membantunya.”
Anggota yang lain menggelengkan kepalanya. “Beliau melakukan hal yang tidak biasa dengan mengungkapkan dirinya sendiri. Itu berarti Beliau tidak setuju dengan rencana kita. Kita harus maju dengan hati-hati. Begitu Beliau bertekad untuk melawan kita, semuanya akan sudah terlambat.”
“Aku setuju. Putra Mahkota belum membuat satu pun gestur bersahabat sejak Beliau mengungkapkan dirinya sendiri. Ini berarti Beliau sedang memperingatkan kita.”
“Sang Kaisar takkan bertahan lama. Dan selama sang duke agung tidak mengancam dirinya, Putra Mahkota tak punya alasan untuk mengambil risiko ini. Beliau mungkin merasa lebih terancam oleh apa yang terjadi setelah kenyataan itu. Kita harus hati-hati jangan sampai ada yang menjebak kita.”
“Kita harus melangkah dengan hati-hati. Kalau kita ingin tetap tidak terlibat dari semua ini, berarti sekarang atau tidak sama sekali.”
*****
Pihak istana mengeluarkan pernyataan resmi tentang identitas Putra Mahkota dalam bentuk ucapan syukur tradisional:
Periode kegelapan yang panjang telah berakhir. Sang Santa dari Lamenta telah datang untuk memberkati era baru kita. Melalui upacara pemberkatan besar yang akan datang ini, Kekaisaran Liefheim akan memurnikan Mahkota Lamenta dan mengembalikannya kepada pemilik yang sebenarnya.
Cahaya baru terbit untuk menyinari tanah kita. Sudah tiba waktu bagi keluarga kekaisaran untuk mempersembahkan Putra Mahkota yang sebenarnya kepada rakyatnya.
Beliau akan memimpin kekaisaran kita menuju era baru nan makmur lewat upacara pemberkatan besar yang kami tawarkan seiring dengan ritual Tahun Baru tradisional kita. Kami mengundang semua rakyat Rhodminue untuk bergabung dengan kami dalam acara penuh suka cita ini, untuk membuat kejayaan kekaisaran kita bersinar lebih benderang.
****
“Yang Mulia.” Permaisuri meletakkan lengannya pada sandaran punggung tahta kekaisaran yang kosong. Dia tersenyum dan mengulurkan tangan. “Kemarilah.”
Sang Putra Mahkota memberi hormat dan menghampiri sang Permaisuri. Permaisuri mengetuk tahta Kaisar. “Duduklah di sini. Tahta ini milikmu.”
Sang Putra Mahkota mengernyit. “Baginda Permaisuri, Baginda Kaisar masih bertahta.”
Sang Permaisuri menatap tahta itu. Sang Kaisar tampak di sana, dagu tersangga pada satu tangan. Dia melambaikan tangannya, tidak terkesan, dan sang Kaisar terjatuh dari tahta itu. Tubuhnya berubah menjadi abu ketika mengenai tanah. Permaisuri tersenyum dan kembali mengetuk tahta.
“Baginda Permaisuri,” sang pangeran berkata. “Ada begitu banyak timbunan, sampai tidak menyisakan tempat untukku.”
Perlahan sang Permaisuri berbalik. Tahta itu kini penuh dengan tulang-belulang. Dia menudingkan dagunya pada salah satu tengkorak. “Ibu,” tengkorak itu mendesis.
“Putraku.” Sang Permaisuri tersadar ketika mendengar suaranya sendiri. Dia menatap linglung pada langit-langit dan tidak berkedip sekejap pun.
*****
“Yang Mulia, apa Anda membawaku kemari karena wanita itu?” sang Permaisuri terbahak. “Apa kau takut kalau aku mungkin akan menanyakan tentang putrinya?” Permaisuri tertawa begitu keras sehingga air mata merebak di matanya. Dia menutul-nutul air mata itu. “Putrinya yang sudah mati… sungguh menarik.”
Sang duke agung tidak menanggapi.
Permaisuri memungut sekuntum bunga dari gerobak dan memeganginya di dada. “Anda bukan seorang duke agung yang sepayah ini, kan? Kupikir Anda hanya ingin aku melihat Anda seperti itu.” Terkikik, dia memungut lebih banyak bunga. “Apa kau merasa berduka karena dia melupakan anaknya?”
Permaisuri memungut lebih dan lebih banyak lagi bunga hingga lengannya penuh. Dia memberi Killian seulas senyum yang memesona. “Apa Anda ingin memulihkan ingatannya?”
Seketika, semua bunga itu mulai layu. Killian menatap Permaisuri, sorot matanya tajam.
Permaisuri menimang bunga-bunga yang mengering itu. “Apa kau ingin tahu seperrti apa rasanya kehilangan anak-anakmu?” Bunga-bunga itu menggulung dan hancur dalam pelukannya. Dia menunduk seakan sedang menimang bayi. “Kau takkan ingin kehilangan ingatan semacam itu. Perasaan itu membakar hatimu.”
Persis pada saat itulah, bara api berkedip-kedip di antara tumpukan bunga. “Oh,” Permaisuri berseru.
Sehembus angin meniup bara api ke semua arah. Api melompat dari bunga-bunga itu ke tanah. Permaisuri menunduk menatap lidah-lidah api teresbut.
Killian meragu, namun hanya untuk sepersekian detik. Kemudian Killian melompat ke arah Permaisuri, mendorong tangan wanita itu hingga terbentang supaya bunga-bunga yang terbakar itu berjatuhan. Percikan api beterbangan di sekeliling mereka ketika Permaisuri tertawa.
Jadi Permaisuri telah melibatkan diri di dalam sihir hitam. Kini Killian bisa menerka sumber dari kekuatannya – Exitius, si iblis api.
“Jangan iblis api,” Morbidus dulu pernah memberitahunya. “Kau tak tahu seberapa tinggi harga yang harus Beatrice bayar untuk mencegahnya diturunkan pada Rietta.”
****
Kontraktorku, kalau kau ingin aku mengabulkan keinginanmu, aku akan membutuhkan lebih banyak kekuatan. Jadikan aku iblis api terkuat untuk menghantui dunia ini bagaikan mimpi buruk abadi. Ciptakan api yang cukup besar untuk membakarkan tandaku ke dalam sejarah, selamanya.
****
Para penasihat dan orang-orang yang skeptis terhadap sang Kardinal bertemu untuk berdebat.
“Anda tak boleh menuduh seorang cendekia demonologi telah melakukan tindakan bidah untuk bidang penelitiannya,” salah seorang pendukung mendebat. “Itu tidak masuk akal. Anda hanya memiliki pemahaman dangkal tentang bidang ini. Apa Anda sudah lupa mengapa akhir-akhir ini kami berinvestasi begitu besar dalam demonologi?”
“Kardinal Vinn, bukan ini intinya,” tukas seorang penolak. “Sang Kardinal bukan seorang peneliti demonologi biasa. Saya yakin Anda sudah pernah mendengar apa yang telah dikatakan oleh para pemeriksa.”
“Sudah. Kesemuanya itu murni hanya spekulasi. Tak ada bukti. Para pemeriksa sendiri bahkan tak mau menyebut nama tersangka mereka; dari semua orang yang ada, mengapa Anda berasumsi kalau yang dimaksud adalah Kardinal Racionel? Siapa yang selanjutnya akan Anda curigai, selir sang duke agung?”
Killian menaikkan tatapannya.
“Mari kita bicara jujur saja,” pendeta lain menyela. “Para pemeriksa sudah meminta untuk diadakan sidang terhadap selir sang duke agung. Mengapa dia tidak ditanyai? Sang duke agung menggantung para pemeriksa di Axias.”
Beberapa orang pendeta menggumam setuju. “Lagipula, bagaimana kita bisa tahu kalau dia adalah keturunan dari Lamenta? Semua pemberi berkat dan pendeta terbaik kita gagal untuk menemukan dia selama dua puluh tahun. Bagaimana bisa dia mendadak muncul begitu saja? Kalau kita tak bisa menangkap dia. Setidaknya kita harus menyelidiki dia.”
Pendeta Tinggi Gilius curi-curi pandang pada Killian.
Killian menghela napas. Dia menurunkan tatapannya, bersandar pada punggung kursinya, dan terkekeh. Para pendeta yang berada paling dekat dengannya beringsut mundur darinya. Dia menyeringai. “Mungkin aku sudah terlalu lama berpura-pura menjadi seorang intelektual.”
Seluruh ruangan menjadi senyap. Killian menatap ke luar jendela. “Harap ingat bahwa kalian sedang bicara pada seorang duke agung yang terhormat, bukan maniak yang membunuh dua orang adiknya. Aku peduli tentang reputasinya.” Suhu udara di dalam ruangan terjun bebas ketika dia tersenyum. “Aku takkan memperingatkan kalian lagi. Jangan lewati batas itu.”
****
Di dalam sebuah saluran bawah tanah, seorang wanita pirang bertubuh tinggi mengenakan tudung besar ketika dia memeriksa pusat lingkaran sihir upacara pemberkatan besar.
“Sidangnya tidak terjadi,” seseorang berkata. “Para pendeta yang ada di pihak Racionel meminta untuk diadakan rapat umum. Mereka pasti telah merasakan bahwa sesuatu yang tidak biasa sedang terjadi.”
“Bagaimana dengan Kardinal Racionel?” sang Santa bertanya, tidak mengalihkan pandangannya dari lingkaran itu.
“Dia sedang berpuasa untuk mempersiapkan upacara. Upacaranya tetap akan berlangsung pada malam purnama, seperti yang direncanakan. Para pendukung Racionel berkata bahwa sudah terlambat untuk menggantikan dia sebagai pendeta tinggi karena dialah yang mempersiapkan upacaranya. Mundur saat ini akan kelihatan seperti mengkonfirmasi desas-desusnya.”
“Dia toh tak bisa menyelesaikan sihirnya tanpa pengetahuan sang Paus,” Tania menjawab. “Kita akan baik-baik saja. Untuk saat ini, fokus saja pada mengamankan semua orang.”
****
Badai halilintar bergemuruh di kejauhan ketika sang Kardinal menyelesaikan puasanya. Hujan deras memadamkan api yang telah menyebar dengan cepat melintasi hutan kering.
“Yang Mulia.” Para pengikutnya menghampiri untuk berlutut di hadapannya. Mereka berbaris hingga ujung lorong dan memutari sudut.
Sang Kardinal mengangkat tangannya di atas pendeta yang berada paling depan. “Kita telah menghadapi banyak kesulitan,” dia berkata tenang.
Para pendeta membungkuk, marah dan berduka. Mereka tak lagi memiliki keraguan apa pun tentang kekuatannya. Beberapa orang bahkan mulai menangis.
“Kita telah memanggil murka langit karena menuduh orang yang tak bersalah,” seorang pria terengah.
Sang Kardinal meletakkan tangannya di atas dahi si pendeta. “Tolong jangan bicara seperti itu. Masa yang paling gelap adalah masa sebelum fajar.”
Si pendeta bergidik. “Tentang Sidangnya -”
Sang Kardinal menggelengkan kepalanya. “Tak usah menjelaskan. Dewa punya rencana.” sang Kardinal memberi isyarat untuk meminta tongkatnya, menerimanya dari bocah pelayan altar. Dia menegakkan diri dan tersenyum. “Aku hanya melangkah di jalan yang telah diberikan kepadaku. Lucielli.”
Para pendeta membungkuk serempak. “Leciel!”
****
Sang Kardinal telah memberitahu sang Santa, “Saya menginginkan lebih dari sihir suci. Siapa pun bisa melakukannya. Orang-orang seperti kita, juga mereka yang mengendalikan kekuatan iblis, seharusnya mengejar kekuatan yang sejati. Kita bisa menjadi dewa.”
Tania bergidik, kini teringat kata-katanya.
“Hal itu mungkin. Tubuh manusia mampu menampung iblis mimpi dan wabah, air dan api. Iblis mimpi menyelaraskan dengan alam bawah sadar kita; iblis wabah menguatkan tubuh biologis kita. Iblis air bisa membuat manusia kewalahan kecuali ada iblis wabah yang menenangkannya. Lalu untuk iblis api, merupakan yang paling sulit untuk dimiliki, namun dengan adanya iblis air, iblis api bisa dikendalikan. Jika kita mendapatkan kekuatan iblis dengan urutan itu, kita bisa memiliki semuanya….
“Ini adalah rencana yang sempurna. Maukah Anda bergabung dengan saya? Begitu kita memperoleh pengetahuan kepausan, ditambah dengan semua kekuatan itu, kita akan menjadi dewa yang hidup di Bumi. Berdirilah bersama saya.”
Meski pada saat itu kata-kata tersebut terdengar konyol, Tania bersyukur karena dulu dia mendengarkan Rutenfeld. Kalau tidak, Beliau tidak akan tahu apa yang sedang terjadi saat ini.
Sang Santa menghela napas ketika suara langkah kaki terdengar menghampiri. “Di mana Count Caligo?” Dia berbalik, persis ketika sebuah hantaman dari benda tumpul mengenainya.
Pandangannya menggelap ketika dirinya roboh.
Di suatu tempat di kejauhan, Mordes mengangkat kepalanya. “Tania?”
Purnama naik di atas cakrawala. Upacara pemberkatan besar sudah hampir dimulai.