Like Wind on A Dry Branch - Chapter 213
Para pendeta senior telah memuji bakat sang pangeran. “Anda memiliki bakat luar biasa, Yan Mulia. Ada banyak orang yang berharap misa memiliki kemampuan seperti itu. Tak diragukan lagi, Dewa menyayangi Anda.”
Meski kekuatan sucinya biasa saja, pangeran yang satu ini terlahir dengan kemampuan mata dewa. Dia senang dengan bakat bawaannya dan percaya kalau bakat ini sangat cocok dengan dirinya. Dia memadang tinggi bakat ini lebih dari kemampuan manapun yang dipelajari – kerja keras adalah untuk orang biasa.
Keagungan yang sejati dianugerahkan oleh Dewa.
Pangeran muda nan arogan ini terpesona pada bakat ini – sesuatu yang tidak dimiliki oleh adik laki-lakinya. Dia pun mulai bergaul dengan para pendeta bangsawan, yang kemuanya menyayangi dirinya. Tidak tertarik pada tahta, dia tak keberatan ketika orang-orang memuji kebajikan adiknya.
Bagaimanapun juga, dirinya telah terpilih. Ya, rakyat jelata terkadang juga memiliki mata dewa, namun mereka toh bukan pangeran.
****
“Bagaimana bisa ini terjadi?” seru Marquess Estra seraya meninju meja. “Bagaimana bisa mereka membohongi semua orang seperti ini?!”
Dewan Bangsawan kacau balau. “Yang Mulia pangeran ternyata palsu?” pekik salah seorang bangsawan yang murka.
“Pangeran yang sebenarnya adalah seorang squire? Seorang anggota Gryph!” yang lainnya berseru. “Ini tak masuk akal.” Para anggota kenamaan dari Dewan Bangsawan berkerumun menuju gerbang istana.
Beberapa orang kesatria menghalangi jalan mereka. “Kami tidak diberitahu apa-apa. Harap meminta undangan untuk menghadap atau menunggu hingga kalian menerima pemberitahuan resmi dari istana.”
Marquess Estra menggertakkan giginya dan memberi isyarat pada si kesatria. “Kumpulkan semua orang yang pernah berinteraksi dengan squire bernama Ruslan, dan melapor padaku.”
****
Sang Putra Mahkota terus memancangkan pandangannya ke arah nisan. “Lebih dari beberapa orang telah memperingatkan aku. Mereka bilang, pada akhirnya semua orang akan mengetahuinya dan bahwa mustahil untuk menghindari takdir- tragedi pada akhirnya akan menemukanku. Tapi aku sudah menginjak usia dewasa dengan sehat dan kuat.”
Dia menatap ke arah Rietta dan tersenyum. “Tentu saja, aku juga sudah mencoba hal-hal lainnya untuk menghindari kutukan itu. Dan hal itu bisa jadi kebetulan.”
Rietta memberi tatapan tajam ke arah sang Putra Mahkota ketika gigilan merayap menuruni punggungnya. Ruslan menggantikan tempatnya… jadi kutukan itu akan diarahkan pada Ruslan? Dia teringat kembali pada pria berambut merah yang telah bertemu dengannya tadi. Dia mendapat kilasan firasat lainnya – firasat yang sama seperti ketika dia pertama kali bertemu dengan penipu.
Tubuhnya kecil untuk seorang pemuda berusia delapan belas tahun. Dia tampak lelah dan tidak nyaman. Rietta melirik ke arah kakinya. Apa dia pincang?
Rietta berusaha sekuat tenaga untuk menutupi keterkejutannya. Dia tak pernah mendengar kalau Putra Mahkota pincang. Putra Mahkota masih muda dan terlindungi dengan baik. Bagaimana dia bisa jadi cacat? Khususnya dengan sang Permaisuri dan Dewan Bangsawan yang menjaganya. Apa dia menyembunyikan kondisinya?
Tiba-tiba, Rietta mendapat ssuatu sensasi aneh. Pandangannya memutih dan tubuhnya gemetaran. Suatu gambaran melintas sepesekian detik di depan matanya, entah dari masa lalu atau masa depan, dia tak tahu.
Itu bukan dia. Dia bukan Putra Mahkota!
Mulanya dia mengira kalau Permaisuri sedang berusaha menipu dirinya atau membuatnya merasa bersalah. Kini, semua emosi Rietta telah kembali tenang.
“Ruslan pernah mengalami kecelakaan kereta,” sang Putra Mahkota berkata. “Sekarang dia pincang – Anda mungkin sudah menyadarinya ketika bertemu dengannya.” Dia tersenyum penuh sesal. “Ini juga bisa jadi kebetulan.”
Rietta merasa kalau hal ini seharusnya masuk akal di mata para penasihatnya. Bagaimanapun juga, kutukan itu, mengatakan bahwa sang Kaisar akan menderita karena anak-anaknya. Jika sang Kaisar percaya bahwa Ruslan adalah anaknya…. Dia mengeratkan kepalannya, gemetaran. “Yang Mulia, mengapa Anda mengatakan ini pada saya? Apa Anda tidak lagi merasa perlu untuk merahasiakannya?”
Sang Putra Mahkota tersenyum. “Aku berencana untuk segera memberitahukannya pada semua orang. Hanya saja secara kebetulan hal ini terjadi sedikit lebih awal dari yang kurencanakan.”
Jantung Rietta mencelos. “Kenapa? Apa Baginda Kaisar telah mangkat?”
Halstead menggelengkan kepalanya. “Tidak, Beliau masih hidup. Namun hal itu akan segera terjadi.” Dia menundukkan kepalanya. “Kami sudah bersiap untuk mangkatnya Beliau, namun lebih baik jika mengungkapan kebenarannya langsung selagi Beliau masih hidup.”
Sungguh tanggapan yang ganjil dari seorang putra. Kemudian lagi, Halstead sudah tidak bertemu dengan ayahandanya selama empat belas tahun. “Apakah Baginda Permaisuri menentang ide Anda?” Rietta bertanya.
“Tidak, ibundaku menghormati pilihanku.”
Permaisuri menghormati keputusan seorang pemuda dalam urusan hidup dan mati. Tidakkah dia peduli pada keselamatan sang pangeran? Rietta tak bisa membaca ekspresi sang pangeran. “Anda tahu kalau kutukannya masih ada.”
Sang pangeran menatap batu nisan. “Aku menginjak usia dewasa beberapa bulan yang lalu. Kutukan itu tidak lagi mematikan bagiku, jadi sudah waktunya untuk memberitahu ayahandaku siapa sebenarnya sang Putra Mahkota.”
Apa bisa sesederhana itu? Rietta menegang. Dia tahu kalau kutukan memang lebih berbahaya bagi anak di bawah umur, namun sang Putra Mahkota tidak bebas dari kutukan hanya karena dia sudah menginjak usia dewasa. Terutama setelah dia sampai melakukan hal sejauh itu untuk membebaskan dirinya sendiri – apa dia tidak takut pada konsekuensi berbohong kepada Kaisar?
Rietta mengamatinya. Ada cara yang jelas lebih baik daripada mengarahkan kutukannya kepada orang lain – satu cara untuk membuat Permaisuri dan sang Pangeran sama-sama senang. “Bantulah aku mengerti,” dia berkata.
Bersama dengan hembusan angin dingin, sesosok iblis wabah pun muncul, sabit ditodongkan pada leher Halstead. Sang Putra Mahkota membeku.
“Kuharap Anda tidak berpikir bahwa semua ini takkan jadi masalah jika Anda membunuh kami di sini,” Rietta berkata.
Sang Putra Mahkota menatap Rietta. Morbidus menempelkan sabitnya lebih dekat lagi hingga permukaan dingin dari bilah tajamnya menggores ke dalam kulit Halstead.
Perlahan, Halstead mengalihkan pandangannya ke arah para kesatria yang berkumpul di kejauhan. Mereka semestinya memekik dan berlari untuk menghentikan iblis itu. Alih-alih, mereka justru cuma menonton seakan tak ada yang salah.
Morbidus telah menutupi sosok mereka di belakang medan pelidung. Semua yang para kesatria itu lihat adalah suatu percakapan santai.
Sang Putra Mahkota tidak ragu-ragu dalam waktu lama. “Sudah terlambat bagi Baginda Kaisar. Bagaimanapun juga, Ruslan yang asli baru berumur tujuh belas tahun. Aku tidak akan memberitahu Anda semua yang telah dia korbankan untukku. Tetapi dia akan berada dalam bahaya kalau dibiarkan tetap di posisinya saat ini.”
Dia membalas tatapan Rietta tanpa berjengit dari sabit Morbidus. “Reaksi Anda sungguh mengagumkan. Kubayangkan Anda sedang berkata jujur. Pasti tidak mudah bicara di depan ibundaku dan para bangsawan. Aku mengagumi keberanian Anda.”
Rietta juga tak berjengit.
Halstead menghela napas. “Aku tak berani meminta Anda melepaskan kutukannya. Akan tetapi, aku mengharapkan kedamaian dalam perjalanan hati Anda.”
Tiba-tiba, pekikan keras terdengar dari balik dinding pelindung. Mereka mendongak untuk mendapati para pelayan dan kesatria semuanya mengangakan rahang mereka dan menuding. “Tembak!”
Rietta berputar. Semua orang menuding ke arah kepergian Killian dan Permaisuri.
Sabitnya masih menempel di leher sang pangeran, Morbidus juga ikut menoleh ke arah itu. Dia merasakan energi dari iblis api.
Sang pangeran mengikuti arah tatapan mereka. “Sayang sekali. Kesempatan untuk bicara secara terbuka sulit untuk didapatkan.” Dia menatap ke arah Rietta. “Aku tak berharap Anda memercayai semua perkataanku. Tapi aku sungguh berpikir kalau kita bisa saling membantu.”
Rietta menatapnya tanpa menanggapi.
Sang Putra Mahkota tidak menyalahkannya ataupun iblisnya. “Penjaga Anda akan berguna pada saat berikutnya kita bertemu. Apa Anda bersedia untuk menemuiku lagi?”
Rietta belum memercayai sang Putra Mahkota. Namun pada anggukannya, Morbidus menarik sabitnya. Sebelum Morbidus membuka dinding pelindungnya, sang pangeran memberi salam ala kesatria kepada Rietta. “Aku menantikan untuk bicara lagi dengan Anda.”
****
“Ruslan lulus pada ujian squire di musim gugur dan menjadi kesatria junior di Gryph. Sebagai putra dari pengasuh di istana, dia datang dari keluarga yang tidak terlalu mengesankan. Dia kehilangan ayahnya pada usia empat tahun dan ibunya, si pengasuh, pada usia delapan tahun,” seorang pejabat melapor pada Marquess Estra.
Estra mengernyit dan memberi isyarat padanya agar melanjutkan.
“Dia belum banyak berinteraksi dengan siapa pun dari Dewan Bangsawan. Dia tidak punya reputasi buruk, dan kita juga tak bisa menemukan kelemahan khusus apa pun. Dia sama sekali tidak mirip dengan Putra Mahkota yang sebelumnya.”
Ini bukanlah kabar baik bagi Dewan Bangsawan. Hal ini akan merusak keseimbangan rapuh antara Dewan dan Permaisuri.
“Dia telah menjauh dari pusat perhatian, jadi dia tidak punya reputasi baik ataupun buruk. Sang Permaisuri menempatkannya dekat dengan Beliau, tapi tidak terlalu dekat sehingga membuat orang merasa kalau mereka ada hubungan -”
Sang marquess menggertakkan giginya. “Apa dia punya kelemahan lainnya?”
Si pejabat mengangkat bahu. “Keluarga yang tidak menonjol dan orangtua yang sudah tiada?”
“Omong kosong!” Marquess Estra berseru. “Kau itu sedang bicara tentang si penyaru.”
Para pejabat tersentak dan bertukar tatapan.
“I-itu, itu… latar belakangnya teramat biasa saja sampai-sampai cuma sedikit orang yang berinteraksi dengannya. Oh! Nilai ujian squire terakhirnya lebih rendah dibanding nilai-nilainya yang biasa. Tampaknya dia memberi hasil lebih buruk ketika berada dalam tekanan.”
Sang marquess menampar si pejabat. “Itu sudah jelas!” dia berseru. “Squire-squire dengan nilai tinggi tak mau bekerja untuk Permaisuri.”
Pintu berderit terbuka dan Hakim Justin melangkah masuk. Marquess Estra langsung mencengkeram kerahnya dan mendorongnya ke dinding. “Kau tahu soal ini?”
Sang hakim mengernyit. “Beginikah cara keluarga marquess menyambut tamu?”
“Kau bilang kau meyakini keadilan dan kebenaran? Lihat apa yang telah kau lakukan!” sang Marquess berkata.
“Omong-omong tentang sistem legal, ini adalah kekerasan, Tuan,” sang hakim menjawab.
“Dasar penipu! Aku akan menuntutmu!”
“Anda marah pada orang yang salah.”
Sang Marquess memberinya satu dorongan terakhir lalu melepaskan cengkeraman, menusukkan ibu jari ke hidung sang hakim. “Sudahi saja kepura-puraanmu itu. Kau ada di pihak duke agung atau Permaisuri?”
“Hakim berada di pihak hukum,” Hakim Justin menjawab.
Sang Marquess mengentakkan kakinya. “Aku tidak tanya padamu sebagai seorang hakim. Di pihak mana kau berdiri, Lectus Justin?”
“Di pihak siapa pun yang membela nilai-nilaiku sebagai seorang hakim. Tak ada seorang pun di istana kekaisaran ataupun Dewan Bangsawan yang berada di pihakku, aku pun tidak ada di pihak mereka.”
Persis pada saat itulah, kepala pelayan sang Marquess bergegas masuk. “Tuan, ada pesan mendesak untuk Anda dari istana.”
Baik sang Marquess ataupun sang hakim sama-sama dibuat kaget ketika istana disebut-sebut.
“Api telah menyala di istana,” si kepala pelayan berkata. “Apinya dimulai dari kuil keluarga kekaisaran, ketika Yang Mulia Putra Mahkota, Baginda Permaisuri, dan Duke Agung Axias sedang berkunjung.”