Like Wind on A Dry Branch - Chapter 212
“Izinkan saya menyapa kakak saya.”
Killian memberi senyum pahit kepada adik tirinya. Tidak seperti Halstead, sang duke agung tidak membutuhkan perkenalan. “Aku hampir tak bisa mengenalimu.” Dia curiga kalau pihak istana terus menutupi keberadaan sang pangeran untuk melindunginya dari takdir kakak-kakaknya. Namun Killian tak pernah membayangkan kalau mereka akan sepenuhnya menukar dirinya.
“Bagaimana Anda tahu?” Halstead bertanya.
“Saya rasa saya tidak berhutang penjelasan kepada seseorang yang telah berbohong kepada kami,” Rietta menjawab dingin.
Sang Putra Mahkota memiringkan kepalanya dan tersenyum. “Keluarga kerajaan Lamenta terkenal atas kemampuan mereka dalam melihat masa depan. Sang Putri Suci juga -”
“Jangan ajukan pertanyaan yang menjurus,” tukas Rietta, kini marah. “Tak ada seorang pun yang boleh bicara sedemikian santainya tentang ibuku.” Tidak butuh upaya untuk terdengar kasar.
Bibir Halstead melengkung naik pada satu sisi. Dia menundukkan kepalanya. “Saya telah menyinggung Anda.”
Apa kau berharap aku akan menerima perilaku seperti itu? Rietta mempertahankan kewaspadaannya. Dia tidak suka gaya Halstead yang mengharapkan percakapan santai setelah berusaha menipu mereka. Namun pada saat bersamaan, senyum sang Putra Mahkota mengingatkannya pada senyum Killian. Apa Killian tampak seperti ini ketika dia berusia delapan belas tahun?
Rietta mengingatkan dirinya sendiri agar jangan menyerah. Dia tak boleh terlihat lemah. Ini adalah putra Permaisuri, musuhnya. Pemuda ini telah menyembunyikan identitasnya untuk mengamati mereka, dan sebelumnya, Putra Mahkota telah berupaya memisahkan mereka, memberitahu Killian bahwa sang Kaisar hanya mengundang Rietta.
Pemuda ini mungkin lebih berbahaya daripada Permaisuri.
“Aku terkejut karena William dikuburkan di sini,” Killian berkata sambil lalu.
Sang Permaisuri melengkungkan sebelah alisnya. “Kau iri pada posisinya?”
“Tidak sama sekali. Lebih baik masih hidup di Lembah Naga daripada mati.”
“Maafkan aku. Pada banyak hal.” Walau berkata demikian, sang Permaisuri tidak tampak menyesal. Dia tersenyum keji pada Killian.
Killian balas tersenyum. “Saya juga.” Dengan itu, dia berpaling dari makam saudara-saudaranya – William, Salerion, dan Hildelaine. “Mengunjungi makam Hildelaine hanya akan membuat kita berdua marah,” dia berkata. “Bagaimana kalau kita menyudahi saja hal ini, alih-alih membuat orang lain merasa tidak nyaman?”
Yang mengejutkan semua orang, Permaisuri menyetujuinya. Mereka pun pergi bersama-sama, dan sang Permaisuri bahkan meminta Putra Mahkota untuk mengawal Rietta sebelum mereka pergi.
Killian meminta Halstead menjaga Rietta sebelum dia menawarkan sebelah lengannya pada Permaisuri. Jika bukan karena komentar-komentar penuh nada permusuhan di antara mereka, keduanya akan tampak amat sangat selaras.
“Apa kau yakin perlu meninggalkan selirmu berduaan saja dengan Putra Mahkota?” sang Permaisuri bertanya, setelah berjalan beberapa langkah.
“Di istana ini tak ada orang lain yang bisa lebih berbahaya dari Anda,” Killian menjawab sebelum mereka menjauh dari jarak dengar.
Mereka yang tertinggal di belakang menganga menatap keduanya dengan syok. Bahkan para kesatria dan pelayan juga merona. Akhirnya Halstead membubarkan semua orang kecuali para pengawal Rietta dan beberapa orang pendeta. Kemudian dia membungkuk untuk memetik beberapa kuntum bunga.
“Harap jangan tersinggung,” dia berkata. “Saya telah berbohong pada Anda dan duke agung selama dua hari, namun kami telah menipu para bangsaawn selama sepuluh tahun. Saat ini mereka semua pasti kaget.”
Jadi para bangsawan itu gagal memperoleh kepercayaannya selama lebih dari sepuluh tahun. Rietta memproses informasi ini pelan-pelan. “Saya tidak merasa lebih baik hanya karena orang lain mengalami yang lebih buruk.”
Halstead memilih sekuntum bunga dan mengacungkannya. “Maksud saya adalah bahwa saya tidak berniat menghina Anda dan kakak saya secara khusus. Anda akan segera melihat bahwa saya tidak berbohong.” Dia meletakkan bunga itu di atas makam salah satu raja Liefheim yang lampau – mungkin kakek-apalah dari Killian.
Rietta menatapnya.
“Saya pasti akan berpakaian lebih baik andai saja saya tahu kalau saya akan mendedikasikan sendiri bunga ini,” Halstead berkata. “Ini adalah kunjungan pertama saya. Mereka pasti kebingungan karena seorang kesatria datang untuk bersembahyang… saya tidak merasa seperti seorang pangeran. Saya berlatih untuk menjadi kesatria. Seumur hidup saya telah menjadi squire dari pengganti saya.”
Dia menurunkan tatapannya. “Tentu saja, saya harus bekerja dengan baik sebagai seorang squire. Suatu hari, saya akan kembali pada peranan saya yang sebenarnya. Namun saya belum pernah berinteraksi dengan orang lain sebagai seorang putra mahkota sebelumnya. Saya merasa canggung.” Setelah terdiam sejenak, dia menatap Rietta. “Tanyalah apa saja pada saya. Saya akan menjawabnya dengan senang hati.”
Rietta tidak menanggapi. Kesunyian nan muram membentang di antara mereka.
Sang Putra Mahkota menyerahkan sekuntum lili calla kepadanya. “Bersediakah Anda memaafkan saya?”
Dengan penuh hormat Rietta menolak bunga itu. Sebagai gantinya, dia memetik sekuntum bunga putih untuk diletakkan pada makam seorang mendiang raja yang lain.
Sang Putra Mahkota mengangkat bahu dan mengangkat bunga itu ke wajahnya, sementara Rietta berdiri takzim di depan batu nisan.
Ibu dan neneknya tidak memiliki makam mereka sendiri. Lamenta telah hancur menjadi abu. Namun di sinilah dia berada, mengunjungi keluarga yang telah menghancurkan mereka. Apakah dia amat berbeda dari sang Permaisuri? Namun dia tak bisa melampiaskannya sekarang.
Untung saja, sejauh ini kunjungannya berjalan begitu mulus. Kuil keluarga itu lebih terlihat seperti situs sejarah ketimbang makam. Rietta bertanya-tanya apakah mereka telah membersihkan tempat itu untuknya, atau apakah memang selalu tampak seterawat ini.
“Jika yang Anda katakan memang benar, mengapa Anda berbohong selama bertahun-tahun ini? Apakah ini adalah ide Baginda Kaisar?” akhirnya Rietta bertanya.
“Bukan.” Halstead menunduk menatap tangkai bunga di tangannya. “Justru sebaliknya. Saya melakukan semua ini untuk berbohong kepada Baginda Kaisar.” Dia terdiam, menunggu ketika seorang pendeta menghampiri batu nisan, memberkatinya, lalu kembali melangkah mundur.
“Baginda Kaisar tidak mengenal saya,” sang Putra Mahkota meneruskan. “Saya sudah tidak bertemu dengan Beliau sejak saya berusia empat tahun. Para bangsawan, dan Baginda Kaisar, semuanya mengira kalau Ruslan, orang yang Anda lihat tadi, adalah Putra Mahkota Halstead.”
Angin kering berhembus. Rietta mengernyit. “Saya merasa kesulitan untuk memercayainya. Tak ada seorang pun yang curiga saat kalian pertama kali bertukar?”
Halstead menyapukan bunga putih itu pada dagunya. Dia tersenyum. “Tampaknya memang tak ada seorang pun yang memberitahu Anda. Apa Anda benar-benar menemukannya lewat penglihatan masa depan?”
Rietta tidak menanggapi.
Halstead tampak penuh penyesalan. “Maafkan saya karena sudah menyinggung Anda. Anda tak perlu menjawabnya.” Sang Putra Mahkota mengetuk telinganya. “Hal ini hanya bisa terjadi karena Baginda Kaisar takut pada kutukan itu. Para pendetanya menyarankan supaya Beliau tidak sering-sering bertemu dengan sang ‘Putra Mahkota’.”
Rietta mengamatinya lekat-lekat.
“Saya bertukar peran dengan anak dari pengasuh saya dan sejak saat itu saya telah hidup sebagai seorang squire. Posisi saya sudah cukup nyaman karena saya mengaku sebagai putra dari pengasuh Permaisuri. Baru-baru ini, saya bergabung dengan Gryph setelah menginjak usia dewasa.”
Rietta tampak tercengang.
Sang Putra Mahkota menatap nisan lainnya. “Anda mungkin bisa berkata bahwa saya adalah domba kurban.” Dia meletakkan bunga yang tadi dia main-mainkan. “Apa Anda familier dengan ide soal menerima kutukan orang lain?”
Kini Rietta menatap bunga itu. Matanya memantulkan kelopak-kelopaknya yang putih bersih.
“Anda pasti familier dengan kutukan sang Ratu pada Baginda Kaisar. Bahwa Beliau akan mengalirkan air mata darah karena anak-anaknya. Sekarang, menurut Anda, kutukan itu menyasar sang Kaisar atau anak-anaknya?”
Hembusan angin dingin membuat Rietta bergidik.
Sang Putra Mahkota mendongak. “Jika Baginda Kaisar memercayai orang lain sebagai putranya, akankah Beliau bisa menghindari kutukan itu?”
Jantung Rietta mencelos dan dia menahan napasnya.
“Bahkan jika terjadi sesuatu pada saya, putra Beliau yang sebenarnya, kutukan itu tidak akan menyakitinya jika Baginda Kaisar tidak mengenal saya. Beliau bahkan tidak akan mendengar tentang tragedi apa pun yang menimpa diri saya.” Halstead memandangi jari-jari kakinya. “Para pendeta yang menyarankan solusi ini. Mereka bilang ini adalah pertaruhan yang sepadan.”
****
Kardinal Racionel berdiri di depan danau yang membeku. Cahaya mentari menghujam retakan-retakan pada langit-langit gua dan berkelap-kelip di permukaan es. Cahaya itu menjulur melewati danau dan menyorot separuh jalan pada dinding.
Terperangkap di dalamnya adalah seorang pemuda dengan rambut putih pudar. Bunga-bunga es nan memukau mengelilingi dirinya, tubuhnya naik turun perlahan, napasnya laksana napas dari orang yang sekarat.
Dengan ekspresi tegang, sang Kardinal berjalan melintasi es untuk menatap Ferdian. Seberkas cahaya mentari menyinari wajah putih pria itu.
Tiba-tiba, sang Kardinal mencengkeram kerah baju Ferdian dan menyentakkannya keluar dari es. Tubuh Ferdian mengeluarkan suara bergemeretak ketika dia mengayunkan kepalanya. Lebam hijau gelap menyebar di dadanya – wabah.
Sang Kardinal mengerutkan bibirnya, amarah menyergapnya. Dengan ganas dia mendorong Ferdian jauh-jauh dan menggeram, “Berani-beraninya kau mengotori dirimu sendiri.”
Ferdian mengangkat kepalanya, mengerjap untuk menyingkirkan kantuk. “Maafkan saya,” dia berkata, suaranya pecah.
Sang Kardinal mencibir. “Aku mengirimmu ke dunia luar dan kau kembali dalam keadaan kotor. Aku mengharapkanmu lebih cepat stabil. Sudah berapa kali aku memintamu menjaga tubuh sucimu itu baik-baik?”
“Maafkan saya karena sudah jadi tak berguna,” Ferdian berbisik.
Sang Kardinal menghela napas dan menyisirkan jemarinya pada rambut Ferdian. “Kau cuma perlu mengatasi satu hambatan lagi. Orang-orang besar selalu menghadapi kesulitan besar.”
Ferdian membuka mulutnya ketika sang Kardinal menggerakkan kekuatan sang iblis wabah. Napas Ferdian tercekat. Dia menggertakkan giginya, tubuh terguncang-guncang ketika si iblis wabah melawan kekuatan iblis air.
Sang Kardinal berupaya menekan wabahnya. Es di sekitar mereka bergetar, namun energi iblis milik Ferdian lebih kuat ketimbang energi iblis sang Kardinal. Sang iblis air tidak akan mengizinkan gangguan itu.
Akhirnya, sang Kardinal melontarkan Ferdian dan melangkah mundur. Aliran darah yang kental mengalir dari bibir Ferdian. “Tidak bekerja,” sang Kardinal berkata, mendecakkan lidahnya.
Ferdian terengah kesakitan seraya darahnya terus mengalir.
****
“Semua anak dari Baginda Kaisar entah mati atau sangat menderita. Banyak orang yang menyalahkan kutukannya. Semua orang telah mempelajari keluarga kerajaan Lamenta. Pihak istana telah mencoba semua cara untuk menguraikannya – upacara-upacara pemberkatan besar dan pemurnian. Tapi kami mengalami kegagalan.”
Sang Putra Mahkota tampak dihantui oleh hal ini. “Akulah satu-satunya pewaris yang tersisa. Seluruh benua bergantung untuk melindungiku. Jadi pada suatu hari, seorang cendekia yang cemerlang menyarankan agar kami mengakali kutukannya alih-alih menyembuhkannya. Memalsukan Putra Mahkota tampak… yah, bisa diterapkan, setidaknya. Ini adalah satu-satunya pilihan kami. Kami berbohong kepada Baginda Kaisar – dan kepada semua orang di sekitarnya.”