Like Wind on A Dry Branch - Chapter 211
Putrinya yang sudah mati. Jadi tolong, jangan.
Sang Permaisuri berdiri sediam patung, menatap ke bawah. Saat ini dia akan berusia dua puluh tahun andai masih hidup.
Aku merindukannya.
Killian langsung mengetahui siapa yang dia maksudkan. Putrinya, Hildelaine, seharusnya akan menginjak usia dua puluh tahun hari ini. Perlahan, Permaisuri menaikkan pandangannya dari makam kekaisaran untuk mendongak menatap lorong aula tempat Killian tadi berada.
Karena aku tak bisa merindukan putra-putramu.
Padangannya mengabur. Dia memiringkan kepalanya hingga rambut merah berombaknya menerakan bayangan merah di wajahnya.
Exitius masuk tanpa suara dan melingkarkan lengannya pada bahu Permaisuri. Dia terkekeh, mengikuti arah pandangan wanita itu. Sikap Permaisuri membuat si iblis api tersenyum, penasaran. Dia menguburkan wajahnya dalam leher Permaisuri, melahap kegelapan wanita itu. “Apa yang membuat orang yang membuat kontrak denganku begitu marah?” Exitius bertanya.
Ketika Permaisuri tidak menanggapi, si iblis berbisik, “Kau butuh kekuatanku?”
****
“Tidak apa-apa. Ketiga kakakku adalah pangeran,” putri kecil yang manis itu berkata. Tak seorang pun yang berani meralatnya – menyatakan bahwa William bukan pangeran.
Alih-alih, Salerion menggoda adik perempuannya itu. “Apa gunanya punya tiga orang pangeran sebagai kakak? Segera, kerajaan kita akan punya tiga orang tuan putri lagi. Kakak-kakakmu takkan lagi jadi milikmu, begitu para tuan putri itu bergabung dalam keluarga kita.”
“Lebih banyak tuan putri?” mata sang Putri melebar. “Apa maksudmu?”
Salerion mengangkat Hildelaine dan mengayunkan gadis kecil itu ke bahunya. “Itu berarti kakak-kakakmu akan punya keluarga mereka sendiri. Seperti Ibunda dengan Baginda Kaisar. Kami akan makan malam bersama tuan putri kami, berdansa dengan mereka, dan menghadiri acara bersama-sama.”
“Keluarga?” Wajah gadis itu berbinar takjub. “Aku mau lebih banyak putri!” Hildelaine menarik rambut Salerion dengan girang.
“Aduh, Laine! Sakit. Hentikan!”
Sang putri memiliki hubungan saudara yang rumit. William adalah kakak tirinya dari ayah yang berbeda. Killian adalah kakak tirinya dari ibu yang lain. Salerion adalah satu-satunya kakak kandung seayah dan seibunya. Namun satu hal yang mereka semua sepakati: Hildelaine adalah cahaya mentari bagi semua orang.
****
Energi ganas mengalir memasuki ruangan. Mordes berjuang untuk lepas dari sub ruangnya. “Ayolah. Tarik aku keluar, bagaimana?”
Killian mencengkeram kedua tangan si iblis dan menarik. Tubuh bagian atas Mordes tersentak bebas dan dia pun bergulingan di lantai. Killian menghindar sebelum iblis itu menabraknya.
Mordes melompat berdiri, menyeringai malu. Sub ruangnya tertutup lagi. “Whew.” Mordes menepuk-nepuk debu dari pakaiannya, kemudian memeriksa goresan-goresan yang dia dapat gara-gara jatuh. “Lihat kulitku! Rusak deh.”
Killian memicingkan matanya. “Kenapa sesosok iblis tingkat tinggi mengeluh soal lutut yang tergores?”
“Kau tahu apa?” Mordes mengernyit. “Kau tak tahu betapa sulitnya tetap ada di tempat tanpa orang yang mengikat kontrak.” Suaranya pecah. “Dempat ini zudah dibadasi dari geguatan gara-gara berkad – sial, aku bahkan nggak bisa bicara dengan benar.” Dia meluruskan lidahnya yang terpuntir dengan suara berderak.
Sementara si iblis menata dirinya sendiri, Killian menunggu. Tak lama kemudian, kesabarannya sudah menguap habis. “Mau aku mencium itu-itumu biar lebih baik?” Dia melengkungkan sebelah alisnya.
“Nggak, makasih,” si iblis menukas. “Kau bukan Tania. Orang yang bukan pengontrak sepertimu takkan ada gunanya.”
Tapi aku yakin Santa Tania akan senang sekali untuk mengelonimu. Killian menggelengkan kepalanya. “Sudah dapat?”
Mordes menghela napas. “Tak ada kabar baik.”
Begitu ya. Killian mengangguk. Meski dia tak bisa membantah rasa kecewanya, dia sudah bisa menerka kalau hal ini akan terjadi. Dalam kondisi Mordes saat ini, dia bukan tandingan bagi Permaisuri yang penuh muslihat. Permaisuri sudah bersiap lebih dulu untuk menghadapi penyusupan dari iblis.
“Aku cuma bisa menemukan rahasia-rahasia yang ingin disembunyikan orang-orang,” Mordes mengklarifikasi. “Rasa takut mereka meninggalkan jejak yang bisa kuikuti untuk membaca pikiran mereka. Tapi wanita ini….” Alisnya mengerut ketika dia menggosok dagunya. “Dia tak takut apa-apa. Dia sepertinya tidak menganggap plotnya yang mana pun sebagai rahasia.”
Alis Killian naik.
“Mungkin dia memakai kekuatan dari luar untuk melakukan perbuatan paling buruk pada orang lain, tapi….” Mordes menyeringai. “Dia tidak keberatan jika dunia mengetahui apa yang dia rencanakan. Aku tak tahu apakah dia gila atau nekat, tapi dia memang sesuatu.”
Killian mendengus. Ini memang sangat cocok dengan Permaisuri. Bagi sang Permaisuri, muslihat-muslihat itu sama alaminya dengan udara yang dia hembuskan. “Kau tak bisa membaca apa-apa?” Killian bertanya.
Mordes mengangkat bahu. “Satu-satunya rahasia Permaisuri adalah janjinya kepada Kaisar.”
Killian mengejang.
“Kekuatanku kurang, jadi aku tak melihat terlalu banyak detil,” Mordes menambahkan, mengintip pada Killian. Kurangnya reaksi dari sang duke agung membuatnya penasaran. “Yang kulihat takkan terlalu berguna, tapi aku bisa memberitahumu.” Dia mengangkat sebelah tangan, yang berpendar dengan energi ungu.
Killian mendengus. “Kau bilang kekuatanmu kurang. Santai saja.”
Mordes menaikkan alisnya. “Tidak berminat? Atau apa kau cuma berpura-pura tidak peduli?”
“Semua yang kuinginkan adalah mengembalikan ingatan Rietta dan menghentikan Permaisuri,” dia berkata. “Dengan sepenuh hormat aku menolak kebaikan apa pun di luar itu.”
Terkejut, Mordes meletakkan tangan di pinggulnya. “Semua manusia tertarik pada rahasia orang lain. Dan dia adalah musuhmu.”
Namun Killian hanya berbalik dan pergi. Mordes mendengus dan menghilang untuk menghemat energinya.
****
Killian sudah tahu bahwa ayahandanya telah membuat sebuah kesepakatan dengan Permaisuri ketika Beliau menikahi wanita itu. Mordes pasti sudah melihat kalau dia tahu soal itu. Namun Killian memilih untuk tidak tahu apa yang telah ayahandanya sepakati.
Ayahandanya pernah memberitahu dirinya, “Killian, tolong maafkanlah Aversati. Semua ini adalah kesalahan saudaramu, bukan kesalahan dia. Saudaramu sudah membayar harganya, namun dia sudah melalui begitu banyak hal, dan dia tak melakukan kesalahan. Cobalah untuk memahami kemarahannya.”
Jadi, Killian pun tidak melampiaskan amarah kepada Permaisuri. Dia hanya pergi begitu saja.
Killian menundukkan kepalanya dan memejamkan matanya. Angin musim dingin bersiul melewati lorong istana ketika dia memikirkan kembali tentang masa empat belas tahunnya yang terakhir.
Dia sudah tahu kalau Permaisuri ingin dia mati. Dahulu, dia akan percaya bahwa Permaisuri ada di pihak William. Namun tidak butuh banyak perenungan untuk menyadari bahwa Permaisuri tidak tahu tentang rencana-rencana putranya.
Killian menyesali apa yang telah dia lakukan. Itu adalah batas yang tak seharusnya boleh dilewati siapa pun. Bahkan jika saudara-saudara tirinya melewati batas itu terlebih dahulu, Killian tahu kalau dia akan bersalah kepada Permaisuri. Dia telah menempatkan Permaisuri dalam rasa sakit yang tak bisa dibalikkan ketika dia melemparkan kepala saudara-saudara tirinya ke kaki wanita itu.
Cabang-cabang gundul menggesek di sepanjang dinding luar istana. Dia masih bisa melihat gambaran jejak-jejak kaki berlumur darahnya pada lorong panjang itu. Ingatan-ingatan tersebut melolong seiring angin, mengirimnya mundur sejauh empat belas tahun.
Dia sudah tahu kalau Permaisuri tidak akan pernah memaafkan dirinya. Dia juga tak pernah meminta pengampunan dari Permaisuri. Namun dia tak bisa lagi melakukan seperti yang diminta ayahandanya dan membiarkan perbuatan Permaisuri. Tidak sekarang ketika wanita itu mengancam Axias dan orang-orang tercintanya.
Akhirnya dia memutuskan untuk menghentikan Permaisuri. Sudah tiba saatnya untuk melindungi orang-orang yang dia cintai.
****
Setiap kali Rietta berada jauh dari Killian, Morbidus menyembunyikan dirinya. Karena tak ada pelayan yang menungguinya, orang-orang pun berasumsi bahwa dia bersama dengan sang duke agung setiap saat. Sementara itu, Rietta bekerja keras membiasakan dirinya dengan istana dan mengidentifikasi risiko serta jalur-jalur pelarian.
Kapan saja dia melewati kerumunan orang, dia mendengarkan desas-desus yang disebarkan oleh para pemeriksa. Dia mendengar orang-orang berdebat soal ke mana perginya Santa Tania dan bagaimana mendiang Paus meninggal. Beberapa orang sudah mencurigai sang Kardinal, walaupun suara-suara lain yang sama kerasnya membela orang itu.
Meski demikian, perlahan, orang-orang jadi semakin was-was.
Pembicaraan tentang Rietta dan Killian juga beredar. Sebagian besarnya adalah tentang penerimaan dirinya di muka umum. “Di depan semua orang sang Permaisuri bertanya kepada anak dari sang Putri Suci apakah dia datang untuk membalas dendam kepada sang Kaisar. Kau bisa bayangkan itu?”
Rietta menghela napas. Dia datang bukan untuk memaafkan ataupun membalas dendam. Semua yang dia inginkan adalah permintaan maaf. Beberapa orang bertanya apakah Rietta bersalah kepada ibunya dengan datang kemari, namun dia menyadari bahwa tak satu pun dari mereka yang mengkritik jawaban lancangnya ataupun ketidakgentarannya ketika menghadapi sang Permaisuri.
Anehnya, dia merasa terbebaskan. Ini adalah suatu sensasi yang ganjil. Dia tak punya alasan untuk peduli tentang pendapat orang-orang asing ini, namun dadanya terasa sesak dan tenggorokannya tercekat. Rietta menelan air matanya dengan susah payah.
Morbidus berdiri di sisinya dalam kebisuan.
****
Angin dingin membuat jendela-jendela berderak. Di luar sini terasa lebih nyaman dibanding Axias, namun di dalam tampaknya lebih dingin. Istana memiliki lebih sedikit penahan dingin karena mereka tidak membutuhkannya untuk bertahan hidup. Killian dan Rietta berpelukan di atas sofa panjang di depan perapian, tangan mereka bertautan.
“Besok Putra Mahkota juga akan datang,” Rietta berkata.
“Ya.”
Putra Mahkota Halstead adalah subyek kutukan potensial lainnya – salah seorang putra yang mungkin akan menyebabkan Kaisar mengalirkan air mata darah. Rietta menyandarkan kepalanya ke bahu Killian. “Seperti apa dia? Adikmu.”
Killian terdiam. “Aku tidak yakin. Aku sendiri juga penasaran. Aku sudah tak melihat dia sejak dia masih kecil.”
Killian tak punya permusuhan dengan Putra Mahkota. Meski hubungannya dengan William dan Salerion telah menjadi buruk, dia selalu menyukai dan merindukan Hildelaine. Halstead masih berumur empat tahun ketika Killian terakhir melihatnya, jadi Killian merasakan suatu empati dan keinginan untuk melindungi kepadanya.
Dia mengasihani sang Putra Mahkota, yang telah ditinggal untuk mengurus dirinya sendiri di dalam keluarga yang membusuk ini. Putra Mahkota pasti sudah mengalami saat-saat yang sulit. Killian mendoakan kebaikan untuknya, namun sudah bertahun-tahun dia memilih untuk tidak menemui adiknya itu.
Dia tak ingin mengetahui apakah Halstead telah berubah menjadi seperti William atau Salerion. Killian menghindari Putra Mahkota demi kebaikannya sendiri, tapi juga demi kebaikan sang Putra Mahkota.
Apakah Putra Mahkota tahu kalau ibundanya jahat? Bahwa wanita itu akan membunuh tanpa penyesalan dan mengubah kuil agung menjadi neraka mayat hidup?
Jika Killian membunuh Permaisuri, tanpa diragukan lagi dia pasti akan memutus hubungan sepenuhnya dengan adik tirinya itu. Dia akan menjadi penjahat keji yang telah membunuh adik-adiknya dan kemudian ibu tirinya. Kini dia tak bisa menghindari hal itu.
Killian menyandarkan pipinya pada kepala Rietta. “Aku gugup soal bertemu lagi dengan adikku. Aku sudah tak bertemu dengannya selama empat belas tahun.”
Alih-alih mengkritik sikap dingin Killian, Rietta tersenyum dan membelaikan ibu jarinya pada buku-buku jari Killian. “Kau pasti penasaran.”
Killian tersenyum. “Memang.”
Tiga dari anak-anak sang Kaisar – William, Salerion, dan Hildelaine – sudah mati. Killian telah diasingkan ke suatu wilayah yang jauh dan tandus. Aman jika berpendapat bahwa sang Kaisar telah mengalirkan air mata darah.
Namun kehidupan macam apa yang telah dijalani oleh sang Putra Mahkota? Empat belas tahun yang lalu, dia menjadi Putra Mahkota di usia empat tahun. Sebagian besar orang hanya tahu sedikit tentang dirinya, menganggap bahwa dia telah menerima pengajaran privat dan bahwa dia telah menemani sang Permaisuri pada acara-acara resmi.
Di luar itu, Dewan Bangsawan dan Permaisuri-lah yang menangani semua urusan resmi. Putra Mahkota tampaknya senang hidup di dalam bayang-bayang Permaisuri, bahkan kini ketika dirinya baru menginjak usia dewasa.
Dunia beranggapan bahwa Halstead adalah boneka Permaisuri, sosok pemimpin yang lemah. Kini, Killian dan Rietta akan mencari tahu kebenarannya.
****
“Sambutlah Baginda Permaisuri Aversati dan Yang Mulia Putra Mahkota Halstead,” seru seorang pewarta.
Sang Permaisuri dan Putra Mahkota pun masuk. Setiap mata bergerak untuk mengikuti mereka. Sang Putra Mahkota adalah seorang pemuda pucat berambut merah dengan fitur yang tidak menonjol. Di belakangnya berdiri beberapa orang pengawal, termasuk kesatria Gryph yang sebelumnya.
Semua orang membungkuk hormat kepada Permaisuri, curi-curi melirik sang Pangeran. Killian dan Rietta juga diam-diam melirik ke arahnya sebelum membungkuk.
Sang Permaisuri dan Putra Mahkota berhenti di depan mereka. Killian berkata lebih dulu, “Semoga Anda diliputi kedamaian.”
“Terima kasih,” sang Permaisuri menjawab. “Kuharap kau menikmati saat-saat tinggal di sini.”
“Kami menikmatinya, terima kasih atas kurangnya perhatian Anda.”
Jika sang Permaisuri menyadari sindiran Killian, hal itu tak terlihat. “Aku senang mendengarnya. Pangeranku?”
Sang Putra Mahkota melangkah maju dan memberikan bungkukan singkat. “Senang bertemu kembali denganmu, Kakak.”
Kini tatapan semua orang beralih kepadanya, termasuk tatapan Killian. Persis pada saat itulah, Rietta meraih lengan Killian. Killian membeku dan menatap Rietta. Tidaklah pantas jika menyela salam formal.
Namun Rietta menatap sang Permaisuri, otot-ototnya menegang. “Maafkan atas kelancangan saya, Baginda Permaisuri. Apakah orang ini sungguh Yang Mulia Putra Mahkota?”
Para bangsawan yang hadir semuanya ternganga menatap Rietta dan kemudian pada sang Permaisuri.
Yang mengejutkan semua orang, sang Permaisuri terbahak. “Oh, tidak. Bagaimana kau tahu?” Permaisuri memiringkan kepalanya, senyumnya begitu cemerlang. “Anda memang sama hebatnya dengan pendeta seperti yang mereka bilang. Tak seharusnya aku memberimu celah itu. Pangeranku, harap perkenalkanlah dirimu sendiri.”
Tampak letih, sang ‘putra mahkota’ menutup mulutnya dan melangkah mundur. Sejenak kemudian, si kesatria Gryph melangkah maju. Dia melepaskan helmetnya dengan kedua tangan dan menundukkan kepalanya. Rambut sewarna anggur terurai di bahunya. “Harap maafkan kesalahan saya.”
Mata Rietta melebar ketika Putra Mahkota yang asli melontarkan sorot minta maaf pada mereka.
“Saya mohon, izinkan saya menyapa kakak saya lagi.”
Killian memberinya senyum pahit. Jadi inilah Putra Mahkota Halstead, adik tiriku.