Like Wind on A Dry Branch - Chapter 210
Kardinal Racionel sedang berganti pakaian untuk mempersiapkan puasanya. “Santa Tania menghilang?”
Pendeta yang sedang membantunya membungkuk. “Ya, Yang Mulia. Beliau menghilang beberapa malam yang lalu.”
Sang Kardinal mengangkat sebelah alis seraya mengancingkan bajunya. “Sungguh disayangkan. Kukira sang Santa akan datang kemari bersama duke agung. Bukankah mereka sedang bekerja bersama-sama?”
“Beliau ada urusan mendesak untuk ditangani di tempat lain. Beliau meninggalkan kelompok sang duke agung sebelum mereka tiba di Ibu Kota.”
Selesai berpakaian, sang Kardinal mengambil kitab sucinya. “Tentunya orang hebat seperti Beliau tahu apa yang sedang dilakukannya, tapi ini memang kelihatan seperti kebetulan yang tidak diharapkan. Kuharap Beliau baik-baik saja.” Dengan perkataan itu, dia mengulurkan tongkat khakkharanya kepada bocah pelayan altar terdekat.
“Harap fokuslah pada puasa Anda, Yang Mulia,” si bocah pelayan altar berkata. “Anda sedang bersiap naik menuju posisi paling penting di dunia.”
Sang Kardinal tersenyum dan menepuk-nepuk kepala bocah itu. “Terima kasih atas kepedulianmu, anak muda.” Ketika dia bicara, sebuah suara marah mengisi benaknya, ditarik dari ingatan bocah itu.
Apa aku kelihatan tak berpengalaman? Tak usah omong kosong! Mereka ingin menjatuhkan Kardinal karena Beliau benar-benar bisa menjadi paus.
Bertahanlah, Bu. Begitu Yang Mulia Kardinal memperoleh sihir kepausan, Beliau akan menyelamatkanmu.
Pendeta-pendeta lain di sekitar sang Kardinal mulai berbisik-bisik cemas.
“Haruskah kita memberitahu Beliau apa yang dikatakan orang-orang?” desis salah seorang di antaranya.
“Jangan. Beliau hampir memulai puasanya. Hal ini cuma akan mengganggunya,” yang lain berbisik.
Sang Kardinal tersenyum dan mengangkat kepalanya dari si bocah altar, menatap lurus ke arah para pendeta itu. “Dewa mengetahui semuanya.”
Para pendeta itu tersentak.
Dia memberi mereka senyum penuh welas asih. “Semua orang memiliki masalah mereka sendiri-sendiri.” Dia menegakkan tubuh dan memeluk kitab suci ke dadanya. “Imanmu akan diganjar. Lucielli.”
“Leciel,” si bocah altar menjawab, matanya berbinar.
Sang Kardinal menyeringai dan tanpa bersuara berjalan memasuki kamar doa.
****
Para pemeriksa bekerja di berbagai bagian Ibu Kota. Desas-desus tentang menghilangnya Santa Tania menyebar dengan cepat. Namun sebagian besar orang masih tidak percaya pada para pemeriksa, menggenggam erat ingatan-ingatan menyakitkan tentang hukuman tidak adil kepada Santa Tania dan Beatrice.
“Semoga Langit menyambarkan petir pada mereka atas apa yang telah mereka perbuat. Ini pasti adalah muslihat mereka,” orang-orang berbisik. “Apa mereka tidak lelah terus mengganggu orang-orang yang tak bersalah?”
“Apa menurutmu mereka telah melakukan sesuatu pada Santa Tania? Kita harus mengawasi mereka!”
Orang-orang pun mulai mengekori setiap langkah para pemeriksa, waspada supaya jangan sampai mereka membuat kesalahan lagi.
Sementara itu, para pemeriksa menyisir seantero Ibu Kota, menyelidiki semua laporan tentang tindak bidah. Seperti yang telah diinstruksikan oleh Killian dan Santa Tania, mereka tidak mengungkapkan tersangka apa pun. Alih-alih, mereka cuma berkata bahwa mereka tak bisa membuat penilaian terlalu cepat.
Pertanyaan-pertanyaan mereka meningkatkan kesadaran tentang tindak bidah. Para warga Ibu Kota mulai memikirkan tentang klaim-klaim apa pun yang pernah mereka dengar tentang reinkarnasi, kemudaan abadi, atau keabadian.
Para pemeriksa juga menyelidiki laporan-laporan tentang orang hilang. Mereka membawa kembali beberapa orang dengan selamat, dan karenanya memperoleh sedikit kepercayaan. Untuk sekali ini, mereka mengurangi fokus pada penangkapan atau penyiksaan dan lebih pada mendengarkan kesulitan rakyat sehingga mereka bisa membantu.
Tanpa memanipulasi sentimen siapa pun, perlahan para pemeriksa itu mulai memperbaiki reputasi mereka. Ketika masyarakat mulai kehilangan sejumlah prasangka kepada mereka, mereka pun mulai mengajukan pertanyaan. Kenapa Paus Ivarsson IV meninggal dengan begitu tiba-tiba? Ke mana perginya Santa Tania? Dan mengapa ada begitu banyak pendeta muda yang menghilang?
Mulai tersadarkan, masyarakat pun bergerak untuk mencari orang-orang hilang. Mereka mulai datang menemui para pemeriksa tanpa diminta.
“Saya sudah cukup lama tak melihat veteran yang tinggal di seberang jalan,” seorang pria melaporkan. “Bukan cuma dia saja. Saya pernah dengar tentang orang-orang yang menghilang di pemukiman kumuh.”
“Seorang pria memberitahu anak saya sesuatu yang aneh tentang reinkarnasi…,” lainnya berkata. “Saya sudah sering dengar cerita semacam itu. Cerita-cerita yang aneh dan sesat….”
Para pemeriksa tak pernah menyebut nama, namun mereka mengesankan secara jelas bahwa dalam hati mereka punya tersangka. Orang-orang pun mulai berspekulasi lebih liar lagi – terutama setelah para pemeriksa menyebut ‘seorang terhormat di istana’.
Orang-orang menerka bahwa siapa pun orang itu pasti mendapat keuntungan dari kematian sang paus dan juga ketiadaan Santa Tania. Tapi siapa orang itu?
Ketika sentimen publik jadi kiat terpicu, mereka pun berdebat tentang apakah mereka benar-benar harus memilih paus baru secepat ini. Tentunya mereka harus mengorek keluar si pelaku bidah ini terlebih dulu?
Akhirnya orang-orang mulai memerhatikan, dan karenanya Sidang pun ditunda.
****
Kesatria sang Permaisuri menerima jawaban sang Duke Agung Axias dan berpamitan. Beberapa saat kemudian, seorang kesatria lain muncul di depan pintu sang Duke Agung, memberitahunya bahwa sang Permaisuri sudah siap untuk menerimanya.
“Ini akan menjadi penyambutan umum,” si kesatria berkata. “Bangsawan mana pun yang ingin melihat penyambutan Anda boleh melihat dari auditorium ruang penyambutan.”
Killian mengangguk. “Aku mengerti. Tapi siapa nama kesatriaa Gryph yang datang sesaat yang lalu?”
Si kesatria mengerjap. “Ya? Seorang kesatria datang sebelum saya?”
Killian mengernyit sejenak dan kemudian berpaling. “Sudahlah. Aku sudah siap.”
Tidak butuh waktu lama baginya dan Rietta untuk berjalan menuju auditorium. Mereka tiba terlebih dulu dan berdiri di baris depan, menunggu sang Permaisuri.
Tak lama kemudian, seorang pelayan berseru, “Beri jalan untuk Baginda Permaisuri Aversati.”
Para bangsawan dan penonton yang menyaksikan meletakkan tangan mereka di depan dada sebagai gestur hormat. Pintu terbuka.
Permaisuri Aversati, orang paling berkuasa di Ibu Kota, perlahan turun memasuki ruangan.
Killian dan Rietta menunggu hingga Permaisuri berada dekat, kemudian membungkuk.
Aversati mengenakan gaun beludru abu-abu dan syal mink hitam. Secara teknis dia masih berkabung, namun dia harus berdandan untuk menyambut tamu sepenting itu. Dia pun memelintir naik rambut merah gelapnya membentuk kuncir ekor kuda, yang menjuntai melewati syalnya.
Permaisuri berhenti di depan para tamu. “Sungguh menyenangkan bisa bertemu lagi dengan Anda, Yang Mulia. Dan Anda juga, Santa Aeulatio.” Dia tersenyum. “Saya minta maaf karena tidak bisa bicara dengan Anda di kuil agung. Mungkin takdir telah memisahkan kita supaya kita bisa bertemu kembali hari ini.”
Rietta tetap membisu, kepalanya masih tertunduk.
“Jadi, Anda ingin bertemu dengan Baginda Kaisar.”
Baru sekarang Rietta mengangkat kepalanya untuk membalas tatapan Permaisuri. Ekspresinya tak tergoyahkan. “Ya, Baginda Permaisuri. Beliau berkata bahwa ada sesuatu yang ingin diberikan kepada saya.”
“Benar. Luar biasa. Namun sebelum Anda bisa melakukan itu.” Permaisuri berbalik dan mengamati para penonton. “Beberapa orang curiga Anda hanya datang untuk membalaskan dendam ibu Anda. Apa Anda punya tanggapan atas tuduhan itu?”
Para bangsawan yang menonton semuanya menahan napas mereka.
“Baginda Kaisar berkata Beliau ingin mengembalikan sesuatu yang adalah milik ibu saya,” Rietta berkata. “Itulah sebabnya kenapa saya datang. Saya ingin mendengarkan apa yang hendak Beliau katakan. Namun saya belum memutuskan apakah akan memaafkan Beliau.” Ini adalah jawaban yang berani. Gumaman pun bergulir di seluruh ruangan.
Mata sang Permaisuri berkilat. “Anda belum memutuskan?”
“Belum, Baginda. Saya akan mengikuti hati saya. Namun meski saya tidak bisa menjanjikan apa-apa, saya akan senang menerima permintaan maaf.”
Gumaman-gumaman itu semakin keras. Meski demikian, mata Killian hanya tertuju pada Rietta.
Sang Permaisuri menatap tajam pada Rietta. “Bagus. Kalau begitu, atas nama keluarga kekaisaran, saya ucapkan selamat datang.” Para pengamat terperangah, namun Permaisuri meneruskan, “Saya harap Baginda Kaisar bangun untuk bicara dengan Anda. Sementara waktu, anggap saja seperti di rumah sendiri.”
Rietta menurunkan tatapannya dengan penuh hormat. “Terima kasih.”
Aversati tersenyum dan berjalan satu langkah lebih dekat pada pasangan itu. “Sungguh takdir yang menarik. Pria yang menyelamatkan nyawa Anda ternyata adalah putra dari musuh Anda.” Sang Permaisuri mencondongkan diri ke depan hingga napasnya membelai telinga Rietta. “Aku menyukaimu,” dia berbisik.
“Saya dengar akhir-akhir ini Anda jatuh sakit,” Killian menyela.
Sang Permaisuri menegakkan tubuh. “Benarkah?”
Killian tersenyum miring. Senyuman itu tak sampai ke matanya. “Anda bilang Anda pergi untuk memulihkan diri dari pengalaman traumatis Anda di kuil agung.”
“Oh. Ya, memang.” Permaisuri menutupi mulutnya. “Apa Anda mencemaskanku?”
Killian memberinya seulas senyum dingin. “Aku memang berharap Anda bisa sedikit beristirahat.” Suatu energi permusuhan yang menakutkan membesar di udara di antara mereka.
“Tolong biarkankanlah aku istirahat,” sang Permaisuri berkata, dengan suara yang amat berbeda. Dirinya terdengar seperti sedang bermimpi, nyaris putus asa. Namun ekspresinya tak berubah – dia memasang senyum tipis nan dangkal seperti biasanya.
Killian menunduk untuk menatap Permaisuri dari bawah hidungnya. “Anda bisa beristirahat kapan saja Anda membutuhkannya.”
Sang Permaisuri tertawa. “Aku tak yakin bisa.”
Killian tak menjawab. Dia hanya tersenyum dingin.
****
“Anda tak bisa menerima mahkota itu. Mahkota itu benda suci yang dikotori oleh iblis. Benda itu membuat orang-orang yang menyentuhnya jadi gila – walaupun, sebagai seorang pengguna kekuatan suci yang kuat, Anda mungkin pengecualian. Diskusikanlah hal ini dengan Baginda Kaisar saat Beliau bangun. Ada upacara pemberkatan besar yang dijadwalkan tak lama lagi. Mungkin hal itu akan membantu.
“Walaupun akan bagus jika Anda bisa bersama dengan kami untuk ritual tahun baru, mungkin tidak pantas jika menggelar festival besar-besaran, karena meninggalnya Yang Mulia Paus. Meski demikian, kami berencana untuk mengunjungi kuil leluhur kami. Apa Anda bersedia bergabung dengan kami?”
****
Killian berhenti dan membatu di tengah lorong istana ketika Permaisuri menghampiri dari arah lain. Sejenak, dia mengalami kilas balik dari masa-masanya sebagai putra mahkota. Dia mengangguk penuh hormat, dan sang Permaisuri tersenyum.
“Anda sendirian? Aku punya pertanyaan untuk pasangan Anda.”
“Anda boleh bertanya kepadaku. Aku bisa menjawab pertanyaan apa saja tentang Rietta.”
“Begitu ya.” Permaisuri memiringkan kepalanya. “Siapa yang telah dilupakan oleh pasanganmu itu? Dia tampaknya masih mengingatmu.”
Killian membeku. Angin dingin berhembus di antara mereka. Bagaimana kau tahu soal hilangnya ingatan Rietta? Siapa yang kau kirim untuk mencelakai dia? Namun Killian tidak menyuarakan pertanyaan-pertanyaan itu secara terang-terangan. Alih-alih, dia berkata tenang, “Putrinya yang sudah mati. Jadi tolong, jangan.” Dia menatap ke dalam mata Permaisuri.
Tangan Killian berpegangan pada susuran pualam. Di bawah sana, susuran itu mengarah ke makam keluarga kekaisaran.
“Kau tahu, saat ini dia akan berusia dua puluh tahun andai masih hidup,” sang Permaisuri berkata.
Kesunyian kembali melanda.
“Aku merindukan dia,” akhirnya Killian berkata.
Sang Permaisuri terdiam. “Apa kau sudah lupa….” Dia menggelengkan kepalanya. “Hildelaine adalah putriku. Kenapa kau merindukan dia?”
Killian membalas tatapannya. “Karena aku tak bisa merindukan putra-putramu.” Dengan perkataan itu, dia menempatkan satu tangan di depan dada, berbalik, dan pergi.
Sang Permaisuri sudah mengakui tahu tentang hilangnya ingatan Rietta. Hanya beberapa orang pendeta di Axias yang telah menyaksikan serangan itu, dan bahkan lebih sedikit lagi yang tahu soal apa yang telah terjadi sebagai hasilnya. Mata Killian berkilat.
Apa Permaisuri memegang kunci untuk memperoleh kembali ingatan Rietta? Sudah saatnya untuk mencari tahu.
“Mordes, sang iblis mimpi,” Killian menggumam. Suatu kabut ungu muncul dalam kegelapan, melayang-layang. “Apa kau sudah membaca rahasia sang Permaisuri?” dia bertanya kepada si iblis mimpi. Ujilah aku sesukamu, Permaisuri Aversati. Kali ini, kita akan melakukannya dengan caraku