Like Wind on A Dry Branch - Chapter 209
Ibu Kota bukanlah Axias.
Sebelum memasuki Ibu Kota, di mana Rietta akan menanggung perhatian tak biasanya sebagai orang asing, Killian telah menyarankan agar dia menutupi wajahnya dengan cadar. Rietta memahami alasannya. Tanpa cadar, dia takkan tahu bagaimana harus membawa dirinya. Pemikiran bahwa semua orang sedang mengamati setiap pergerakannya akan memaksanya untuk memancangkan tatapan gugupnya ke depan. Akan tetapi, cadar membuatnya bisa menggerakkan tatapan serta tubuhnya dengan bebas di tengah-tengah mata dan telinga yang terpusat pada dirinya. Rasanya menenangkan ketika mengetahui bahwa tak ada seorang pun yang bisa melihat ke mana dia menatap, bagaimana rupanya, dan apakah dirinya sedang gugup. Ada Killian di sisinya juga sangat membantunya.
Mereka diperkenalkan pada akomodasi dan para pelayan yang akan melayani mereka. Rietta baru bisa santai setelah menyuruh para pelayan itu pergi dan tiba di area yang jauh dari pandangan semua orang. Rietta mencengkeram lengan Killian segera setelah pintu tertutup. Killian menautkan lengannya kalau-kalau Rietta sampai goyah.
“Killian, apa aku berlebihan?” Rietta tidak goyah.
Killian tersenyum. “Sempurna. Kau tak mungkin bisa lebih baik lagi.”
Killian selalu murah hati dalam menyemangati Rietta. Meski Rietta tidak selalu percaya mentah-mentah pada setiap pujian, dia mendapatinya menenangkan. Setidaknya Killian tidak akan diam saja soal kemajuannya.
Rietta menempelkan tangannya yang lain ke dada dan menghela napas lega.
Killian mengalungkan lengannya erat-erat ke bahu Rietta dan menariknya mendekat, kemudian mencium dahi Rietta yang tertutup cadar. Menginginkan sentuhan lebih dekat, Rietta menatap Killian, membuka cadarnya, kemudian menangkupkan tangan ke wajah Killian lalu menariknya turun. Killian melengkungkan bibirnya ke atas dan menyetujui ciuman itu. Dia menarik pinggang Rietta mendekat.
Tubuh mereka saling bersandar erat satu sama lain.
Akhirnya, istana kekaisaran, di mana Mahkota Lamenta berada. Ini adalah kali pertama Killian kembali setelah empat belas tahun berlalu.
****
“Dari semua tempat kau akan mengajakku. Siapa yang akan menyangka kalau aku akan mengunjungi istana?” Killian berkelakar.
Rietta menggigit bibirnya dan memelototi Killian. Pria ini cenderung membuat komentar menjengkelkan ketika situasinya jadi genting, untuk membantu Rietta rileks.
Killian terkekeh dan mengetuk bibir tergigit Rietta dengan ibu jarinya. Rietta melepaskan gigitan pada bibirnya dan tersenyum.
Tidak seperti tafsiran murah hati Rietta, proses berpikir Killian sederhana: Dia cantik. Aku harus menciumnya.
Dia menundukkan wajahnya untuk mencari bibir Rietta ketika wanita itu membuat gerakan tidak biasa yaitu menghalanginya dengan telapak tangan. “Apa ini benar-benar kali pertama kau kembali ke istana dalam kurun tiga belas tahun?” Rietta bertanya.
“Empat belas,” Killian meralatnya.
Killian membuat upaya kedua untuk mencium, dan Rietta menepuk lengannya untuk menyentakkan kesadaran pria itu. Barulah kemudian Killian melangkah mundur dengan senyum kecewa.
Killian berbalik ke arah dinding dengan jendela. Membuka dan menggantung kunci jendela kamar tamu, dia berkomentar, “Tempat ini belum banyak berubah.” Dia menunjukkan kunci jendela yang mewah dan elegan namun tidak pas sembari mengernyit jahil. “Axias benar-benar sudah mengembangkan seni kerajinan dan arsitekturnya, tapi istana kekaisaran masih memakai barang-barang seperti ini.”
Rietta memeluknya dari belakang. Kehangatan nan lembut menggelitik Killian. “Axias adalah yang terbaik dalam segala hal,” dia berkata.
Pelukan manis dan bisikan lembut itu membuat Killian menghela napas. Dia melemparkan kunci pada ambang jendela, menekan alisnya yang berkerut dengan ibu jari, lalu meletakkan tangannya di atas tangan Rietta. “Kenapa kau baik sekali,” dia berkata, memberi Rietta lirikan samping main-main.
****
Empat belas tahun telah berlalu sejak Killian yang berumur delapan belas tahun diasingkan ke Axias. Sejak saat itu, di sudah dua kali mengunjungi Ibu Kota secara resmi: satu kali untuk ritual tahun baru setelah merebut kembali kastel Axias dari makhluk magis, sekali lagi untuk menerima gelar duke agung dari istana dan Dewan Bangsawan setelah Axias menjadi peradaban manusia yang menyediakan pemasukan dagang melimpah di utara. Pada kedua kunjungan itu, Killian tak pernah menginjakkan kakinya di istana.
“Meski aku sudah datang untuk menjawab panggilan itu, aku tak bisa memberanikan diri untuk menginjakkan kaki di istana sebagai seorang buangan yang telah melakukan perbuatan rendah.”
Inilah alasan yang dinyatakan Killian untuk menolak tinggal di istana. Dewan Bangsawan, yang tidak mau dia memperoleh kembali terlalu banyak kekuasaan, tak punya alasan untuk menentangnya. Reaksinya bisa saja dianggap lancang, namun bisa dimengerti jika menilik bahwa dulu sang Permaisuri telah lebih dari antusias soal mencabik-cabik Killian daripada saat ini. Setelah mengampuni nyawa putra pertamanya yang tidak memberi alasan untuk membunuh belasan orang, termasuk saudara-saudara tirinya, sang Kaisar telah menyerahkan semua keputusan yang berhubungan dengan Killian kepada Dewan Bangsawan dan Permaisuri. Permintaan Killian – praktis sebagai pemberitahuan – telah disetujui.
Karenanya, pada tiap kunjungan, sang Duke Agung Axias selalu tinggal di sebuah penginapan kelas atas di dekat istana alih-alih di ruang tamu di dalam istana.
Menganggap bahwa kali ini Killian akan melakukan hal yang sama, para anggota Dewan Bangsawan pun telah mengamankan dua penginapan tempat sang duke agung sebelumnya pernah tinggal untuk mengakomodasi delegasi Duke Agung Axias dan Rietta yang diundang lewat perintah kekaisaran. Tak sudah dikatakan lagi bahwa mereka telah menanam mata-mata di situ.
Dewan Bangsawan sudah mulai menggenggam kekuasaan yang tidak bisa diperiksa di dalam Ibu Kota. Bahkan jika Duke Agung Axias kali ini menuntut sesuatu yang berbeda, mereka pikir mereka semestinya mampu mengendalikan semuanya sesuai dengan kepentingan mereka dan bahwa sang duke agung tak mampu menantang mereka.
Akan tetapi, mereka malah dipermalukan, bukan oleh sang duke agung melainkan oleh selirnya, di depan orang lain. Para bangsawan menggertakkan gigi mereka. Bagaimana bisa seorang selir rendah memprlakukan kami seperti itu.
“Apa dia pikir dia bisa lolos begitu saja karena sang duke agung? Lancang sekali. Dia sudah menemukan perempuan yang mirip dengannya.”
“Apa ini berarti bahwa sang duke agung telah menampakkan taringnya pada Dewan Bangsawan?”
Maquess Estra meminta para bangsawan yang murka agar tenang. “Harap tenang, dan jangan bertindak gegabah.”
Meski merasa murka, para bangsawan tetap mengendalikan amarah mereka, utamanya karena keganasan sang Duke Agung yang tidak pandang bulu sungguh mengerikan. Juga, hakim tertinggi kepercayaan sang Kaisar memiliki reputasi kuat dalam menerapkan aturan.
Para bangsawan memastikan bawa mereka tidak salah paham tentang semua hal. Sementara itu, gerbang perlahan terbuka.
****
Hakim Justin sendiri bukanlah sosok yang berpengaruh. Akan tetapi, anak dari seorang Putri Suci telah berkunjung sebagai tamu sang Kaisar, dan Duke Agung Axias telah memilih untuk tidak menghalanginya. Ketika sang hakim meminta, “Tak ada masalah legal di sini, jadi harap buka gerbangnya,” kata-katanya pun bekerja seperti sihir. Dia adalah penyelamat bagi para penjaga gerbang dan kesatria pada saat itu.
Para bangsawan menenangkan hati mereka ketika Hakim Justin mengawal para tamu memasuki istana utama. Tujuannya adalah untuk menunjukkan jalan menuju kamar tamu kepada mereka dan membantu mereka bertemu dengan Kaisar – menurut hukum, menurut aturan, dan menurut permintaan Rietta. Killian dan Rietta pun tiba di halaman depan istana Kaisar dalam waktu kurang dari satu jam.
“Terima kasih, Hakim Justin,” Rietta berkata.
“Saya tidak melakukan apa-apa yang pantas menerima ucapan terima kasih,” ujar Lectus Justin. Dia memanggil sekretaris, dan kemudian menyerahkan sebuah sangkar besar dengan seekor gagak besar yang sedang mengepakkan sayap di dalamnya kepada Killian.
“Koak! Menurut hukum! Menurut hukum!” Nocturne mengoceh.
“Dia mempelajari kata-kata baru dengan cepat,” sang hakim berkata tanpa berkedip. “Dia adalah pembawa pesan yang sangat hebat, tapi Anda mungkin ingin membuat dia lebih tidak banyak bicara jika ingin memakainya untuk tujuan militer.”
“Koak!” Si gagak, duduk di atas tenggeran, mengenali Rietta. Dengan bangga dia mengembangkan sayapnya dan menganggukkan kepala seraya bergeser ke samping.
Rietta tersenyum, senang karena bisa melihat lagi kolega dan kelompok dari Axias. Dia menjulurkan jarinya ke dalam sangkar dan menepuk-nepuk kepala Nocturne.
“Apa nona-nona dari Gedung Timur lainnya tinggal bersama Anda?” sang Hakim bertanya kepada Killian. “Saya dengar sudah dibubarkan.”
“Yang ini adalah satu-satunya wanita yang bersamaku,” Killian menjawab. “Dan aku adalah satu-satunya kesatrianya.”
Lectus Justin menatapnya.
Rietta merona samar. Dia membisikkan pengingat pada Killian, “Killian, kita hanya diperbolehkan membawa paling banyak dua puluh empat kesatria bersenjata – ”
“Menurut hukum!” Gagak raksasa nan menggemaskan itu menggigit jeruji sangkar dan mengulet.
“.…”
Rietta cemas kalau sang Hakim mungkin akan menyebutkannya. Namun Hakim Justin berpura-pura tak mendengar bisikannya – pengingat dari si burung saja sudah cukup. Sang Hakim pun membungkuk dan pergi.
Setiap kesatria, termasuk wanita-wanita dari Gedung Timur, disediakan kamar khusus untuk para kesatria.
****
Anggota-anggota Dewan Bangsawan kelabakan ketika mendengar kabar bahwa Duke Agung Axias, keturunan Lamenta, dan para kesatria mereka telah menempati kamar-kamar tamu istana. Berbagai jenis bangsawan jelas tampak terperangah ketika mereka melakukan kunjungan baik resmi maupun tidak resmi.
Akan tetapi, baik sang duke agung ataupun Rietta tidak bersedia untuk bertemu dengan mereka. Rietta beralasan bahwa tidaklah pantas bagi seorang tamu Kaisar untuk bertemu dengan orang lain sebelum Beliau, dan bahwa tak ada yang perlu dia diskusikan dengan siapa pun selain sang Kaisar.
Hakim Justin kembali mengunjungi pasangan itu. Di belakangnya ada sebarisan panjang pelayan, kemungkinan besar bukan pelayannya, yang kemungkinan datang untuk mengiringinya.
Sang hakim menyampaikan pesan resmi dari istana kekaisaran kepada mereka – pertemuan untuk diperlihatkan.
“Saya minta maaf bahwa karena penyakitnya, Baginda Kaisar tak bisa menemui Anda sendiri. Saya harap Anda bisa membuat diri Anda sendiri nyaman selagi menunggu,” ujarnya.
Tatapan-tatapan mengamati dari para pelayan bangsawan tertuju pada Rietta, Killian, dan Hakim Justin.
“Terima kasih atas sambutan hangatnya,” Rietta menjawab sopan. “Kami menikmati waktu kami di sini berkat keramahtamahan dari Anda sekalian. Saya harap Baginda Kaisar bisa segera pulih. Saya menantikan untuk bertemu dengan Beliau.”
“Saya mengargai pengertian Anda,” sang Hakim meneruskan. “Malam ini eseorang terkemuka dari istana akan datang untuk menyambut Anda untuk mewakili Baginda Kaisar. Harap Anda bersantai selagi menunggunya.”
“Terima kasih, Hakim. Kami akan menunggu,” Rietta menjawab.
San Hakim tidak perlu menjelaskan sosok terkemuka mana yang dia maksudkan. Semua orang tahu bahwa hanya ada satu orang di istana kekaisaran yang bisa bicara untuk mewakili sang Kaisar.
Sang Hakim membungkuk dan mengundurkan diri setelah selesai bicara. Para pelayan yang mengiringinya juga buru-buru undur diri dan kembali ke posisi mereka.
Kabar tentang Rietta menyebar seperti kebakaran. Informasi yang saling bertentangan beredar ketika beberapa mendeskripsikan dia sebagai orang yang mengagetkan kasar dan galaknya, dan lainnya mendapati dia pengertian, cantik, dan sepenuhnya normal.
Para bangsawan pun dibuat kebingungan.
*****
Malam itu, orang pertama yang keberatan pada langkah Killian dan Rietta – salah seorang kesatria sang Permaisuri – maju.
“Yang Mulia, takutnya Baginda Kaisar hanya mengundang satu orang tamu,” dia berkata.
Killian mendapati tanda pengenal seorang kesatria senior dari Gryph, pasukan kesatria istana yang melayani di istana Permaisuri.
Si kesatria meneruskan, “Santa Aeulatio adalah satu-satunya tamu terhormat yang diperbolehkan untuk tinggal di sini.”
Ada gelar lain lagi: Santa Aeulatio. Bentuk panggilan terhadap Rietta sudah jadi tidak konsisten. Orang-orang menyebut dirinya sesuka mereka, dari ‘putri Aeulatio’ hingga ’Putri Lamenta’, ’anak sang Putri Suci’, ’keturunan Lamenta’, dan ’Santa Lamenta,’ itu cuma beberapa di antaranya.
Lectus Justin bicara sebelum Killian ataupun Rietta sempat buka mulut. “Beliau berkunjung untuk mewakili negaranya sesuai dengan surat undangan Baginda Kaisar. Ini adalah sebuah kasus yang tidak biasa, tetapi dengan mempertimbangkan kejadian sebelumnya yang serupa, istana kekaisaran harus memperlakukan Rietta, anak dari seorang Putri, selayaknya sebagai seorang anggota istana, dan Rietta boleh membawa pengawal resmi yang setara dengan delegasi seperti itu.”
“Seorang pengawal,” ujar kesatria tidak jelas itu. “Dalam kapasitas apa Anda menemani Santa Aeulatio, Yang Mulia? Apakah Anda adalah pengawal dari selir?”
Tak ada seorang pun yang pernah mengemukakan masalah ini. Para bangsawan pelayan yang telah mati-matian berusaha menghentikan Duke Agung Axias menampakkan raut terkejut.
“Sejauh yang saya ketahui,” si kesatria meneruskan, “hanya istri-istri yang telah dinikahi secara resmi yang boleh melakukan perjalanan bersama suami mereka alih-alih para pengawal. Saya belum pernah mendengar tentang pernikahan Anda, Yang Mulia.”
“Para bangsawan jarang menjaga selir-selir mereka di tempat umum,” si kesatria menambahkan. “Apalagi di dalam istana Kaisar. Anda dulu juga adalah seorang anggota keluarga istana.”
Kata-katanya masuk akal.
“Bahkan meski Anda sudah memutuskan hubungan dari keluarga kekaisaran, Anda tetap putra dari sang Kaisar. Harap jagalah wibawa Anda, Yang Mulia. Anda sudah tidak menginjakkan kaki di istana kekaisaran selama empat belas tahun sebagai bentuk tanggungjawab atas semua kesalahan Anda. Tidak akan tampak baik bagi istana jika Anda melanggar aturan tak tertulis selama empat belas tahun ini demi menjaga salah satu dari puluhan selir Anda.”
Hakim Justin tidak memprotes. Banyak bangsawan dan kesatria yang menonton dalam kebisuan. Kini ketika kehormatan keluarga kekaisaran telah diungkit, Duke Agung Axias harus menjawab sendiri pertanyaan itu.
Killian membuka mulutnya. “Kau kelihatannya percaya bahwa kau punya hak untuk menghentikanku demi membela martabat istana kekaisaran. Apa itu berarti kau sedang mengkomunikasikan pendirian resmi dari istana?”
Yang mengejutkan Killian, si kesatria menjawab, “Ya.”
“Maka dengarkanlah,” Killian menjawab. “Aku adalah kesatria milik Rietta Tristi, yang telah bersumpah setia kepadanya. Karena itu, tak ada salahnya jika aku menjaga dia. Walaupun aku sudah memisahkan diri dari istana kekaisaran, aku adalah mantan anggota keluarga istana dan tidak boleh menganggap enteng sumpahku. Demi kehormatan keluarga kekaisaran, mereka yang memiliki darah keluarga kekaisaran harus menepati janji mereka. Sebagai seorang kesatria yang telah melakukan sumpah, aku sedang menjaga tuanku, yang aku yakini lebih penting daripada tabu kecil yang terus ditimpakan padaku. Kau tidak setuju?”