Like Wind on A Dry Branch - Chapter 208
Takdir telah membawa kita ke tempat ini, dan kami harus mengembalikan apa yang menjadi hutang kami kepada Anda.
Keluarga Kekaisaran dari Liefheim Dimfell mengundang putri dari Aeulatio dengan penuh rasa hormat.
Harap kunjungilah kami untuk menerima Mahkota Lamenta Anda.
****
Di atas menara jaga Istana Kekaisaran Rodminue di Ibu Kota Kekaisaran dari Kekaisaran Liefheim Dimfell, para penjaga di menara jaga saling berdebat satu sama lain.
“Entahlah. Mereka kelihatan seperti kelompok pedagang,” salah satu di antaranya berkata.
“Formasinya tak keliatan seperti formasi kelompok pedagang,” yang lain mendebat. “Tidak banyak kereta juga.”
“Haruskah kita tanya pada pengintai lainnya?”
Selama beberapa saat para penjaga mondar-mandir dengan tidak yakin hingga akhirnya mereka menemui atasan mereka.
Si pengawas senior meneggakkan duduknya dan menguap. “Apa benar-benar sampai perlu membangunkanku?” dia menggerutu. “Bagaimana kalau kita menunggu sedikit lebih lama lagi. Kita akan mengetahuinya beberapa jam lagi.”
Beberapa jam kemudian, kerumunan pengintai dan para atasan mereka mulai kasak-kusuk. Seorang prajurit yang gelisah menggeledah tumpukan gulungan papirus untuk membandingkan bendera-bendera dari keluarga-keluarga besar serta kelompok-kelompok pedagang.
“Itu bisa jadi bendera Axias,” dia berkata. “Kalau memang begitu, haruskah kita melapor pada komandan pengawas?”
Si atasan mengernyit. Dia menggelengkan kepalanya ketika memikirkan tentang bicara pada atasannya. “Kita akan beritahu Beliau saat kita sudah lebih yakin. Dia akan jadi sangat menyusahkan jika kita mengganggunya dengan sesuatu yang sepele.”
“Tapi….”
Si atasan menyeringai dan melambaikan tangannya. “Kalau itu benar-benar Duke Agung Axias, mereka toh akan mengumumkan kedatangannya dan membuat kehebohan. Apa yang perlu dicemaskan? Seseorang akan keluar untuk menyambutnya dan Beliau baru akan masuk setelah mendapat persetujuan. Tak usah buru-buru. Tapi tetaplah mengawasi.”
Saat ini adalah tahun kesembilan belas dalam Kalender Kekaisaran. Sudah lewat sembilan belas tahun sejak tak adanya negara lain di benua ini selain kekaisaran yang bersatu.
Para iblis dan wabah bukan satu-satunya ancaman bagi sebuah negara. Kekaisaran telah menyerah dalam memerintah, dan seorang Permaisuri yang tidak stabil serta para bangsawan korup sudah memegang kekuasaan selama lebih dari satu dekade. Kekaisaran terkikis di tengah-tengah kedamaian dan pengabaian.
****
Si penjaga gerbang bekerja dengan sangat buruk dalam menangani para tamu.
“Ya-Yang Mulia, ha-harap menunggu. Saya sudah memberitahu pihak istana, jadi mereka akan mengirim orang untuk menyambut Anda. Mohon, saya sungguh menghargai kesabaran dan pengertian Anda -”
Para penjaga di menara jaga seharusnya sudah terlebih dahulu mengidentifikasi benderanya dari jarak belasan mil, namun mereka malah kelihatan benar-benar tidak siap. Hal ini tak pernah terpikirkan pada tiga belas tahun yang lalu, ketika Killian meninggalkan istana. Ketiadaan sosok pemimpin, orang yang dahulu disebut sebagai dewa perang, begitu kentara.
Killian tidak bereaksi dengan kuat dan hanya menarik kekangnya serta mengajukan dagunya. “Tak perlu penyambutan,” dia memberitahu si kesatria. “Kami akan langsung masuk saja. Beri jalan.”
Si kesatria melebarkan matanya dengan kaget dan keringatnya mengucur deras. Dia berdiri di depan Killian. “Saya, saya rasa saya tak bisa melakukan hal itu, Yang Mulia.”
Ukuran delegasi Killian jelas melampaui yang diterima oleh hukum dan kebiasaan sampai pada taraf mengintimidasi. Kalau sedang sial, si kesatria bisa kehilangan kepalanya jika membiarkan mereka masuk. Dia tak menginginkan tanggungjawab itu.
“Tolong, tolong beri kami waktu sebentar. Sebentar saja. Seorang kesatria senior sedang dalam perjalanan untuk menyambut Anda dengan lebih pantas sesuai dengan protokol -”
Tentu saja permohonannya itu tak berguna. “Bagiku tak ada bedanya antara kau dan atasanmu,” Killian berkata. “Sopan santun sepantasnya apa yang kau maksud? Buka gerbangnya.”
Penolakan tidak langsung itu sama sekali tidak bekerja. Si kesatria memeras setiap tetes keberanian yang tersisa dalam dirinya untuk memprotes. “Sa-saya sungguh minta maaf, tetapi takutnya pasukan bersenjata Anda itu… sedikit terlalu besar. Sa-sa-saya menyesal harus mengatakan kepada Anda bahwa Anda ti-tidak bisa masuk.”
Killian memiringkan kepalanya. “Pasukan bersenjata apa?”
Semua yang dia lakukan adalah bertanya sambil tersenyum. Killian tak bermaksud mengintimidasi si kesatria. Akan tetapi, sang duke agung dikenal sebagai seorang tiran dan pembunuh di kalangan bangsawan. Senyumnya ditafsirkan sebagai tanda kemarahan, dan si penjaga gerbang gemetar ketakutan.
“Sa-saya harap Anda me-me-mengerti bahwa para pendeta petarung dan para pemeriksa bisa dianggap sebagai pa-pasukan bersenjata, bahkan meski tanpa senjata -”
“Pendeta Tinggi Gilius.” Killian menyela si prajurit seakan tanggapannya tidak cukup berharga untuk didengarkan.
Sang pendeta tinggi mengajukan kudanya ke depan. “Pasti telah terjadi kesalahpahaman,” dia memberitahu si prajurit. “Kami adalah delegasi yang kembali, bukan pasukan bersenjata milik Yang Mulia Duke Agung.”
Kelabakan, kaki si kesatria gemetar dan menatap Gilius.
Sang pendeta tinggi menambahkan, “Delegasi pendeta petarungku sebelumnya telah diberangkatkan ke Axias. Kami hanya kembali ke Ibu Kota setelah menyelesaikan misi kami.”
Si kesatria hanya menatapnya dengan linglung. Gilius berbaik hati menunjuk ke arah gerbang dan dengan tegas memberitahu si kesatria apa yang harus dia lakukan. “Tolong bukakan gerbangnya dan beritahu rekan-rekanmu yang ada di dalam.”
“Oh, baik, Tuan!” Si kesatria berlari ke dalam.
Gerbang terbuka. Para pendeta petarung kekaisaran kembali ke Ibu Kota, dan Duke Agung Killian, beserta selir kesayangannya yang dirumorkan sebagai keturunan dari Lamenta pun memasuki kastel bersama dengan para kesatria mereka.
****
“Apa itu… Duke Agung Axias?”
“Dan yang itu pasti putri dari….”
Nama Killian dan Rietta terdengar dalam bisik-bisik di kerumunan.
“Dia memakai cadar….”
“Wajahnya ditutupi….”
“Kau yakin itu dia? Bisa saja dia ada di dalam kereta.”
Wanita mungil bercadar di atas kuda putih menarik lebih banyak perhatian ketimbang sang duke agung. Mata-mata penasaran dari para bangsawan dan rakyat jelata terpancang pada pasangan itu.
“Tolong beri jalan! Permisi!”
Para kesatria dan prajurit membuka jalan di tengah kerumunan. Puluhan bangsawan dan pendeta senior membelah kerumunan. Mereka berdesakan untuk berbaris di hadapan Killian dan Rietta, terengah, lalu membungkuk. “Selamat datang, Yang Mulia.”
Killian menunduk menatap mereka dalam kebisuan.
Marquess Estra, kepala Dewan Bangsawan, mengulas senyum canggung. “Anda menempuh perjalanan dengan cepat. Kami baru saja mendengat kabar bahwa Anda telah tiba. Anda datang menemui kami dengan begitu cepat sampai-sampai kami tak sempat bersiap-siap. Saya merasa malu atas penyambutan tak seberapa kami terhadap seorang tamu penting seperti Anda.”
Secara terselubung sang marquess mengkritik Killian karena berbaris masuk tanpa menunggu persetujuan.
Killian tersenyum miring. “Kupikir kau mungkin akan merasa tidak enak karena membuat tamu-tamu pentingmu menunggu di tengah udara dingin.”
Wajah sang marquess menegang. Tanpa merilekskan otot-otot wajahnya, dia melirik ke arah wanita bercadar di samping Killian. Menyadari tatapan tajam Killian, dia pun berpaling dan menundukkan pandangannya. Dia tak bisa mempermasalahkan tanggapan sang duke agung; seni halus milik kaum bangsawan untuk membaca pikiran toh tak bisa diterapkan pada Killian.
“Terima kasih karena telah membantu kami untuk tidak sampai membuat kesalahan,” sang marquess berkata. Dia menatap ke tanah, namun seluruh perhatiannya tertuju pada si wanita bercadar. Itukah dia? Selir kesayangan sang duke agung berani tetap berada di atas kudanya dan terus memasang cadar. Sikap ini bisa dianggap lancang, namun sang duke agung mungkin memang telah memerintahkan kepada wanita itu agar jangan membungkuk di hadapan para bangsawan tanpa seizinnya. Bagaimanapun juga, sang duke agung-lah yang berwenang di kelompok ini.
Katanya wanita ini adalah anak perempuan dari Putri Lamenta, namun selama dua dekade, tiada negara selain kekaisaran yang ada di benua ini. Walaupun sang Kaisar memperlakukannya sebagai sosok yang setara karena hal itu kelihatan lebih baik, wanita ini sudah menjadi rakyat jelata selama dua puluh tahun terakhir. Walaupun sang duke agung bisa memberinya gelar jika Beliau mau, keputusannya akan dibuat oleh Dewan Bangsawan setelah melakukan diskusi dengan sang duke agung.
Marquess Estra tak punya pertanyaan tentang status jelata wanita ini.
“.…”
Kesunyian terjadi di antara mereka di tengah-tengah para bangsawan yang berdesakan dan kasak-kusuk di dalam kerumunan. Para bangsawan berdesakan untuk berbaris di belakang sang marquess. Para penonton di jalan saling berbisik dan menatap pemandangan langka ini.
Sial. Ini bukan pemandangan yang bagus. Dan dari mana datangnya semua orang ini?
Setelah dengan susah payah membuat semua bangsawan membentuk formasi, Marquess Estra pun memberi salam resmi yang terlambat kepada sang duke agung. “Terima kasih karena telah melakukan perjalanan jauh di tengah hawa dingin. Saya harap pertemuan yang telah lama dinantikan ini mendatangkan rekonsiliasi yang membahagiakan. Kami menyambut Anda dengan setulus hati.”
Killian tak menanggapi. Justru Leah yang meringkik dan mendengus.
“.…”
Wajah Marquess Estra menjadi kaku ketika Killian tak mau menerima salamnya, hanya menunduk menatapnya dari atas punggung kuda. Para bangsawan berdehem canggung.
Sang Marquess sudah nyaris kehilangan muka. Dia pun bicara kepada Rietta seakan dia sudah selalu merencanakannya. “Terima kasih karena telah menerima undangannya. Atas nama keluarga kekaisaran Liefheim Dimfell, dari dasar hati saya menyambut Anda, putri dari Aeulatio.”
Wanita suci dari Lamenta, atau selir kesayangan sang duke agung, harus menanggapi dengan benar kecuali dia ingin dikritik karena tidak memandang seorang bangsawan. Kita lihat saja apa yang dia katakan.
Rietta tetap berada di atas punggung kudanya dan menunduk menatap mereka dari balik cadarnya. “Merupakan kehormatan bagi saya untuk bisa bertemu dengan Anda,” dia berkata.
Para bangsawan terperangah. Walaupun kata-katanya penuh hormat, Rietta jelas bicara dalam posisi sebagai seorang atasan. Sikap, nada bicara, dan gesturnya telah memberikan pesan yang jelas. Dia tidak menampakkan wajahnya ataupun turun dari kudanya, dan dia bahkan tidak berpura-pura untuk mengangguk.
Pendeta Tinggi Gilius menatap Rietta dari belakang wanita itu dengan raut wajah penasaran. Rietta tahu bagaimana cara menyapa orang sesuai dengan protokol resmi, jadi tanggapan singkat itu pasti adalah sebuah sikap politis yang disengaja.
Memberi sikap pongah kepada sang Marquess, Rietta menambahkan satu komentar tak disangka lainnya: “Saya ingin tahu nama dari tuan yang telah menyambut saya dari dasar hatinya untuk mewakili keluarga kekaisaran Liefheim Dimfell.”
Sang Marquess tersentak sadar dari syoknya dan membuka mulutnya. “O, saya -”
Si wanita bercadar berpaling darinya untuk menatap sang duke agung. “Yang Mulia.” Dia ternyata tidak bicara kepada sang marquess.
Rasa syoknya datang beberapa detik kemudian. Apa wanita ini tahu apa yang sedang dia lakukan?
Duke Agung Axias menjawab, “Aku tak kenal dia,” seraya tersenyum.
Wajah sang Marquess menjadi merah terang. Dia bahkan tak sempat memprotes, “Anda tidak mengenal saya, Yang Mulia?”
Rietta menunduk menatap si pria bangsawan. “Yang Mulia Duke Agung tidak mengenalmu,” ujarnya perlahan. “Memangnya kau siapa sampai menyambutku, seorang tamu asing yang diundang oleh Kaisar, dengan mengatasnamakan keluarga kekaisaran?”
Semua orang menatapnya dengan raut tak percaya. Dia melanjutkan dengan suara tenang. “Aku datang untuk bertemu dengan Baginda Kaisar. Ini sungguh mengecewakan.”
Rahang Marquess Estra menganga, benar-benar dibuat tercengang oleh sikap Rietta yang tidak disangka-sangka.
****
Sementara itu, delegasi kedua melewati gerbang istana.
Pemeriksa yang ada di bagian depan bicara pada si kesatria. “Para pemeriksa ada di bawah perlindungan ordo, dan kami punya hak untuk mengunjungi kediaman mana pun tanpa boleh ditolak, menginterogasi para bidah, dan melakukan penangkapan jika kami bisa memberikan tiga dasar jelas atas kecurigaan terhadap perbuatan bidah. Ibu Kota bukan pengecualian atas aturan itu.”
Para penonton mengalihkan perhatian mereka pada penyebutan kata bidah. Para penjaga gerbang menatap dengan panik, dan si pemeriksa meneruskan, “Kami, para pendeta pemeriksa, sedang mengunjungi istana kekaisaran untuk menjalankan penyelidikan resmi atas tiga insiden perbuatan bidah.”
Si kesatria senior baru saja tiba. Dia mendorong para penjaga gerbang, mengatur napasnya, dan bertanya, “Kami baru mengetahui soal ini. Tiga insiden bidah apa yang Anda bicarakan?”
Si pemeriksa membuka gulungan kertas papirus dan membacakan pernyataannya.
“Insiden pertama adalah berkenaan dengan Suster Anais, seorang pendeta dari Kuil Hermeden. Kami telah menemukan bukti penggunaan sihir di mana manusia telah dikorbankan sebagai tumbal hidup, dan seorang individu bangsawan di dalam istana telah dituduh bertanggungjawab atas tragedi itu.
“Kedua, tuduhan telah dibuat berkenaan dengan mangkatnya Yang Mulia Paus akhir-akhir ini, yang tak bisa dianggap enteng, dan kami telah menemukan hubungan signifikan antara hal ini dengan insiden pertama.
“Insiden ketiga adalah mengenai hilangnya Santa Tania belum lama ini. Individu bangsawan di balik insiden pertama juga adalah tersangka kuat dari insiden ini. Kami beranggapan bahwa ketiga kejadian ini memiliki hubungan yang sangat erat.”
Para rakyat jelata yang menunggu untuk memasuki Ibu Kota mulai saling bicara satu sama lain dengan syok.
“Tunggu, apa? Santa Tania telah menghilang?”
“Mereka mengorbankan manusia sebagai tumbal hidup? Apa maksudnya mereka telah menggunakan sihir hitam?”
“Apa yang terjadi pada mendiang paus….”
Si pemeriksa menggenggam kertas papirusnya dan menunduk menatap si kesatria. “Kami datang untuk alasan-alasan ini. Harap buka gerbangnya.”
Gerbang istana pun terbuka kembali. Ratusan pendeta bersenjata berkumpul di Ibu Kota kekaisaran.
****
Sebuah suara yang berjarak beberapa kaki jauhnya dari sang Marquess dan para bangsawan memecah kesunyian. “Saya minta maaf. Ada kesalahpahaman dalam proses penyambutan Anda.”
Segera orang itu pun menampakkan dirinya sendiri. Para anggota Dewan Bangsawan yang sedang menyambut delegasi Killian terkejut ketika mendapati kehadiran orang yang tak disangka-sangka.
“Terima kasih karena bersedia menempuh perjalanan yang begitu jauh. Perjalanan Anda pasti sangat panjang. Dan merupakan kehormatan bagi saya untuk bertemu kembali dengan Anda, Yang Mulia. Juga….” Dia mendongak menatap Rietta seraya mengulas senyum. “Saya mengetahui nama Anda, tetapi bersediakah Anda memberitahu saya bagaimana Anda ingin dipanggil?”
Para bangsawan memberinya tatapan keheranan. Dia jarang ikut campur dalam urusan semacam ini.
Pria itu adalah Lectus Justin, penegak keadilan tertinggi yang luar biasa lurusnya.
Rietta menundukkan kepalanya dan tersenyum di balik cadarnya. “Salam, Hakim Justin. Harap panggil saya Rietta.”
Lectus Justio meletakkan tangannya di depan dada untuk menunjukkan rasa hormat kepada Rietta. “Merupakan kehormatan bagi saya untuk bertemu kembali dengan Anda, Rietta.”
Marquis Estra dan para bangsawan kenamaan dari Dewan Bangsawan membeku, tak mampu mempertahankan sikap angkuh mereka di tengah-tengah kejutan ini.
Kabar pun menyebar ke seantero Ibu Kota.