Like Wind on A Dry Branch - Chapter 207
Sang Permaisuri sudah dibebaskan dari kurungan.
Istana kekaisaran tak bisa membuktikan keterlibatannya dengan insiden Kuil Havitas, dan tuntutan terhadapnya terlalu samar karena kurangnya bukti nyata dari kejadian itu. Dengan tidak adanya dasar yang jelas untuk pengurungannya, pelepasannya sudah bisa diperkirakan di tengah-tengah periode transisi kritis antara kematian paus dan pemilihan paus baru. Ada banyak yang harus dipersiapkan oleh Permaisuri untuk menggantikan Kaisar yang terbaring di ranjang, dan banyak sekali dana yang dibutuhkan.
Dewan Bangsawan menyetujui pelepasan atas Permaisuri.
****
“Kabar tentang mangkatnya Yang Mulia Paus telah mencapai seluruh benua,” seorang kesatria melapor kepada Permaisuri dan sang Kardinal. “Kedua puluh empat kardinal dan Santa Tania telah menulis bahwa mereka akan kembali ke Ibu Kota untuk menghadiri pemakaman dan Sidang. Santa Tania kemungkinan besar akan butuh waktu paling lama, seperti yang sudah diperkirakan.”
Sang Kardinal tersenyum cerah. “Apa Beliau tidak bilang kalau Beliau tidak bisa datang?”
“Tidak,” sang Permaisuri menjawab untuk menggantikan si kesatria. “Beliau bilang, Beliau akan datang.”
Sidang akan berlangsung hanya dengan dua puluh empat kardinal jika Santa Tania tidak bisa hadir. Karenanya Beliau akan berusaha untuk datang bagaimanapun caranya.
“Takutnya kita akan mengganggu pelayanan Santa Tania di tempat-tempat yang paling dibutuhkan.”
“Bahkan sang Santa juga harus sesekali menghirup udara masyarakat kelas atas.” Sang Permaisuri menyandarkan sikunya pada sandaran lengan. Syal mink putihnya menjuntai di bahu. Syal ini tampaknya merupakan barang kesukaannya yang baru.
Sang Kardinal menatap Permaisuri ketika yang bersangkutan meneruskan, “Omong-omong, bukankah Anda sedang mengawasi Santa Tania?”
Sang Kardinal bersandar ke kursi, menatap sang Permaisuri. “Aku tak mengerti. Pasti ada kesalahapahaman.”
“Apakah benar kesalahpahaman?”
“Benar. Aku tak begitu tertarik padanya tapi sudah membuat beberapa saran menjanjikan. Meski demikian, kurasa saran-saran itu tidak akan berguna baginya.”
Sebuah ‘saran’. Sang Permaisuri tersenyum kering.
Sang Kardinal terus tersenyum ketika dia meneruskan, “Yah, tak ada orang–orang tak berkualifikasi. Semuanya terkendali.”
“Apakah Putri Beatrice berkualifikasi?”
Sunyi sejenak. Sang Kardinal meletakkan kedua tangannya yang bertautan di atas perutnya. Dia menempelkan lalu memisahkan ibu jarinya dan tersenyum. “Dia tidak kelewat berkualifikasi. Tapi aku merasa kalau hal ini sudah ditakdirkan untuk terjadi.”
Sang Permaisuri menyeringai. “Anda punya selera yang terus terang.”
Kardinal Racionel menghela napas dan menatap ke sampingnya. “Semua orang punya tempat mereka masing-masing,” dia menjawab setelah terdiam sejenak.
Sang Permaisuri menunduk menatapnya seraya tersenyum miring. “Aku tak menyangka Anda akan mempertimbangkan bahwa selir kesayangan sang duke agung berkualifikasi untuk berdiri di hadapan Dewa.”
Sang Kardinal menatapnya dengan senyum santai yang tak berubah. “Dia adalah anak perempuan dari seorang Putri Suci dan seorang pendeta wanita yang memiliki darah bangsawan,” dia berkata. “Sungguh disayangkan dia terperangkap di dalam sangkar sang duke agung berlawanan dengan keinginannya sendiri.”
Permaisuri melengkungkan bibirnya ke atas. “Anda sudah jadi sangat pengertian. Bukankah sebelumnya Anda merasa kecewa karena Putri Beatrice ternyata punya anak?”
Sunyi lagi. Senyum sang Kardinal sedikit membuka. “Anda terus mengungkit masa lalu, yang tak berarti apa-apa. Dia orang di masa lalu, dan dia sudah mati.” Sang Kardinal mengulang laggi dengan tegas, “Aku bukan lagi orang dari masa itu.”
“Begitu ya.” Sang Permaisuri tersenyum kepadanya.
Sang Kardinal berdiri dan mengulurkan tangan kepadanya. “Sekarang, bagaimana kalau kita mendiskusikan tentang masa depan?”
Sang Permaisuri tersenyum miring dan berdiri, menjatuhkan syal mink yang dulunya merupakan barang kesayangannya. “Tentu.”
*****
Clak. Clak.
Suara langkah kaki basah menggema di dalam terowongan bawah tanah. Cahaya obor bergoyang-goyang pada dinding gelap berlumut.
“Kita akan harus melakukan apa saja. Tak perlu dikatakan lagi bahwa kita bisa memiliki kekuatan suci sekaligus kekuatan iblis selain menjadi abadi dan menghidupkan kembali orang mati. Dijamin, hal ini takkan diperbolehkan bagi semua orang….”
“.…”
Puncak dari kekuatan suci dan iblis bertemu, sekali, hanya untuk orang paling mulia.
Sang Kardinal tersenyum. “Aku baru saja bertemu seorang pria jelata yang mengharapkan persis hal itu,” dia berkata. “Dia meminta untuk membantunya bertemu dengan orang mati. Dia tak peduli berapa lama waktunya.”
Kedua orang itu berhenti. “Sama klisenya dengan meminta berbagi kekuatan keabadian.”
Di bawah langkan logam tinggi tampaklah suatu tempat yang luas. Sebuah lingkaran sihir perak raksasa yang tergambar di sepanjang saluran air tampak di hadapan sang Permaisuri dan Kardinal. Mereka telah tiba di pusat lingkaran sihir pemberkatan besar yang mengelilingi seluruh kota.
Sang Kardinal dengan cepat mengayunkan tangannya. Suatu kegelapan dengan rona ungu melayang melintasi gua dan mundur dengan penglihatan iblis mimpi. Sebuah makam raksasa dari tumbal hidup menampakkan dirinya sendiri dari belakang lingkaran sihir itu. Tangan-tangan berlumur darah menggapai-gapai di dalam kegelapan di bawah kaki mereka. Sang Kardinal melirik ke bawah dan menendang tangan-tangan itu tanpa berkedip.
Tak terhitung banyaknya manusia yang terikat pada tiang-tiang logam yang memenuhi seluruh tempat itu. Lingkaran sihir suci yang berpendar dan pemandangan keji nan mengerikan di dalamnya terungkap dalam kondisi yang sungguh menjijikkan.
Sang Kardinal meneruskan. “Apa yang akan Anda lakukan, Baginda, jika dewa dengan kekuatan atas hidup dan mati bisa mengabulkan harapan terbesar Anda?”
Sang Permaisuri menunduk menatap lingkaran sihir itu. Beberapa detik kemudian dia terkekeh. “Apa Anda sedang coba-coba mengujiku dengan trik basi, Kardinal Racionel?”
Sang Kardinal sudah akan menjawab ketika dia merasakan segel pada si iblis api, yang berisi kekuatan iblis wabah, telah membebaskannya dan pergi. Ini adala tanda kepuasan.
Mata Aversati, selalu menampakkan rasa bosan, mulai menampakkan secercah kekejian. “Aku tidak membutuhkan bantuan tak berguna,” dia berkata. “Bawakan saja sesuatu yang menarik padaku.”
Dia mendekat selangkah. Tatapan kelabunya yang kian dalam mendarat pada sang Kardinal. Suaranya yang menakutkan terpantul-pantul di antara dinding-dinding batu sempit. “Hanya ada satu hal yang bisa menghiburku, dan semua orang tahu apa itu. Aku yakin Anda juga mengetahuinya.”
Memang, sang Permaisuri bukan manusia biasa yang mengharapkan kebangkitan atau keabadian.
Sang Kardinal melengkungkan bibirnya membentuk senyum. Meski kematian William dan Salerion mungkin telah mendesak sang Permaisuri ke dinding, wanita itu sudah jauh terlepas dari trauma asal. Semua yang dia inginkan adalah pembalasan dendam – menyaksikan Duke Agung Axias menderita. Tak ada yang tersisa dalam benaknya, mau itu masa lalunya, dirinya sendiri, ataupun anak-anaknya. Semua yang tersisa darinya adalah buah kegilaan dangkal yang perlahan, kosong dari akal sehat.
“Pendukungku yang paling berharga.” Sang Kardinal tersenyum ketika dia mengiringi sang Permaisuri. “Kehendak Anda akan dijalankan.”
****
Sang Santa mebuka matanya. “Sang Permaisuri sudah dilepaskan dari kurungannya,” Beliau memberitahu Killian.
“Aku sudah dengar kabar itu.”
“Baginda Kaisar telah merencakan untuk menurunkan Permaisuri dari tahta.”
“Tentu,” itulah semua yang Killian katakan, tidak bertanya ataupun menampakkan pengetahuan.
Sang Santa meneruskan. “Bisa dibilang Baginda Kaisar telah kehilangan semua otoritas di dalam istana. Beliau bisa saja sudah mangkat.”
Rietta harus mengambil kembali mahkotanya sembari sebanyak mungkin menghindari prosedur yang telah dipersiapkan oleh Permaisuri atau Dewan Bangsawan. Mereka harus menghubungi orang-orang yang menghadiri Sidang untuk meyakinkan orang-orang itu sambil menghindari atau menunda berlangsungnya Sidang sebaik mungkin. Mereka juga harus mencari tahu siapa yang telah memasang sihir pada Rietta sembari berusaha sejauh mungkin dari Permaisuri atau sang Kardinal.
“Apa rencana Anda, Yang Mulia?”
****
“Baginda Kaisar.” Sang Permaisuri duduk di samping sang Kaisar yang sedang tertidur dan mengulurkan tangannya. Dia menyibakkan rambut kelabu berantakan sang Kaisar dari dahinya dan brbisik. “Mohon bertahanlah sedikit lebih lama lagi. Putramu akan segera datang kemari. Kau harus melihat dia sebelum kau mati.” Lihatlah putramu menderita, maksudnya.
Dada ringkih sang Kaisar naik dan turun selaras dengan napasnya.
“Aku mencabut Pangeran Killian, pangeran pertama, dari hak atas tahta dan mengasingkan dia ke Axias. Dia takkan lagi perlu bertanggungjawab atas pelanggarannya. Juga, aku menunjuk Halstead, putra terakhir Aversati dan urutan keempat dalam kepenerusan tahta, sebagai putra mahkota.”
Mengingat kembali suara sang Kaisar dari masa dahulu kala, sang Permaisuri mengulas senyum kering.
“.…”
Kau juga pasti tahu bahwa hal itu tidak bisa menebus janjimu. Aku tak pernah meminta agar anakku menjadi Kaisar atau diberi gelar bangsawan.
Aku sudah berjanji untuk tidak mengincar tahta Permaisuri; tidak menginginkan cintamu, tidak mengancam Permaisuri Ariadne, cinta dalam hidupmu melainkan untuk melindunginya. Aku berjanji untuk menyimpan semua rahasia ini, dan aku hanya meminta satu hal sebagai gantinya: menjaga anak-anakku tetap hidup.
Sang Permaisuri mendekati sang Kaisar seraya tersenyum. “Aku telah menepati semua janjiku,” dia berbisik ke dalam telinga Kaisar.
“.…”
“Tapi kau tidak menepati satu janjimu itu kepadaku.”
“.…”
“Astenfeld.”
“.…”
Sang Kaisar tetap tertidur nyenyak. Sang Permaisuri tersenyum dan membelai dahinya. “Tolong jangan mati dulu.”
Di dalam kamar yang penuh dengan berkat, sebentuk energi iblis bergejolak di dalam tubuh sang Kaisar.
“Kau harus melihatnya.”
****
Axias tetap merupakan tanah keramat.
Kelima tanah keramat, didesain untuk melindungi tempat itu dari serangan iblis pada Perang Iblis Axias yang pecah pada akhir musim gugur, telah mempertahankan energi suci pada tingkatan yang sama.
Akan tetapi, mereka telah menyimpulkan bahwa lebih baik memiliki kekuatan sekutu yang mampu menampung kekuatan iblis daripada mengisolasi area itu dengan kekuatan suci saja. Hal itu akan membuat Axias aman dari wabah dan iblis setelah kepergian Morbidus, yang telah mengendalikan wabah di tempat ini. Setelah berdiskusi lama, Rietta, Morbidus, Killian, dan para pendeta sepakat untuk membuat Maladiera tetap tinggal bersama dengan para pendeta Axias.
“Jangan lupa, kau punya kekuatan yang sangat besar. Berhati-hatilah saat kau memakainya pada orang-orang yang rapuh,” Morbidus mengingatkannya.
Maladiera mengangguk.
“Bagus.” Morbidus membuka telapak tangannya.
Maladiera melakukan tos dengan wajah datar.
Morbidus kembali memperingatkan, menepuk-nepuk kepala iblis kecil itu. “Kurasa ini takkan terjadi, tapi kalau kau sampai bertemu dengan iblis yang tak bisa kau tangani sendiri, bukalah lingkaran wabah dan panggil aku sehingga aku bisa datang. Mengerti?”
“.…”
Morbidus membisikkan sesuatu di udara, dan Maladiera mengangguk. Dia lalu menurunkan tangannya untuk membimbing Maladiera pada Vetere.
Iblis wabah kecil itu berjalan ke arah si pendeta dengan sabit yang lebih tinggi daripada tubuhnya.
“.…” Membatu, Colbryn dan Damian menatap kedua iblis wabah dan kepala biara itu.
Morbidus membuka mulutnya. “Dia mungkin akan berguna jika sampai terjadi sesuatu. Tapi dia bisa berakhir jadi lebih berbahaya jika tidak hati-hati, maka pastikan jangan sampai dia membuat masalah.”
Mana yang lebih mungkin terjadi? Vetere menghela napas. Pria tua itu telah berpikir bahwa akhir-akhir ini Beliau sungguh sudah melihat semuanya. “Saya tak pernah menyangka kalau saya akan harus mengurus bocah iblis,” Beliau berkata.
“Aku sudah pernah menjaga anak manusia sebelumnya,” ujar Morbidus.
“Yang itu sih aku juga sudah melakukannya berkali-kali.”
Morbidus tertawa. Alih-alih meremehkan pengalaman Vetere dalam mengurus anak manusia yang jauh dari tidak biasanya, dia mengakui kerja keras Vetere. “Kau jadi bisa melihat banyak hal saat kau hidup sedemikian lamanya.”
Akhirnya Vetere ikut tertawa. Iblis di hadapannya ini sama tuanya dengan sejarah umat manusia. Hal ini mungkin tidak mengejutkan bagi sang iblis tingkat tinggi yang telah melewatkan waktu yang panjang bersama manusia.
Akan tetapi, Damian dan Colbryn tidak bisa menyembunyikan rasa takut, keprihatinan, dan kebingungan mereka. Pada akhirnya mereka bekerja bersama Maladiera untuk menggantikan kepala biara tua mereka yang sudah kesulitan untuk bergerak.
Para pemeriksa akan meninggalkan Axias bersama Killian dan Rietta. Namun mengesampingkan sidang bidaah, melewatkan waktu bersama sesosok iblis memberikan risiko psikologis dan praktis yang sangat besar bagi para pendeta. Mengapa kira harus dihadapkan pada cobaan semacam ini, ratap mereka.
“Anda tidak akan meninggalkan kami jika sampai terjadi sesuatu, kan, Bruder?” salah seorang pendeta muda bertanya.
Vetere mengerutkan alis putihnya. “Pertanyaan macam apa itu?”
“Maksud saya, ada begitu banyak pendeta yang lebih berpengalaman dan bisa diandalkan. Mengapa kami? Kami ini terlalu muda dan tak berpengalaman untuk menangani sesuatu seberat itu.”
“Itulah sebabnya kenapa aku memilih kalian berdua,” Vetere menjawab santai.
Kedua pemuda itu tak mengerti.
Morbidus menyeringai. “Jangan takut. Beberapa manusia cocok dengan manusia. Aku sudah melatih Maladiera dengan baik, jadi tak usah takut.”
Manusia butuh waktu untuk mulai berfungsi sebagai manusia sesungguhnya. Apakah waktunya sudah cukup bagi iblis untuk tumbuh dewasa?
Hingga saat ini, Morbidus bisa mengendalikan perilaku iblis yang memiliki tingkat lebih rendah itu. Akan tetapi, begitu dia meninggalkan tempat ini, dia takkan lagi bisa mengendalikan Maladiera. Mau tak mau para pendeta pun merasa tidak nyaman dengan ide menerima iblis tingkat tinggi itu, namun Vetere memutuskan untuk memercayai penilaian Killian dan Rietta, yang memercayai Morbidus.
“Aku harus panggil dia apa?” Vetere bertanya pada Morbidus.
“Maladiera,” gadis kecil itu menjawab sendiri dengan suara jernih dan nyaring yang mengejutkan para pendeta.
Vetere menawarkan jabat tangan pada gadis iblis kecil itu. “Kau punya suara yang sangat indah. Senang bertemu denganmu, Nona Maladiera.”
Si gadis melirik tangannya lalu menatap ke dalam mata Vetere. “Panggil aku Maladiera. Aku menghormati orang tua.”
“.…”
Si iblis dan si manusia pun berjabat tangan.
****
Para kesatria dan pendeta yang mengiringi perjalanan berkumpul di depan kastel Axias. Killian, Rietta, Santa Tania, Pendeta Tinggi Gilius, dan sebagian besar pemeriksa serta pendeta kekaisaran yang berkunjung telah menaiki kuda mereka.
Ada banyak orang yang mengikuti duke agung dan Rietta ke Ibu Kota, namun lebih banyak lagi yang tetap tinggal di Axias, untuk melindungi keamanan wilayah itu hingga mereka kembali.
“Terima kasih karena telah menjaga Axias,” Killian berkata.
“Semoga selamat di perjalanan, Yang Mulia.”
Tigris mendengus. Rietta menaiki kuda itu dan berhenti di samping Killian.
Dia mengenakan pakaian dengan jumlah lapisan yang memadai, namun musim dingin jelas masih terasa. Dia tampak kedinginan dengan pipi merona dan mata merah serta napas yang mengepulkan uap putih yang menyebar di udara. Hawanya akan terasa lebih dingin lagi begitu dia berpacu di atas punggung kuda.
“Bukankah akan lebih baik kalau naik kereta saja?” Killian bertanya kepadanya.
Rietta menarik tali kekang untuk mendekati Killian. “Kau memberiku kuda ini supaya aku bisa berlari bersamamu ke mana pun kau pergi,” ujarnya seraya tersenyum.
“Aku juga bilang bahwa aku tak keberatan jika kau bergabung di atas punggung kudaku.”
“Bagaimana kalau kita melakukannya saat kita pulang?”
Bendera dinaikkan.
****
Mereka berangkat menuju Ibu Kota.