Like Wind on A Dry Branch - Chapter 206
“Kau menginginkan kekuatan.”
“Kau memilikinya sekarang.”
Iblis itu berbisik.
****
Jade mencengkeram lengan baju Ferdian dengan kedua tangan berlumur darah yang gemetaran. Mata Ferdian melebar. Darah menetes-netes ke lantai.
Klang. Sebilah pedang mendarat di atas genangan darah itu.
*****
Aku tak pernah menginginkan ini. Tak mungkin aku menginginkannya. Ini bukan aku. Aku tak mau melakukan ini. Dia memejamkan matanya rapat-rapat dan menjambaki rambutnya dalam upaya sia-sia untuk menghapus momen itu.
Si iblis, yang dahulu diyakini sebagai penyelamatnya, berbisik: “Kau itu seperti aku.”
****
“Jangan… katakan pada Rietta….” Jade menggertakkan gigi dan menatapnya. “Jangan pernah… katakan padanya. Ini adalah kecelakaan.”
Harapan yang tak tertahankan itu melahap Ferdian: “Tolong jagalah Rietta.”
Dibuat membatu oleh perbuatannya sendiri, Ferdian berbalik dan kabur.
“Jangan pergi. Tidak, jangan pergi! Bagaimana aku bisa melakukannya tanpamu?”
“Tidak, tunggu! Kumohon katakan pada mereka agar menunggu. Sebentar saja.”
“Aku tak bisa. Tunggu. Aku belum siap untuk mengucapkan selamat tinggal.”
Tubuhnya gemetaran. Dia tak mungkin berani menghadapi Rietta.
Rietta jatuh pingsan saat meratap. Menghadapi bobot dari kesalahannya, Ferdian mulai hancur dari dalam.
Dia mulai merasakan martabatnya runtuh sedikit demi sedikit. Ego yang lain telah tumbuh di luar kendalinya dan bertindak atas kemauan sendiri.
“Beraninya kau.”
“Kau baru saja mengutuk ayahku. Kurasa bagaimana pun juga kau peduli pada putrimu.”
“Kau seharusnya berterima kasih bahwa yang mati adalah putrimu, bukan kau.”
Dirinya telah dirasuki oleh iblis itu. Tak seharusnya dia berada di sekitar Rietta. Bukan ini yang dia inginkan.
Begitu dia menyadari apa yang baru saja dia katakan, begitu dia melihat wajah Rietta, dia tahu bahwa ada orang lain di dalam dirinya. Tak mungkin dia akan mengucapkan kata-kata ini atas kemauannya sendiri.
“Pakai saja aku sebagai alasan sebanyak yang kau mau jika hal itu membuatmu merasa lebih baik,” suara itu berbisik. “Tapi jangan lupa kalau aku tak bisa melakukan apa pun yang sama sekali tak kau inginkan.”
Ferdian telah lari dari Rietta, gagal mewujudkan harapan Jade untuk menjaga Rietta – hingga ayahnya mengulurkan tangan kotornya pada Rietta.
“Apa?” Ferdian melompat dari kursinya setelah mendengar laporan dari Cedric Caballam. “Tidak.”
Ketika berhubungan dengan Rietta, tak ada satu pun yang berjalan sesuai dengan harapannya.
“Anda berusaha mengambil rekan seperjalanan dari orang yang sudah mati. Ini hal terakhir yang boleh Anda lakukan.”
“Kalaupun ada bedanya, anggap itu sebagai hadiah.”
Ferdian memucat. Sudah jelas keputusan apa yang akan Frederick ambil.
“Bawa wanita itu.”
“Jangan, Tuan!” Caballam melompat menghalangi.
Frederick memelototi Cedric. “Yah, kalau begitu. Apa kau mampu bertanggung jawab atas hutang ayahku yang jumlahnya dua puluh juta emas itu?”
Caballam mengucurkan keringat dingin karena ngeri. Dia tak perlu menatap ke arah Ferdian untuk mengetahui bahwa Ferdian ingin dia mulai bekerja. Rasa takut akan maut yang telah mengeratkan cengkeraman pada dirinya dalam bentuk Ferdian menang melawan rasa takut misterius bernama Duke Agung Axias.
“Apakah, apakah semua ini karena uang? Apakah Anda berniat mengabaikan wasiat terakhir ayah saya karena uang? Rietta Tristi akan melayani Tuan Cassarius di alam baka untuk selamanya -”
Duke Agung Axias mendengus singkat. “Sungguh kesetiaan yang mengharukan.” Dia mencabut pedangnya. “Baiklah, aku belum mempersiapkan hadiah apa pun untuk perjalanan terakhir Cassarius. Menurutmu bagaimana kalau kau sendiri yang melayani Cassarius untuk selamanya? Dia akan senang sekali karena pelayan setianya ada di sisinya untuk selamanya.”
Selesai sudah. Ferdian mengepalkan tangannya hingga buku-buku tangannya memutih.
*****
Duke Agung Axias si iblis pembunuh? Apa yang telah terjadi pda Rietta ketika aku berpaling?
“Tolong jagalah Rietta untukku.”
Seharusnya aku menepati janji itu. Seharusnya aku menyelamatkan Rietta.
Dia mulai mengumpulkan setiap jenis kekuatan dan otoritas yang bisa dia miliki sebagai ganti dari menyerahkan hidup sebagai seorang manusia. Semakin dia berkomitmen untuk melindungi Rietta, semakin lapar dirinya akan kekuatan. Andai saja aku punya kekuatan….
****
Pyaar.
Suatu energi keperakan membubung dari manusia berambut perak di dalam air mancur kuil agung di mana patung dewi menuangkan air dari bejananya.
Sriing!
Air menghujani tongkat khakkhara raksasa, yang menggema dengan kekuatan iblis dan naik di atas air mancur.
Ferdian mengulurkan tangannya dan menangkap tongkat itu. Energi iblis dan suci bercampur dan berpusar di dalam tongkat tersebut.
Saat itulah Morbidus mengayunkan sabitnya ke arah Ferdian. Swish!
Ferdian terkekeh ketika dia melindungi dirinya sendiri dengan tongkat itu.
Klang! Kedua senjata berbenturan, dan Morbidus menyerangnya dengan tangan kiri yang bercakar. Dalam sekejap mata sosok Ferdian berpencaran menjadi ribuan tetesan air lalu kembali ke bentuk aslinya di belakang si iblis. Dia tersenyum lalu menghilang.
****
“Tolong jagalah Rietta untukku.”
****
Mereka bilang orang mati tak bisa bicara.
****
“Aku takkan lupa bahkan saat aku mati.” Anais tersenyum.
****
“Harap izinkan saya menemui Yang Mulia Kardinal Racionel…. Saya membutuhkan Kardinal Racionel….”
Para kesatria suci menghadang si pria dengan raut kaku. “Yang Mulia sedang sibuk,” salah satu dari mereka berkata. “Kami tak bisa membiarkanmu menemui Beliau tanpa janji lebih dulu.”
Si pria berlutut dan mengangguk kuat-kuat. “Ya, ya, saya yakin Beliau adalah orang yang amat sibuk,” dia berkata. “Saya takkan menyita terlalu banyak waktu Beliau. Saya hanya perlu satu percakapan cepat. Saya mohon, izinkan saya bertemu Beliau satu menit saja-”
“Ada apa?” Racionel yang mengenakan jubah hitam berjalan keluar dari belakang para kesatria suci. Dia terkejut ketika mendapati orang yang berlutut di bawah acungan tombak para kesatria suci. “Astaga. Tolong berdirilah.” Dia memegangi bahu orang itu dan membantunya bangkit.
“A-Anda pasti adalah Yang Mulia Kardinal,” pria itu berkata ketika sang Kardinal memegangi tangannya.
“Saya amat turut berdukacita atas kehilangan Anda,” sang Kardinal berkata.
Keduanya belum pernah bertemu, dan si pria belum mengatakan apa-apa tentang dirinya sendiri. Namun suara yang menenangkan dan pengetahuan yang kentara itu membuat si pria menitikkan air mata. Dia tak punya waktu untuk terkejut. “Dewa… oh Dewa, saya mohon….” Si pria memohon pada sang Kardinal. “Saya mohon biarkan saya melihat Daisy lagi, bahkan meski untuk sejenak saja. Ada sesuatu yang harus saya katakan kepadanya.”
Sang Kardinal mengulas senyum ramah.
“Saya dengar Anda bisa mengintip ke dalam dunia orang mati dan dunia para dewa. Mohon jangan sembunyikan hal itu dari saya. Saya mohon, oh Dewa, berilah saya secercah harapan.”
Si pria meneruskan, “Saat ini tak ada yang bisa saya berikan kepada Anda, tapi saya bisa mengaturkan sesuatu sebagai gantinya. Saya akan melakukan apa saja, semua hal yang saya mampu.”
Sang Kardinal menggenggam kedua tangan pria itu. Si pria mulai terisak, dan sang Kardinal menggerakkan kedua tangannya ke bahu si pria. “Kau, yang berduka karena kehilangan orang tercinta. Hapuslah air matamu. Sekarang bukanlah saatnya.”
“Dewa, oh Dewa!” Si pria berlutut di lantai dan meratap.
“Akan tetapi, Dewa kita yang Mahakuasa selalu menjaga kita,” ujar sang Kardinal. “Hari keselamatan sudah dekat.”
“Saya akan melakukan apa saja. Apa saja.”
Sang Kardinal tersenyum pada pria yang terisak itu.
****
Seorang anak dengan rambut pirang menghasilkan kabut pada jendela dengan napasnya lalu menggambarinya dengan jemari.
Anak itu berbalik untuk memanggilnya. “Ibu!”
Anak yang cantik itu berbinar penuh senyum.
Di Yayasan Schuffelman, Irene menatap punggung anak yang sedang berjalan di lantai bawah. Entah kenapa dia tak bisa mengalihkan pandangannya dari anak itu.
Apa aku pernah melihat dia? Kurasa aku mengenali anak itu.
“Irene! Irene!” seorang pria muda memanggil namanya.
Dia tersentak sadar dan mendongak menatap si pria. “Huh?”
Si pria menurunkan barang bawaannya lalu berpaling ke arah yang ditatap Irene. “Kau sedang lihat apa?”
Irene mengalihkan pandangannya kembali ke arah yang tadi dia pandangi. Anak itu sudah berbelok di sudut dan menghilang dari pandangannya. Hal ini memberinya suatu kegelisahan yang ganjil.
“Anak yang ada di sana itu…,” ceplosnya.
“Anak apa?” si pria bertanya penasaran.
Irene terdiam sebelum kemudian berkata, “Maksudku, kurasa aku sudah pernah melihat anak itu sebelumnya.”
Dia menyesal karena telah menambahkan kalimat terakhir. Anak itu memang mengingatkan dirinya pada orang yang pernah dia lihat dalam mimpinya. Mungkin ini menjelaskan perasaan ganjil itu.
Si pria menyadari adanya sesuatu yang tidak biasa pada wajah Irene. “Ada apa? Apa sesuatu terjadi pada anak itu?”
Irene mengerjap cepat untuk memikirkannya, kemudian menghela napas. Dia berpaling dan menggumam, “Bukan apa-apa. Tak usah pedulikan aku.”
Berkebalikan dari tanggapannya yang acuh tak acuh, mata Irene terpancang pada tempat itu.
Si pria menatap ke arah sudut kosong tersebut dan bertanya kepadanya, “Seperti apa rupa anak itu? Aku bisa membantu mencarinya.”
Si pria mengenal sebagian besar anak yang dilindungi oleh yayasan ini, dan sebagai penyumbang terbesar, Irene mengetahuinya.
Si pria meneruskan sementara Irene tetap membisu. “Kalau anak itu ada di luar pada saat-saat ini, maka berarti dia bebas dari wabah. Dia bisa saja anak dari keluarga bangsawan, sebentar lagi akan diadopsi, atau salah satu dari bangsawan itu mungkin akan tertarik untuk mengadopsinya.”
“.…” Irene meragu.
Si pria mendapati kalau reaksinya aneh. Apa yang mungkin bisa membuat wanita dingin ini jadi kelihatan begitu gelisah? “Berapa umur anak itu?” dia bertanya. “Anak perempuan atau laki-laki?”
Irene tak bisa menolak tawaran itu. “Anak perempuan, aku tak tahu umurnya.” Dia tak bisa meneruskan.
“.…”
Tak tahu bagaimana mengukur usia anak-anak, dia membuat tebakan asal. Anna berumur dua belas, jadi…. “Mungkin enam tahun.”
Si pria merasa penasaran ketika mendapati Irene membuat ekspresi wajah yang begitu menarik.
“Tujuh tahun…?” Dengan takut-takut Irene meralat tebakannya dan secara sambil lalu mengutak-atik pita sutra yang warnanya sudah pudar di pergelangan tangannya.
Menyadari bahwa Irene merasa terpojokkan, si pria berpaling dari wanita itu. “Seorang anak perempuan berumur enam atau tujuh tahun,” dia menggumam.
Jika anak ini telah diadopsi atau akan diadopsi oleh bangsawan, kemungkinan besar dia memiliki kekuatan suci atau merupakan seorang gadis yang sehat dan cantik. Si pria menyusuri daftar anak-anak dalam benaknya, kemudian terdiam untuk bertanya kepada Irene, “Kapan anak-anak mulai berjalan? Apa mereka berjalan saat berumur tiga tahun?”
“.…”
Si pria menatap Irene. “Seberapa tingginya?” dia bertanya.
“Kira-kira setinggi ini….”
“Kalau begitu anak ini pasti umurnya tidak lebih dari tiga atau empat tahun, bahkan jika dia adalah anak bangsawan yang mendapat asupan nutrisi yang baik.”
Wajah Irene merona malu. Pria itu berpura-pura tidak menyadarinya dan melanjutkan dengan lebih banyak pertanyaan.
“Warna rambut?”
“Pirang….”
“Ada karakteristik lainnya?”
“Aku tak yakin. Tapi aku akan tahu kalau aku melihatnya.”
Si pria memasang tampang bingung. Rupanya Irene membicarakan tentang anak yang pernah dia kenal sebelumnya.
“Siapa namanya?”
“Aku tak tahu.”
Dia tak tahu nama dan usianya tapi tahu seperti apa rupanya.
“Dan bagaimana kau tahu tentang dia?”
Wajah Irene menggelap. “Itu….”
Irene menutup mulutnya rapat-rapat. Dirinya akan kedengaran seperti orang bodoh kalau berkata bahwa dia sudah sering melihat anak itu di dalam mimpinya – anak yang memanggil dirinya “Ibu” pula.
Apa yang sedang aku cari? Irene bertanya pada dirinya sendiri. Dia sudah melihat mayatnya, jadi anak itu pasti sudah mati.
“…?”
Pernah melihat mayat di dalam mimpiku? Melihat mayat di dalam mimpi tak bisa membuktikan bahwa anak itu sudah mati. Kenapa aku merasa yakin kalau anak di dalam mimpiku itu sudah mati?
Irene jadi semakin gelisah. Juga, kenapa aku terus-terusan memikirkan tentang dia? Itu kan cuma mimpi.
Persis pada saat itulah Irene mendengar suara ketukan di pintu.
“Nona, Anda punya tamu.”
Irene memutar kepalanya. “Siapa?”
Sang tamu menongolkan kepalanya. Irene tidak langsung mengenali orang itu; dia tak pernah mengharapkan untuk bertemu orang itu, dan orang itu tampak sangat berbeda dari apa yang dia ingat.
Sang tamu hanya perlu melepaskan tudungnya, menampakkan rambut berwarna coklat yang dikuncir ekor kuda dan sebuah tahi lalat kecil di bawah mata kirinya.
Tanpa sadar Irene memanggil namanya. “Giselle?”
****
Dilayani oleh para pelayan yang dari ujung kepala hingga ujung kaki mengenakan pakaian hitam, sang Kardinal melepaskan jubahnya dan meninggalkan ruangan gelap itu. “Bagaimana dengan Mogila?” dia bertanya pada para pelayan.
“Kurbannya datang bersamaan dengan mulus,” seorang kesatria suci berzirah menjawab. “Kita sudah mendapat sekitar 80% dari tujuan kita. Dengan kecepatan ini, seharusnya kita punya cukup sebelum upacara pemberkatan besar.”
Sang Kardinal mengangguk seraya tersenyum. “Aku bersyukur karena sekarang adalah musim dingin. Seharusnya ada banyak waktu hingga kalian memberi hidup baru pada mayat-mayat itu.”
“Ya, Yang Mulia.” Para kesatria suci berzirah perak memberi hormat.
Racionel sudah akan kembali ke kamarnya ketika seorang kesatria suci menghampirinya dan membisikkan sesuatu.
Sang Kardinal mengangguk samar dan berjalan pergi.
“Oh, Baginda.” Sang Kardinal tersenyum pada sponsor terpentingnya yang sedang menunggu dirinya. “Saya memang bermaksud menemui Anda. Terima kasih telah datang.”
Sang Permaisuri tersenyum.