Like Wind on A Dry Branch - Chapter 205
“Anais… Anais….”
Air mata akhirnya tertumpah ketika dia ditinggalkan berdua saja denggan Anais. Rietta tak bisa mengendalikan dirinya dan menangis sambil memeluk sahabatnya itu.
“Menjauh dariku,” Anais berkata. “Bauku sangat busuk.”
Rietta tidak melepaskannya tapi malah memeluknya lebih erat dan terisak. Anais, yang tak tahu harus bagaimana selain berusaha mendorong temannya menjauh, akhirnya balas memeluk Rietta dengan mata berkaca-kaca sebelum dia menyadarinya.
“Maafkan aku, Rietta. Jangan menangis. Aku tak apa-apa… jadi jangan menangis.” Anais merasa menyesal karena membiarkan Riettta melihat dirinya yang seperti ini.
Yang sudah mati berduka untuk yang masih hidup. Rietta mengerutkan bibirnya dan menggelengkan kepala seakan hendak berkata pada Anais, “Jangan bilang begitu.”
Rietta tak mampu memeluk sahabatnya lebih erat lagi. Tubuh tersebut telah menjadi begitu dingin dan rapuh sampai-sampai bisa remuk dalam dekapannya.
Senyuman dari teman-temannya di biara, yang dia sudah kehilangan kontak dengan mereka, menerjang ke dalam pikirannya, sarat dengan rasa takut dan kebingungan. Di dalam kesadaran Killian yang pernah dia hadapi di Lembah Naga, tampaklah ibu Killian sedang berdiri di depan pedang dan berteriak untuk menyelamatkan putranya; gambaran menyedihkan dari Anais, menghibur Rietta dengan tubuhnya yang mengeras, saling bertumpang tindih.
Ruangan dengan jendela-jendela terbuka lebar itu tidak memiliki penghangat untuk mencegah tubuh Anais membusuk. Hawa dingin menggigit merayap memasuki kamar. Tubuh ringkih Anais yang terbalut dalam jubah pendeta terasa sedingin es. Dia menyeka air mata Rietta dengan kedua tangan yang semakin mati rasa karena dingin. Tak ada kehangatan yang terasa meski Rietta sudah memeluknya begitu lama.
“Maafkan aku, Anais. Maaf,” Rietta berkata.
Anais terus meminta maaf kepada Rietta dan berkata bahwa hal ini tidak masalah, dengan suara pecah yang hampir tak bisa dikenali. Rietta telah menyadari kemungkinan itu namun menampik kesimpulannya. Kenyataan yang membuatnya terbangun itu mengguncangnya hingga ke dasar jiwa. Air mata mengaliri wajahnya. Anais, apa yang harus kita lakukan?
Harapan-harapannya untuk menemui Kaisar dan melepaskan kutukan Beliau memudar. Kalau Kaisar benar-benar berada di belakang bencana ini, dia takkan pernah bisa menerima kejadian ini dan memaafkan.
****
Rietta meninggalkan ruangan itu. Killian menunggunya di depan jendela di ujung lorong. Rietta menatap Killian dengan mata bengkak dan mendekatkan dirinya pada pria itu untuk dipeluk. Killian balas memeluknya. Pelukan itu terasa hangat. Suatu rasa nyaman yang tak tergambarkan, simpati memilukan yang tak terungkapkan dengan kata-kata pun mengikuti. Hanya mereka berdua yang saling memahami satu sama lain sepenuhnya.
Killian berharap untuk tidak menambah kesalahan kepada siapa pun, tak ada lagi perbuatan tak termaafkan lainnya. Killian memejamkan matanya. Bisakah aku bicara kepada ibuku, seperti dalam penglihatan yang ditunjukkan oleh makhluk-makhluk magis jahat dari alam spiritual? Akankah Beliau merasa bangga dengan seperti apa aku telah tumbuh hingga sekarang? Bagaimana seandainya aku tidak berdiri membeku di tempat setelah melihat ibuku hidup kembali? Bagaimana kalau aku bisa menghentikan William?
“Aku memutuskan untuk terbuka tentang ibuku,” Killian berkata dengan lengan melingkari tubuh Rietta.
“.…”
Rietta tak mengatakan apa-apa dan hanya memeluk Killian, menggigit bibirnya, dan memejamkan matanya yang menitikkan air mata.
“Hal itu terjadi sudah lama sekali, dan akan jadi kontroversial selama beberapa waktu, tapi….” Dia terdiam dan memeluk Rietta. “Kupikir aku seharusnya sudah melakukannya lebih cepat.”
Rietta membenamkan wajahnya dalam pelukan Killian dan mengangguk perlahan. Mungkin apa yang telah terjadi pada ibunda Killian, Permaisuri Ariadne, bukanlah suratan takdir yang melampaui pemahaman manusia. Dengan Anais sebagai saksi, pernyataan Killian memiliki kemungkinan lebih besar untuk diterima ketimbang diabaikan, dan Rietta memahami hal itu. Dia mengerti bahwa Killian harus melakukan semua yang bisa dilakukan demi mencegah hal ini terjadi lagi, bahwa mereka mungkin harus menghadapi sesuatu yang jauh lebih memilukan atau menakutkan daripada yang telah mereka kira. Ini juga merupakan misi akhir yang diberikan Anais.
Lantas, apa yang akan terjadi pada Anais setelahnya?
Rietta menahan air matanya dan melingkarkan lengannya pada Killian. Padahal dia mengira takkan ada lagi rasa sakit, bahwa keberaniannya untuk maju akan menyembuhkan luka-luka mereka.
Ketika dia berhadapan dengan sang Kaisar, ketika dia berdiri di depan Kardinal Racionel, akankah dia bisa mempertahankan sikap tenangnya? Akankah dia mempertanyakan perbuatan mereka, dan akankah dia memercayai mereka jika mereka mengatakan kebenarannya?
Dia hanya ingin jadi sedikit lebih gembira.
Di jalan yang dia harapkan untuk tempuh bersama Killian terbentang sebuah sungai, yang ternyata merupakan lembah dengan arus yang berbahaya. Menyeberanginya ternyata lebih menantang daripada yang sebelumnya diperkirakan. Dari mana semua ini dimulai, dan ke mana semuanya akan menuju? Apakah dia yakin dengan keputusannya untuk mengunjungi istana? Apakah merupakan hal yang benar, atau gegabah jika berjalan memasuki kegelapan yang bisa melahap mereka? Dia akan cukup bahagia jika bersama dengan Killian di sini saja, tanpa menyeberangi sungai itu.
Apa yang akan kita hadapi di Ibu Kota? Apa aku sungguh tidak akan menyesali bertemu dengan Kaisar?
Ada begitu banyak ruang untuk rasa sakit, lebih banyak lagi keputusan yang harus dibuat. Killian telah melalui tragedi yang sama banyaknya, dan pria itu pasti merasakan hal yang sama.
Apa yang telah terjadi pada ibu Killian, dan pada Anais – siapa yang berada di balik semua ini?
“Rietta, maafkan aku,” Killian berbisik.
“Mari kita tidak saling meminta maaf satu sama lain.”
Ini bukan kesalahan Killian. Tetapi ketika kau begitu teramat mencintai seseorang, kau takut akan melukai mereka dan merasa menyesal bahkan jika hal itu bukan kesalahanmu. Rietta juga merasakan hal yang sama – menyesal, takut, dan bersalah atas semuanya, termasuk dirinya sendiri, karena telah mendatangkan rasa sakit pada Killian.
Merasa sedih, dia memeluk Killian erat-erat dan mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Killian, kau baik-baik saja? Apa kita lebih baik tidak pergi?
Dia tidak ingat apakah dia berhasil menanyakan hal itu secara jelas pada Killian. Perlahan Rietta tertidur seraya memeluk pria itu.
****
Sang Santa menyimpulkan bahwa Rietta tertidur kembali karena bertemu dengan Anais hampir memicu ingatan Rietta tentang surat yang menyebutkan tentang putrinya. Sihir iblis mimpinya telah diaktifkan ketika Rietta berusaha meraih suatu ingatan yang berhubungan dengan Adel.
Dipanggil oleh Tania untuk memeriksa Rietta, Mordes berkata dia telah menyadari adanya jejak Oblivius sang iblis mimpi di dalam mimpi-mimpi Rietta. Iblis milik Beatrice itu tela menyegel ingatan masa kanak-kanak Rietta, dan kekuatan iblis yang sama telah menyela sihir yang menghapus ingatan tentang Adel.
Hal ini memiliki dua implikasi: pertama, Rietta mungkin akan memperoleh kembali ingatannya jika mereka menemukan orang yang telah memasang sihir ingatan itu. Kedua, ada baiknya jika mencari tahu siapa yang telah menahan iblis mimpi sang Putri dan bagaimana caranya.
***
Killian mencium dahi Rietta ketika wanita itu tertidur. “Tak ada yang berubah,” dia memberitahu Rietta. “Kita akan pergi ke Ibu Kota.” Aku akan mengembalikan ingatanmu yang hilang dan semua yang seharusnya kau miliki.
Aku siap menghadapi apa pun kebenaran yang ada dalam peristiwa kematian ibuku. Seperti yang telah kujanjikan padamu, aku akan menegakkan keadilan untuk diriku sendiri, berkatmu.
****
Rietta mengalami mimpi yang panjang. Mimpi yang menyenangkan, sedih, menakutkan, penuh nostalgia, indah, bagus, membahagiakan, dan sentimental.
****
Angin utara yang menakutkan bertiup ketika mereka bersiap melakukan perjalanan menuju Ibu Kota. Santa Tania memimpin para pendeta yang sepikiran dengannya serta para pemeriksa. Justifikasinya dan tindakan sang duke agung telah membantu kemajuan proyek ini dengan penuh kesulitan tapi stabil.
“Kurasa Suster Anais takkan mampu bertahan pada tuntutan fisik dari perjalanan ini,” sang Santa berkata.
Killian mengangguk. Dia juga beranggapan demikian.
“Anais akan terlindungi di Axias,” Killian berkata. “Kita akan memakai sihir pemindah ingatan untuk menggantikan pernyataannya. Dua puluh empat orang pendeta tinggi termasuk Gilius dan Emilai akan menerima ingatan itu untuk membuat pernyataan.”
Informasi tentang Anais, baik bukti maupun saksi, telah diverifikasi dan dipindahkan ke dalam tubuh para pendeta yang paling dipercaya lewat ‘sihir pemindah ingatan,’ salah satu bentuk sihir suci paling kuat dan paling terpercaya.
****
“Anais akan aman. Kami akan melakukan apa pun yang kami bisa untuk menjaganya tetap hidup.” Killian meyakinkan Rietta.
Rietta berusaha untuk tersenyum. Akankah Anais mampu bertahan? Anais sudah mati satu kali. Hal itu mungkin saja tidak memungkinkan. Jika semuanya berjalan dengan baik, hasil terbaik mungkin adalah kematian yang tenang.
Meski demikian, Rietta menggenggam tangan Killian dan mengangguk seakan telah bertekad untuk memercayai pria itu. “Kita akan bisa melakukannya, sebelum musim dingin berakhir.”
Tubuh Anais takkan mampu bertahan saat musim semi tiba. Jadi, sebelum musim dingin berakhir.
****
Rietta merenungkan kata-kata ibunya dalam waktu lama: “Putriku akan datang kepadamu. Tunggulah dia di utara.”
Dia memejamkan matanya dengan tangan menggenggam tongkat sang ibu. “Ibu…. Apa yang ingin Ibu katakan kepadaku? Apakah ada sesuatu yang Ibu ketahui?”
Tongkat itu tetap membisu.
****
Apa yang ada di penghujung musim dingin ini?
****
Kematian Putri Beatrice; penghapusan Pendeta Tinggi Rutenfeld dari sejarah dan Kaisar Astenfeld yang menanggung kesalahannya dalam kebisuan;
Kutukan Ratu Esahilde; Mahkota Lamenta yang tertinggal di istana kekaisaran; iblis-iblis yang terlepas ke dunia setelah runtuhnya Lamenta, dan Kaisar yang digerogoti oleh mereka;
Ketegangan yang telah terbangun antara putra mahkota dan Permaisuri; tragedi Permaisuri Ariadne, ibu Killian;
Keluarga kekaisaran yang berlumur darah; kisah pembalasan dendam selama tiga belas tahun terhadap putra mahkota terbuang yang diusir ke utara;
Percobaan iblis di dalam biara; seorang janda yang tiba di tanah utara milik sang putra mahkota buangan pada suatu hari yang keras, dan pesan yang ditinggalkan oleh Putri Beatrice untuknya.
“.…”
Bagaimana semua hal ini berhubungan? Pendeta Tinggi Rutenfeld – takdir buruk apa yang telah membuat orang dari masa lalu ini meninggalkan begitu banyak duka pada kita?
Dia telah mendorong ibuku pada tiang pembakaran, membuat ibu dari ibuku mati dalam penderitaan, membuat ayah Killian berada dalam kutukan, dan… telah melakukan hal ini pada kami.
Sedalam apa keterlibatan Permaisuri? Apakah dia cukup gembira dengan pengaruhnya terhadap Killian dan aku?
****
“Anais….”
“Semoga selamat di perjalanan,” Anais mengucapkan kata-kata perpisahan terakhirnya.
Air mata kembali merebak di mata Rietta. Dia mungkin tidak akan bisa bertemu Anais saat dia kembali. Perjalanan bolak-balik ke Ibu Kota akan membutuhkan waktu setidaknya dua bulan, dan musim semi akan datang pada saat dia kembali.
Akankah Anais masih hidup pada saat itu? Jika dia bisa kembali dari Ibu Kota dengan hasil paling ideal, bagaimana dengan Anais?
“.…”
Anais tersenyum. “Pada awalnya aku tak mau mati,” dia berkata seakan telah membaca pikiran Rietta. “Tapi sekarang, aku berharap bisa pergi dengan penuh martabat ketika waktunya tiba.”
Rietta menutup mulutnya dan menatap Anais, yang menatap ke dalam matanya dengan sorot tak tergoyahkan.
“Pada mulanya aku tak ingin kau melihatku,” Anais meneruskan. “Tapi sekarang aku bersyukur karena aku bisa bertemu denganmu dan bicara padamu.”
Anais tersenyum kepada sahabatnya. “Rietta, ini mengingatkanku pada saat kita lebih muda. Berapa umur kita saat itu…. Apa kau ingat saat kita membicarakan soal bagaimana kita ingin mati saja? Waktu itu gadis-gadis biara baru kembali dari jasa pemakaman.”
****
“Aku berharap aku tahu kapan aku akan mati. Setidaknya dengan begitu aku akan hidup tanpa rasa takut hingga saat itu tiba,” Anais pernah berkata.
Waktu itu Rietta tidak setuju. “Kalau aku tidak ingin. Bagaimana kalau kau mendapati bahwa kau akan segera mati? Kau takkan bisa menikmati sisa waktumu. Maksudku, tak ada yang penting lagi begitu kau mati.”
“Tidakkah menurutmu mempersiapkan untuk kematianmu itu sama pentingnya dengan menikmati waktumu di dunia? Kau tahu, orang-orang bicara soal mati dengan penuh martabat.”
“Kita terlalu kecil untuk mencemaskan soal mati dengan penuh martabat, bukankah begitu? Kita ini adalah anak yatim piatu yang tak punya apa-apa untuk ditinggalkan.”
“Kau tak perlu punya banyak uang untuk mempersiapkan kematian. Ditambah lagi, kematian tidak datang sesuai urutan. Kau takkan pernah tahu siapa yang akan mati dan kapan mati karena wabah.”
“Entahlah, aku lebih suka tidak mempersiapkan kematianku. Aku lebih suka kalau mati mendadak pada suatu hari nanti, misalnya, tertimpa batu raksasa. Tak tahu apa-apa hingga hal itu terjadi.”
“Aduh. Itu kedengarannya sangat menyakitkan.”
“Memang begitulah kematian. Kau tak bisa mati tanpa rasa sakit.”
“Aku tak tahu soal mati tiba-tiba, tapi aku ingin mati dalam tidurku. Aku tak mau kematian yang menyakitkan.”
*****
“Dulu aku takut pada kematian dan berharap untuk mati dalam tidurku pada suatu malam tanpa menyadarinya. Tapi sekarang aku berubah pikiran.”
Anais meneruskan dengan hati-hati. “Aku menyadari bahwa bisa mempersiapkan kematianmu merupakan sebuah keistimewaan yang langka. Pada saat-saat kau paling membutuhkannya, kau bisa meninggalkan pesan-pesan sepenuh hati kepada orang-orang yang kau cintai yang akan kau tinggalkan. Ini adalah kesempatan langka dalam hidup.”
Memang, tidak semua orang mendapat kemewahan untuk mengantisipasi kematian mereka, mempersiapkan pesan perpisahan kepada orang-orang yang masih hidup, dan melakukan sesuatu yang bermakna sebelum waktu mereka berakhir.
Anais menatap Rietta seraya tersenyum. “Rietta, jangan bersedih. Aku bahagia.” Dia berusaha menggerakkan otot-otot wajahnya yang kaku untuk menyeringai amat lebar. “Beginilah rasanya hidup dalam waktu pinjaman. Aku akan menyebutnya sebagai waktu tenggat yang telah Dewa berikan kepadaku, untuk menyelesaikan pekerjaanku.”
“Semua tergantung pada bagaimana kau memandangnya. Aku memutuskan untuk mengambil sudut pandang yang ini.” Anais tersenyum penuh kepercayaan diri. “Aku berharap saat-saat terakhirku tidak berakhir dengan menyakitimu. Kumohon, aku ingin kau tersenyum.”
Aku tak apa-apa, sungguh. Jadi jangan terlalu bersedih. Kupikir sebenarnya aku akan baik-baik saja jika kau tidak terlalu bersedih.
“Ingatlah bahwa aku bahagia karena kau menurutiku dan tetap bersamaku pada saat-saat terakhirku. Kuharap kau tidak ragu dalam mengambil langkahmu yang berikutnya.”
Rietta mengerutkan bibirnya rapat-rapat supaya matanya yang berkaca-kaca tidak membentuk raut sedih.
Anais mengucapkan perpisahan terakhirnya dan memberkati hidup Rietta. “Semoga perjalananmu menyenangkan.”
“Terima kasih,” Rietta menjawab dalam bisikan yang keluar dengan susah payah lewat tenggorokannya yang tercekat. “Selamat tinggal, Anais.”
“Selamat tinggal, Rietta.”
Rietta balas tersenyum dengan wajah berlumur air mata.