Like Wind on A Dry Branch - Chapter 204
“Killian.” “Killian.” “Killian.” “Killian.”
Suara itu berdering di telinganya.
****
“Kita mungkin ingin bergegas. Bukan hanya pemahkotaannya yang perlu diperhatikan, tetapi juga upacara pemberkatan besar yang dipimpin oleh Kardinal di Ibu Kota kekaisaran. Mungkin dia ingin menjadi paus bukan hanya sebagai seorang fanatik yang terobsesi dengan pengujian iblis yang menginginkan kekuasaan dan pengetahuan paus, tapi….”
****
Killian membenamkan dirinya sendiri ke dalam sofa dan merenung selama berjam-jam, mengingat-ingat kembali semua yang telah Anais katakan kepadanya:
Seseorang telah berusaha menculik atau membunuh Anais. Para pendeta Hermeden mengetahui bahwa dirinya berada dalam bahaya dan membantu pelariannya, di mana kemudian dirinya disergap. Setelah tersadar, Anais berhasil kabur dengan susah payah untung saja bertemu dengan para kesatria wanita dari Gedung Timur, yang sejak saat itu melindungi dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, dia pun memperoleh kembali ingatan tentang saat-saat dirinya tak sadarkan diri.
“.…”
Rasa sakit menyergapnya seperti petir, kemudian kegelapan. Dia terbangun tanpa adanya tanda-tanda peringatan apa pun sebagaimana terbangun dari tidur.
Ceritanya berakhir di sana, dan tak ada lebih banyak hal lagi yang bisa mereka ketahui. Meski demikian, Killian mengulang berkali-kali cerita Anais sejak awal hingga akhir.
“Killian. Killian. Killian. Killian.” Suara itu bergema di telinganya. Killian memejamkan matanya seakan hendak meresapi denging yang membuat kepalanya berdenyut dalam kesunyian.
“Killian. Killian. Killian. Killian.” Killian memikirkan tentang Rietta dalam kegelapan selama berjam-jam.
****
“Yang Mulia, Anda mungkin tidak tahu, bawha Rutenfeld telah terobsesi dengan demonologi suci hingga dia mati dalam pengasingan. Teori yang menyatakan bahwa manipulasi iblis merupakan puncak dari bukti kekuatan suci dan bahwa kekuatan suci yang luar biasa kuat serta kekuatan iblis pada intinya merupakan hal yang identik. Teori itu juga menyatakan bahwa ketika satu tubuh menerima kekuatan iblis dan suci secara bersamaan, tubuh itu bisa berubah menjadi makhluk abadi, atau dewa.
“Karena kita ada di kapal yang sama, aku akan memberitahukan semuanya, termasuk spekulasiku yang tidak lengkap.”
Santa Tania meneruskan. “Dari dokumentasi percobaan Count Caligo aku menyimpulkan bahwa Kardinal Racionel telah mengembangkan ketertarikan pada teori-teori iblis suci dari Pendeta Tinggi Rutenfeld, walaupun tidak jelas bagaimana dia bisa mengetahuinya. Semua catatan mengenai Rutenfeld telah dihancurkan setelah dia mati, jadi mungkin dia telah bertemu dengan Rutenfeld sebelum yang bersangkutan mati atau entah bagaimana telah mengakses teori-teori yang ditinggalkan olehnya.
“Setiap catatan percobaan dari Count Caligo mengarah pada tujuan akhir dari teori itu. Sayangnya, teori itu lebih dari sekedar lamunan seorang fanatik. Racionel telah cukup mengembangkan teori itu untuk mewujudkannya lewat percobaan. Tampaknya seakan Kardinal Racionels sedang berusaha menciptakan dewa, atau setidaknya menjadi dewa.
“Apa yang terjadi pada Anais mungkin merupakan salah satu percobaan untuk menjadi dewa, walaupun ini adalah percobaan yang tidak sempurna. Menurut Rutenfeld, metode yang sama yang mengabadikan membuat tubuhmu menjadi dewa juga bisa menghidupkan kembali orang mati.”
****
Hal ini tak ada hubungannya dengan ibunda, Killian memberitahu dirinya sendiri. Racionel belum mengadakan percobaannya hingga beberapa tahun setelah kematian ibundanya. Aku tak punya waktu untuk mencemaskan soal sejarah lama.
****
“Sudah terlalu banyak orang yang mati, dan terlalu banyak orang yang terlibat. Akan ada perlawanan balik yang besar dari para bangsawan yang punya kepentingan.
“Mereka memoles hal ini sebagai ‘reinkarnasi’, tetapi seperti yang telah kau lihat, tak ada apa pun yang romantis atau ajaib tentang turunnya dewa atau bangkitnya orang mati. Batasan tidak jelas antara orang hidup dan orang mati akan mendatangkan kekacauan. Mereka yang semestinya masih hidup akan dikorbankan sebagai tumbal, dan mereka yang sepatutnya memperoleh peristirahatan abadi akan diikat dalam raga yang membusuk. Banyak orang yang akan hidup dalam kondisi yang lebih buruk daripada kematian, dan mereka akan lebih memilih untuk mati.
“Tak ada cara untuk menghidupkan kembali orang yang sudah mati.”
****
“Saya sedang berbaring di dalam kantong tidur saya ketika berkemah pada suatu malam ketika saya menyadari bahwa tubuh saya tidak lagi hidup. Saya bernapas karena kebiasaan, namun jantung saya sudah berhenti berdetak. Saya tidak bisa lagi menggunakan kekuatan suci, dan rasa sakit pada luka saya terasa sama jauhnya dengan penglihatan akan dunia lain.
“Saya terperanjat dan saya sendiri tidak bisa memercayainya, jadi selama beberapa waktu saya tidak mengatakannya kepada para kesatria. Tetapi… saya mendengar tentang Rietta dan Axias. Saya menyadari bahwa jika saya sampai bertemu dengan Rietta, saya mungkin akan memperparah tuduhan bidah terhadapnya. Saya juga menyadari bahwa mayat hidup seperti saya tidak bisa memasuki Axias karena Axias telah menjadi tanah suci.
“Jadi, saya memberitahu para kesatria bahwa saya tidak hidup… walaupun mereka tidak memercayai saya.”
****
Killian mengingat-ingat perkataan Anais, lagi dan lagi.
****
“Ada kesempatan kecil untuk menyembuhkan dengan kekuatan suci atau mencegah pembusukan dengan pemberkatan,” salah seorang tabib berkata. “Tetapi energi sucinya kemungkinan besar akan menghancurkan kesadaran di dalam tubuh matinya dengan menganggapnya sebagai kekotoran.”
Sekelompok tabib yang bisa menyimpan rahasia dipanggil untuk merawat Anais, namun luka-lukanya susah untuk disembuhkan. Mereka menyatakan bahwa dia sudah mati, mengkonfirmasi pernyataan Anais, walaupun dengan rasa tidak percaya yang luar biasa besar.
Dengan tenang Anais memejamkan matanya. “Tolong… biarkan saya mati. Sebelum saya lebih membusuk lagi.”
****
Fajar datang bagai sebuah tragedi.
****
“Apa kau keberatan kalau aku minta bantuanmu?” Santa Tania bertanya pada Anais. Anais merupakan bukti dari percobaan sang Kardinal.
****
Sang Santa menjelaskan apa yang telah terjadi. Beliau meminta Anais agar menjadi saksi dan membantunya menghentikan hal ini supaya tidak terulang. Permintaan itu memberi tujuan bagi Anais untuk sisa hidupnya.
Anais menundukkan kepalanya, meneteskan air mata. “Saya akan membantu, Santa, dan Yang Mulia. Terima kasih karena membiarkan saya membantu Anda.”
“.…”
Killian memejamkan matanya lalu perlahan membukanya kembali. Bagaimana dia harus memberitahukan kabar ini kepada Rietta? Haruskah dia memberitahu Rietta bahwa Anais sudah mati?
Killian tak yakin apa yang harus dia lakukan.
Kerusakan pada tubuh Anais tidak bisa diperbaiki, jauh melampaui penyembuhan ataupun regenerasi. Anais akan terus membusuk hingga dirinya menghadapi kematian keduanya. Berapa lama lagi kesadarannya akan tetap tinggal di tubuhnya? Akankah ibunda Killian berakhir seperti Anais jika saja waktu yang berlalu cukup panjang? Killian memutus rangkaian pemikiran yang berusaha menjangkau ke masa lalu itu.
Menatap ke luar jendela, Anais bertanya, “Bisakah Anda memanggilkan pengurus mayat untuk saya?”
Seorang pengurus mayat terbukti lebih berguna bagi Anais daripada tabib. Mengawetkan tubuhnya telah secara drastis memperlambat kecepatan pembusukannya.
****
Ada banyak jenis pendeta suci yang memiliki tingkatan bangsawan tinggi: para pendeta yang menempatkan moralitas dan kepentingan umum terlebih dahulu; para pendeta yang mendedikasikan hidup mereka untuk dengan setia melayani di istana kekaisaran untuk sang Kaisar; para pendeta yang menginginkan rasa hormat dan kekuasaan sebagai pelayan Dewa; para pendeta yang menginginkan pengaruh kebangsawanan; dan para pendeta dengan rahasia ataupun cerita pribadi.
Tipe yang pertama berhasil diyakinkan oleh bukti-bukti dari Ferdian Caligo; tipe kedua menyerah pada pesan Rietta bahwa wanita itu sungguh-sungguh berharap untuk melepaskan kutukan sang Kaisar; kelompok ketiga terbangkitkan rasa keadilannya dan mendapat pembenaran dengan berdiri bersama Santa Tania; tipe keempat tertarik pada kekayaan dan koneksi kebangsawanan dari Duke Agung Axias; dan tipe terakhir berhasil diyakinkan oleh intelijen dari Serikat Pencuri yang dijalankan oleh Killian.
Kelompok yang keenam dan terbesar dengan mudah dipengaruhi oleh opini publik yang dibentuk oleh para pendeta yang mereka kagumi. Ketika jumlah para pendeta yang berhasil dibujuk oleh Santa Tania mencapai mayoritas, sentimen dominan dengan cepat mencondong ke pihak mereka. Di belakang dukungan yang berubah dengan cepat terdapat Anais, sang saksi hidup.
****
Rietta terlibat secara mendalam pada semua urusan Axias. Karena dirinya sangat jarang bertemu langsung dengan para pendeta, dia belum mendapat kesempatan untuk mengetahuinya. Akan tetapi, rahasia ini takkan tetap menjadi rahasia untuk selamanya.
Apakah takkan jadi masalah jika memberitahukan yang sebenarnya kepada Rietta – bahwa satu-satunya teman sekolahnya yang masih hidup telah menjadi mayat hidup; bahwa Anais, dalam tubuh yang membusuk, sedang membantu dari luar diding kastel; bahwa Anais sedang menantikan kematiannya yang kedua.
Pada mulanya Killian berusaha mengundang Anais ke dalam kastel, berharap pendeta wanita itu akan memberi ketenangan dan penghiburan bagi Rietta. Namun setelah mengetahui bahwa Anais berada dalam bahaya, Killian pun mengirimkan para kesatria yang paling dia percaya. Akan tetapi, teman yang Killian kira telah diselamatkan dengan aman ternyata berada dalam kondisi yang sangat buruk. Tak ada yang bisa dia lakukan untuk orang yang mati perlahan di depan matanya.
“.…”
Apa yang harus kulakukan? Para pendeta, tabib, ataupun uang tak mampu memecahkan masalah itu.
Killian berlutut dengan satu kaki di hadapan Anais untuk menanyakan apa yang pendeta wanita itu pikirkan. “Aku minta maaf atas apa yang telah terjadi. Sebenarnya aku mencarimu dengan harapan membuatmu bisa bertemu dengan Rietta.”
“.…”
“Apa kau akan berminat untuk menemuinya?”
“.…”
Anais menundukkan kepalanya. “Saya akan melakukan apa pun yang Anda inginkan, Yang Mulia.”
“Apa yang kau inginkan?” Killian bertanya.
Anais memejamkan matanya. “Jika Anda bersedia dengan murah hati mempertimbangkan pemikiran saya dalam memutuskan apa yang terbaik bagi Rietta… saya akan memilih untuk tidak menunjukkan diri saya kepadanya.”
Killian menunduk menatap Anais. Tubuh Anais membusuk, namun Killian tidak lagi mencium bau anyir kematian yang telah dia sadari ketika pertama kali melihat pendeta wanita itu.
“Kalau Anda bisa berbaik hati memberitahunya bahwa… saya sibuk menunaikan tugas dari Dewa di tempat-tempat yang paling membutuhkan, dan tak bisa pergi ke Axias… tetapi saya masih menyayangi dia dan merindukan dia, dan kami semestinya akan segera bisa bertemu… saya akan selamanya berterima kasih kepada Anda.”
****
“Apa yang ingin Anda lakukan, Tuanku?” Rachel bertanya kepada Killian.
Killian berbalik. “Kita tidak akan memberitahu Rietta bahwa Anais ada di sini.”
Rachel menundukkan kepalanya. Wajahnya telah menggelap. “Baik, Tuanku. Apakah Anda berencana untuk takkan pernah memberitahu dia?”
Killian tak bisa memberikan jawaban. Dia tidak yakin. Sang duke agung yang sebelumnya menganggap dirinya pantang menyerah kini tidak yakin dengan tekadnya.
Benaknya membeku. Hatinya terasa kian berat.
“Killian. Killian. Killian.”
Denging itu kembali.
****
“Killian,” Rietta berkata, “Pendeta Tinggi Baden dan Emilai setuju bergabung dengan kita untuk menemui Kardinal Roton dan Cliffe. Mereka akan berusaha membujuk kedua Kardinal itu.”
Killian mendongak dan tersenyum. “Baguslah.”
“Aku tahu, benar kan? Kita sudah berjuang mati-matian dengan dua orang konservatif itu.”
Killian memeluk Rietta. “Rietta.”
“Ya, Killian?”
Denging menyakitkan di telinga Killian menghilang ketika Rietta memanggil namanya. Dengan napas tertahan, Killian mendengarkan detak jantung Rietta yang terasa di dadanya.
Rietta merasakan bahwa sikap Killian berbeda dari biasanya. “Killian, apa semuanya baik-baik saja?” dia bertanya cemas seraya memeluk pria itu.
“Begitulah,” Killian berkata, membenamkan dagunya ke leher Rietta seraya tersenyum.
Rietta menepuk-nepuk punggung Killian, “Killian, begini….”
“Ya?”
Dengan ragu Rietta membelai punggung Killian. “Saat aku masih kecil, ibuku pernah memberitahukan ini kepadaku.”
“Apa?”
“Aku tak tahu soal Axias, tapi ada sebuah tradisi di mana wanita memberi pria sebuah hadiah kecil setelah menerima lamaran pernikahannya.”
Killian tersenyum.
“Benarkah?”
Dia tampak tertarik. Rietta merasa lega karena suasananya tak terasa terlalu berat. “He-eh. Dan mereka akan hidup bahagia jika mereka melakukannya. Ini pasti adalah budaya Lamenta.”
“Sekarang karena kau sudah memberiku cincin pertunangan, aku ingin memberimu sesuatu sebagai balasannya,” Rietta menggumam.
Killian menarik Rietta lebih dekat dan mencondongkan diri ke depan. “Menerima lamaranku adalah hadiah terbesar yang bisa kau berikan kepadaku. Apa lagi yang bisa kudapatkan?”
“Yah…. Tapi aku ingin memberimu sesuatu,” Rietta berkata dengan nada penuh antisipasi. “Katanya hal itu akan membuatmu bahagia.”
Killian tersenyum tenang. “Kalau begitu, bagaimana kalau kau melakukan sesuatu untukku alih-alih memberi hadiah?”
“Sesuatu apa?”
“Bukan sekarang, tapi aku ingin menyimpannya untuk nanti-nanti.”
Rietta menarik diri menjauh dan mendongak menatap Killian dengan penasaran. “Katakan dulu apa itu. Apakah itu adalah sesuatu yang bisa kulakukan.”
Killian mengecup tulang hidung Rietta dan kembali menariknya mendekat. “Kalau aku sampai membuat keputusan yang salah dan membuatmu marah, aku ingin kau memaafkan aku. Satu kali saja.”
Rietta tertawa. “Itu kan tak bisa jadi hadiah. Itu adalah sesuatu yang memang seharusnya dilakukan.”
Tatapan Killian tetap bertahan di wajah Rietta ketika dia menyematkan anak rambut wanita itu ke belakang telinganya. “Aku ingin kau memberiku itu.”
****
Menyimpan rahasia itu lebih mudah dikatakan daripada dilakukan.
Kriet.
Pendeta mayat hidup itu sedang duduk di atas ranjang. Mendengar suara pintu terbuka, perlahan dia memutar kepalanya. Mata kelabunya yang keruh bertemu dengan mata biru langit Rietta yang bergetar.
Rietta menatap kawan lamanya dengan syok. Anais membeku begitu mengenali Rietta. Dia menggerakkan kedua tangannya yang gemetar dari pangkuannya ke dada. Sebuah ankh yang kehilangan satu lengan menampakkan diri di bawah lengan baju jubah yang membungkusnya seperti kain kafan.
“Ah… Anais -”
Persis pada saat itulah, pintu menjeblak terbuka. Napas Killian terhenti setelah melihat Rietta menatap Anais dengan syok.
Dia mendapati dirinya sendiri berdiri di antara mereka seakan ingin menghalangi Rietta. “Rietta!” Jangan lihat.
Namun Rietta berputar untuk menghadapinya begitu Killian bergerak setengah langkah. Dia berjalan menghampiri Killian lebih cepat daripada kaki kaku pria itu bisa bergerak lalu menutupi mata Killian. Dalam sepersekian detik sebelum pandangannya menggelap, suatu emosi yang tak tergambarkan di wajah Rietta memenuhi pandangannya.
“Killian….” Suara tertegun Rietta memanggil namanya.
Kedua tangan gemetar Rietta bergerak tak terarah sebelum memeluk Killian erat-erat. Killian terdiam, menyadari sudah jadi betapa tegang dan dingin tubuhnya.
“Killian.” Rietta kembali memanggil namanya. Tubuh wanita itu gemetaran.
Suara Rietta mengandung keterkejutan dan juga kesedihan karena melihat Anais dan juga keinginan untuk memeluk trauma yang pasti telah dialami Killian. Hanya dia yang tahu tentang kejadian di masa lalu Killian – kematian kedua ibunda Killian.
Barulah pada saat itu terpikirkan oleh Killian bahwa Rietta telah melihat semua kejadian tersebut di Lembah Naga. Rietta mencemaskan dirinya karena apa yang telah dia alami bertahun-tahun yang lalu.
Namun masa lalunya ada di masa lalu. Riettalah orang yang seharusnya lebih syok, orang yang membutuhkan dukungan. Walaupun Killian amat mencemaskan Rietta, Rietta jelas mencemaskan dirinya di tengah-tengah penemuan mengejutkan itu.
Jantung Killian serasa berhenti berdetak ketika dia menyadari apa yang Rietta rasakan. Butuh waktu sedikit lebih lama baginya untuk menyadari bahwa dirinya juga telah sangat terpengaruh dan membutuhkan bantuan.