Like Wind on A Dry Branch - Chapter 203
“Saya turut berdukacita tentang Paus Yang Suci.”
“Kita telah kehilangan sebuah bintang yang agung.”
Sang Kardinal menatap para cendekia muda seakan hendak mengatakan sesuatu, namun tetap membisu untuk menahan kesedihannya. Dia menutup bibirnya, menahan senyum samar. Dia menanggapi dengan berkat suci yang bernada kesedihan. “Lucielli,” dia berkata dengan lengan terbentang.
Para cendekia buru-buru menundukkan kepala mereka untuk mengekspresikan belasungkawa mereka dan menerima berkat itu dengan penuh hormat. “Leciel.”
Setelah pemberian berkat, sang Kardinal memberi tepukan menyemangati di bahu masing-masing cendekia. Barulah kemudian dia membuka mulutnya. “Yang Suci akan menjaga kita dari tempatnya. Terima kasih atas ucapan baik kalian, Tuan Feltner dan Las.”
Kedua pria itu tampak terkejut. Mereka adalah para cendekia muda yang masih dalam masa pelatihan sementara sang Kardinal adalah kepala sebuah institut penelitian yang mempelajari jurusan paling prestisius di antara semuanya. Beliau mungkin mengenali mereka karena terkadang mereka saling berpapasan, tetapi mereka tidak menyangka kalau Beliau mengenal nama mereka.
Kedua cendekia itu saling bertukar tatapan dan menyadari bahwa mereka berada di posisi yang sama. “Saya tidak tahu kalau Anda tahu nama kami,” Feltner berkata.
Sang Kardinal tersenyum. “Kalian tahu namaku, jadi aku harus tahu nama kalian.”
Takkan menjadi masalah jika sang Kardinal tidak mengetahui nama mereka. Sudah bisa diperkirakan jika sang Kardinal tidak ingat pada para cendekia junior seperti mereka.
Feltner dan Las merasa tersentuh oleh kata-kata yang menampakkan kerendahan hati dan perhatian sang Kardinal. “Kami merasa terhormat, Yang Mulia. Kami – ”
“Yang Mulia!” seseorang berseru dari kejauhan.
Seorang kesatria suci berlari menghampiri sang Kardinal persis ketika kedua pria bangsawan itu hendak memulai percakapan akrab. Zirah perak, bersinar di bawah cahaya mentari, berdentang-dentang beriringan dengan langkah kakinya yang teratur.
“Pendeta Tinggi Howard dan Marquess Yuten membutuhkan Anda sekarang juga, Yang Mulia.”
Pada penyebutan seorang pendeta tinggi dan bangsawan berperingkat tinggi, para cendekia itu pun tersenyum merendah dan melangkah mundur. Mereka tidak berniat menahan sang Kardinal yang sibuk.
Kardinal Racionel menganggukkan salam perpisahan sebelum berbalik untuk menghadap si kesatria suci. Para cendekia berdiri di belakang dan menatap sang Kardinal berjalan pergi. Mengesampingkan rasa sedih, sang Kardinal luar biasa sibuk. Jadwalnya sudah cukup penuh untuk mempersiapkan dan memimpin upacara pemberkatan besar di atas semua orang. Mangkatnya Paus Yang Suci secara mendadak pasti telah memberi lebih banyak pekerjaan bagi sang pendeta tingkat tinggi sekaligus calon paus terkuat ini.
“Kutebak sang Kardinal akan menjadi paus berikutnya?” salah satu dari mereka berbisik.
“Mungkin kau benar.”
Las menempatkan tangannya pada bahu yang tadi disentuh oleh sang Kardinal dan mengangkat bahu. “Aku menerima berkat dari paus yang akan datang.”
Feltner terkekeh. “Aku tahu. Taruhan kita tidak akan bisa mendapatkan berkat pribadi seperti ini setelah acara pemahkotaan.”
Kedua cendekia itu menatap sang calon paus dari belakang dan menghela napas berbarengan. Mendiang paus yang sudah menjabat selama dua puluh tahun tak pernah meninggalkan kediamannya di dalam markas gereja. Meski tidak semua paus melakukannya, hal ini membawa persepsi umum bahwa paus harus sepenuhnya memisahkan diri dari dunia sekuler. Posisi ini memang puncak dari kependetaan, yang dikagumi dan dihormati oleh semua orang. Namun mau tak mau jadi diragukan apakah jabatan ini memberikan kehidupan bahagia yang manusiawi./
“Akankah sang Kardinal juga dihalangi meninggalkan kediamannya, seperti paus Ivarson IV?”
“Aku tak yakin. Kali ini semuanya mungkin berbeda. Dunia sudah berubah, dan Kardinal Racionel memiliki hubungan baik dengan sebagian besar bangsawan. Dan afiliasi utamanya adalah dengan Akademi Demonologi Kekaisaran.”
Setidaknya sudah jelas bahwa tidak ada kandidat paus lain yang bisa menantang posisi sang Kardinal secara serius. Sidang yang akan datang tampaknya tidak akan terlihat seperti pertemuan biasanya, yang terus berlama-lama hingga beberapa bulan yang membuat frustrasi karena para anggota yang punya hak suara mendukung kandidat yang berbeda dan menguji kesabaran semua orang. Juga, hanya sedikit bangsawan yang akan keberatan pada Racionel mengambil jabatan paus ini.
“Bagaimana dengan Santa Tania?”
Las langsung membungkam mulut koleganya dengan komentar sarkastis. “Beliau akan sangat senang sekali untuk menerima pekerjaan ini.”
Feltner terkekeh. “Aku juga berpikir demikian. Aku cuma ingin mendengar pendapatmu. Beliau kan sangat terkenal dan populer di antara rakyat jelata.”
“Rakyat jelata tidak memberi suara dalam pemilihan paus.”
“Benar juga.”
Sidang ini bisa menjadi rapat paling singkat dan bebas drama yang pernah ada. Kardinal Racionel adalah orang serba bisa yang memiliki hubungan baik dengan para bangsawan, seakan terlahir untuk menjadi paus. Meski kekuatan sucinya agak biasa saja, orang-orang akan memuji kemampuan mistis dan penglihatan masa depannya yang maju.
“Menurutmu kapan Sidangnya akan berlangsung?”
“Sidangnya tak bisa dimulai hingga semua kardinal dan anggota yang punya hak suara tiba, jadi… mungkin akan butuh waktu. Para kardinal yang melayani di area-area terpencil dan lambat untuk mendengar kabar, serta Santa Tania, yangg pergi ke Axias untuk menjalankan misi kekaisaran, mungkin akan jadi orang terakhir yang tiba. Ini cuma masalah waktu, sih.”
Sang Kardinal kembali menghampiri mereka. “Tuan Feltner, ada waktu sebentar?” Beliau bertanya.
Kedua cendekia itu menghentikan obrolan mereka dan dengan kikuk membenahi posisi mereka. Mereka tadi terlalu sibuk sendiri untuk menyadari keberadaan sang Kardinal.
Sang Kardinal bicara dengan nada hangat. “Tak usah mencemaskan soal penyakit ayah Anda,” Beliau berkata. “Aku sudah mengirimkan pendeta.”
“Maaf? Oh… Oh! Terima kasih.” Si putra count kelabakan lalu membungkuk. Bagaimana sang Kardinal tahu tentang penyakit ayahnya, sebuah rahasia keluarga yang memalukan?
Sang Kardinal mengalihkan pandangan ke sebelahnya. “Tuan Las, harap katakan kepada kakak Anda agar menjaga dirinya sendiri. Dia sering mengkonsumsi obat-obatan yang tidak baik bagi kesehatannya. Anda juga harus selalu waspada dengan para iblis, dan lanjutkan pekerjaan bagus Anda.”
“Ya? Oh, pasti, Yang Mulia,” gagap putra kedua dari Count Las.
Count Felter menderita sifilis dan putra pertama Count Las kesulitan dengan kecanduan obat-obatan. Sangat sedikit orang di luar masing-masing keluarga yang mengetahui masalah rahasia itu. Kedua pria tersebut merasa kecil di hadapan pendeta senior yang bisa dianggap sebagai calon paus tekuat ini.
Apakah ini adalah penglihatan masa depan yang dibicarakan oleh semua orang? Mereka bilang bahwa Racionel terkadang bicara seakan telah membaca pikiran orang lain atau melihat masa depan mereka. Mereka tidak terlalu memikirkan tentang kemampuan yang jarang muncul ini. Tapi kini ketika mereka telah menyaksikannya sendiri, mau tak mau mereka jadi berpikir bahwa cerita-cerita itu benar. Keringat dingin mereka pun mengucur.
“Kuharap kita punya lebih banyak waktu untuk bicara,” sang Kardinal berkata seraya tersenyum. “Maafkan aku karena sudah mengagetkan kalian. Aku sedang terburu-buru. Ya mogila. Itu artinya ara pendeta tetap membisu seperti kuburan. Rahasia kalian aman bersamaku.”
Feltner dan Las menatap nanar pada sang Kardinal.
“Juga, aku mengucapkan selamat terlebih dahulu kepada kalian berdua. Aku harus pergi dulu.” Sang Kardinal langsung berbalik dan pergi bersama si kesatria suci seakan inilah tujuannya bicara kepada mereka.
Para cendekia itu berdiri seperti patung dan menatap Racionel yang berjalan pergi. Mereka nyaris merasa tersihir. Meski mereka merasa ketakutan, pandangan optimis sang Kardinal membuat mereka penasaran dan bersemangat. Sebagian dari diri mereka ingin menanyakan lebih banyak detilnya, namun sebagian lainnya merasakan kekaguman yang mendirikan bulu kuduk. Rasanya seakan mereka benar-benar berhadapan dengan sesosok makhluk suci.
“Apakah ini yang namanya penglihatan masa depan? Apa setelahnya kau melihat ada lingkaran cahaya di belakang punggungnya?” Las melirihkan suaranya bahkan meski tak ada orang lain di situ.
Feltner menggosok lengannya yang terasa dingin. “Wah, aku tak tahu kalau akan terasa seperti ini. Ternyata cukup menakutkan dan menarik. Tapi kabar baik apa ya?”
Secara implisit kedua cendekia itu sepakat untuk menyimpan rahasia keluarga mereka dan fokus pada kabar baiknya saja.
*****
Kardinal Racionell tidak memiliki kemampuan penglihatan masa depan. Dia tak merasakan kekecewaan karena tidak bisa mengakses kemampuan langka itu; kemampuan itu bahkan tidak menunjukkan apa yang ingin dilihat, tidak seperti ramalan. Dia memiliki kekuatan sihir berdasarkan pada ingatan mimpi buruk, yang terbukti jauh lebih berguna daripada penglihatan masa depan.
Sang Kardinal menunduk menatap telapak tangannya yang memancarkan kabut keunguan. Dia mengepalkan lalu membuka kepalan tangannya dan tersenyum. Count Feltner sakit sifilis. Sementara itu, putra pertama dari Count Las kecanduan obat-obatan Ottnan, dan hidupnya tinggal menghitung hari.
Menyatukan informasi dari kepingan-kepingan ingatan, sang Kardinal bisa mengucapkan kata-kata penuh teka-teki yang kedengaran akurat dan tepat sebagai penglihatan masa depan pada saat yang tepat. Racionel tersenyum, membayangkan rasa kagum dan hutang budi sebagai balasan begitu mereka menemukan tentang kabar baiknya. Istri Feltner mengandung, dan Las akan secara otomatis mewarisi posisi count ketika kakaknya meninggal. Keduanya sama-sama menginginkan hal ini terjadi.
Sang Kardinal telah menemukan tentang rahasia keluarga serta harapan mereka dari ingatan kedua cendekia muda itu – kehamilan istri Feltner ketika seorang wanita pendamping di kediaman menemuinya untuk menerima berkat; suksesi Las untuk menggantikan kakaknya yang kecanduan obat-obatan ketika sang countess berkunjung untuk memberikan sumbangan. Mengumpulkan ingatan-ingatan dari orang lain, dia telah berhasil membuat dirinya sendiri familier dengan berbagai gejala, pengalaman, kondisi, dan keadaan orang-orang itu seperti tabib pribadi mereka.
Dia akan jarang-jarang memperlihatkan pengetahuan semacam itu dan memberi orang-orang kesan bahwa dia sudah tahu tentang mereka hingga ke tulang. Akan tetapi, tidak semua orang mendukung Racionel sepenuhnya hanya karena dia tampak serba bisa dan rendah hati. Beberapa orang Kardinal memusuhinya dengan tidak biasanya, sementara yang lain ingin selalu mengawasinya setelah mengetahui tentang penelitiannya ataupun mulai mencurigai ikatannya dengan sang Permaisuri. Para Kardinal yang konservatif tidak menyukai dirinya karena perbedaan pendapat teologis atau sekedar fakta bahwa dia mempelajari demonologi.
Count Feltner, yang memiliki hubungan sponsor dekat dengan Kardinal Luen, bisa masuk ke dalam pengaruhnya. Sementara Count Las mungkin tidak langsung berguna, mengisyaratkan pengetahuan tentang kecanduan obat-obatan putranya bisa saja sudah cukup untuk menakuti para orangtua dari teman-teman putra bangsawan itu. Kedua kartu ini patut untuk disimpan.
Sang Kardinal tersenyum ketika dia menghitung puluhan, jika bukan ratusan, kartu yang bisa dipakainya. Dirinya tak terkalahkan.
Racionel merenggangkan tubuh dan bersandar nyaman ke kursi. Dia memiliki banyak sekali koneksi dan jaringan, intelijen dan sumber daya yang melimpah. Meski dia tak bisa dengan mudah membaca ingatan dari orang-orang yang memiliki energi suci, dia bisa selalu mengumpukan informasi dari orang-orang di sekitar mereka.
“.…”
Racionel teringat kembali pada informasi yang telah dia baca dari ingatan kedua putra count itu. Skandal yang melibatkan Pendeta Tinggi Rutenfeld…. Dia tersenyum. Tak ada hal lain lagi yang penting.
*****
“Yang… Yang Mulia.”
Rambut coklat muda si pendeta menjuntai di bawah tudung ketika dia berlutut, menempelkan kedua tangannya ke lantai, dan merunduk untuk menyembah. “Saya minta maaf karena muncul di hadapan Anda dalam kondisi ini,” wanita itu berkata.
Bau busuk menyengat hidungnya – bau kematian. Seberkas energi kotor nan gelap melintas di tengah-tengah bau alkohol dan minyak aroma yang intens. Ini bukanlah bau darah yang hangat melainkan daging yang dingin serta tulang yang membusuk di ladang beku.
Killian teringat kembali pada kata-kata Rietta:
“Anais juga memiliki gelang perak seperti ini, tapi satu sisi dari ankh-nya patah.”
“Mereka menganggap sebagai pertanda baik jika aksesoris ankh yang cacat atau rusak masih bekerja.”
Sebuah ankh dengan lengan patah bergetar di sekitar tangan rapuh si pendeta yang menempel di lantai.
“Mohon jangan biarkan Rietta melihat saya,” mohon Anais, si ankh satu lengan.
Sebuah suara melengking bergema di telinga Killian.
“Killian.”
“Killian.”
“Killian.”
“Killian.”
Suara dari visi terakhir Lembah Naga memanggil-manggil namanya dengan suara pecah.
Pendeta yang mengenakan jubah kelabu itu menggumam, “Saya sudah mati. Para kesatria yang datang untuk menyelamatkan saya tidak percaya bahwa saya sudah mati, dan saya mengerti hal itu, tapi….”
Si pendeta mengangkat kepalanya. Dia mendongak menatap Killian dengan mata tak bernyawanya yang kehilangan fokus. “Ketika para pendeta memeriksa saya, mereka akan tahu bahwa saya tidak berbohong.”
Killian berdiri, tampak tegang. Dia mengerti dengan terlalu baik apa yang diucapkan oleh si pendeta, namun pada saat bersamaan dia tidak bisa memproses kata-kata itu secara penuh.
“Mohon maafkan saya atas kondisi yang tidak pantas ini.” Perlahan si pendeta melepaskan tudung yang menutupi kepalanya dan melepas ikatan jubahnya lalu menunjukkan tubuh terlukanya yang tertutup perban. Cidera parah yan menjulur dari bahu menuju dadanya sudah mulai membusuk dan menampakkan tulang belulangnya.
“.…”
Para kesatria wanita dari Gedung Timur menutupi mulut mereka dan terperangah tanpa suara. Sebelumnya mereka tidak menyadari kondisi ini.
Anais mengarahkan pandangannya pada Killian dan pendeta berambut pirang pendek. Dia menyadari bahwa wanita ini bukan seorang pendeta biasa meski tidak terlihat adanya segel dari kuil.
Sosok sang Santa bermata biru terpantul pada mata keruh Anais. “Dan… apakah pendeta ini….”
Santa Tania berlutut pada satu kaki di hadapan Anais dan mengenggam tangannya yang dingin. “Aku turut berduka atas apa yang telah terjadi kepadamu,” Beliau berkata. “Dan merupakan kehormatan bagiku untuk bertemu denganmu, Saudariku. Namaku Tania, dan aku seorang peziarah.”
Mata kelabu Anais bergetar. “Begitu ya… Anda adalah… Santa Tania.”
“.…”
Anais tersenyum sedih dan menundukkan kepalanya. “Saya berharap untuk bisa bertemu dengan Anda saat saya masih hidup. Andai saja saya bisa bertemu dengan Anda sebelum saya mati.” Dia menahan kesedihan dalam suaranya. “Saya tumbuh besar dengan mendengarkan kisah-kisah tentang Anda. Seperti sebagian besar biarawan di generasi saya, saya telah mengagumi Anda selama bertahun-tahun.”
Air mata bercampur darah mengalir menuruni wajahnya. “Tolong. Saya mohon pada Anda.”
Dengan hati-hati Anais membetulkan posisi jubahnya sebelum dia menampakkan leher bersihnya dan menundukkan kepalanya. “Akan menjadi kehormatan terbesar bagi saya jika Anda bisa mencabut nyawa kotor saya yang berlangsung di dalam tubuh kotor ini, selagi masih ada hati manusia yang tertinggal dalam diri saya.”
****
Anais menyatakan bahwa dirinya telah mati dan bangkit kembali sebagai mayat hidup. Walaupun kesadarannya masih ada, dirinya telah menjadi makhluk jahat yang keberadaannya menentang hukum Dewa. Tak mampu kembali pada Dewa, dia akan berakhir melukai orang-orang yang dikenalnya ketika dirinya masih hidup. Tidak seharusnya Anais masih hidup.
Para kesatria wanita dari Gedung Timur tidak memercayai pernyataannya. Anais sama sekali tidak tampak seperti makhluk jahat, hanya delusional akibat pengalaman traumatis dari penyerangan terhadap dirinya.
Killian tak tahu raut macam apa yang ada di wajahnya. Tetapi dia tak butuh Anais untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Anais telah menjadi sesosok mayat hidup yang memiliki kecerdasan, persis seperti ibundanya tiga belas tahun yang lalu