Like Wind on A Dry Branch - Chapter 201
Santa Tania tak menyetujui keputusan itu. “Aku yakin kita sudah sepakat untuk menolak undangan itu, entah dengan menyangkal status Rietta atau menolak undangannya.”
Killian tak mengatakan apa-apa melainkan hanya menumpuk dokumen-dokumen yang sudah dibacanya di samping,
“Aku sudah menyatakan dengan jelas bahwa mereka akan membuat suatu jebakan,” Tania berkata. “Apa kau mendengarkanku sedikit saja? Aku takkan mau seluruh dunia tahu bahwa Santa Tania telah menyampaikan sebuah surat undangan yang berakhir membunuh atau menggantung duke agung dan pasangannya.”
Inila cara Tania mengatakan bahwa dia merasa cemas.
Killian terkekeh dan berkata, “Untuk menyingkirkan musuhmu, kau harus menghadapi musuhmu itu.” Dia meletakkan pena bulu dan mendongak menatap sang Santa. “Aku tak bermaksud melangkah ke dalam jebakan tanpa persiapan. Aku punya rencana.”
“Rencana apa?” Tania berkata bersungut-sungut.
“Tetap jauh-jauh dari Sidang tidak menghentikan sang Kardinal,” Killian berkata seraya mendorong tumpukan dokumen ke arah sang Santa. “Lihatlah ini. Apa Anda bisa mencari cara bagaimana Anda bisa menggunakannya secara efektif?”
Sang Santa menampik. “Tidak, terima kasih. Aku bukan kutu buku seperti Rietta.”
Killian terbahak singkat.
Tania meneruskan. “Apa yang terjadi pada Count Caligo? Kudengar dia sudah nmeninggalkan misi pencarian iblis api untuk menjalankan misi lainnya. Misi apa yang kau berikan kepadanya? Kita tak bisa menuduh sang Kardinal atau Permaisuri tanpa saksi mata.”
“Hm.” Killian bersandar pada kursinya.
Tania mengerutkan alisnya seakan meminta Killian mengucapkan sesuatu. “Akan sangat menyulitkan kalau dia berubah pikiran atau kabur, Yang Mulia. Aku yakin Anda tidak cukup naif untuk memercayai dia dengan pengawasan minimal. Anda bilang kita ada di kapal yang sama. Apa Anda bisa memberitahuku?”
“Kita akan baik-baik saja tanpa adanya Ferdian Caligo yang memberi kesaksian,” jawab Killian. Dia menunjuk ke arah dokumen-dokumen itu dengan dagunya. “Anda meminta agar berbagi kabar dengan Anda. Bagaimana kalau kita kembali ke percakapan ini setelah Anda melihat dokumen-dokumen itu.”
Sang Santa menghela napas dan dengan enggan membolak-balik lembaran-lembaran kertas tersebut. Tak lama kemudian, matanya melebar dan Beliau membaca setiap dokumennya dengan teliti. Kertas-kertas itu adalah dokumentasi dari Ferdian, menyatakan tentang penanganan keuangan dari percobaan sesat, detil-detil tentang pengujian sihir di Sevitas, wabah yang dibuat secara sengaja, dan catatan-catatan tentang penghancuran barang bukti pada tiap langkahnya. Selain semua ini juga terdapat bukti-bukti dan dan daftar para saksi yang telah diamankan oleh Killian dengan menggerakkan Serikat Pencuri pada beberapa bulan terakhir, berdasarkan pada informasi yang diberikan oleh Ferdian.
****
Killian membuka kotak cincin dan menyusurkan ibu jarinya pada cincin Adel yang telah dia letakkan di dalamnya untuk menggantikan cincin pertunangannya. Cincin yang telah Rietta pinjamkan kepadanya, yang datang bersama dengan kisah nan memilukan, telah melindungi dirinya dari kekuatan iblis dan membuat orang yang bukan pengguna sihir bisa memakai kekuatan suci dari benda suci yang terberkati. Familiar dengan aura pedang, seiring dengan berjalannya waktu Killian telah menguasai penggunaan benda suci itu.
Telah kehilangan ingatan tentang putrinya dan nama anak itu, Rietta tak lagi ingat untuk apa cincin itu dan apa makna benda itu baginya. Killian tidak berusaha untuk memicu ingatan tersebut secara paksa. Dia menggantung kalung pinjaman itu di lehernya, bertekad mengembalikan setiap hal yang telah hilang kembali pada Rietta.
“Yang Mulia, Gedung Timur sudah kembali,” Rachel melapor. “Mereka menunggu di gerbang barat di luar dinding Kastel Axias bersama dengan Anais dari Hermeden.”
Killian berdiri. Dia telah menantikan kabar ini. “Dia baik-baik saja?”
Rachel mengangguk. “Ya, sepertinya begitu. Saya rasa Anda harus menemuinya sendiri. Apakah para pendeta yang kita butuhkan tersedia? Lebih baik kalau para pendeta penyembuh, dan para pengusir iblis juga.”
Kenapa Rachel berkata sepertinya dia selamat? Selamat ya selamat, tidak ya tidak. Tiba-tiba Killian teringat pada pesan yang dia terima lewat Nocturne:
Anais selamat, meski ada masalah kecil.
Harap kirim seorang pendeta yang bisa dipercaya pada kami untuk menjalankan misi khusus. Kami akan kembali ke Axias.
Sudah lewat beberapa waktu sejak dia menerima surat itu. Insting Killian memberitahunya bahwa Anais masih memiliki ‘masalah kecil’ ini.
“Apa masalahnya?” Killian bertanya.
“Dia tidak dalam kondisi mental yang stabil gara-gara trauma saat kami menyelamatkan dia, dan dia menampakkan tanda-tanda delirium. Rietta mungkin akan terkejut jika melihat dia dalam kondisi ini. Saya sarankan kita jangan memberitahu Rietta dulu dan meminta pendeta penyembuh memeriksanya terlebih dahulu.”
Killian mengangguk singkat dan berkata pada seorang kesatria, “Bawa Santa Tania.”
“Baik.”
Killian toh sudah mempertimbangkan untuk bertemu Anais secara pribadi sebelum menyuruh yang bersangkutan menemui Rietta. Anais telah begitu berduka ketika mendengar kabar tentang kematian Adel dan akan berusaha menghibur Rietta tentang kehilangan itu begitu mereka bertemu. Akan tetapi, Rietta akan jadi sangat kebingungan dan terkejut jika orang lain memberitahunya bahwa dia telah kehilangan ingatan tentang putrinya yang telah tiada. Walaupun ingatan itu penting dan harus dipulihkan, Killian tak mau Rietta harus menjalani semua rasa kebingungan, takut, dan duka lagi sembari berusaha mencari-cari dalam ingatannya serta bertanya-tanya bagaimana dia telah kehilangan putrinya. Untuk alasan ini, Killian harus lebih dulu memberi tahu Anais secara pribadi tentang hilangnya ingatan Rietta.
“Di mana mereka?”
“Mereka ada di menara jaga di dekat gerbang barat di luar kastel.”
****
Apakah ratu Esahilde tahu tentang aku? Rietta bertanya-tanya. Beliau pasti tahu. Kemungkinan besar, sang Ratu telah meninggalkan kutukan semacam itu karena mengetahui bahwa putri terakhir dari Aeulatio selain dari dirinya sendiri masih hidup di suatu tempat tanpa diketahui siapa pun. Petunjuk untuk melepaskan kutukan sang Ratu tidaklah berguna kecuali jika setidaknya ada satu putri Aeulatio yang selamat.
Kutukan dengan petunjuk atau pembatasan yang tidak relevan akan kehilangan nyawa magisnya. Kekuatan sihir tidak terpusat pada subyek kutukan itu, dan kurangnya inevabilitas dan kausalitas yang menjadikannya kutukan mematikan rentan pada upaya-upaya untuk melepaskannya. Orang yang memiliki kekuasaan sebesar sang Kaisar bisa dengan mudah berusaha membatalkan kutukan itu, dan sang Ratu pasti sudah tahu tentang hal itu.
Sebenarnya, sang Kaisar telah melakukan banyak upaya untuk melepaskan kutukan tersebut. Semua upaya yang telah dicoba oleh Kaisar sudah cukup untuk membuat kutukannya terlepas andai saja Rietta tidak ada. Tetapi karena dia masih hidup, kutukannya tetap tak tergoyahkan dengan kekuatan sihir yang tak terhindarkan, dan waktu terus berlalu tanpa sang Kaisar mendapatkan pengampunan, yang memperkuat kutukan bahwa Beliau akan tenggelam dalam air mata darah.
“.…”
Rietta terpikirkan tentang neneknya – Ratu Esahilde, yang semua orang sebut sebagai Ratu Suci terakhir dari Lamenta. Hingga dirinya berusia dua puluh tujuh tahun, dia tidak mengetahui bahwa sang Ratu yang legendaris itu adalah neneknya sendiri. Meski dia hampir tak merasakan adanya ikatan keluarga dengan Beliau, tanpa bisa dipungkiri, sang Ratu adalah ibu dari ibunya.
“Morbidus, apaka aku melakukan hal yang benar?”
Ratu Esahilde telah mengorbankan nyawanya di tengah-tengah rasa sakit luar biasa untuk memberikan kutukan itu. Sang Ratu telah membakar dirinya sendiri dalam rasa duka dan amarah, dan telah meninggalkan pedang pembalasan dendam kepada putri dari putrinya. Tak mungkin Beliau akan memberikan kutukan hanya untuk membiarkan cucunya melepaskan kutukan itu.
“Esahilde tidak bertanya padamu ketika dia memberimu beban itu,” Morbidus menjawab. “Tak ada yang salah tentang melepaskannya tanpa menanyakan pendapatnya.”
Morbidus tidak menyebutkan tentang ibunya. Sang iblis juga tidak merasa yakin.
Tatapan Rietta tetap terarah pada sang iblis. “Morbidus, apa aku bisa menikah dengannya?”
“Kenapa kau tanya padaku? Apa kau tidak akan menikah dengannya kalau aku bilang tidak?”
“Apa kau akan bilang tidak?” Rietta tersenyum dan menyandarkan pipinya ke lengan.
“Ya.”
“Aku ingin menikah dengannya.”
“Lantas, kenapa kau tanya padaku?”
Rietta menggoyangkan lengan Morbidus dan berkata seraya tersenyum. “Bisakah kau bilang padaku kalau aku bisa menikahinya, Morbidus? Aku ingin kau menyetujui pernikahan kami.”
Morbidus melepaskan tangan Rietta dari lengannya dan berpaling. “Terserah kau,” dia berkata. “Memangnya aku punya hak untuk menyetujuinya.”
Rietta mengulas senyum samar. Ibunya tak lagi ada bersamanya, tetapi terkadang dia bertemu dengan ibunya dalam kenangan-kenangannya lewat Morbidus. Morbidus adalah satu-satunya makhluk yang membuatnya bisa mengenang masa kanak-kanak yang telah dia lewatkan bersama ibunya. Morbidus juga ingat tentang Rietta pada masa-masa awal kehidupan Rietta sebagai satu-satunya sosok yang pernah melewatkan waktu bersama Rietta dan ibunya.
Morbidus sangat berarti bagi Rietta. Akan memberinya keyakinan, kepastian, dorongan yang mematahkan hati, dan juga kesukacitaan jika Morbidus mendukung pernikahan itu.
“Aku menginginkan dukunganmu. Ini kan pernikahanku. Ya?” Rietta memegangi lengan Morbidus dan tersenyum.
Morbidus menghela napas dan mendorong tangan Rietta menjauh. “Sana pergi dan minta orang lain menyetujui pernikahanmu. Aku tak mau bilang padamu agar menikah.”
“.…”
Morbidus menunjuk ke arah Cinna, yang sedang menjilati telapak kakinya di bawah sinar matahari.
Rietta tersenyum cemberut. Dia mendongak menatap Morbidus sambil menggelayuti pergelangan tangan iblis itu. Apa kau sedang menyuruhku meminta seekor kucing untuk mendukung pernikahanku? Jahat sekali.
“Aku mau kau yang menyetujui pernikahanku, bukan yang lainnya.” Rietta tak mau merasa sendirian dalam membuat keputusan seumur hidup sepenting ini. Dia berharap Morbidus ikut campur tangan. Akan lebih disukai kalau iblis itu mengiyakan, tetapi dia juga takkan keberatan kalau Morbidus berkata tidak, jadi dia bisa terus berusaha. “Morbidus, kumohon?”
Sekali lagi Morbidus mendorong Rietta menjauh dengan sorot dingin. “Pernikahan adalah acara untuk mendapat berkat. Apa gunanya kalau iblis menyetujui pernikahanmu?”
Rieta menatap Morbidus, teringat kembali pada apa yang dulu pernah iblis itu katakan kepadanya:
“Kau adalah manusia. Lebih baik kalau kau tinggal bersama dengan para manusia.”
“Aku mengerti bahwa kau merasa tidak bisa diterima jika menanamkan iblis dalam tubuhmu, tetapi kalau tidak begitu, Rietta tidak akan selamat. Aku ingin kau menyimpan rahasia ini.”
“Morbidus.”
“Apa lagi?”
“Terima kasih karena telah menyelamatkan nyawaku.”
Iris Morbidus yang berbentuk memanjang menatap Rietta.
Rietta menatap iblis itu sebelum mengulas senyum nakal. “Tak bisa kupercaya kalau jiwamu ada dalam diriku. Rasanya aneh. Bukankah itu rasanya seperti kita adalah keluarga sungguhan yang memiliki hubungan darah?”
“.…” Morbidus memberinya tatapan bisu.
“Terima kasih karena telah membesarkanku,” Rietta berkata, menatap ke dalam mata Morbidus. “Terima kasih karena telah merawatku saat aku sakit, karena telah bermain denganku, dan menjagaku tetap aman dari wabah. Dan terima kasih karena telah menjadi keluargaku.”
“Keluarga?” Morbidus mengernyit dan memaksakan seulas senyum. Dirinya terdengar sinis.
Reaksi itu tidak membuat Rietta terluka. “Jangan dingin begitu,” Rietta berkata seraya tersenyum. “Aku tak ingat semua hal dari masa kanak-kanakku, tapi kau tak bisa berbohong pada seorang anak yang telah melewatkan waktu tujuh tahun bersamamu. Bagiku kau adalah keluarga.”
“Tolong ya, Rietta.” Morbidus menggelengkan kepalanya dan mendengus.
“Jangan cemas. Aku akan hati-hati di dekat orang lain. Tapi aku bersungguh-sungguh. Kau adalah keluargaku, dan kau tetaplah keluargaku. Kuharap kita tetap seperti ini.” Dia mendongak menatap Morbidus seraya tersenyum. “Aku menyukaimu, dan aku akan tetap menyukaimu.”
Morbidus mengernyit untuk menahan onggokan yang tersangkut di tenggorokannya. Dia berpaling dan menghela napas. “Aku tahu kalau aku akan selalu menjadi orang kesayangan nomor duamu.”
Rietta tertawa.
Morbidus menundukkan kepalanya ke arah Rietta. Wajah mereka kian dekat, dan tulang hidungnya menggesek rambut Rietta. Tanduk Morbidus yang mencuat dari kedua sisi kepalanya menyisakan sedikit ruang di antara mereka. Rietta mengerjap karena udara yang menerpa wajahnya tetapi dia tidak menjauh dari iblis yang berdiri persis di depannya.
“.…”
Berdiri di sana, Morbidus menarik Rietta dari belakang kepala wanita itu dan mengacak rambut Rietta dengan jemarinya. “Kali ini, berbahagialah,” dia berkata. Dia berharap bisa memberkati Rietta, kalau Rietta tak keberatan mendapat berkat dari iblis wabah. Dia menatap Riettta, yang berdiri diam tanpa setitik pun rasa curiga, kemudian memberikan kecupan ringan di dahi wanita itu lalu melangkah mundur.
Rietta tersenyum, meraih Morbidus yang hendak melangkah mundur. “Terima kasih,” dia berkata. “Kau akan terus menjagaku, kan?”
Morbidus berhenti untuk memberi Rietta pelukan erat dengan satu lengan. Dia menyibakkan rambut Rietta yang seakan dikecup mentari dari senyum bahagia nan polos wanita itu lalu berbalik seakan sudah waktunya untuk pergi.
Kau tak tahu apa-apa – tak seharusnya kau menyebutku sebagai keluargamu. Kalau saja kau dan Beatrice tahu apa yang telah kuambil darimu, kau takkan pernah memaafkan aku. Jadi jangan beri aku senyuman yang mirip dengannya itu. Jangan bilang padaku bahwa kau menyukaiku dengan suara yang sangat mirip dengan suaranya itu.
Morbidus berjalan tanpa ragu ke arah pintu ketika Rietta berlari menyusulnya. “Apa tadi kau bilang kau tinggal di luar Axias?” dia bertanya.
“Ya. Akan kurang nyaman kalau tinggal di dalam dinding kastel setiap saat. Orang-orang juga bisa menemukan Maladiera.”
“Gerbang barat? Atau selatan?”
“Berpindah-pindah antara area-area itu. Saat ini ada terlalu banyak pemeriksa.”
“Bukannya itu sulit?”
“Aku takkan mencemaskan soal itu. Setiap sudut dari dunia ini dilanda wabah, dan aku tak bisa merasa lebih nyaman lagi ke mana pun aku pergi. Rasanya seperti kamar tidur utama di neraka.”
Rietta menyentuh tengkuknya dengan perasaan campur aduk. “Apa kau akan bisa pergi ke istana kekaisaran bersamaku?”
“Tentu saja aku harus pergi bersamamu. Kabarnya tempat itu berbahaya. Aku tak bisa terlalu dekat denganmu saat para pemeriksa ada di sekitarmu, tapi aku akan mengikutimu tanpa berada terlalu jauh.”
“Terima kasih.”
“Sama-sama.”
Morbidus berpaling. Suami Rietta rupanya sudah mati karena wabah. Meski saat di bawah segel Morbidus tidak bisa merasakannya, kesedihan dan keputusasaan Riettta akan menjadi bagian dari tubuh dan jiwanya jika hal itu telah terjadi.
Morbidus berdiri di depan jendela yang ditembus oleh sinar mentari. Dia berdiri di puncak ambang jendela. Angin musim dingin membuat rambut emas si iblis berkibaran.
Setelah rasa sakit Esahilde dan pengorbanan Beatrice, kontrak mengerikan itu akhirnya usai sudah. Namun segel yang berisi kekuatan sang pendeta wanita mungkin saja tidak menghentikan takdir yang telah dimulai; takdir, yang disamarkan sebagai konsekuensi dari kontrak, mungkin saja belum berakhir. Dia tidak yakin apakah Rietta telah sepenuhnya lepas dari rantai takdir.
Tidak lagi. Morbidus berharap supaya tidak ada lagi tumbal yang diberikan kepadanya; bahwa tak ada lagi kewajiban kontraktual yang tersisa dalam diri Rietta; tidak ada lagi kewajiban iblis ataupun jiwa Lamenta yang menggerogoti kehidupan yang tertinggal pada Rietta, sebagaimana yang diharapkan oleh ibunya dan ibu dari ibunya. Dia berharap Rietta takkan pernah lagi menyebut dirinya sebagai keluarga.
Morbidus melompat keluar dari jendela, mendoakan kebahagiaan dan ketidaktahuan Rietta untuk seumur hidupnya. Dia berharap bisa mengucapkan selamat kepada Rietta pada hari pernikahannya.