Like Wind on A Dry Branch - Chapter 200
“Tak usah pedulikan ini. Ini perangkap.”
Rietta menatap sang Santa dengan terkaget-kaget. Kedua kalimat itu tampak saling bertentangan satu sama lain. Dia teringat pada tanggapan Killian ketika dia mengekspresikan niatnya untuk bertemu dengan sang Kaisar: bukan ide bagus karena kemungkinan besar dia akan dituduh membunuh Kaisar.
“Anda menyebutnya sebagai perangkap karena sang Permaisuri?” Rietta bertanya.
Santa Tania mengernyit dan nyaris persis mengulang apa yang telah Killian perkirakan sebelumnya. “Itu juga. Sang Kaisar takkan berumur panjang. Kalau kau tiba saat Beliau masih hidup, hal itu akan jadi kesempatan sempurna untuk difitnah sebagai pembunuh. Kalau kau tak mau melakukan perjalanan jauh-jauh hanya unntuk diperlakukan sebagai pembunuh, kusarankan kau menunggu hingga Baginda Kaisar mangkat.”
Santa Tania berada di pihak kaum yang termarjinalkan tetapi bukan jenis orang yang memperindah ucapannya.
Sementara itu, Killian tidak berkedip sekali pun pada saran agar menunggu hingga pemakaman sang Kaisar. Dia hanya sekali mengangkat alis, kemudian meletakkan perintah kekaisaran itu ke atas meja. “Apa alasan lain untuk menyebut ini sebagai perangkap?” dia bertanya.
Sebelum Santa Tania meneruskan, Beliau minta izin lebih dulu untuk memanggil sang penguasa dengan istilah tidak formal. “Perintah kekaisaran itu sendiri ditulis oleh sang Kaisar, tetapi Beliau tertidur lagi tanpa sempat menyiapkan hal lainnya. Itulah sebabnya kenapa Beliau tak mengirimkan apa-apa selain menitipkan selembar kertas ini padaku untuk mengundang dia ‘dengan penuh rasa hormat’. Pertama-tama, aku minta maaf karena urusannya jadi seperti ini. Aku menerobos masuk dan mengambil surat ini karena aku tak bisa menunggu hingga sang Kaisar bangun dan mengatur semua dengan penuh rasa hormat.”
Tania menghela napas cepat dan meneruskan, “Sang Kaisar telah melakukan urusan-urusan lain dengan cara yang serupa. Karena Beliau tidak sadarkan diri pada sebagian besar waktunya, Beliau hanya akan bisa membuat keputusan setelah mengetahui apa yang terjadi dan menyerahkan detil-detilnya pada orang lain. Dan orang-orang lain itu akan berusaha memenuhi kepentingan mereka sendiri dalam prosesnya, jadi hasilnya jarang sesuai dengan niat sang Kaisar. Saat ini istana kekaisaran amat sangat tidak berguna kalau tak mau dibilang benar-benar berbahaya.”
Sang Santa menunjuk pada kertas yang tergenggam di tangan Killian. “Yang satu ini juga bukan pengecualian. Mereka sudah tahu kalau sang Kaisar berusaha mengundang kalian berdua, tapi tak ada seorang pun yang diatur untuk mengawasi kejadiannya. Kertas itu tergeletak di tumpukan kertas di ruang kerja Kaisar hingga segala macam orang mulai masuk seenaknya, memakai penyakit sang Kaisar sebagai alasan, dan pada akhirnya Dewan Bangsawan dan Kardinal Racionel mengambil tugas untuk menjadi tuan rumah kalian.”
Dewan Bangsawan dan Kardinal Racionel – kombinasi terparah yang pernah ada. Setiap anggotanya entah menentang atau menjauhkan diri mereka dari Killian. Menjadi jelas kenapa sang Santa telah memandang undangan itu dengan tatapan negatif.
Dada Killian terasa sesak. Dia akan melangkah memasuki markas musuh untuk suatu acara yang tuan rumahnya adalah lawan terburuknya. Bahkan di Kuil Havitas, sebuah tempat religius, hal-hal mengerikan telah terjadi, dan dia nyaris dituduh dengan pembunuhan. Pengetahuan konvensional bahwa posisi pemimpin harus diberikan kepada orang yang obyektif dan kooperatif – setidaknya di permukaan – tak lagi berlaku di istana.
“Bagaimana bisa tak ada seorang pun yang berusaha menghentikan mereka atau memperbaiki semuanya sebelum sampai ke titik ini?” Rietta bertanya.
Tania menggelengkan kepalanya. “Biasanya para pendeta petarung bicara untuk mewakili sang Kaisar. Tetapi dengan para pendeta bangsawan berpengaruh seperti Pendeta Tinggi Gilius meninggalkan tempat mereka untuk datang kemari, mereka pasti memanfaatkan kesempatan ini. Beberapa orang pendeta yang berpengaruh masih ada di sana, tetapi suara mereka kalah meyakinkan dengan sang Kaisar yang jatuh sakit.” Suara cemas sang Santa membawa nada sedih. Kata-kata kritis itu datang dengan membawa rasa simpati.
Rietta menatap surat tersebut. “Apa setidaknya Anda berpikir bahwa Baginda Kaisar sungguh tulus ketika Beliau berusaha mengundang saya?”
“’Tulus’ adalah penafsiran yang murah hati,” Tania berkata seraya menghela napas. Sang Kaisar ingin minta maaf kepadamu, dan Beliau peduli pada duke agung. Aku ragu Beliau memiliki niat untuk membuat undangan ini menjadi sedemikian berbahaya. Akan tetapi, kau tidak berkewajiban untuk memaafkan Beliau hanya karena Beliau memiliki itikad baik. Kalau tidak kompeten adalah kejahatan kriminal, maka sang Kaisar akan dijatuhi hukuman mati.”
Sang Santa mendecakkan lidahnya dan menyilangkan lengannya. “Kaisar yang hanya bisa terbaring di ranjang tak mampu menegaskan keputusannya sendiri ataupun melindungimu. Beliau takkan bisa menyiapkan apa-apa. Aku mengambil surat ini untuk disampaikan kepadamu adalah sebagai alasan untuk menjalankan misi resmi, tetapi akan lebih baik bagi kedua belah pihak jika kau tidak pergi. Kau juga tak punya alasan untuk menerima undangan itu.”
Rietta menunduk menatap kertas papirus tebal tersebut.
Keluarga Kekaisaran dari Liefheim Dimfell mengundang putri dari Aeulatio dengan penuh rasa hormat.
Harap kunjungilah kami untuk menerima Mahkota Lamenta Anda.
Sang Kaisar – pria yang telah dikutuk oleh Ratu Esahilde, neneknya yang tak pernah dia temui – akan tenggelam dalam air mata darah. Hal itu terasa aneh. Rietta sudah tahu kalau sang Kaisar akan mencari dirinya, karena dia adalah kunci untuk melepaskan kutukan Lamenta. Jika hal yang terburuk sampai terjadi, Kaisar bahkan bisa menangkapnya. Akan tetapi, bahasa yang dipakai dalam perintah kekaisaran ini tidak terlalu memaksa namun bahkan lebih merendah penuh hormat ketimbang yang diperkirakan. Sudah barang tentu, Rietta tahu kalau skenario terburuk kecil kemungkinannya untuk terjadi.
Tatapan Rietta terpancang pada kalimat yang memintanya untuk menerima Mahkota Lamenta.
Persis pada saat itulah, dia mendengar suara Killian: “Apa yang ingin kau lakukan?”
Rietta mengangkat kepalanya untuk menatap Killian. Pria itu sedang menatapnya.
“Kau punya hak untuk mengambil kembali mahkota itu,” Killian berkata, “tetapi memang benar juga bahwa undangan ini kelihatannya berbahaya. Tak apa-apa kalau menolaknya. Kau tak harus menerima mahkota itu dengan langsung menerima undangannya. Kalau kau berminat, kita bisa mencari cara lain untuk mendapatkan kembali mahkotanya.”
Rietta meragu. Apakah dia punya pilihan?
“Tak apa-apakah kalau menolak? Ini adalah perintah kekaisaran.” Dia ragu kalau rakyat dari kekaisaran diperbolehkan menolak sebuah perintah kekaisaran. Bahkan Killian juga tak bisa menolak undangan dari Kuil Havitas. Jika putra sang Kaisar saja tak bisa menolak, bagaimana bisa dia menolak perintah kekaisaran?
Sebuah pertanyaan yang tak disangka-sangka keluar dari mulut Santa Tania. “Rietta, kau belum mengakui secara resmi bahwa kau adalah anak dari sang Putri Suci, kan?”
“Belum,” Rietta menjawab, memberi tatapan penasaran kepada sang Santa.
Sang Santa mengambil undangan itu dari meja dan menunjuk pada satu frase. “Sang Kaisar mengundang ‘putri dari Aeulatio’. Karena kau belum menyatakan bahwa kau adalah putri dari Aeulatio, kau tak punya alasan untuk menanggapi panggilan ini. Kau bisa terus berdiam diri. Secara teknis, Kaisar belum mengundangmu.”
“.…” Rietta terkesan pada alasan yang diajukan sang Santa. Sang Santa memang benar.
“Itu juga bisa saja,” persis pada saat itulah Killian berkata. “Walaupun aku menafsirkannya dengan cara lain.”
“…?” Rietta mengalihkan pandangannya pada Killian, dan pasangan itu saling bersitatap.
Killian mengambil kertas itu dari sang Santa dan menunjukkannya kepada Rietta. “Ini adalah dokumen diplomatik yang ditulis oleh Kekaisaran untuk Lamenta, bukan perintah kekaisaran.”
Mata Rietta semakin melebar.
“Rietta,” dia meneruskan, “Ini bukan tentang sebuah wilayah kekaisaran mematuhi perintah kekaisaran ataupun menolak menanggapi sebuah perintah yang tidak akurat. Sebagai anak perempuan dari Putri terakhir Lamenta, kau punya hak untuk menolak undangan ini. Ada banyak ruang untuk menafsirkan ini sebagai undangan diplomatis antarnegara.”
Rietta menatap kaget pada Killian, dan Santa Tania berbinar.
Rietta mengalihkan pandangannya kembali pada kertas itu.
Kalau dia ingin mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai putri Aeulatio dan mengambil kembali mahkota itu, dia bisa melakukannya. Beberapa pihak mungkin akan menudingkan jari dan lainnya mungkin akan mengancam dirinya, tetapi Killian akan melindungi dirinya sebagai kesatrianya.
Atau dia bisa tetap diam, menunggu hingga hukuman bagi sang Kaisar tertunaikan sendiri, menjalani kehidupan biasa jauh dari mata publik yang kritis, atau kembali nanti untuk menerima mahkota itu. Dalam hal apa pun, Killian akan melindungi dirinya sebagai kesatrianya.
Killian akan mendukung Rietta tak peduli pilihan apa pun yang dia buat.
****
Setelah menuntaskan diskusi tentang undangan kekaisaran, Santa Tania mengungkapkan alasannya yang sebenarnya untuk menghubungi Killian.
Beliau telah mencurigai bahwa belati berisi iblis, yang telah dia cari-cari, berhubungan dengan Proyek Lazarus yang dipimpin oleh sang Kardinal; dan Kardinal Racionel mungkin saja menjadi paus sebelum Beliau menemukan bukti nyatanya. Beliau ingin minta bantuan pada sang duke agung.
Killian bertukar pandangan dengan Rietta. Dia berkata, “Anda telah datang ke tempat yang tepat, Santa.”
Sang duke agung memberitahu Beliau bahwa percobaan iblis sang Kardinal yang bertujuan ‘menyelamatkan manusia dari para iblis’ memiliki masalah etis yang serius, bahwa sang Kardinal telah menggunakan ribuan orang sebagai subyek penelitian mengerikan selama lebih dari sepuluh tahun, bahwa sang Kardinal telah dengan sengaja menyebarkan wabah untuk menutupinya, dan telah menggunakan rasa takut akan wabah untuk mengendalikan para bangsawan sebagai sang penyelamat. Dia bertanya kepada sang Santa apakah bukti ini akan memadai.
Sang Santa menatap nanar pada Killian dengan raut paling syok yang pernah Beliau buat dalam kurun sepuluh tahun ini. “Apa Anda punya bukti atau saksi mata?” Beliau bertanya dengan suara dipelankan, matanya melebar.
“Anda mungkin sudah pernah mendengar namanya,” Killian menjawab. “Count Caligo -”
“Apa?!” Sang Santa menggebrak meja dengan kedua tangan dan melompat berdiri dari kursinya. Beliau langsung merendahkan suaranya dan mengajukan berondongan pertanyaan. “Count Caligo? Ferdian Caligo dari Akademi Demonologi? Dia adalah sekutu Racionel yang paling terpercaya! Apa Anda berkata bahwa dia bersedia mengkhianati Racionel dan membuat pernyataan sepenting itu?”
Killian menatap sang Santa, kemudian mengulurkan tangannya untuk berjabatan. “Aku menantikan untuk bekerjasama dengan Anda, Santa. Kita akan menumbangkan Permaisuri dan Kardinal bersama-sama. Kita ada di kapal yang sama.”
“Saya dengar Permaisuri sedang dikurung,” Rietta berkata. “Apa dia masih punya suara di istana? Dan sekritis apa kondisi Kaisar?”
Tania menjawab, “Sang Permaisuri berada di dalam menara, tapi mereka yang untuk sementara telah menjadi sekutunya masih berkeliaran bebas. Tampaknya sang Kaisar-lah yang pada kenyataannya sedang dikurung. Beliau akan tetap tertidur di dalam kamarnya selama dua minggu sebelum terbangun selama satu atau dua jam lalu kembali tidur….” Kata-kata sang Santa melirih untuk menyelesaikan monolog pesimisnya lalu menyimpulkan, “Waktunya takkan lama.”
“Mereka berkata bahwa sang Kardinal telah melakukan banyak penelitian untuk mengobati Baginda Kaisar,” Rietta berkata. “Seberapa besar kemungkinan pengobatan itu akan berhasil?”
Sang Santa menggelengkan kepalanya. “Menurutku kemungkinannya sangat kecil. Kabarnya sang Kardinal memakai jalur air bawah tanah di Ibu Kota sebagai persiapan untuk upacara pemberkatan besar paling luas dalam sejarah, tapi entahlah. Beliau akan sudah pulih sejak lama kalau hal itu bekerja. Iblis yang menancapkan akar di tubuh manusia memakai inangnya sebagai tameng, dan pada dasarnya mereka kebal dari kekuatan suci.”
Rietta mengajukan kemungkinan dari cara pengobatan lain yang telah Morbidus ceritakan kepadanya. Tania tercengang mendengar ide baru itu. “Ide itu tak pernah terpikirkan olehku,” Tania berseru. “Apa kau berpikir untuk mengobati Kaisar dengan cara itu?”
Beliau merenung, kemudian menatap Rietta. “Tapi Morbidus adalah kasus istimewa. Dia adalah iblis wabah yang memahami tubuh manusia dengan baik berkat telah menghabiskan banyak waktu bersama manusia. Rasanya tidak mungkin bagi Mordes untuk bisa melakukan hal semacam itu dengan kekuatan sihir dan pengalamannya. Sejujurnya saja, kupikir kemungkinan besar sang Kaisar akan mati karena upaya itu. Tapi kita akan bicarakan soal itu.”
Rietta menghembuskan desahan lega samar ketika sang Santa masih menyisakan kemungkinan itu. “Terima kasih, Santa.”
Tania menatap Rietta dan berkata, “Kau serius soal menyelamatkan nyawa Kaisar. Kau tidak membencinya? Atau apakah kau sedang mencoba melepaskan kutukan itu, untuk menjajal yang namanya ‘pemberian maaf sejati’ ini?”
Rietta merenungkan tanggapannya. Apakah dia sedang berusaha membatalkan kutukan itu? Dia tidak yakin. Semua yang dia rasakan adalah kesan bahwa seseorang sedang membimbingnya ke arah ini. Tidak terasa seperti kebetulan bahwa dia mengetahui tentang rahasia yang sudah tersimpan lama ini pada saat ini dan mengidentifikasikan semua pilihan dan kemungkinannya. Dia ingin tahu ke mana semua ini akan membawanya.
Dia membuka mulutnya. “Saya bukannya tidak membenci Beliau.”
Dia mengerti bahwa Ratu Esahilde pasti akan sudah mengutuk Pendeta Tinggi Rutenfeld, bukannya sang Kaisar, andai saja sang Ratu mengetahui keseluruhan ceritanya; bahwa sang Kaisar sudah cukup membayar harganya. Dia bisa mengakui hal itu dengan lantang. Tetapi ini tak berarti bahwa dia bersimpati pada sang Kaisar yang tak pernah dia temui ataupun berhenti membencinya.
Akan tetapi, dia lebih memilih untuk mengurai simpul yang telah membuat mereka menderita jika hal itu berada dalam jangkauannya. Dia tak mau kutukan itu membuat sang Kaisar mengalirkan air mata darah atas pria yang dia cintai, dan dia tak mau ada lebih banyak tragedi lagi di antara mereka. Dia berharap untuk mendapatkan kembali apa yang pantas dia dapatkan dan mendengarkan kata-kata yang telah ibunya tinggalkan untuknya.
Yang terpenting, “Saya tidak yakin tentang pemberian maaf, tetapi saya akan menerima permintaan maaf Beliau jika Beliau memberikannya.”
Sepertinya inilah niat Rietta yang sebenarnya.
****
Harap kunjungilah kami untuk menerima Mahkota Lamenta Anda.
Rietta menyusurkan jarinya pada frase, “Mahkota Lamenta Anda”.
Dia tak pernah menanggap tanah yang belum pernah dipijaknya sebagai tanah airnya, tetapi ini adalah warisan lain yang telah ditinggalkan ibunya. Terasa lebih pantas untuk membawa kembali mahkota itu daripada membuatnya tetap tersimpan di istana kekaisaran.
Rietta mendongak menatap Killian. “Aku ingin mengambil kembali mahkota itu,” dia berkata. “Itu adalah mahkota ibuku, bahkan meski sudah menjadi benda suci yang dikotori oleh iblis. Mahkota itu juga adalah milik sang ratu.”
Rietta menggerak-gerakkan jemarinya dengan gelisah, kemudian menatap tongkat di tangannya. “Kau tak bisa menerima permintaan maaf ataupun mengambil kembali mahkota itu tanpa menemui sang Kaisar.” Dia tersenyum. “Aku punya perasaan bahwa aku bisa mendengar wasiat terakhir ibuku setelahnya. Mungkin itu jugalah sebab kenapa aku belum siap mendengar kata-kata terakhir ibu, kenapa sang Kaisar masih terasa jauh bagiku, dan kenapa aku belum mendapatkan permintaan maaf yang sepantasnya.”
Dia menatap ke dalam mata Killian. “Kalau tak terlalu merepotkan, aku ingin bertemu dengan Kaisar saat Beliau masih hidup. Mungkin aku akan bisa memaafkan Beliau ketika aku sudah merasa yakin bahwa ini bukan kesalahannya.”
Menatap pria itu, Rietta menggenggam kedua tangan Killian. “Bahkan jika aku tak bisa melepaskan kutukannya, bahkan jika kegagalan dan keputusasaan menantiku pada akhirnya, aku takkan berhenti mencintaimu. Kurasa aku takkan bisa berhenti.”
Dia mengulas senyum percaya diri. ”Aku ingin mengunjungi istana.”
“.…” Killian menatap Rietta.
Meski dia sudah berjanji untuk melakukan apa pun yang Rietta inginkan, ibu kota adalah tempat berbahaya. Dia tak mau membuat Rietta terpapar pada bahaya atau kemungkinan patah hati apa pun. Akan tetapi, ini adalah langkah tak terelakkan demi bisa memperoleh kembali ingatannya.
Killian menarik tangan Rietta dan mencium punggung tangannya. “Sesuai dengan keinginanmu,” dia berkata.
Dia menerima keinginan Rietta untuk mengunjungi Ibu Kota kekaisaran.