Like Wind on A Dry Branch - Chapter 199
Kesunyian menggelayuti ruang kerja di kediaman Sevitas.
Pendeta peneliti sedang diperkenalkan kepada para anggota keluarga sponsor barunya ketika Frederik membuat kesalahan gegabah itu. Sudah jelas apa yang dipikirkan oleh si pendeta di balik senyumannya.
Sayangnya, Ferdian adalah satu-satunya orang yang menyadari kesalahan bicara si putra tertua. Akan sangat memalukan bagi Sevitas jika Frederik terus mengoceh.
Demi melindungi kehormatan keluarga, Ferdian melangkah maju. Dia berpura-pura polos seperti anak kecil dan berlagak kaget. “Oh!” serunya, “jadi yang kakakku maksud adalah….”
Frederik senang mendengar pesannya disusun ulang dengan rapi. Dia menjentikkan jemarinya dan berkata, “Itu benar, Ferdian. Pelajaranmu selama bertahun-tahun ada gunanya juga.”
Ferdian menyentuh bagian belakang kepalanya dan tersenyum, “Bimbingan Kakak ada manfaatnya.”
Ini pasti bisa. Ferdian melangkah mundur setelah membersihkan kekacauan yang dibuat kakaknya. Orang-orang di sekitarnya termasuk sang Countess tersenyum puas.
Persis pada saat itulah dia bersitatap dengan si pendeta. Ferdian terdiam lalu menundukkan kepalanya.
Mata si pendeta berkilat. “Anda punya putra yang cemerlang.”
Sang countess mengulas senyum, senang mendengar pujian untuk putranya. Dengan bangga dia menepuk-nepuk bahu Frederik. “Terima kasih,” dia berkata. “Dia hanya mengikuti pelajaran demonologi sebagai pelajaran pilihan, jadi dia sama sekali tidak sehebat Anda, walaupun saya memang memerhatikan pendidikannya -”
Si pendeta terkekeh pelan. “Oh, bukan putra yang itu.” Dia menunjuk pada Ferdian. “Maksud saya putra yang ini.”
Wajah Ferdian menjadi kaku. Orang-orang di kediaman mengarahkan tatapan tercengang mereka pada si pendeta dan Ferdian. Fakta bahwa putra kedua Count Cassarius adalah anak haram yang diadopsi dirahasiakan. Karena sang putra pertama ditetapkan menjadi penguasa berikutnya, pada umumnya komentar bahwa putra yang lebih muda lebih berbakat secara akademis tidak menjadi masalah. Akan tetapi, pujian sang pendeta praktis menunjukkan bahwa anak haram lebih baik daripada anak sah. Melihat dinamika yang halus itu, para pekerja di kediaman dengan cemas mengamati suasana hati sang countess, berusaha sebaik mungkin untuk mempertahankan keanggunan.
Ferdian memucar, menyadari kesalahan apa yang telah dia buat dan konsekuensi apa yang mengikutinya. Dia berharap sang pendeta berpura-pura tak menyadarinya, atau setidaknya menambahkan bahwa sang putra tertua juga lumayan. Tak bisa dia percaya bahwa seorang pendeta yang meminta pendanaan sampai hati untuk berkata, “Bukan yang itu, tapi yang ini.”
Si pendeta menatap ke dalam mata coklat Ferdian dengan penuh ketertarikan dan tersenyum, “Kau mengingatkan aku saat aku masih muda.” Dia kemudian berlutut pada satu kaki dan mengulurkan tangannya. “Bagaimana menurutmu? Apa kau tertarik melakukan penelitian bersamaku?”
Ferdian memaksakan seulas senyum pada raut tidak antusiasnya. Dia ini tak terlalu rendah hati, dia membatin, menatap si pendeta. Semuanya takkan berubah jadi begitu canggung andai saja si pendeta menanyakan pendapat ayahnya terlebih dahulu. Komentar polos si pendeta tanpa disengaja telah menempatkan dirinya dan juga Ferdian dalam situasi yang sulit.
Ferdian membungkuk dan mengucapkan terima kasih. “Saya merasa terhormat. Akan tetapi, takutnya kemampuan saya terlalu biasa untuk bisa memenuhi harapan Anda atas diri saya. Bersediakah Anda mengizinkan saya mendiskusikan hal ini dengan orangtua saya terlebih dahulu, supaya kekurangan saya tidak sampai menghambat Anda?”
Aku tidak lebih baik dari Jade. Dia punya bakat, kesempatan, dan kemauan untuk meraihnya. Namun seorang anak yang terjepit di antara rakyat jelata dan bangsawan tak bisa mempertahankan tekadnya sendiri.
Si pendeta tersenyum dan menarik tangannya ke dalam lengan baju. “Seharusnya saya berpikir lebih seksama. Mari kita lakukan seperti katamu, anak pintar.”
Ferdian tersenyum, menelan rasa mengasihani diri pahit yang sudah sejak lama dia lepaskan. Jawabannya sudah jelas. Seseorang akan memberitahu si pendeta, dia akan minta maaf atas kesalahlangkahannya, dan tawaran itu akan dibatalkan.
Akan tetapi, perkiraan Ferdian terbukti salah. Si pendeta berdiri dan berpaling pada Cassarius. “Bagaimana menurut Tuan Sevitas?”
“Maaf?”
Si pendeta menyeringai. “Bersediakah Anda menitipkan anak ini kepada saya? Saya ingin mengajari dia.” Jelas yang dia maksud bukan saat ini juga. Pesannya seharusnya sudah jelas.
Ferdian tercengang meliat perilaku asertif yang tidak cocok dengan seorang banggsawan. Sang countess, yang selama ini terus tersenyum untuk menutupi perasaannya yang terluka, berakhir mengedutkan bibirnya.
Cassarius mengulas senyum kikuk. “Saya menghargai tawaran besar ini. Akan tetapi… takutnya putra saya yang biasa saja ini mungkin akan mengganggu pekerjaan penting Anda, Bruder. Bagaimana bisa saya berani meminta bantuan Anda untuk meningkatkan karir putra saya, apalagi melakukan riset sepenting itu?” Sang ayah mengangkat tangannya seakan mengusulkan agar beralih dari subyek tersebut. “Bagaimanapun juga, saya inign Anda fokus pada penelitian Anda.”
“Saya tidak ingat telah menerima tawaran pendanaan Anda, Tuan,” si pendeta berkata, mempertahankan senyumannya.
Orang-orang memberinya tatapan bingung, dan si pendeta memasang senyum gundah. “Saya benar-benar menghargai tawaran pendanaan Anda, tetapi saya adalah pelayan Dewa,” dia berkata. “Uang tidak lebih prioritas dibandingkan pedang bermata ganda. Saya hanya bisa melayani begitu banyak orang sendirian, dan saya seringkali tidak tahu harus bagaimana….”
Cassarius kehilangan ketenangannya. Dengan gelisah dia menggoyangkan kedua tangannya. “Oh, saya tidak mengharapkan pelayanan atau hadiah besar sebagai gantinya. Tentu saja saya menantikan hasil dari penelitiannya, tapi saya – uh, saya hanya berharap sepenuh hati agar penelitiannya berhasil.”
Ferdian menatap syok pada interaksi itu. Tak ada seorang pun yang menghentikan si pendeta atau menyebutkan sikapnya yang tidak sopan. Dia tak mengerti sikap ayahnya dan yang lain dalam memperlakukan seorang pendeta tidak jelas. Bukankah dia cuma seorang pendeta biasa? Proyek apa yang sedang dia kerjakan?
“Mengatakan yang sebenarnya, saya tak lagi berniat menerima sponsor dari para bangsawan,” si pendeta berkata. Dia menarik Ferdiann lebih dekat padanya, berdiri di belakang anak itu dengan tangan bertumpu pada bahu Ferdian, lalu tersenyum.
Kelabakan, Ferdian memiringkan kepalanya ke belakang untuk mendongak menatap si pendeta, yang tersenyum dan terus bicara. “Entah kenapa saya merasa kalau saya akan membentuk hubungan istimewa dengan anak ini, begitu istimewa sampai-sampai saya hampir berpikir bahwa pendanaan dari orangtuanya akan berarti banyak bagi saya.”
Ferdian melebarkan matanya beberapa detik kemudian, setelah memahami apa yang si pendeta maksudkan. Pendeta ini tak lagi meminta Ferdian, hanya mengulas senyum tenang.
Countess Sevitas adalah orang pertama yang menanggapi. Wanita itu memaksakan mengulas senyum elegan pada wajahnya yang menggelap seakan merasa amat tersentuh oleh kata-kata si pendeta. Dia berpura-pura memasang raut penuh kasih pada caranya menatap Ferdian. “Saya sungguh tersanjung karena Anda memandang begitu tinggi pada anak tidak sempurna kami,” dia berkata.
Dengan lembut si pendeta memeluk bahu Ferdian seraya tersenyum. “Jauh dari tidak sempurna, Nyonya. Anak ini akan memberi kontribusi sangat besar pada penelitian saya, apalagi mengenai hubungan istimewa kami.”
Barulah pada saat itu Cassarius, yang menatap dengan gugup, terkekeh seraya mendesah lega. “Terpaksa saya menerima pujian besar Anda, jika putra saya memang bisa berguna bagi Anda.”
Meski tidak tahu siapa pendeta ini atau pekerjaan macam apa yang sedang dia kerjakan, secara instingtif anak itu menyadari kebenarannya: si pendeta adalah orang paling berkuasa di ruangan ini.
Tatapan gembira si pendeta mendarat pada Ferdian. “Orangtuamu telah memberi izin. Bagaimana menurutmu. Kau mau pergi bersamaku?”
Mata Ferdian bergetar dengan rasa takut untuk mengecewakan si pendeta sekaligus rasa antisipasi.
Akan tetapi, tanggapan anak itu berbeda dari perkiraan semua orang, termasuk perkiraannya sendiri: “Saya ingin tetap berada di Sevitas.”
Cassarius dan sang Countess melontarkan tatapan agak kaget kepadanya.
Si pendeta tersenyum. “Kau ingin tetap tinggal di Sevitas? Kenapa begitu?”
Mulanya kaget oleh tanggapannya sendiri, Ferdian lalu menundukkan kepalanya dan menyebutkan kalimat kesetiaan klise yang familier. “Selalu merupakan harapan saya untuk dengan setia melayani kakak saya di sini.”
Orang-orang di kediaman memancangkan tatapan mereka pada si pendeta dan si anak.
Sang Countess menimpali. “Kakak beradik ini sangat dekat, seperti yang bisa Anda lihat.” Kemudian dia tersenyum kepada Ferdian dan berkata, “Tak apa-apa, Nak. Kau akan sangat membantu kakak dan ayahmu dengan mendapat pelajaran tak ternilai dari Beliau.”
Senyuman sang Countess membuat bagian dalam diri Ferdian mendidih. Ferdian mendongak menatap si pendeta dan mengulang, “Saya ingin tetap berada di Sevitas, Bruder.”
Sang Countess mengedutkan alisnya. Dia tak menyangka kalau anak ini akan membantah perintahnya. Ferdian menyadari getaran di tangan wanita itu yang sedang menggenggam kipas, namun dia mengeratkan kepalan tangannya yang berkeringat dan mengabaikan sang Countess.
Si pendeta tersenyum lagi. “Itu juga ide yang bagus. Mari kita lakukan begitu saja,” dia berkata seakan sudah membaca harapan Ferdian sejak lama. Kemudian dia mengulurkan tangannya. “Bagaimana kalau kita saling memperkenalkan diri. Siapa namamu?”
Jantung Ferdian serasa berhenti lalu berdetak lagi. Dia juga mengulurkan tangannya. “Ferdian Sevitas.”
Berjabat tangan, si pendeta menepuk-nepuk bahu anak itu dengan tangannya yang besar dan tersenyum. “Senang bertemu denganmu. Aku Racionel.” Lalu dia berbisik, “Suatu hari kelak, aku akan memberimu nama baru yang lebih sesuai daripada Sevitas,” seakan dia sudah mencari di dalam benak anak itu.
Ferdian tak bisa menggerakkan bibirnya ketika suara itu sampai ke dalam benaknya. Meski terkejut, dia punya nyali untuk tidak bertanya, “Apa?” atau menatap ke arah orang lain. Dia mengepalkan tangannya. Dia tahu apa yang dimaksudkan oleh si pendeta – orang ini bisa memberinya gelar. Orang ini bisa memberinya apa yang dia inginkan jika dia membantu.
Jangan lari, Ferdian memberitahu dirinya sendiri. Jangan lari. Jangan kehilangan kesabaranmu atau membuat kesalahan. Ferdian mendongak pada pendeta tinggi itu dengan mata bergetar. Dia sudah menemukan tempat untuknya berada, sesuatu yang bukan ditawarkan oleh kediaman Sevitas ataupun biara. Sebuah rumah yang selalu dia dambakan.
Jantungnya berdenyut di antara remasan jemari. Dia tak pernah berpikir menyesali keputusan itu.
*****
Ferdian mengepalkan kedua tangannya yang pucat di belakang kelompok anak-anak itu. Para lulusan dari biara pergi untuk menjadi pemberi berkat di kuil-kuil lain, dan anak-anak saling mengucapkan perpisahan dengan pelukan, tangisan, dan senyuman. Tawa dan tangis dari anak-anak itu mendorongnya lebih jauh lagi ke dalam jurang tanpa dasar.
“Saya ingin tetap tinggal di Sevitas.”
Kata-kata dari hari itu memberinya kilas balik yang menakutkan. Ferdian bersembunyi di pojokan dan menatap nanar pada anak-anak yang saling mendoakan satu sama lain. Mereka sedang melakukan pemberkatan akhir.
“Lucielli.”
“Leciel.”
****
Bagaimana kalau aku menghentikann semuanya sekarang juga?
Dia telah bertanya kepada dirinya sendiri ribuan kali. Semua sudah terlambat ketika dia menyadari kenapa dia tidak berhenti lebih cepat. Kalau dia tidak tetap berada di tempatnya, gadis yang dia sukai akan mengikuti langkah anak-anak lainnya yang sudah pergi.
Dia berpegang erat pada satu tujuan ketika dia merasakan dirinya sendiri berubah menjadi iblis setiap kalinya. Aku sudah meremehkan situasinya, dia berkata pada dirinya sendiri. Dia tetap tinggal demi melindungi seseorang yang dia cintai dengan caranya sendiri. Inilah sebabnya kenapa dia tak bisa berhenti.
Ferdian terpikirkan tentang Rietta. Pada pandangan pertama gadis itu kelihatan seperti seorang pemberi berkat yang baik tapi biasa saja yang cukup beruntung karena memiliki mata dewa. Tetapi semakin dia mempelajari tentang demonologi, Rietta tampak semakin aneh. Gadis itu tak pernah terjangkit wabah, tak punya ingatan tentang kehidupannya sebelum memasuki biara, dan bisa membaca. Sebagai rakyat jelata, gadis itu memiliki tangan yang lembut namun benar-benar merakyat untuk kalangan bangsawan.
Pada saat Ferdian mengetahui bahwa gadis itu dilindungi oleh sihir iblis yang rumit dan segel yang tidak disadari oleh para pemberi berkat dan pendeta biasa, Ferdian sudah terkenal sebagai seorang cendekia demonologi yang jenius. Dan dia menemukan rahasia yang bahkan tidak disadari oleh Rietta sendiri. Pendeta Tinggi Racionel tidak akan melepaskan Rietta jika sampai mengetahui tentang gadis itu. Dia harus menyembunyikan Rietta di suatu tempat di mana gadis itu tidak akan pernah bisa ditemukan.
“Kau tidak terjangkit wabah, Rietta. Ini adalah keanehan dalam dirimu. Menurutku kau seharusnya tetap merahasiakannya. Jangan bilang pada siapa-siapa. Kau mau berjanji bahwa rahasia ini cuma ada di antara kita berdua, kan? Jangan katakan pada siapa pun, bahkan pada para pendeta.”
“Jangan pernah katakan pada siapa pun – selamanya,” Ferdian menggumam.
“Rahasia apa? Rahasiamu? Rahasia Rietta? Rahasia sang Kardinal?” tanya suara lain di dalam dirinya.
“Semuanya. Tiap-tiap dari mereka semua. Aku harus tetap tinggal di sini untuk saat ini. Ini adalah satu-satunya cara untuk menjaga Rietta tetap hidup. Aku masih melakukan ini hanya demi menjaganya tetap aman, bukan karena aku adalah monster.”
“Seseorang berpikir kalau dirinya masih seorang manusia.”
“Aku tidak bilang kalau aku tak berdosa. Bisakah aku setidaknya menjaga satu orang yang kusayangi?”
“Kau cuma ingin berhenti, kan?”
“Tidak. Aku ingin melindungi Rietta.”
“Kau cuma butuh alasan untuk menyatakan bahwa kau bukan monster.”
“Semua yang kupunya adalah perasaan memiliki tujuan, alasan untuk tidak menyia-nyiakan hidupku. Apa setidaknya aku bisa memiliki itu?”
“Mereka bilang semua orang menyembunyikan tengkorak di dalam lemari mereka.”
“Diam. Kau adalah iblis.”
Dia tak bisa berhenti menipu dirinya sendiri.
****
“Hal itu menjadikanmu apa, iblis yang ramah?” manusia itu pernah berkata.
“Iblis yang ramah mungkin lebih berguna daripada manusia yang nyinyir,” si iblis pernah menjawab.
Ferdian terbahak. Apa yang akan dipikirkan oleh sang duke agung dan iblis wabah pertama tentang seorang pemuda yang bukan manusia ramah ataupun iblis nyinyir? Aku lebih dekat pada yang mana? Aku telah menanamkan iblis ke dalam diriku. Apa aku masih seorang manusia, karena aku terlahir sebagai manusia? Atau jika semua tindakanmu mengerikan, apakah hal itu akan membuatku jadi lebih dekat pada iblis?
Anak haram ini tidak bisa cocok di mana pun. Dia bukan salah seorang anak yatim piatu di biara, juga tak bisa berbaur dalam masyarakat kelas atas. Para iblis juga tidak menerimanya.
Terlahir di luar nikah, seumur hidup dia telah berkelana sebagai orang luar. Hal-hal remeh semacam itu dulu terasa menggangguku.
Sekarang, apa yang harus kulakukan?
****
Sang Kardinal tersenyum di depan mangkuk ritual. Airnya memantulkan padang salju tandus di suatu wilayah utara yang terpencil.
Dengan tenang pandangannya beralih, dan di sisi lain muncullah Kuil Agung Havitas.
“Ferdian,” dia berbisik, “dalam perjalanan singkat ini, kau sudah tumbuh lebih dari yang diperkirakan. Aku bangga padamu.”
Sekarang cepatlah datang dan bawalah kekuatan padaku.
****
“Bisakah Anda membiarkanku tinggal di sini?” Santa Tania bertanya. “Saat Sidang berlangsung, semua orang yang memiliki hak suara akan terperangkap dalam ruang pertemuan unntuk memilih paus yang berikutnya. Sayangnya aku adalah anggota yang punya hak suara.”
“Apa?” Killian tak bisa memercayai telinganya sendiri.
“Oh.” Tania tak berkedip sedikit pun ketika menambahkan, “Sang Paus sudah meninggal. Para pendeta lainnya semestinya juga sudah dipanggil.”
Tania lalu menjatuhkan bom lainnya. “Markas gereja mengumumkan bahwa Beliau meninggal secara alami karena usia tua, tetapi aku tidak yakin akan memercayainya. Waktunya sungguh terlalu pas. Si Racionel sialan itu akan menjadi paus jika Sidang diadakan sekarang. Kita tak bisa membiarkan dia memiliki otoritas seorang paus.”
Sang Santa menuangkan air dingin ke dalam cangkir teh, menenggak seluruh isi cangkirnya, lalu menyeka mulutnya. “Kardinal Racionel bukan kandidat teratas untuk menjadi paus, tapi semua pesaing lainnya telah mati mendadak kecuali Racionel dan aku. Aku bergegas kemari bukan karena aku takut mati. Aku ragu kalau dia bisa membunuhku, tapi pokoknya begitu.”
Tania menghela napas dan memejamkan matanya sebelum membukanya kembali. “Aku lebih memilih untuk memanggul salib dan menjadi paus berikutnya daripada membiarkan maniak itu mengambil posisi tersebut. Tapi takutnya hanya sedikit pendeta dan kardinal yang punya hak suara yang akan mendukungku. Hampir semua dari mereka adalah bangsawan. Sang Permaisuri mendukung dia secara membabi buta dengan menekan para bangsawan.”
“Sebenarnya apa yang sedang kau bicarakan ini?”
Tania mengernyitkan alisnya. “Pertanyaan yang bagus. Ketidakhadiran tanpa alasan yang jelas akan membuatku kehilangan hak suara, jadi aku pergi untuk menjalankan sebuah misi resmi. Karena ini adalah misi resmi, mereka setidaknya akan menunggu hingga aku bergabung dengan mereka. Sementara itu, aku perlu mencari alasan untuk mendiskualfikasikan Racionel…. Oh.” Santa Tania mencari-cari ke dalam tasnya seakan teringat pada sesuatu, kemudian menyerakan segulung papirus yang diikat dengan benang emas kepada Killian dan Rietta. “Ini dia misi resminya, hanya supaya kalian tahu. Ini adalah undangan dari istana kekaisaran.”
Undangan? Rietta menutupi mulutnya dengan kaget. Killian pernah memberitahunya bahwa mereka tak bisa mengunjungi istana tanpa undangan.
Killian menatap Rietta dengan sorot gugup dan membuka gulungan papirus itu. Papirus yang berlapis daun emas itu memiliki segel kekaisaran, mengindikasikan bahwa ini adalah perintah kekaisaran.
Takdir telah membawa kita ke tempat ini, dan kami harus mengembalikan apa yang menjadi hutang kami kepada Anda.
Keluarga Kekaisaran dari Liefheim Dimfell mengundang putri dari Aeulatio dengan penuh rasa hormat.
Harap kunjungilah kami untuk menerima Mahkota Lamenta Anda.
Santa Tania menjatuhkan satu bom lagi. “Tak usah pedulikan ini. Ini perangkap.”