Like Wind on A Dry Branch - Chapter 195
Kardinal Racionel berjalan menyusuri koridor tanpa bersuara. Mantel bulunya yang berat menyapu lantai, yang di permukaannya kolom gading dan kelabu menerakan bayang-bayang dalam jarak yang sama.
Para pendeta, bocah pelayan altar, kesatria, pejabat, dan pelayan yang berlari ke arahnya menyesuaikan kecepatan mereka dan menyapa dari jarak sepantasnya dengan “Selamat pagi, Yang Mulia.”
Hampir semua orang yang dia temui di istana memiliki latar belakang bangsawan, termasuk para pendeta, pelayan, dan tukang kebun. Sang kardinal akan membalas salam-salam mereka dengan sikap yang sesuai untuk seorang bangsawan dan wakil Dewa, mengulas senyum pada wajah datarnya dan membungkuk secukupnya agar tampak sopan. Terkadang dia akan mengulurkan tangannya untuk memberi berkat atau penghormatan: “Semoga kehendak Dewa yang Agung besertamu.”
Orang-orang akan menerima salamnya dengan sikap hormat atau bungkukan. “Merupakan kehormatan bagi saya, Yang Mulia.”
Beberapa dari bangsawan yang membungkuk kepadanya itu berspekulasi di belakangnya bahwa pria itu, karena berhubungan dengan Permaisuri yang tidak stabil, tidak akan bertahan lama. Yang lainnya memandang rendah sang pendeta yang berasal entah dari mana dengan masa lalu dan latar belakang yang tidak jelas, menuduh dia berbohong. Akan tetapi, Racionel membuat orang terkesan dengan etiket kekaisaran yang mengagumkan dan tidak terburu-buru membalas orang-orang yang telah bersikap tidak hormat kepadanya bahkan setelah kekuasaannya bertambah.
Dengan cepat orang-orang menyadari bahwa sang Kardinal tidak seperti Permaisuri. Yang lebih penting lagi, Racionel telah bertahan dari sang Permaisuri yang terkenal buruk atas hubungan kerja yang penuh dengan kekerasan dan semena-mena. Dia berhasil terus naik, dari pendeta Tinggi menjadi Uskup Agung kemudian pemimpin Akademi Demonologi Kekaisaran lalu Kardinal.
Begitu dia mencapai peringkat kependetaan tertinggi di bawah paus, seorang perwakilan yang hampir setara dengan Dewa, tak ada seorang pun yang bisa memandang rendah dirinya. Kabar tentang penelitian demonologinya bersama Ferdian juga menyebar luas meski telah berupaya untuk menutup-nutupinya.
Pembelajaran Racionel berhubungan dengan subyek-subyek yang diincar oleh semua orang, terutama mereka yang memiliki lebih. Tak ada kekuasaan atau ketenaran ataupun uang yang bisa membebaskan orang dari kekuatan iblis dan kematian. Takut pada kekacauan yang disebabkan oleh wabah dan iblis, para bangsawan memilih untuk membangun koneksi dengannya ketimbang dengan Permaisuri berkat reputasinya sebagai sosok yang rendah hati dan masuk akal. Pandangan-pandangan teologisnya, yang mulanya dianggap bidah, kini diakui sebagai sesuatu yang unik ketika dia memperoleh kekuasaan dan mendemonstraksikan hasilnya. Kemudian semua itu pun berkembang sebagai mazhab yang umum.
Secara alami, para pengikutnya pun bertambah. Sesmua orang bersikap ramah di hadapan cendekia demonologi era baru yang menjanjikan, seorang pendeta tinggi sekaligus calon kuat untuk menjadi paus.
Kardinal Racionel terus berjalan. Ukiran emas pada batu kelabu bertuliskan, Akademi Demonologi Kekaisaran. Pintu terbuka tanpa suara, tanpa sedikit pun derit atau derak yang diharapkan dari sebuah pintu yang berat.
Para pendeta dan bangsawan menyapanya di belakang pintu, membungkuk penuh hormat ketika dia melangkah masuk. Para pelayan dan bocah pelayan altar berhenti dan membungkuk pada tiap langkah yang diambilnya. Para pendeta menghampiri untuk melayaninya lalu berdiri di belakang, dan barisan itu terus memanjang.
Setelah menyerahkan kitab suci, tongkatnya, dan mantel beratnya kepada para pendeta, sang Kardinal berhenti di depan laboratoriumnya.
“Selamat datang kembali, Yang Mulia,” seorang pendeta peneliti menyapanya.
Sang Kardinal tersenyum. “Terima kasih. Sampai di mana kita pada lingkaran sihir berkat besar pada jalur air?”
“Berjalan dengan mulus. Semestinya akan selesai sebelum musim semi tiba.”
Racionel mengangguk. “Apa kita sudah dapat kabar dari Count Caligo?” dia bertanya, menyimpang dari sikap mengawasi minimalnya yang biasa.
Si peneliti menundukkan kepala dengan raut minta maaf. “Sayangnya, kami belum menerima kabar apa-apa. Viscount Dimshell semestinya akan segera mengirimkan laporan rutinnya. Apakah Anda hendak memeriksanya dengan sihir?”
Sang Kardinal mengulas senyum ramah. “Tidak usah. Tak ada kabar berarti kabar baik.”
Para pendeta menatapnya dengan rasa hormat lebih besar lagi.
Count Caligo, hasil karya dari Kardinal Racionel, adalah manusia pertama yang telah berhasil mengendalikan kekuatan iblis. Sang Kardinal bangga dan bersikap protektif kepadanya, tetapi orang lain juga telah merasakan kekaguman sekaligus takut dan merendahkan pada manusia yang telah memperoleh kekuatan lewat percobaan-percobaan mengerikan. Bahkan meski para pendeta dan cendekia memandang tinggi kejeniusan dan pengorbanan Ferdian, yang telah membuat sang Kardinal menjadi dirinya yang sekarang, energinya yang tak terkendali dan perilakunya yang penuh muslihat sering menyebabkan kegeraman dan sikap permusuhan. Di sisi lain, sang Kardinal yang memiliki kekuatan suci amat besar hanya menerima lebih banyak kepercayaan dengan sikap anggunnya. Perasaan-perasaan negatif diarahkan kepada Ferdian sementara rasa hormat dan kagum terhadap pencipta dan pengendalinya melambung tinggi.
Para pendeta peneliti membuka pintu. Di tengah-tengah ruang percobaan berdiri mangkuk ritual yang penuh dengan air.
Sang Kardinal melambaikan tangannya pada para pendeta yang berusaha membantunya. “Hari ini aku ingin fokus. Bisa aku melakukannya sendiri?”
Para pendeta dan cendekia membungkuk dan melangkah mundur. Racionel berjalan memasuki ruangan yang gelap dengan mangkuk itu seorang diri, dan pintu pun menutup.
Mangkuk ritual biru gelap di dalam kegelapan adalah cermin yang menunjukkan apa yang dilihat oleh Abiditas sang iblis air. Benda itu juga memiliki fungsi lainnya.
Seulas senyum tampak di wajah Racionel. “Ferdian,” dia berbisik dan menghela napas. Ketika dia berjalan menghampiri mangkuk itu, cabang-cabang energi suci berpijaran meluas seperti sarang laba-laba. Air di dalam mangkuk beriak dengan energi suci. “Apa kau sudah belajar banyak tentang dunia?”
Sebuah gambaran dari padang salju putih muncul di permukaan air. Menarik napas dalam-dalam, Racionel menggulung lengan bajunya dan berbisik, “Aku mengharapkanmu untuk belajar dan tumbuh dari menjelajahi dunia, tetapi jika orang yang tidak stabil sepertimu mulai bermain-main dengan iblis api….” Dia mengulurkan kedua tangannya ke atas mangkuk. “Aku harus membantumu.”
Sang Kardinal menyeringai dan membentangkan tangannya. “Sekarang kau harus kembali.”
****
Sang naga air meraung dan menerjang ke arah para iblis api. Ferdian mengusir para iblis api dengan sihir air ketika sakit kepala yang menakutkan tiba-tiba menerpanya. Dia kehilangan kendali dan terhuyung,
“…!” Tiba-tiba dia merasa mual. Penglihatannya menjadi hitam, merah, kemudian biru.
Iblis air dengan mata biru bersinar berhenti mengoyak para iblis api. Naga itu menyebar gelisah menjadi aliran-aliran air dan jatuh ke atas padang salju. Para pendeta menyelesaikan serangan itu dengan rantai-rantai suci dan panah-panah yang diberkati.
“Count Caligo? Anda baik-baik saja?” seorang pemburu bertanya, merasakan adanya sesuatu yang tidak biasa.
Wajah kaku Ferdian telah memucat. Si pemburu berjongkok untuk membantunya. “Jangan terlalu memaksakan diri Anda,” dia berkata. “Kami bisa menangani sisanya.”
Suatu kekuatan yang tak mengenakkan – entah suci atau iblis – berdenyut dalam kepalanya.
Seketika itu juga kepingan-kepingan es mencuat keluar dari kulit Ferdian. Si iblis berbisik, “Dasar anak haram. Pecundang. Seberapa lama lagi kau akan membiarkan dirimu pasrah begitu saja karena terlahir di luar nikah?”
Krak! Duri-duri es mencuat di sepanjang tangannya dan menjulur melewati si pemburu, yang bergegas melangkah mundur. “Oh, tidak. Count Caligo butuh bantuan!”
Barulah kemudian dia terpikir bahwa sang pemburu telah memanggil namanya. ‘Count Caligo’ adalah namanya, di mana jiwanya berada. Dia tak mungkin bisa mengharapkan lebih banyak lagi. Dia mendengar suara samar si pemburu yang memanggil-manggil namanya.
“Kau menginginkan kekuatan.”
“Sekarang kau memilikinya.”
“Aku tahu kau menginginkannya.”
“Kau menginginkan tempatmu sendiri.”
“Kau menginginkannya, kan?”
****
Jade memiliki bakat musik yang luar biasa. Menurut desas-desus, ada seorang bangsawan lain yang mengunjungi Sevitas yang jatuh cinta pada pertunjukan Jade, mengikutinya ke biara, dan pada akhirnya pergi menemui kepala biara. Sejumlah orang telah memuji karya Jade sebelumnya.
“Benarkah itu adalah Tarian Arcadia? Sungguh tak bisa dipercaya. Aku mengenali melodinya, tapi terdengar seperti karya yang benar-benar berbeda.”
“Bagaimana dia bisa mengeluarkan emosi seperti itu hanya dengan satu biola?”
“Aku tak pernah melihat siapa pun memainkan Pieta seperti itu. Semua penafsiran lain jadi kedengaran seperti musik yang hambar.”
“Boleh aku mendengarkan lagu lain yang dimainkan anak itu?”
Bukan merupakan hal baru bahwa semua orang tertarik pada musik Jade, entah itu para pendeta maupun bangsawan. Insiden semacam itu cukup sering terjadi, dan hal itu tidak mengganggu Ferdian.
Sesudah tiap kebaktian, Jade akan menerima hadiah-hadiah mewah yang tak mungkin bisa didapatkan oleh seorang anak yatim piatu dari biara. Hal itu membuat Ferdian bangga.
Akan tetapi, kali ini, seorang yang istimewa menampakkan ketertarikan pada Jade.
“Siapa? Marchioness Lowan dari Runaha?” Ferdian terkejut mendengar nama itu, seseorang dengan kelas yang sepenuhnya berbeda dari orang-orang dangkal biasanya. Orang ini adalah seorang ahli sungguhan dengan pengaruh yang nyata. Sebenarnya, Marchioness Lowan adalah putri dari Kepala Akademi Seni Kekaisaran. Karena dirinya sendiri adalah seorang seniman terkenal, sang Marchioness memiliki selera seni yang cemerlang. Meski sebagai teman dia menyukai Jade dan tahu bahwa pertunjukan dan bakat Jade sungguh luar biasa, ini merupakan urusan tingkat tinggi bahkan bagi dirinya. Sang Marchioness adalah seorang seniman yang memiliki hubungan dengan pemimpin sekolah seni terbesar di benua ini. Bagaimana kalau sang Marchioness merasa kecewa? Jade tentu saja seorang pemain biola yang mengagumkan, tetapi bisakah dia menyesuaikan dengan semua pembesar itu?
Ternyata Jade mampu. Marchioness Lowan menampakkan ketertarikan untuk menyokong pelatihan formal Jade dan mensponsori adopsinya.
Kali ini bahkan Ferdian juga tak bisa menahan rasa girangnya. Sang Marchioness pasti telah dikelilingi oleh banyak seniman menakjubkan, dan Beliau bukan jenis orang dengan mudahnya mengusulkan sesuatu yang serius seperti adopsi. Bakat Jade memang luar biasa. Belakangan dia mengetahui bahwa sang Marchioness telah sampai berbuat tidak seperti biasanya dengan mengunjungi Sevitas karena Jade, setelah mendengar dari para bangsawan bahwa ada seorang anak berbakat di biara di sebuah wilayah pedesaan bernama Sevitas.
Sejumlah bangsawan telah menawarkan berbagai kesempatan pada Jade seperti bermain di pesta pernikahan atau acara-acara penting lainnya, seorang musisi pribadi di dalam kediaman mereka, guru pribadi untuk anak-anak mereka, ataupun kehidupan yang lebih nyaman. Namun tawaran ini belum pernah mereka dengar, membuat orang curiga kalau Jade mungkin saja telah menolak semua tawaran lainnya untuk mengantisipasi pertemuan dengan sang Marchioness.
Namun yang mengejutkan semua orang, Jade menolaknya.
Ferdian terperanjat, jadi dia pun mendatangi Jade. “Ini adalah kesempatan sekali seumur hidup! Kau harus mengambilnya!”
Jade tak tertarik. Dia sedang berbaring dan mengasah sepotong kayu, berkata, “Oh, benarkah? Apa Beliau seterkenal itu?”
“Apa Beliau seterkenal itu? Apakah Marchioness Lowan terkenal? Seriusan? Tentu saja Beliau terkenal!” Ferdian berteriak, terengah-engah. “Banyak sekali orang di Ibu kota yang tak pernah mendengar tentang Count Sevitas, tapi semua orang tahu tentang Keluarga Lowan! Mereka praktis adalah keluarga kerajaan dalam dunia seni! Kau yakin akan menolak kesempatan potensial untuk menjadi seorang bangsawan? Keluarga Sevitas akan menjadi bukan apa-apa bagimu.”
“Ssst.” Jade menempelkan ibu jarinya ke bibir seraya tersenyum malu. Dia melirik ke arah yang berjarak beberapa kaki darinya, di mana kesatria Ferdian dari kediaman Sevitas sedang berdiri.
Namun emosi telah mengalahkan sopan santun. “Peduli amat. Kenapa kau tak mau pergi? Kenapa kau ingin tinggal di desa pinggiran ini?!” Dia menceploskan isi hatinya yang sesungguhnya yang tak pernah dia ucapkan terang-terangan. “Dunia adalah tempat yang besar, Jade. Pergi dan jelajahilah. Sang Marchioness akan membantumu melakukannya. Kau mungkin tak tahu karena kau tak pernah meninggalkan kampung halamanmu, tapi Sevitas bukan tempat yang bagus untuk ditinggali.”
Jade meniup serpihan kayu dan tersenyum. “Aku tak tahu kalau kau ternyata begitu memikirkanku, Tuan Ferdian,” Jade berkata. “Aku terharu.”
“Kalau begitu pikirkanlah lagi.”
“Tentu.”
“Benarkah?”
“Ya. Aku baru saja memikirkannya, dan aku belum berubah pikiran. Maafkan aku.”
“Kenapa?!”
Jade tersenyum.
****
“Killian!” Rietta menjeblak pintu hingga terbuka dan berlari keluar.
Killian sedang mengurai tali dan membongkar kayu bakar. Dia tersenyum dan membentangkan lengannya lebar-lebar, membiarkan Rietta berlari ke arahnya. Rietta bisa menabraknya sekuat tenaga, dan wanita itu memang melakukannya. Dengan lembut Killian menariknya dalam pelukan, tersenyum, dan mengecup dahinya. Rietta tersenyum dan menguburkan hidung dalam dada Killian. Baju Killian berbau seperti kayu kering, angin, dan air.
Seberkas aroma bunga menerpa ujung hidung Rietta. Killian memasangkan sebuah mahkota bunga yang terbuat dari bunga-bunga musim dingin ke kepalanya. Barulah kemudian Rietta menyadari ada setumpuk bunga di atas kayu bakar.
“Kenapa ada bunga di tengah musim dingin?” Rietta bertanya.
“Aku membuatnya mekar karena salju akhirnya berhenti. Apa kau bisa membantuku memberkatinya?”
Tersenyum, Rietta meletakkan tangannya ke atas bahu Killian dan mencium dahi pria itu. Bibir Killian merekahkan senyum, menangkupkan kedua tangan ke wajah Rietta, dan menariknya lembut untuk dicium lagi.
Pada saat itulah seekor burung kecil mengepak terbang dari ranting pohon di atas kepala mereka. Salju pada ranting itu menjatuhi kepala mereka.
Pasangan itu berakhir dengan membawa tumpukan salju di atas kepala mereka. Tawa Rietta meledak ketika melihat Killian berlumuran salju. Killian mengerutkan hidungnya ketika tersenyum lalu mengguncangkan salju di atas kepalanya.
****
Ketika mereka kembali ke rumah, Killian menyeka rambut basah Rietta dengan handuk kering yang tergantung di pintu. Dia menggosok telinga Rietta dengan handuk itu, dan kemudian menarik Rietta untuk dikecup kembali. “Kau bisa kena flu. Kau harus ganti baju.”
“Kau yang harus ganti duluan. Kau basah kuyup. Aku akan siapkan pakaian kering.”
“Kau duluan, Rietta.” Killian tersenyum dan dengan lembut mendorong Rietta masuk.
Rietta berjalan masuk beberapa langkah lagi sebelum berputar, berjalan kembali ke arah Killian, dan menarik turun bahu pria itu. Dia memberi beberapa ciuman lagi pada bibir Killian sebelum berjalan pergi. Killian, tercengang, berakhir menutupi mulutnya dan terkekeh.
Rietta bergegas berganti pakaian dengan baju rumah yang kering dan mengambil pakaian yang nyaman untuk Killian yang ada di lantai bawah. Jaket pria itu menggantung di atas kursi. Dia mengambil jaket yang basah kuyup tersebut dan menyampirkannya ke lengan untuk dicuci.
Sesuatu di dalam kantong jaket itu menghasilkan suara ketukan pelan ketika mengenai sudut meja.
“…?” Rietta mengeluarkan benda itu dari kantong, dan menemukan sesuatu yang tak seharusnya dia lihat.
Terperangah dan terkejut, mata Rietta melebar, menarik napas tajam, dan menutupi mulutnya. Ini adalah sebuah kotak kecil dengan ukiran yang indah. Dia bisa menerka tanpa perlu membukanya, dari ukuran dan bentuknya, apa yang ada di dalam kotak itu.
Rietta terhuyung karena syok, lalu memasukkan kembali kotak itu ke dalam kantong.