Like Wind on A Dry Branch - Chapter 196
“Aku suka tinggal di sini,” Jade berkata. “Akan ada banyak orang di luaran sana yang lebih berbakat daripada aku. Alu tak menginginkan kehidupan mencekik yang penuh persaingan atas performa. Aku juga bukan jenis orang yang menikmati kehidupan bangsawan yang penuh kemegahan.”
Jade tak menginginkan kehidupan yang kompetitif dan mencekik – bukan sesuatu yang akan dikatakan oleh seorang anak yatim piatu dari biara. Ferdian juga tidak akan mendorongnya sekuat itu jika Jade berasal dari keluarga bangsawan, atau setidaknya dari keluarga kenamaan. “Memangnya kau mampu memilih gaya hidup?” selorohnya.
Jade menggelengkan kepala dan tersenyum seraya lanjut mengukir kayunya. “Aku ini bersikap realistis. Musik hanya hobi bagiku. Musik tidak bisa membayar biaya hidup seperti lukisan, dan sebagai musisi, kau harus bepergian. Aku tak mau kehidupan macam itu. Aku juga merasa aku tak cukup berbakat untuk mencari nafkah dengan itu.”
Ferdian mendapati perkataan Jade ini benar-benar tak masuk akal. Dia marah pada Jade karena menolak sebuah kesempatan langka. “Sang Marchioness akan menjadi sponsormu. Beliau bilang kau punya bakat!” dia berseru. “Kalau Beliau menawarkan sesuatu seperti ini, maka berarti kau cuma akan menyia-nyiakan bakatmu di sini.”
Jade mengangkat bahu. “Aku tidak menyia-nyiakan bakatku. Aku memanfaatkannya dengan baik.”
Kau memanfaatkannya? Bagaimana? Memperoleh uang receh dan sedikit perintilan dari para bangsawan? Jade memiliki bakat yang bisa mengubah hidupnya. Dia bisa menjadi sosok yang jauh lebih penting dibandingkan kepala biara yang menyiksa dirinya dan Rietta, dan bahkan dari Keluarga Sevitas yang Ferdian mati-matian berusaha menjadi bagian di dalamnya.
Ferdian berusaha membujuk Jade dalam waktu lama, mengulang-ulang orang macam apa Marchioness Lowan itu, seperti apa kehidupan sebagai bangsawan, tentang akademi, betapa besar arti dari tawaran itu, dan akan jadi betapa mubazirnya jika melepaskan kesempatan ini.
Dengan kikuk Jade menggaruk bagian belakang lehernya. “Aku mengerti kalau kau mengatakan ini padaku demi kebaikanku sendiri, tapi terserah padaku untuk memutuskan bagaimana aku memakai bakatku. Aku ingin musik tetap menjadi hobiku, dan aku tak mau meninggalkan kampung halamanku.”
Ferdian merasa frustrasi. Kalau kesempatan ini datang kepadanya, dia tidak akan melewatkannya. Dia nyaris merasa tidak enak karena Jade tidak mengakui pentingnya tawaran itu dan juga sang Marchioness. Ferdian tahu bahwa kesempatan sebesar itu sangatlah jarang dan langka, bahkan bagi orang-orang yang paling berbakat.
Jade tersenyum. “Aku cukup senang menjadi musisi yang bagus untukmu dan Rietta. Aku tak tertarik pada hal lainnya.” Dia memungut ukiran kayunya dan berdiri. Potongan-potongan kayu berjatuhan dari kausnya dan berserakan di tanah.
Jade tak berminat menerima tawaran sponsor itu ataupun menjelajahi dunia luas. Jade berniat membiarkan kesempatan paling penting dalam kehidupannya ini berlalu begitu saja.
Persis ketika dia sudah hampir menghardik Jade lagi, Ferdian terinngat sebuah nama yang disebutkan anak itu: Rietta. Kalau Jade meninggalkan biara, Rietta akan ditinggalkan seorang diri.
****
Musim dingin ini hawa dinginnya tidak biasa. Ferdian berhenti di belakang dinding ketika dia mendengar dua suara familier sedang berdebat.
“Kau harus mengambilnya.”
“Tapi ini adalah milikmu.”
“Ini terlalu kecil untukku.”
“Dan ini terlalu besar untukku.”
“Sarung tangan memang seharusnya lebih besar.”
“Kau selalu mengucapkan hal-hal bodoh seperti itu.”
Jade sedang berusaha memasangkan sarung tangannya pada tangan Rietta yang terkena sengatan angin dingin, dan Rietta menolak.
“Ini kan hadiah untukmu dari Marchioness Lowan,” Rietta berkata. “Kenapa aku -”
Tepat pada saat itulah Jade menggenggam tangan kecil Rietta dan memasangkan sarung tangan besar itu. Dia lalu menggenggam tangan Rietta yang lainnya dan berkata, “Ini adalah hadiah untuk biara. Beliau tidak memberikannya kepadaku secara khusus. Kau kan juga tinggal di sini. Semua orang sudah ambil satu kecuali kamu.”
“Benarkah?”
“Benar.”
Kedua sarung tangan itu pun berakhir di tangan Rietta.
Ketika para bangsawan mengunjungi biara, anak-anak lelaki yang cemerlang seperti Jade bisa memamerkan bakat mereka dan menerima berbagai hadiah atau tawaran sponsor. Ini bukanlah pilihan bagi anak-anak perempuan seperti Rietta, yang tugasnya adalah bersembunyi ketika para bangsawan datang. Meskipun dirinya memiliki bakat yang membuatnya pantas menerima sponsor, Rietta memiliki kemungkinan lebih besar dalam menghadapi siksaan ketimbang pengakuan. Anak-anak menemukan kenyataan keras ini pada usia muda, jadi anak-anak lelaki akan membantu anak-anak perempuan bersembunyi seperti yang telah diberitahukan oleh Ferdian.
Biara dan anak-anak yang tinggal di biara cenderung lebih beruntung. Rietta meraba sarung tangan yang lembut dan hangat di kedua tangannya itu. Anak-anak yatim piatu jarang memperoleh barang berkualitas tinggi seperti ini.
Rietta menatap Jade. “Kau yakin tidak akan menyesalinya?”
“Menyesali apa?” Jade balas bertanya.
“Tidak pergi bersama sang Marchioness.”
“Kau ingin aku pergi?” Jade bertanya setengah bercanda sebagai teman. Kata-katanya separuh tulus.
“Tentu saja tidak.” Rietta tersenyum sedih sebagai teman. “Aku cuma berharap kau melakukan apa yang kau inginkan. Aku juga berharap kau hidup dengan baik.”
Jade membisu. Hembusan angin dingin menerpa mereka, dan rambut Rietta menutupi wajahnya. Tatapan Jade tertuju pada Rietta. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong alih-alih menggenggam tangan Rietta.
Rietta ingin menjadi pendeta, dan ini telah menjadi impiannya selama bertahun-tahun. Begitu musim dingin yang panjang di biara berakhir, dan begitu mereka berpisah jalan, Rietta akan terbang pergi untuk menjelajahi dunia di bawah sayap-sayap ordo. Dan kemudian, Jade takkan bisa melihat Rietta seperti ini lagi.
Jade tersenyum. “Aku melakukan apa yang kuinginkan. Ada masalah apa sih dengan semua orang?”
Rietta menunduk memandangi jari kakinya. “Aku cemas kalau kau akan menyia-nyiakan bakatmu. Mereka bilang ini adalah kesempatan yang sangat besar.”
Jade tersenyum kecut seakan lelah pada kalimat semacam itu. “Aku tak mengerti kenapa semua orang beranggapan bahwa aku menyia-nyiakan bakatku. Aku kan memakainya sesuai dengan kemauanku.”
Rietta sepertinya tak memercayai kata-katanya. Jade menatap gadis itu selama beberapa saat sebelum meneruskan, “Kau tak selalu harus memamerkan bakatmu ke dunia. Menjelajahi dunia di luar sana kan adalah mimpimu, bukan mimpiku.”
Rietta menatap bisu pada Jade.
Jade tersenyum lembut dan memasangkan tudung seragam biara ke kepala Rietta. “Jangan beranggapan bahwa aku punya standar yang sama denganmu,” dia berkata. “Apa maksudmu harapanku untuk hal-hal kecil kalah penting dibandingkan sasaranmu yang ambisius? Hati-hatilah, hal itu bisa kedengaran seperti sikap tidak berperasaan.”
Pada saat itulah Ferdian, yang menguping dari sisi lain dinding, memahami semuanya. Jade bukannya tidak tahu apa yang telah dia lepaskan. Jade tidak menolak kesempatan untuk maju. Jade punya alasan lain untuk tetap tinggal.
Rietta merenung sebelum meminta maaf atas komentarnya. “Ini benar-benar adalah pilihanmu sendiri, kan?”
Jade tersenyum. Ferdian menyadari apa yang telah dipilih oleh anak itu, apa yang ada dalam hatinya, dan bagaimana perasaan Jade ketika menatap Rietta. Dia berdiri diam di belakang dinding. Tiba-tiba dia tercekat, merasakan perasaan membuncah ganjil seakan seseorang sedang memelintir jantungnya. Dengan gugup dia melangkah mundur, berbalik, dan berlari pergi.
Marchioness Lowan terpesona pada Jade. Beliau mengunjungi biara beberapa kali lagi, dan Jade menolak penuh hormat setiap kalinya. Bahkan hadiah-hadiah elegan yang membuat anak-anak gembira serta gambaran jelas tentang masa depan gagal meyakinkan Jade.
Ferdian bicara secara pribadi dengan Jade. “Mintalah Marchioness Lowan membawa Rietta bersamamu,” dia menyarankan. “Katakan kepada Beliau bahwa kau akan pergi jika Rietta ikut pergi. Sang Marchioness tidak akan menolak.”
Jade terdiam selama beberapa saat, malu bahwa seseorang telah mengetahui perasaannya. “Apa kau membaca pikiranku?” dia berkata, dengan kikuk menggaruk tengkuknya.
“Cuma orang bodoh yang tidak melihatnya,” Ferdian menjawab.
Jade terkekeh. “Apa barusan kau menyebut Rietta orang bodoh?”
“Jangan mengalihkan topik. Aku bisa mengatakannya kepada sang Marchioness kalau kau merasa tidak leluasa untuk melakukannya.”
“Aku sudah pernah memikirkan soal itu,” Jade menjawab setelah terdiam lama. “Tetapi kalau kami berdua sama-sama disponsori, Rietta akan merasa berhutang dan akan berakhir bekerja untuk sang Marchioness sebagai pemberi berkat. Memang tidak buruk jika bekerja untuk keluarga bangsawan… tapi kemudian kau tak bisa menjadi pendeta pengelana.”
Dia mendorong ayunan dengan kakinya dan tersenyum. “Kau tahu bahwa tujuan Rietta bukan menjadi seorang bangsawan ataupun menikahi seseorang untuk menjalani kehidupan yang nyaman. Dia ingin menjadi pendeta yang seperti Santa Tania.”
Ukiran kayu Jade telah berubah menjadi salib ankh, sebuah hadiah untuk Rietta.
“Aku yakin kau sudah tahu tentang itu,” dia menambahkan seraya terkekeh.
Ferdian menutup mulutnya. Dia tak bisa menghardik anak itu sebagai orang bodoh.
****
Ferdian mendapati kedua temannya berjalan menuju biara. Tampak sangat indah – bukan wajah Rietta, ataupun bakat Jade, melainkan cara meeka berdiri bersisian, cara mereka menjaga satu sama lain sambil meringkuk dalam hawa dingin. Dia selalu berpikir bahwa mereka begitu indah tanpa mengetahui sebab persisnya. Kini dia tahu.
Sosok keduanya perlahan menghilang di kejauhan. Ferdian tetap menempel di tempatnya.
Ferdian selalu memprioritaskan kesempatan untuk maju. Hasrat untuk memiliki tempatnya sendiri, merasa menjadi bagian dari sesuatu, dan memiliki sesuatu untuk disebut sebagai miliknya selalu datang lebih dulu.
Ini bukan karena dirinya adalah separuh bangsawan, atau anak haram; juga bukan karena dia tidak tinggal di biara, tidak melewatkan waktu sebanyak itu bersama mereka, atau telah menjauhkan dirinya sendiri dari anak-anak yatim piatu untuk tetap menjadi seorang anak bangsawan. Dia hanya belum pernah mencintai seseorang seperti Jade. Ferdian menyadari bahwa dirinya bukan bagian dari gambaran yang indah itu.
****
Ferdian tak bisa bersama dengan Rietta bahkan meski Jade sudah pergi. Dia mengetahuinya. Dia tahu.
****
Killian membawa naik makanan sederhana yang telah dibuatnya. Rietta sedang menjahit jaket basah Killian setelah mengeringkannya dengan handuk di pangkuannya. Rietta baru saja memotong benangnya lalu mengangkat jaket itu untuk diamati.
Langkah Killian terhenti, teringat pada apa yang telah dia tinggalkan di dalam kantongnya. Tak seharusnya Rietta melihat benda itu.
Pasangan itu saling bersitatap. Killian berjalan masuk dan meletakkan nampan di meja samping di sebelah Rietta, kemudian mengambil jaketnya. “Kau tak usah melakukan ini,” dia berkata. “Kita kan bisa minta pada pelayan di kastel.”
Rietta juga tahu soal itu. Dia hanya menjahitnya sendiri untuk alasan yang sama dengan Killian yang memasak sendiri makanannya. “Aku ingin melakukannya untukmu,” dia berkata seraya tersenyum, menata peralatan menjahitnya.
Apa dia tidak menemukannya? Killian membungkuk untuk mencium dahi Rietta. “Terima kasih,” dia berkata.
Rietta tersenyum.
****
Waktu berlalu seperti terbang setelah makan malam dan percakapan yang panjang, lalu sudah tiba waktunya untuk memadamkan lentera.
Killian merasa lega karena sepertinya Rietta belum menemukan cincin itu ketika yang bersangkutan memanggil namanya. “Killian.”
Killian mengangkat alisnya untuk mengisyaratkan kalau dia mendengarkan.
Rietta bersandar pada Killian dan mendongak. Bibirnya bergerak. “Barang di dalam jaketmu itu….”
Killian menegang.
Rietta menurunkan pandangan menuju bibir Killian, kemudian kembali menaikkannya dan tersenyum, “Apa kau berniat memberikannya kepadaku?”
Dengan tubuh kaku, Killian membenamkan dahinya ke lekuk leher Rietta dan mengerang. “Kau sudah melihatnya.”
Rietta tersenyum malu-malu seraya membelai punggung Killian. “Aku melihatnya. Untuk jaga-jaga.”
Killian menutupi matanya dan terkekeh. “Apa kau tahu apa yang ada di dalam kotak itu? Apa barusan kau memintanya?”
“Jadi bukan untukku?”
“Untukmu,” Killian berbisik, menurunkan tangannya untuk menatap ke dalam mata Rietta.
Rietta tersenyum dengan wajah merona dan memberi ciuman manis dan memabukkan pada Killian. Hati Killian bergetar dengan antisipasi gugup bercampur kegembiraan.
Killian tak bisa mempersiapkan dengan lebih menyeluruh lagi setelah lamaran yang gagal pada kali terakhir, membayangkan dan mengatur segala macam skenario ideal. Akan tetapi, dia merasa terlalu awal untuk melamar kembali karena adanya faktor-faktor lain yang berada di antara mereka. Saat itulah Rietta menemukan cincin tersebut.
Killian telah membawa-bawa cincin itu bersamanya sejak benda itu selesai tanpa berkomitmen untuk melamar Rietta. Masih ada banyak hal yang perlu dicemaskan. Sejak waktu itu Killian selalu ingin tahu, sampai seberapa jauh Rietta bersedia bersamanya.
Akan tetapi, mata Rietta malam ini memberinya keyakinan. Kau tanya, apakah ini bukan untukmu? Seluruh dirinya sudah menjadi milik Rietta.
“Aku akan membawanya kemari,” Killian berkata, menarik dirinya sendiri menjauh dari Rietta.
Rietta memeganginya. “Tidak. Jangan pergi. Katakan sekarang juga.”
Killian kelabakan. “Sekarang juga? Di sini? Kau ingin kau tanya sekarang juga?”
Rietta mengangguk. “Ya, sekarang juga. Aku ingin kau mengatakannya padaku.”
Killian akan melakukannya jika Rietta menyuruhnya, tapi memangnya tak masalah jika melamar dengan gaya sepayah ini? Masalahnya adalah bahwa Killian tak berminat menarik diri dari tangan yang menahannya.
Killian mendebat. Dia menautkan jemarinya di belakang punggung Rietta, menggigit bibirnya, dan menempelkan dahinya ke dahi Rietta. “Aku ingin membuatnya lebih istimewa.”
“Saat ini kau adalah pria paling istimewa di seluruh dunia,” Rietta berbisik, mengalungkan lengannya ke leher Killian.
Killian menutupi bibir yang sudah melengkung naik. Astaganaga. Kau membuatku gila.
Rietta mendongak menatap Killian dengan mata birunya yang jernih. Killian berjuang mati-matian untuk menyusun kata-katanya.
Ahem. Dia berdehem dan berkata, “Rietta Tristi.” Killian meragu ketika meneruskan, “Bersediakah kau….” Dia menjeda bukan untuk membangun ketegangan. Jantungnya berdebar kencang dan pikirannya serasa melayang, membuatnya tak bisa meneruskan.
“Bersediakah kau…,” Killian berkata lagi pada Rietta dengan raut wajah tersiksa.
Rietta mendekatkan jarak mereka. “Bersediakah aku…?” dia berbisik, menyemangati Killian untuk meneruskan.
Killian terdiam. Dia tak bisa menahan senyumannya ketika dia mengerutkan bibir dan menundukkan kepala. Bersediakah kau menikah denganku? Kalimat lengkap itu tidak berhasil keluar dari mulutnya, karena Rietta suda menarik kerah bajunya untuk berciuman.
Mulut Killian membuka, dan kehangatan mereka saling bertautan. Bibir manis nan lembut Rietta mencuri semua kemungkinan untuk menolak sentuhan.
Killian menarik Rietta mendekat, mencengkeram rambut wanita itu dengan jemarinya. Udara menghangat. Napas nan memikat, sentuhan menyengat dari wanita yang dicintainya, mata berkabut Riettta, bibir berkilauan, angin nan memukau, musim dingin – dan Rietta.
Killian menghembuskan napas tajam ketika dengan susah payah dia berhasil memisahkan bibirnya dari bibir Rietta dan membenamkannya pada tulang selangka Rietta. Aroma manis Rietta membuatnya mabuk. Kulitnya yang menyentuh Rietta terasa panas membara.
Bertahan di leher Rietta, Killian berbisik seakan hendak memohon, “Menikahkah denganku, Rietta. Aku akan membuatmu bahagia selama sisa hidupmu.”
“Ya, ya,” Rietta menjawab dengan anggukan dan mata berkaca-kaca.
Dia menangkupkan tangannya pada pipi Killian dan menarik pria itu mendekat. Bibir mereka kembali bertemu. Killian mencium Rietta di bibir, tulang hidung, kelopak mata, dan kembali ke bibirnya. Semua ini terasa lambat sekaligus tergesa.
Bintang-bintang berguguran dan membanjiri mereka. Sebuah dunia baru nan luas membuka di hadapan mereka, dengan janji untuk bersama selamanya. Satu momen lain, seperti tiap momen lainnya, melekat pada jiwa mereka – momen tak terlupakan yang akan tetap ada untuk seumur hidup mereka.