Like Wind on A Dry Branch - Chapter 194
Pakaian mereka menggelincir turun dan terjatuh ke bawah ranjang. Hawa panas membara menyebar di atas tubuh lembab mereka. Mata biru berkabut dan napas berat Rietta memerangkap Killian. Aku tak tahu apakah aku bisa menahan diriku dari meremukkanmu, Killian berpikir.
Tapi tak ada gunanya merasa cemas. Pasangan itu meremukkan satu sama lain sepanjang malam. Cinta, yang sebelumnya mereka kira berada di puncak tertinggi, terbukti lebih mendalam dan tak berujung. Mereka menghabiskan sepanjang malam bersama-sama, berbagi penampilan dan gerakan yang tak pernah dilihat sebelumnya.
Di bawah hati yang mereka kira sudah basah sepenuhnya terpapar samudera tak berujung nan menggetarkan. Setelah penantian panjang untuk merayakan cinta dan rasa sakit mereka, kemabukan yang sudah lama ditekan membuncah dan membanjiri satu sama lain. Ini adalah cinta – ya, ini adalah cinta. Namun mereka tak tahu harus bagaimana di hadapan rasa manis dan penderitaan.
*****
Permaisuri Aversati menampakkan punggungnya dan memasrahkan dirinya sendiri pada si wanita pendamping. “Aku merasa terluka,” dia berkata seraya tersenyum. “Aku ingin semua ini berjalan dengan baik, lebih dari apa pun, namun sang Kardinal sepertinya mengira kalau aku sengaja mengacaukannya.”
“Saya mengerti. Rencana mendalam apa yang Anda buat, Baginda Permaisuri?” si wanita pendamping bertanya seraya mengoleskan minyak wangi pada punggung dan bahu Permaisuri.
Tersenyum, sang Permaisuri memejamkan matanya. Rencananya adalah untuk menghapus ingatan sang duke agung, mengambil si wanita dan merusaknya sementara sang duke agung kehilangan minat pada wanita itu, kemudian memulihkan ingatannya. Dia pikir hal itu akan menjadi tontonan yang seru, tapi tak apa-apa. Sang Permaisuri sebentar lagi akan beralih dari urusan ini seperti yang selalu dilakukannya.
Sang Permaisuri menempelkan pipinya di atas kedua lengannya yang ditumpukkan. “Sekarang itu sudah tak menjadi masalah lagi. Kenapa kau tak memberitahuku tentang dunia luar?”
Tangan si wanita pendamping bergerak dengan cepat. “Dunia luar, Baginda Permaisuri? Cerita apa yang menarik minat Anda?”
Aversati membuka kedua matanya dengan sorot melamun. Dia menggosokkan ujung jemarinya pada minyak aroma yang menetes-nete dan menjatuhkannya ke atas lilin. “Aku penasaran siapa yang sudah dilupakan oleh wanita itu… kau bilang bukan sang duke agung?”
Minyak aroma yang menetes pada lilin mengeluarkan asap kelabu dan menguap dalam api.
“Bukan, Baginda. Mereka merahasiakannya, tetapi tampak jelas bahwa dia ingat pada Duke Agung Axias.”
Sang Permaisuri membungkukkan tubuhnya dan mendecakkan lidahnya dengan kecewa. “Baiklah…. Sungguh akhir yang tidak romantis. Sang duke agung pasti kecewa.”
Suara si wanita pendamping bergema di dalam kamar mandi. “Dia mungkin sudah menyelamatkan nyawa wanita itu dan memperlakukannya seperti keluarga istana, tetapi kau tak bisa mencintai seorang pria yang telah menculikmu demi kesenangannya sendiri. Terutama jika kita bicara tentang anak perempuan sang Putri Suci dan putra dari musuhnya.”
Cahaya lilin membara penuh kedamaian setelah membakar habis minyak aroma dengan asapnya.
“Kalian para gadis pasti juga punya pendapat kalian sendiri,” ujar sang Permaisuri. “Apa para dayang tak pernah menebak siapa yang mungkin sudah dia lupakan?”
“Mungkin mendiang suaminya,” si wanita pendamping meneruskan dengan amat hati-hati, memijit punggung Permaisuri. “Itu adalah tebakan terbanyak.”
Aversati tetap diam. “Membosankan,” gumamnya.
****
Suami Aversati yang sebelumnya, ayah dari Wiliam, adalah seorang bangsawan dari benua barat. Pria yang penuh kekuasaan itu telah mengalami kesulitan dengan kecanduan obat-obatan dan sering memakai kekerasan kepada orang-orang, termasuk wanita dan anak-anak. Pada akhirnya Aversati menceraikannya setelah bertengkar hebat lalu menawarkan dirinya sendiri kepada Kaisar Astenfeld, musuh dalam perang perebutan wilayah. Sebagai gantinya, Aversati meminta Kaisar untuk melindungi dirinya dan putranya dari bahaya.
Astendeld menerima tawaran itu, karena Beliau membutuhkan wanita yang takkan membahayakan Ariadne yang tengah terbaring sakit di ranjang, seseorang yang bisa membantu istrinya itu.
Hal ini terjadi lebih dari dua puluh tahun yang lalu.
Pada akhirnya Ariadne meninggal setelah berjuang melawan penyakit yang telah dideritanya selama sepuluh tahun sesudah melahirkan Killian. Astenfeld, yang kini menjadi duda, menyatukan kekaisaran untuk menjadi seorang Kaisar.
Tiga tahun telah berlalu sejak Astenfeld memerintahkan agar mengangkat jenazah permaisuri dalam insiden yang disebut sebagai ‘Permaisuri Kekaisaran’. Para tuan putri dan nona bangsawan, dibuat kecewa oleh Kaisar yang menyatakan bahwa takkan ada permaisuri lainnya, berkutat dalam persaingan picik ketika seorang Permaisuri baru naik tahta – seseorang yang tidak membutuhkan gelar itu. Orang itu adalah Aversati, seorang janda cerai yang tinggal di istana lain bersama anak dari mantan suaminya.
“Maafkan saya, Yang Mulia Pangeran. Saya dengar William lagi-lagi bersikap tidak hormat kepada Anda.”
Dengan kikuk anak laki-laki itu menegakkan duduknya di atas rerumputan. Dia mengembalikan pedang yang terlempar di tanah ke dalam sarungnya, menyugar rambutnya beberapa kali, kemudian menggelengkan kepala untuk merapikan rambutnya. “Tak apa-apa, Baginda Permaisuri. Saya tak keberatan, jadi saya harap Anda juga tak perlu mencemaskannya.”
Putra kandung Aversati lagi-lagi telah mengomeli sang ibu karena tidak menjadikan dirinya sebagai putra mahkota, karena membuatnya tinggal di sini padahal sama sekali tak punya hubungan darah dengan sang Kaisar.
Aversati menatap Killian, yang tak pernah marah pada perilaku lancang Wiliam namun selalu menyapa mereka dengan sopan. “Saya tahu kalau putra saya harus banyak belajar,” dia berkata.
Killian hanya akan menjawab dengan seulas senyum sopan. Dia tahu bahwa jika dia berusaha membuat Aversati merasa lebih baik, hal itu hanya akan menaburkan garam pada luka.
Memahami sikap pengertian diam-diam dari Killian, sang Permaisuri mengulas senyum pahit. “Ini adalah salah saya. Saya adalah ibunya. Saya harap Anda mengerti.”
Mereka pernah melakukan percakapan dangkal semacam itu sebelum hubungan mereka berubah masam. Bahkan pada mulanya, Aversati dan Killian memiliki hubungan yang cukup baik.
Menerima Killian pasti merupakan sebuah tantangan tersendiri. Bahkan meski sang Permaisuri sudah meninggal sejak bertahun-tahun yang lalu, sang pangeran dipuji dan dianggap sebagai penerus pertama atas tahta, mengerdilkan putranya dalam berbagai segi. Killian adalah anak semata wayang dari Permaisuri Ariadne, wanita yang tak bisa lebih dicintai lagi oleh sang Kaisar. Meski posisinya rumit, Aversati telah berusaha sebaik mungkin untuk mengurus Killian seperti anaknya sendiri. Walaupun tidak dengan cara yang dia harapkan, Killian juga tahu sekeras apa Aversati berusaha.
“Yang Mulia, saya tahu bahwa saya takkan pernah bisa menggantikan ibu Anda tak peduli sekeras apa pun saya berusaha.”
“Saya cukup senang karena Andalah istri ayahanda saya, Baginda Permaisuri. Anda tak usah menggantikan peranan ibunda saya.” Sang Putra mahkota, kini hampir menjadi pria muda, menolak tanpa kedengaran terlalu kasar.
Sang Permaisuri berdiri diam dan menggumam, “Di benua barat, tempat saya berasal, kami memercayai bahwa anak-anak yang belum menginjak usia dewasa harus memiliki ibu.”
Killian menatapnya, dan Aversati menunduk tersipu. “Hal itu jelas tidak selalu benar. Cukup lihatlah diri Anda dan putra-putra saya. Sudah saatnya saya menerima bahwa Anda tidak membutuhkan saya, tapi….” Aversati memejamkan matanya dengan raut lelah ketika memikirkan tentang Wiliam. “Saya terus mengganggu Anda. Mungkin kebiasaan lama memang sulit untuk dihilangkan. Saya harus mengurus putra-putra saya sendiri dengan lebih baik. Maafkan saya, Yang Mulia.”
Killian telah berkata bahwa Aversati tak perlu menjadi ibunya, namun ayah Killian memperlakukan Wiliam sebagai anak angkat. Mungkin memang inilah hal yang benar untuk dilakukan. “Tolong. Panggil saya Killian, Baginda Permaisuri.”
Sang Permaisuri tersenyum pada sarannya itu, walaupun tak pernah menemukan keberanian untuk memanggil Killian dengan nama itu.
Sebagai putra dari suami terdahulu sang Permaisuri, Wiliam tidak berhak atas tahta. Sang Kaisar memperlakukannya selayaknya anak angkat karena menghormati Permaisuri, dan pangeran-pangeran lain menganggapnya sebagai kakak tiri, namun tak ada seorang pun yang berani memanggilnya dengan sebutan ‘pangeran’. Dia selalu duduk di kursi terendah di meja.
Meski Aversati sudah berupaya sekuat tenaga, lingkungannya selalu menonjolkan apa yang tidak Wiliam miliki. Beberapa berkata bahwa Wiliam telah tumbuh dengan sikap pahit karena gagal menerima tempatnya sementara yang lain beranggapan kalau dia telah menuruni sifat dari ayah kandungnya yang jahat. Semakin lama sifat Wiliam jadi semakin bermasalah.
Wiliam iri dan dengki pada saudara-saudaranya, yang kesemuanya merupakan anak-anak kandung dari sang Kaisar. Perasaan rendah dirinya terhadap Killian, saudara tirinya yang sebaya, sangatlah kuat, dan dia melampiaskan amarahnya dengan menindas adik Killian yang tak terlalu pintar, Salerion.
Salerion, yang memiliki sifat lembut dan penakut, juga ikut hancur. Dia menutup diri dari kedua orangtuanya dan semakin tersesat sejak Hildelaine, adik perempuan dan satu-satunya teman dekatnya, meninggal karena wabah pada usia enam tahun. Dia menyalahkan kematian adiknya pada kutukan Lamenta yang terkenal yang telah menimpa sang Kaisar.
Dan Wiliam adalah Wiliam. Semuanya jadi semakin memburuk ketika Salerion mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama Wiliam. Si putra angkat telah jadi semakin tak terkendali, memaksa sang Permaisuri merendahkan diri di hadapan Dewan Bangsawan, Kaisar, dan Killian.
Sang Kaisar, masih berduka karena kematian Ariadne dan berjuang melawan pengaruh iblis mimpi, gagal mengurus istana dengan benar. Meski demikian, Beliau menepati janji kepada Permaisuri untuk menjaga keselamatan Wiliam.
Mereka menghasilkan keseimbangan yang membahayakan. Akan tetapi, Kaisar yang setengah sadar sekarat di ranjangnya, dan sang Permaisuri membuat dirinya sendiri kelelahan karena perjuangannya dengan Wiliam.
Kedamaian, yang dipertahankan secara tidak mengenakkan dengan saling berupaya menoleransi sikap satu sama lain, mulai retak seiring dengan berlalunya waktu. Ketegangan memuncak untuk menguji batasan dari semua orang. Mungkin iblis mimpi telah merasuki orang-orang dari sudut-sudut tersembunyi di dalam istana – atau mungkin inilah kutukannya.
“Bagaimana Ibu bahkan bisa menyebut diri Ibu sebagai Permaisuri?!” William berteriak. “Ibu bahkan tidak bisa bicara sepatah kata pun pada pria yang telah memajang mayat istrinya yang sudah mati selama enam tahun -”
Sang Permaisuri menampar wajah putranya karena mengucapkan kata-kata yang tak bisa diterima yang mengejutkan semua orang itu.
Aversati tak pernah memberitahu siapa pun tentang semua kesulitan yang harus dihadapinya gara-gara putra bermasalah itu. Dia akan mencengkeram Wiliam dan memohon, berteriak, dan berceramah bahwa semua ini adalah demi kebaikan Wiliam, hingga dia tak sanggup lagi melakukannya. Mungkin kali ini, perlahan dia sudah kehilangan kewarasannya.
Killian selalu menyandang pedangnya di pinggang, tapi tak pernah mencabutnya. Mungkin ini adalah ingatan-ingatan lama yang berbelitan dalam hatinya bagai ranting-ranting berduri. Dia sudah menunggu selama bertahun-tahun hingga akhirnya dia mencabut pedang itu.
“Tunjukkan tangan Anda, Yang Mulia. Saya tahu Anda terluka.”
“Tak apa-apa.”
“Yang Mulia,” sang Permaisuri memanggil Killian dengan suara tegas, mata tegangnya bergetar.
Killian tak bisa lagi bersikeras. Dengan enggan dia menunjukkan tanganya yang terluka pada Aversati. Sedikit darah menodai telapak tangannya.
Sang Permaisuri mengambil serbet dan membungkuskannya pada tangan Killian, kemudian mengerutkan bibirnya. “Kita harus panggil pendeta – ”
“Tolong jangan. Saya baik-baik saja.”
Killian memutuskan bahwa lebih baik tidak memberitahu Aversati kenapa dirinya terluka. Meski dia tidak ingat apa penyebab persisnya, dia ingat merasa bahwa sang Permaisuri tak punya alasan untuk minta maaf. Kemungkinan kejadian ini lebih condong pada kecelakaan daripada kesengajaan. Bisa saja Wiliam, karena dia tak mau memperbesar masalah.
“Aku cuma tak suka Gilius merecokiku,” Killian menambahkan singkat, tidak nyaman dengan kecurigaan jelas sang Permaisuri bahwa dia sedang berusaha menutupi perbuatan seseorang. Pada kenyataannya, dia hanya merasa kalau tidak perlu melakukan segala macam diagnosa dan pemeriksaan muluk hanya karena urusan sepele.
Sang Permaisuri, yang selama ini bersikap diam, menundukkan kepalanya. Anak laki-laki berumur enam belas tahun yang telah tumbuh lebih tinggi dari guru beladirinya itu tak bisa melihat matanya, namun Killian memang sudah melihat adanya tetesan air yang terjatuh ke lantai. Aversati telah berusaha menahannya, dan Killian melihatnya menutupi air mata itu dengan kakinya.
Killian merindukan ibundanya. Sebelum hubungan mereka hancur, Aversati sudah terbiasa meminta maaf dengan sepenuh hati kepada Killian sambil bersikap ramah. Kenangan-kenangan itu telah berakar di sudut hatinya.
Mereka semua adalah air di bawah jembatan.
Killian menyerahkan kepada Permasuri yang tak tahu apa-apa kepala putranya. Dia tak menjelaskan apa-apa, toh penjelasan takkan ada gunanya. Saat itulah sang Permaisuri berubah menjadi orang yang sepenuhnya berbeda dari sepuluh tahun yang lalu.
****
“Apa kau sudah berubah pikiran tentang menuntut sang Permaisuri atas perilaku tiraninya?”
****
Seberkas cahaya putih matahari menyinari ranjang. Debu yang melayang-layang di udara berkilauan gemerlap di tengah cahaya yang menusuk dari jendela.
Rambut Rietta menyebar di atas seprai ranjang putih yang sejuk. Dia tertidur nyenyak, sesekali terengah seakan kelelahan. Matanya terpejam penuh kedamaian, dan genggaman longgarnya bertautan dengan jemari Killian.
Killian mengamatinya, memberikan kecupan pada kelopak matanya, dan memeluknya dalam dekapan supaya Rietta tak merasa kedinginan.
Angin berhembus menerpa jendela, dan perapian menyala-nyala. Sebuah momen baru meninggalkan jejak dalam jiwanya untuk selamanya.
Menatap cinta dalam hidupnya tertidur dalam pelukannya, untuk pertama kalinya dalam kurun tiga belas tahun Killian memutuskan untuk menghentikan sang Permaisuri.