Like Wind on A Dry Branch - Chapter 193
Kayu bakar berderak-derak. Rietta telah tertidur lebih lama daripada biasanya, kemungkinan akibat efek samping dari serangan iblis mimpi. Sesekali dia akan tertidur di tengah hari dan terbangun dalam kondisi setengah sadar seakan dia baru saja bermimpi.
Killian membaringkan Rietta ke ranjang setelah wanita itu tertidur dalam pelukannya, kemudian dengan lembut merapikan rambut Rietta yang menyebar ke atas hidung dan bibirnya.
Angin membuat jendela berderak. Langit jernih berhiaskan kilau matahari terbenam jingga kemerahan ketika badai salju Axias mereda. Mata Rietta yang terpejam, napasnya yang teratur, gerakan ringan pada pipinya yang merona terasa damai. Di sana, Killian merenungkan apa yang bisa dia lakukan untuk Rietta.
****
Kardinal Racionel menggantikan alisnya yang berkerut dengan senyum terkesima. “Sihir itu mengenainya. Rietta.”
Sang Permaisuri tak mau repot-repot untuk menatapnya ketika wanita itu menyandarkan siku ke sofa dan menjentikkan kukunya. “Aku sudah dengar soal itu. Maafkan aku, Kardinal,” ujarnya acuh tak acuh.
“Maafkan saya karena iblis tak berguna itu telah mengacaukan rencana Anda,” sang Kardinal berkata beberapa detik kemudian. “Anda telah mengerahkan banyak pemikiran ke dalamnya.”
Aversati meniup kuku-kuku jarinya dan tersenyum, “Anda kecewa?” dia bertanya, hanya menggerakkan matanya ke samping untuk menatap sang Kardinal.
“Benar,” sang Kardinal berkata dengan nada kering. “Keramahtamahan Anda sudah menjadi mubazir.”
Setelah kesunyian singkat, sang Permaisuri tersenyum seraya menatap kuku jarinya. “Saya selalu bisa membantu Anda lagi. Apa Anda bersedia mempersiapkan sihir yang sama sekali lagi?”
Sang Kardinal mengangkat alisnya pada wanita itu. “Itu akan sulit. Membutuhkan jumlah waktu dan tumbal yang tidak sedikit untuk membuat sihir setingkat itu.”
Sang Permaisuri menekankan pipinya pada kuku-kukunya yang berkilau dan tersenyum. “Banyak tumbal, Anda berkata.”
“Dan mereka juga akan mulai mempersiapkannya,” sang Kardinal menambakan seraya tersenyum.
Sang Permaisuri membalas dengan seringaian seakan menyatakan bahwa hal itu tidak menjadi masalah.
Sang Kardinal menyingkirkan senyumnya dan mengubah subyek. “Dia pasti telah kehilangan ingatan dari orang yang dicintainya. Saya penasaran siapa yang telah dia lupakan.”
“Aku juga,” sang Permaisuri berkata, menutupi mulutnya dengan kipas. Matanya melengkung membentuk senyuman. “Mungkinkah sang duke agung?”
Sang Kardinal menertawakan komentar itu. “Seorang anak perempuan Aeulatio dan putra dari Kaisar? Saya tak tahu tentang itu, Baginda Permaisuri.”
Sang Permaisuri tersenyum, menyusurkan ibu jarinya pada kuku-kuku jarinya.
****
Pintu berderit terbuka, dan Killian berjalan masuk. “Di mana Mordes?” dia bertanya begitu melihat sang Santa.
“Kau bertanya tentang sesosok iblis kepada kepada seorang Santa seperti sudah menjadi kebiasaan,” Tania berkata bersungut-sungut. “Mordes tak ada di sini.”
“Dia tak di sini?”
Sang Santa tercengang melihat tanggapan polos Killian. “Tentu saja tidak,” Beliau menjawab, mengernyitkan alisnya. “Para pemeriksa ada di mana-mana. Kau akan cari masalah kalau memanggil iblis. Sudah cukup berisiko saat memanggil dia sebentar saja untuk mencari tahu sihir apa yang telah mengenai Rietta.”
Killian membeku, dan sang Santa melambaikan tangannya. “Juga, aku tidak sekompeten seseorang yang bisa memiliki iblis yang bisa dipanggil setiap saat. Pemanggilan itu menghabiskan terlalu banyak kekuatan suci.”
Begitu ya. Sial. Barulah kemudian Killian menyadari kalau dirinya telah menganggap situasi yang tidak biasa sebagai suatu kewajaran. Dia mengusap wajahnya dan berkata, “Terima kasih karena telah memanggil Mordes untuk memeriksa. Pikiranku terlalu kacau untuk menyapa. Aku pasti akan memberimu kompensasi dengan cara yang paling kau sukai.” Maksudnya adalah dia akan membayar sang Santa dengan uang.
Wajah sang Santa berbinar. “Kau luar biasa sopan seperti biasanya,” Santa Tania berkata. “Aku tak mengharapkan balasan apa-apa ketika aku memanggil Mordes, tapi aku takkan menolak kalau kau bersikeras.”
Killian menghela napas dan memijit dahinya. Dia menaikkan pandangannya dari lantai untuk menatap sang Santa. “Juga….”
“Silakan duduk.” Sang Santa menunjuk sebuah kursi di belakang meja karena dia tahu apa yang akan Killian tanyakan. “Aku menunggu kedatanganmu, jadi aku sudah membaca daftarnya sebelum menyuruh Mordes pergi.”
Killian berjalan menuju kursi itu dan menariknya. Alih-alih mendudukinya, dia berhenti memegangi sandaran punggung kursi tersebut.
Berdiri di sana, dia membuka mulutnya. “Kau pernah bilang padaku agar tidak dekat-dekat dengannya karena kami memiliki takdir buruk.” Ditatapnya ke dalam mata sang Santa. “Kurasa kau mengatakannya demi Rietta.”
Tania menatap bisu pada Killian. Menganggap kebisuan itu sebagai pengiyaan, Killian menunduk menatap tangannya yang ada di atas kursi. Apakah sang Santa sudah tahu kalau dia akan menyukai Rietta ketika dulu berkata demikian? Karena Rietta akan harus menderita seorang diri, terperangkap dalam dunia yang telah dengan susah payah ditinggalinya, jika pemilik tanahnya menginginkan dirinya?
Sang Santa pasti telah memprediksikan bahwa putra sang Kaisar akan memasuki kehidupan dari anak perempuan Putri Beatrice, yang baru saja menemukan ruang untuk bernapas setelah menjalani hidup yang sarat dengan penderitaan.
Semua yang Killian inginkan adalah menjaga Rietta, melindunginya, dan mencintainya, namun dia sendiri malah berakhir menyebabkan penderitaan Rietta. Rietta harus membuat banyak pilihan menyakitkan dan pengorbanan untuk mencintai dirinya, dan kini, wanita itu telah kehilangan hal yang paling penting.
“Kau pernah memperingatkanku sebelum semua ini dimulai,” Killian berkata dengan suara lirih. “Walaupun aku tak menganggapnya serius.”
“.…”
Killian kembali menghadap ke arah Tania. “Biarkan aku bertanya padamu. Apa kau pernah berubah pikiran sedikit pun?”
Santa Tania menatap ke dalam mata Killian. Beliau teringat sebuah pertanyaan yang pernah Beliau tanyakan kepada iblisnya.
“Apa yang kau inginkan?” Mordes pernah berkata. “Seperti yang sudah kau tahu, aku tidak serba tahu dan mahakuat. Aku hanya bisa memberitahumu apa yang disembunyikan oleh orang yang ada di depanmu.”
Dengan kekuatannya untuk mengungkap rahasia, iblis mimpi miliknya akan sudah menemukannya jika waktu itu Killian menyembunyikan perasaannya.
“Akankah putra sang Kaisar pendiri jatuh cinta kepada anak perempuan dari sang Putri Suci?”
Mordes si Iblis menjawab, “Dia sudah jatuh cinta.”
Perlahan Santa Tania memejamkan matanya lalu membukanya kembali. “Jelas-jelas ada takdir buruk di antara kalian, dan takdir itu belum sepenuhnya terpecahkan,” sang Santa berkata tenang. “Kupikir akan sulit untuk melaluinya. Tapi….” Beliau terdiam dan menatap ke dalam mata merah itu. “Yang namanya hubungan adalah sesuatu yang Anda buat sendiri.”
Killian menatap sang Santa tanpa bersuara, perlahan mengerjap. Dia mengeratkan genggamannya pada sandaran punggung kursi sebelum kemudian mendudukinya.
Sang Santa tersenyum. Raut di wajah sang duke agung – selama beberapa bulan terakhir ini pria itu telah berubah lebih banyak daripada apa yang Beliau telah amati selama sepuluh tahun terakhir.
Berdiri di samping kursi itu, sang Santa bertanya, “Apa Anda akan menerima ramalanku jika aku masih menentang hubungan kalian?”
“Tidak.”
Santa Tania terkekeh pada jawaban singkat yang tanpa keraguan setitik pun itu. “Lantas, kenapa Anda bertanya?”
“Aku berniat memintamu mengubah pikiranmu dan membantuku.”
“Kukira Anda tak menganggapku serius,” Tania berkata dengan senyum masih tersungging di wajahnya.
Kesunyian singkat mengikuti. “Rietta telah berada dalam penderitaan yang terlalu besar untuk kulindungi sendiri,” Killian berkata, menatap Santa Tania dengan tatapan mendalam. “Aku akan mendengarkan Anda kalau Anda memberiku saran.”
Sang Santa mengulas senyum samar ke arahnya. Beliau membaca komitmen Killian dari perubahan kecil pada raut wajah pria itu. Beliau pun mulai mengaktifkan energi sucinya.
“Para pemilik kekuatan suci bisa melihat baik masa lalu ataupun masa depan lewat penglihatan masa depan atau pengungkapan,” Santa Tania menjelaskan. “Penglihatan-penglihatan itu tidak selalu menunjukkan kejadian sebenarnya apa adanya. Tak satu pun dari penglihatan itu yang tetap sepenuhnya. Mereka tidak selalu menjadi nyata atau tetap sama.”
Tatapan Santa Tania mendarat pada cahaya yang melayang-layang di depannya. “Tidak semua orang yang percaya pada Dewa meyakini dan mengikuti penglihatan masa depan. Terserah pada orangnya sendiri untuk memutuskan apakah menerimanya sebagai takdir, memakainya sebagai pembimbing, atua menolaknya dan berusaha untuk mengubahnya.”
Killian menatap Santa Tania untuk mendengarkan. Mata biru Santa Tania beralih dari cahaya itu ke mata merah Killian. “Anda tak percaya pada dewa atau kutukan atau takdir yang sudah ditetapkan, Yang Mulia. Anda tak membutuhkan saran dari pemilik kekuatan suci.” Energi suci Tania berkibaran seperti tirai dan mengalir seperti suatu melodi tak terlihat sebelum menyatu menjadi satu aliran. “Akan tetapi, jika perubahan pikiranku bisa memberi semangat padamu dan Rietta, aku bisa memberimu kata-kata berkat.”
Energi suci di sekeliling Tania berkelip-kelip seperti galaksi yang memenuhi angkasa. Santa Tania menatap Killian dari balik cahaya-cahaya itu. “Anda mengubah sebuah hubungan yang terkutuk menjadi hubungan yang penuh berkat,” Beliau menyatakan sepenuh hati, menghapus senyum dari wajahnya. “Aku, Tania sang peziarah, berdiri bersama penguasa utara dan pemberi berkat dari Axias.”
****
Malam semakin larut. Rietta berdiri di depan jendela sambil menyesap teh dan mendongak menatap angkasa.
Killian berjalan menghampirinya dan memeluknya dari belakang. Rietta bersandar kepadanya. “Akhirnya salju berhenti,” dia berkata. “Aku bisa melihat bintang-bintang.”
Killian membenamkan rahangnya ke pipi dan bahu Rietta lalu mengangkat matanya untuk menemukan bintang-bintang yang sedang Rietta kagumi. Rietta berbalik untuk menghadap ke arahnya, dan Killian semakin mendekatkan dirinya seperti magnet dan mencuri sebuah ciuman. Kecupan ringan yang basah.
Rietta terkikik pelan, menatap bibir Killian. Dia menaikkan pandangannya untuk menatap ke dalam mata Killian. “Kau punya mata yang indah,” dia berkata.
“Aku punya mata yang indah?” Killian mengulang apa yang Rietta katakan.
Rietta tersenyum. “Ya. Mata itu sangat jernih.” Dia menaikkan ujung jemarinya untuk mengetuk bagian bawah mata Killian. “Aku merasa seakan bisa melihat darah mengalir di dalam dirimu.”
Killian menatapnya sebelum kemudian tersenyum. “Belum pernah ada orang yang memberiku pujian seperti itu.”
Rietta menurunkan tangannya dan tersenyum. “Sungguh?”
Wajah Killian terpantul dalam mata biru muda Rietta. Cahaya bulan menyoroti rambut pirang platina Rietta ketika wanita itu berdiri di bawah langit malam bertabur bintang.
“Kau sangat rupawan.” Rietta meletakkan kedua tangannya ke atas lengan Killian. “Kubayangkan ada banyak orang yang telah memberimu pujian seperti ini.”
Sebuah kekehan kecil mengikuti. Satu jari yang lembut membelai lengan telanjang Killian yang tersingkap oleh lengan baju yang digulung.
“Taruhan ada banyak orang yang bilang begitu padamu.”
Pasangan itu berdiri cukup dekat satu sama lain untuk bisa melihat bulu mata satu sama lain. Rambut mereka menggelitik lembut dahi masing-masing di tengah udara dingin, dan bibir mereka, sedikit terbuka, membelai lembut satu sama lain.
Rietta menaikkan tangannya ke atas bahu Killian dan memejamkan matanya. Suatu aliran menggetarkan melintas di antara bibir mereka.
Killian menarik Rietta mendekat dan memejamkan matanya, merasakan hembusan angin dingin, rambut yang dikecup rembulan di antara jemarinya, orang yang dia cintai. Rietta menggelayuti lehernya, menariknya lebih dekat.
Setelah ciuman panjang, dengan lembut Killian menjauhkan diri dan menghembuskan napas dengan penuh kewaspadaan. Matanya bergetar dan melengkung membentuk seulas senyum gelisah. Rietta cukup cantik untuk membuatnya lupa bernapas.
Menggigit bibirnya, Killian menekankan dahinya pada dahi Rietta dan tersenyum. “Kau… kau harus lari sekarang.”
Bibir Rietta sedikit melengkung naik membentuk seulas senyum yang mampu membuat jantung berhenti berdetak. Kemudian dia menelusurkan tangannya pada kerah baju Killian dan menariknya kembali untuk berciuman lagi. Sensasi manis nan menggelenyar melanda tubuh Killian. Memejamkan matanya, dia balas memeluk Rietta dan menarik wanita itu lebih dekat ke arahnya
Napas yang berat terlolos setiap kali mereka menjauh untuk menyesuaikan posisi. Mereka menenggelamkan diri dalam momen lembut, penuh hasrat, dan seakan tak berkesudahan itu.
Killian menyanggakan satu tangan pada bingkai jendela yang dingin di belakang Rietta dalam upaya untuk mengerahkan segenap kendali diri dalam dirinya. Semua hal selain Rietta seakan menjadi kabur ketika dia mengeratkan tangannya yang berpegangan pada permukaan yang dingin.
Rietta mengeluarkan hembusan napas tajam dalam sepersekian detik ketika bibir mereka berpisah dan mendongak menatap Killian, matanya bergetar. Matanya yang seakan berembun bergerak turun menuju bibir Killian, dan dia menarik pria itu semakin dekat seolah telah tersihir.
Killian tak sanggup menahannya lagi. Dia berpaling. “Hentikan,” dia berkata, menundukkan kepalanya. Suaranya terdengar berat. “Kau harus menghentikanku,” dia berkata dengan suara serak.
Kedua tangan Rietta yang membelai lehernya terasa panas. Killian bisa merasakan denyutannya pada tiap bagian yang menyentuh Rietta.
Masih memegangi Rietta, Killian menjatuhkan kepalanya di atas kepala Rietta dan mengerahkan segenap kesabaran yang dia miliki untuk berkata, “Aku ingin menjagamu dengan lebih sempurna.”
Rietta tak melepaskan; demikian juga dengan Killian. Bara api beterbangan dari kayu bakar yang berderak-derak.
Rietta bergelayut pada Killian sambil memegangi kerahnya. Dalam bisikan samar dia berkata, “Aku ingin mencintaimu dengan lebih sempurna.”
Killian menutup mulutnya, tubuhnya yang tegang menjadi kaku. Rietta menariknya mendekat dengan begitu lembut dan mengerutkan bibir. “Aku ingin kau mencintaiku, bukan menjagaku.”
Setiap penghalang keras kepala di depan Killian runtuh seketika saat dia mendengar kata-kata Rietta. Killian mendorong Rietta naik ke dinding dan mendongak menatapnya. “Kau yakin?”
Rietta menangkupkan tangannya ke wajah Killian dan mengangguk cepat.
Ada yang putus dalam otak Killian. Ciumannya menjadi lebih intens dibandingkan sebelum-sebelumnya. Rambut Rietta tergerai di atasnya seperti kelambu, dan cahaya bulan menyirami penyatuan tergesa-gesa mereka.