Like Wind on A Dry Branch - Chapter 191
Ferdian bekerja bersama para pendeta petarung serta pemburu terbaik dalam pengejaran mereka terhadap Exitius dan membuat serangan-serangan efektif melawan gerombolan iblis api di atas gunung. Setelah menahan pergerakan para iblis api, dia pergi ke Kuil Havitas dan mencari bukti atas penyihir kegelapan yang sesungguhnya, kemungkinan besar berhubungan dengan Permaisuri.
Tongkat pendeta, benda suci dari Kuil Havitas, ditinggalkan di air mancur.
Energi suci dan iblis bercampur dan mengamuk di dalam benda suci yang kini terkotori iblis itu. Air mengguyur dari bejana patung dewi di atasnya.
“Jangan mendekat,” para pendeta memperingatkan para pemburu, “Kalian mungkin tak tahu kalau kalian bisa saja mati atau berhalusinasi ketika menyentuh benda suci yang telah dikotori oleh iblis.”
Para pemburu dengan insting yang amat sensitif sudah merasakan kengerian. Mereka saling menasihati satu sama lain agar tidak dekat-dekat dengan tongkat itu.
Persis pada saat itulah, iblis-iblis api menyerbu masuk. Para pendeta dan pemburu bergegas memasang postur bertarung.
Tiba-tiba, air di air mancur bergerak seakan hidup dan mengguyur para iblis api. Serangan dari belasan iblis api seukuran anjing pemburu tertahan ketika tombak-tombak api menyerang mereka telak-telak di kepala dan mengubah mereka menjadi abu.
Perang berakhir bahkan sebelum dimulai. Uap membubung dari iblis-iblis api yang berjatuhan dan berubah menjadi abu kehitaman.
Mereka yang berada dalam formasi menyerang saling bersitatap, kebingungan pada kebinasaan mendadak dari musuh. Ferdian bahkan tidak menatap mereka. Dia berdiri diam sambil menunduk menatap air mancur tanpa berkedip.
“Wuah….” Seruan seketika terlolos dari mulut seorang pendeta. Tidak ada satu orang pendeta atau pemburu pun yang perlu melakukan apa-apa ketika tak ada iblis api yang selamat.
Ferdian sudah pernah menambahkan penghalang di depan para iblis api seperti kabut tebal namun tak pernah mendemonstrasikan sihir semacam itu di dekat air mengalir. Para pendeta dan pemburu yang terkesan menatap bengong pada Ferdian. Ratusan tahun telah berlalu sejak sihir kuno menghilang. Mereka telah menyaksikan pertunjukan yang hanya ada sekali dalam seumur hidup.
Salah seorang pemburu tersenyum dan menggelengkan kepala karena takjub. Mata Ferdian, terpancang pada air, telah menghitam.
Rietta tersenyum cerah pada Jade, dan kemudian kepadanya. “Oh… Halo, Yang Mulia.”
Ferdian melirik Rietta sebelum berpaling.
Pada suatu hari, dia mengizinkan anak-anak itu memanggil nama kecilnya. “Panggil aku Ferdian saja,” ujarnya pada mereka.
“Mana kami berani melakukan itu?!” Rietta dan Jade tersenyum meski merasa gundah. Mereka tampak menghargai gestur tersebut.
Jantung Ferdian berdebar.
Countess Sevitas mendorong bahu anak kecil itu dengan telunjuknya. “Aku telah menambahkanmu ke dalam silsilah keluarga, memberimu pendidikan, memberimu makanan, pakaian, dan tempat tinggal, serta bahkan menyimpan rahasia tentang kau yang adalah anak haram. Tak ada ibu lain yang akan memperlakukanmu dengan sebaik itu.”
Seorang anak bangsawan tak boleh bersikap lembek. Anak itu berusaha menahan dorongan tersebut untuk menghindari masalah, namun mau tak mau tubuhnya menjadi goyah. “Saya mengerti,” dia berkata. “Saya berterima kasih, Ibu.”
Sang countess mendecakkan lidahnya. “Kudengar kau telah bermain dengan ank-anak yatim piatu di biara. Kau jelas tak bisa membantu anak-anak dari kalangan rendahan itu. Aku menghargai kau menyadari tempatmu, tapi jangan mempermalukan keluarga. Bagaimanapun juga, kau adalah putra dari Count Sevitas. Kalau kau benar-benar mengerti bahwa kau adalah anak bangsawan, kau harus bersikap sepantasnya supaya tidak mempermalukan kakakmu.”
Ferdian membungkuk sopan. “Baik, Ibu.”
“Anda ingin bermain dengan kami, Tuan Ferdian?”
Ferdian menatap Jade dan Rietta seraya tersenyum lemah. “Tak perlu memanggilku ‘tuan’,” dia berkata. Sekali lagi Rietta bergerak gelisah. Dia tak sepenuhnya menjadi anggota Keluarga Sevitas, juga bukan salah satu anak-anak di biara. Di mana tempatku yang sebenarnya?
“Ferdian!” Jade tiba-tiba berseru.
Ferdian tersentak, bahkan meski dia sendiri yang mendorong agar dirinya dipanggil dengan nama kecilnya.
Jade terbahak dngan mata dan mulut terbuka lebar. “Aku melakukannya!”
Rietta melihat bolak-balik antara Jade dan Ferdian dengan raut kaget sebelum mengikuti seraya tertawa. “Ferdian!”
Putra sang count merona.
Kau berkata bahwa tak ada seorang pun yang akan menggantikan Jade. Tak ada seorang pun, bahkan diriku, yang bisa mengisi ruang kosong yang ditinggalkan olehnya. Aku mengenalmu jauh lebih baik. Aku telah melewatkan waktu jauh lebih banyak, bertahun-tahun, denganmu.
“Killian tidak menggantikan Jade,” Rietta pernah berkata. “Dia juga bukan tempat pelampiasan. Mereka berdua sama sekali tidak mirip. Aku dan Killian bersama karena aku menyukai dia apa adanya.”
Kenapa aku berusaha mengambill tempat Jade? Kenapa aku belum pernah mendengar yang seperti itu – bahwa aku bukan penggantinya?
Kalau Rietta meninggalkan Axias, satu-satunya tempat yang aman untuknya adalah….
“Tidak, sejak awal aku hanya menulis satu dokumen. Sejak kau meminta waktu lebih banyak lagi, aku sudah tahu bahwa kau takkan memilih Caligo.”
“Count Caligo?”
“Oh.” Ferdian tersentak keluar dari lamunannya. Para pendeta dan pemburu memberinya tatapan penasaran. Dia tersenyum pada mereka dan berkata, “Saya minta maaf.”
****
Bahkan meski si pemeriksa sudah menjadi selembut domba, Rietta menyembunyikan dirinya sendiri di dalam kastel untuk jaga-jaga. Killian kembali ke kamar tidurnya setelah memberikan keadilan sepanjang hari tanpa bertemu dengan Rietta. Dia terdiam ketika mendapati ujung gaun Rietta mencuat keluar dari lemari dengan menggemaskan.
Apakah ini bagaimana Rietta menafsirkan bersembunyi di dalam kastel? Killian berpaling, berpura-pura tak melihat, dan berdehem untuk menekan tawanya. Akhirnya senyumannya tetap terlolos, jadi di aharus menutupi mulutnya.
“.…” Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku pura-pura kaget? Killian merenung dengan kepala berpaling dari lemari. Dengan susah payah dia menyingkirkan senyumannya dan memasang wajah datar. Mungkin Rietta akan melompat keluar ketika dia berjalan melewatinya, jadi dia pun berlama-lama sambil berusaha untuk tidak melihat ke arah lemari.
Tetapi lemari itu tak terbuka. Killian mendekatkan telinganya untuk mendengar hembusan napas halus Rietta.
Killian terkekeh sebelum perlahan menarik kenop lemari, dan pintu yang berderit membangunkan Rietta.
Dengan mata setengah terbuka, Rietta mengulurkan tangannya dan menguap. “Kenapa kau lama sekali?” keluhnya dengan suara parau.
Ini menggemaskan sekali. “Maaf,” ujar Killian tanpa bisa mengendalikan senyumannya.
Ketika dia mengangkat Rietta, wanita itu mengalungkan lengan ke tubuhnya dan mengusapkan dahi pada lekukan lehernya. “Aku bersembunyi untuk mengagetkanmu,” ujar Rietta.
Killian memutuskan untuk sedikit mengisenginya. “Kau mendengkur.”
“Benarkah?” Rietta merona.
Killian tak tahu harus bagaimana dengan wanita imut ini. Dia menundukkan kepala untuk mencium hidung Rietta, matanya, dan setiap sudut wajahnya.
Rietta yang mengantuk mengerjap setiap kali satu ciuman mendarat di wajahnya, kemudian menarik kerah baju Killian untuk mencium bibir pria itu. Dengan gembira Killian menerima undangan tersebut. Hal lainnya akan mereka bicarakan nanti saja.
****
Exitius si iblis api mengerahkan sebagian besar dari kekuatannya e Kuil Havitas dan membawa pasukan elit kembali ke Axias. Akan tetapi, taktik itu bukan hal baru bagi Axias. Killian, para kesatrianya, para pendeta petarung, dan juga para pemeriksa dengan jajaran pendeta dan prajurit mereka sendiri sudah bersiap untuk saat ini.
Killian tersenyum dengan pedang tersandar di bahunya. “Kau tidak terlalu kreatif.”
****
Ini adalah perang melawan iblis api. Killian menangkupkan kedua tangannya ke wajah Rietta untuk memberikan ciuman dan berkata pada wanita itu, “Jangan keluar.”
“Hati-hatilah,” Rietta berkata, memberkati pria itu.
Killian mengangguk, kemudian memanggil Morbidus. Dia meninggalkan Rietta bersama sang iblis, Rachel, dan Colbryn. Iblis wabah yang dipanggil itu pun menampakkan dirinya untuk menyembunyikan Rietta.
****
Bicara soal kebetulan.
Braak!
“Rietta!”
Mata Rietta melebar. Tak pernah dia membayangkan kalau sang Santa akan muncul di hadapannya pada saat ini. “Santa Tania?”
Sang Santa berlari ke arah Rietta, yang telah menyembunyikan dirinya sendiri. Begitu dia berdiri kaget, Rietta terhuyung dan membeku, merasakan suatu firasat familier menakutkan dalam sensasi yang dipenuhi warna putih.
Wajahnya memucat, Rietta melompat berdiri dari kursinya dan berlari pergi. Dia tak sempat bicara pada Santa Tania, dan tubuhnya bergerak mendahului benaknya. Dia harus bertemu Killian, sekarang juga.
Perasaan menakutkan melahap benaknya. Permaisuri. Sang Permaisuri sedang menarget Killian dengan sihir, jenis sihir iblis yang berasal dari persembahan dalam jumlah luar biasa besar. Dan Exitius tahu tentang itu. Perangnya telah dipasang sebagai perangkap untuk hal tersebut.
Energi suci menyembur keluar dari tubuh Rietta, memenuhi seluruh area dalam cahaya putih menyilaukan. Dia tak ingat bagaimana dia bisa sampai di sana; dia hanya melihat Killian.
Waktu melambat tanpa batas.
“Killian!”
Killian kelihatannya tak mendengarnya. Rietta berlari dengan sekuat tenaga dan mengulurkan tangan ke arah Killian. Waktu terus terjulur, dan momen saat Killain berbalik dan menemukan Rietta berdiri di hadapannya, iblis mimpi yang mendekati Killian menusuk Rietta dari belakang.
Killian membeku di tempatnya. Dia merasakan jantungnya berhenti tepat pada saat itu juga. Dia melemparkan pedangnya di tengah medan perang. Tak ada hal lain yang terlihat olehnya. “Rietta!” pekiknya.
Mata Rietta melebar.
Killian, dengan panik, menarik Rietta dalam pelukannya. Rietta mencengkeram tangan Killian dan menarik napas tajam. Darah seakan menderu keluar dari jantung Killian. Rietta. Dunia telah berhenti, dan pikirannya menjadi mati rasa sepenuhnya pada semua hal lain. Kenapa ini harus terjadi padanya?
“Gilius!” Killian berseru, memeluk Rietta dalam dekapannya.
Rietta, yang telah berhenti bernapas karena hantaman serangan sihir itu, mulai terengah. Killian menatap ke dalam matanya. Pria itu membeku karena rasa takut, merasakan sebuah simpul dalam dadanya membuncah. Reaksi sentakannya memaksanya memeriksa Rietta. Rietta telah terkena serangan sihir. Sihir apa itu?
Tak ada yang terjadi setelahnya. Rietta menatap ke dalam matanya, meremas lengannya, dan menggertakkan gigi.
“Killian!” Rietta berseru. “Kau harus kembali! Ini perangkap! Permaisuri mengincarmu!”
Perangkap apa? Sihir itu telah menyerang Rietta – bagaimana bisa dia yang menjadi targetnya? Killian memeriksa wajah dan tubuh Rietta, tampak benar-benar syok. Dia mencari tanda-tanda pendarahan dan memeriksa rona wajah Rietta tanpa senjata di tangannya di tengah-tengah medan perang. Tak ada seorang pun yang pernah melihat Killian Axias tampak begitu kacau.
“Rietta. Rietta, kau tak apa-apa?” Killian bertanya. Kau terluka di bagian mana? Sihir apa itu? Bajingan mana yang telah melakukan ini pada Rietta?
Dia kembali memanggil pendeta tinggi. “Pendeta Tinggi! Bawa Rietta!”
Seorang pendeta tinggi tak dikenal tiba dan dengan gugup memeriksa Rietta dengan energi pemurni.
Killian gelisah ketika si pendeta memeriksa Rietta. Rietta telah terkena serangan sihir. Dia kehilangan kesabarannya. “Kau mau melihatku mati?!” Ini adalah kali pertama dia berteriak pada Rietta sejak jatuh cinta pada wanita itu. Dia sebenarnya marah pada dirinya sendiri karena telah gagal melindungi Rietta, karena tidak berbalik lebih cepat.
Killian memeluk Rietta seerat mungkin. Kecemasan ini bisa membunuhnya. Bagaimana bisa hal ini terjadi pada Rietta?
Bersandar di lengan Killian, Rietta mengangguk kuat-kuat dan berseru, “Killian, aku tak apa-apa! Aku baik-baik saja!”
Barulah kemudian Killian menarik napas tajam. Mata sembabnya tersentak membuka dan memeluk Rietta seperti hewan buas yang melindungi anaknya.
“Yang Mulia!” Pendeta Tinggi Gilius berlari ke arah mereka. Tiga orang pendeta tinggi mengelilingi Killian dan Rietta untuk mengerahkan pemurnian, penyembuhan, dan pencarian sihir. Para kesatria dan pendeta petarung langsung mengelilingi Killian dan Rietta untuk melindungi mereka.
Iblis api yang kalah mundur.
“Terserah,” Exitius menggerutu. “Aku telah melakukan yang kubisa.”
Persis pada saat itulah, sebuah semburan air dan energi suci yang luar biasa kuat menerjang Exitius dan para iblis api.
“Itu Count Caligo dan para pendeta petarung!”
Para pendeta suci dan kekuatan iblis air menerjang ke arah si iblis api setelah memusnahkan semua iblis api di kuil.
****
“Kukira itu adalah kemampuan istimewaku,” Mordes sang iblis mimpi berkata. “Nona itu diserang oleh sihir iblis mimpi dengan kekuatan yang berhubungan dengan ingatan.”
Mordes menaikkan sebelah alisnya. “Eh? Sihir ini menghilangkan ingatan tentang orang yang paling kau cintai?”
Wajah Santa Tania dan Killian menggelap.
“Tapi kenapa?” Mordes berkata. Dia tak mengerti kenapa ada orang yang akan memakai sihir tak berguna macam itu.
Killian teringat apa yang sebelumnya telah Rietta bisikkan di telinganya: “Kau adalah cinta dalam hidupku.”
Pemikiran itu membuatnya ketakutan. Dia menggertakkan giginya. Tak apa-apa. Tak masalah, ujarnya pada diri sendiri. Asalkan Rietta selamat. Asalkan aku bisa menjaganya tetap aman. Ingatan bisa kembali. Jika tidak, dia bisa jatuh cinta sekali lagi kepada Rietta. Memangnya kenapa dengan kehilangan ingatan? Tidak menjadi masalah asalkan Rietta baik-baik saja.
“Sungguh cuma itu saja?” Killian bertanya pada si iblis.
Mordes mendengus dan menyilangkan lengannya. “Itu saja, sungguh. Dia takkan mati.”
Killian langsung brdiri tanpa ragu. “Bagus.” Kemudian dia berjalan menuju ruangan tempat Rietta sedang disembuhkan.
****
Killian menaiki tangga untuk menuju kamar, tempat Rietta sedang tidur. Dia sama sekali tidak ragu hingga saat dia berjalan memasuki kamar itu.
“Killian?” Rietta melompat turun dari ranjang dan berlari menghampiri Killian untuk memeluknya. Suaranya pecah. “Halo, Killian.”
Killian tak bisa memercayai apa yang sedang terjadi. “Halo, Rietta,” dia berkata, memeluk wanita itu dan membelai punggungnya.
“Kau baik-baik saja?” Rietta bertanya padanya. “Apa semuanya baik-baik saja?”
Seharusnya aku yang tanya itu padamu. Killian tercekat. Matanya terasa panas. Dia kira Rietta sudah melupakan dirinya, dan telah pasrah pada akibatnya, hanya untuk menyaksikan keajaiban ini.
Sebenarnya dia sudah takut kalau Rietta mungkin telah melupakan dirinya, bahwa Rietta mungkin akan menatap ketakutan ke arahnya dengan mata buram di bawah pengaruh alucino. Dia tak menyadari hal ini hingga Rietta mengalungkan lengan pada dirinya.
Rietta mengingat Killian. Killian memeluk wanita itu dengan putus asa, merasa lega.
Mungkin esok pagi – atau bahkan saat ini juga – Rietta akan mendorongnya, tidak mengenali pria di hadapannya. Meski demikian, Killian merasa lega begitu melihat Rietta selamat. Namun dia merasa sama takutnya karena Rietta mungkin saja melupakan dirinya. Kumohon, jangan. Rietta harus bertahan dengan bencana bernama kehidupan ini karena dirinya.
Killian memejamkan matanya. Tidak, tidak. Rietta punya kekuatan suci yang amat besar. Dia membawa darah Lamenta. Mungkin sihir mainan iblis itu tak bekerja padanya. Mati-matian Killian berharap Rietta akan baik-baik saja, bahwa Rietta tidak akan melupakan dirinya.
Dia memeluk Rietta, menciumnya, dan menghibur wanita itu selama berjam-jam seakan ini adalah hari terakhir dalam hidupnya. Dia hampir tidak tidur semalaman seraya dengan gelisah mengamati wajah Rietta, mencari tanda-tanda wanita itu memperlakukan dirinya seperti orang asing. Barulah pada keesokan paginya dia meninggalkan Rietta bersama para pendeta.
Tak sanggup pergi, Killian terus berlama-lama di dalam kamar selama beberapa menit sebelum berjalan menuruni tangga.
“.…” Tapi bagaimana bisa? Mordes telah memastikan sihirnya. Iblis itu tak mungkin berbohong. Mungkin sihirnya butuh waktu lebih lama untuk menghasilkan efek dan Rietta akan melupakannya perlahan-lahan seiring dengan berlalunya waktu.
Rietta belum tahu sihir jenis apa yang menyerang dirinya. Killian takut bahwa mengucapkannya secara terang-terangan akan membuatnya benar-benar terjadi. Dia takut.
Kendalikanlah dirimu sendiri, Killian. Killian memutuskan untuk kembali memeriksa sihir itu bersama Santa Tania dan Mordes.
Killian berjalan beberapa langkah ke luar kastel sebelum dia berhenti. Salju berguguran memusingkan di depan matanya, yang mengingatkannya pada hari ketika dia pertama kali bertemu dengan Rietta. Hari itu, salju turun samar-samar.
Jika Rietta melupakan dirinya, mereka akan kembali ke hari mereka pertama kali bertemu. Menjauhkan dirinya dari Rietta akan membuat Rietta tinggal bersama –
“…!” Persis pada saat itulah sebuah kesadaran melintas dalam benaknya. Killian berputar dan berlari naik kembali ke kamar Rietta. Dia bisa menerka siapa yang mungkin telah Rietta lupakan. Kumohon, kumohon… tak mungkin….
Killian menjeblakkan pintu. Rietta sedang memegang sesuatu di tangannya, tampak penasaran, sebelum wajahnya kembali berbinar ketika melihat Killian. “Killian!” serunya.
Killian tahu bagaimana cara Rietta tersenyum ketika wanita itu benar-benar gembira. Dia sudah melihat senyum itu berulang kali, senyum dari cintanya yang mengisi seluruh hatinya. Namun plakat memorial di tangan Rietta, dan senyumnya, dipisahkan oleh sebuah jurang tak berdasar.
Rietta meletakkan kembali benda itu dan langsung berjalan ke arahnya, tampak gembira tanpa setitik pun jejak penderitaan. “Kau cepat sekali,” ujarnya.
Rietta berhenti ketika menyadari wajah gelap Killian. Pria itu memaksakan seulas senyum ketika menatapnya. “Rietta, yang kau pegang itu….”
“Ya?”
“Plakat memorial itu….”
“Oh….” Rietta meraba tengkuknya dan tersenyum kikuk. “Aku tak yakin siapa ini. Ada tulisan ‘Adel’ di situ. Siapa itu?”