Like Wind on A Dry Branch - Chapter 179
Killian merasakan Rietta mengejang ketika melihat surat yang muncul entah dari mana itu. Dia menangkupkan kedua tangannya ke wajah Rietta untuk membuat wanita itu menghadap ke arahnya lalu kembali mengecup ujung hidung Rietta.
Rietta tetap diam, dengan pikiran kosong mengangkat tangannya ke tempat Killian telah menciumnya.
“Cara yang hebat untuk merusak kesenangan,” Killian bercanda untuk menceriakan suasana. Dia menempelkan dahinya ke dahi Rietta dan tersenyum.
“Aku tahu,” Rietta menjawab seraya tersenyum lemah.
Rietta hanya terganggu selama beberapa detik. Meski senyum tenangnya suda kembali ke kecantikan murninya, dia tak bisa menyembunyikan ujung-ujung jemarinya yang mendingin dalam genggaman Killian. Itu bukan pedang ataupun darah, hanya sepucuk surat. Killian merasa sedih melihat Rietta bereaksi dengan ketakutan sebesar itu pada selembar kertas.
Killian menundukkan kepala dan menggosokkan tangannya pada kedua lengan Rietta untuk menghangatkannya. “Kau kedinginan?” Killian bertanya lembut.
Rietta tersenyum miring dan menggelengkan kepala, kemudian menyandarkan kepalanya ke lengan Killian.
Killian mencium kepalanya. “Bagaimana kalau kita lanjutkan yang tadi terhenti?”
Rietta mengangkat pandangannya dan mengulas senyum jahil. “Alismu bilang kalau kata-katamu tak serius.” Dia cukup cepat tanggap untuk menyadari bahwa Killian sedang berusaha menghiburnya. Tetapi dia akan membuat kesalahan kalau menafsirkannya sebagai undangan lain untuk bercumbu.
Rietta berusaha mendorong Killian menjauh, namun Killian memeluknya untuk memerangkap dirinya di antara kedua lengan pria itu. “Kurasa tidak.” Killian selalu ingin menciumnya, pria itu hanya memutuskan untuk istirahat untuk saat ini.
Rietta menghentikan pria itu yang berniat mendekatkan bibir ke punggung tangannya. “Killian, aku benar-benar tak apa-apa.” Dia mencium pipi Killian dan mengetuk lengan pria itu supaya berdiri di sebelahnya.
Sial. Killian sedikit mengernyit dan menggigit bibirnya sebelum melepaskannya. Dia berdiri di depan Rietta ketika Rietta berusaha berjalan menuju pintu. “Aku yang akan membacanya.” Killian berjalan menuju pintu hanya dalam beberapa langkah lalu memungut surat itu.
Sejak insiden waktu itu, Killian telah memastikan agar semua surat-menyurat untuk Rietta harus diberikan kepadanya terlebih dahulu, mau itu surat dari pengantar surat ataupun pembawa pesan dari Serikat Pencuri. Dokumen-dokumen tanpa informasi pengirim yang jelas tak pernah diberikan secara langsung kepada Rietta. Karenanya, ada satu alasan kenapa surat itu tiba di rumah.
Kepada: K.A.A.R.
Rumah Pemberi Berkat
Aku sudah tahu ini. Raut serius muncul di wajah Killian.
“Surat ini bukan untukmu,” dia berkata ketika Rietta berjalan menghampirinya. Dia menunjukkan amplopnya kepada Rietta, menunjuk ke bagian sudut bawah. “Ini untukku.”
Rietta melihat bolak-balik antara surat itu dan Killian dengan wajah bingung. Si pengirim telah jelas-jelas menuliskan inisial Killian. Tapi seharusnya tak ada seorang pun yang tahu kalau Rietta sudah kembali atau bahwa Killian tinggal di rumahnya. “Apa orang-orang sudah tahu kalau kau dan aku ada di sini?”
Killian mengangkat bahu, walaupun dia sudah menerka siapa yang mungkin telah mengirimkan surat itu. Sebuah pesan yang panjang tertulis pada bagian belakang amplopnya.
Dengan segala hormat dan kekaguman atas komitmen Anda yang sudah teruji,
Pelayan setia ini sekarang menghaturkan hormat kepada Anda.
Semoga sang pemenang menjaga kita dengan kebijaksanaan dan keagungannya, dan semoga nama Anda dihormati.
Cuplikan historis itu telah menjadi pernyataan lazim yang berarti, ‘Selamat atas kemenangan Anda, dan saya menantikan untuk bekerjasama dengan Anda.’
Alis Killian mengernyit dan dia mengulas senyum pahit.
****
Setelah membaca sepintas isi suratnya, Killian memanggil Rietta untuk mendekat. Dia harus menanyakan pendapat Rietta terlebih dahulu. Dia menyerahkan surat itu pada Rietta dan menunggu, menyentuh dahinya sambil bersandar pada kursi di samping perapian.
Rietta membuka mulutnya begitu dia selesai membaca surat tersebut. “Apa surat ini dari… Tuan Ferdian?”
Killian mengangguk. Dia tampak tak terlalu nyaman. Rietta membaca kembali surat itu dengan perasaan campur aduk. Ini adalah dokumen tentang memindahkan makam Jade – lebih tepatnya, sebuah kontrak yang menyatakan bahwa kedua penguasa wilayah sepakat dan berkomitmen untuk bekerjasama dan sama-sama memahami tentang urusan ini.
“Kalau kau tak keberatan, aku ingin kita meneruskannya,” Killian berkata. “Bagaimana menurutmu?”
Ferdian sudah menandatangani dokumen itu. Langkah terakhir adalah dengan memperoleh persetujuan dari pihak keluarga, atau tanda tangan Rietta. Killian sedang menawarkan untuk memindahkan makam mendiang suami Rietta kalau Rietta mau.
Rietta tak tahu harus bilang apa. “Kapan kau mendiskusikan ini dengan dia?”
“Belum begitu lama. Maafkan kau karena tidak menanyakan tentang ini padamu lebih cepat.” Killian menyematkan rambut Rietta yang menjuntai di depan wajah karena menunduk membaca surat itu. “Aku tahu kalau pemindahan yang terlalu sering memang tidak ideal,” dia berkata. “Silakan memikirkannya pelan-pelan saja. Tak ada satu pun dari hal ini yang sah kecuali kalau kau memberikan persetujuan. Tak ada apa pun yang akan terjadi sebelumnya.”
“Bukan, maksudku….” Rietta meragu sebelum menunjukkan amplop itu pada Killian. “Aku tahu kalau ini adalah ekspresi kebiasaan, tapi ini sepertinya mengesankan kalau kau akan kehilangan sesuatu jika kau tidak menjadi ‘pemenang’. Apa yang kau bicarakan dengannya?”
Rietta sangatlah cerdas. Killian menggigit bibirnya sebelum dia mengklarifikasi kesalahpahaman potensial terlebih dahulu. “Kami tidak sedang bertaruh atau bersaing untuk keputusanmu. Kami cuma….”
Tentu saja Rietta tidak mencurigai hal itu. Dia hanya mendapat kesan kalau ada sesuatu yang Killian lebih memilih untuk tidak membicarakannya.
“Apa kau mempertaruhkan sesuatu untuk ini?” Rietta bertanya kepadanya. “Atau apa kau menjanjikan sesuatu kepadanya yang punya potensi merugikanmu, atau….”
Rietta bertanya dengan setengah bercanda, beranggapan bahwa itu tidak benar. Tetapi wajah Killian mengejang. “Aku tak bisa dibilang menyebutnya sebagai kerugian,” ujarnya dengan raut gundah.
“Tak bisa dibilang?” Jawaban itu mengejutkan Rietta. “Jadi kau memang menawarkan sesuatu kepadanya? Apa itu? Tolong katakan padaku.”
Kesunyian singkat mengikuti, yang setelahnya Killian menjawab, “Aku memang telah menjanjikan sesuatu pada Ferdian sebelum aku menemukanmu. Anggap saja itu sebagai kesepakatan.”
“Kesepakatan macam apa?”
Dengan kikuk Killian mengusap dagunya. “Tak ada yang terlalu serius. Kami sepakat untuk membawa makam Jade ke Axias kalau kau memutuskan untuk tinggal, dan memberangkatkan para kesatriaku ke Caligo kalau kau memutuskan untuk pergi.”
“Apa?” Rietta menampakkan raut tercengang. Kenapa dia akan setuju pada hal itu?
“Aku ingin memastikan kau aman bahkan jika kau pergi….” Killian menggaruk bagian belakang kepalanya. “Ini tak bisa dibilang sebagai pertukaran yang setara, tapi ini berguna untuk kepentingan kita berdua. Dia pasti telah menemukan bahwa kau memutuskan untuk tinggal di sini. Mungkin itulah sebabnya kenapa dia menulis kutipan itu.”
Killian menghela napas dan menekan tengkuknya. Kebiasaan Rietta telah menularinya. “Aku sepakat untuk menghormati keputusanmu dan tidak memulai perang untuk balas dendam. Bagiku ini juga bukan kesepakatan yang buruk. Aku juga tidak tertarik untuk melakukannya.” Dia melanjutkan dengan suara tenang. “Bahkan jika hal itu terjadi, aku ingin memastikan kalau setidaknya kau dijaga oleh orang yang kupercaya. Permintaanku adalah untuk mengizinkan aku menggirim prajurit dan kesatria sebanyak yang kuinginkan. Ini bukan kesepakatan yang buruk bagiku.”
Prajurit dan kesatria? Rietta menatap hampa pada Killian.
“Axias adalah tempat paling aman untukmu, tapi kalau kau memutuskan untuk tidak tinggal di sini….” Killian meneruskan, sesekali menjeda dan melambat. “Kau akan membutuhkan tempat aman untuk ditinggali. Aku harus memberikan tempat teraman kedua untukmu.”
“.…”
“Bahkan jika kau tak pernah mau melihatku lagi, kupikir aku tak bisa menyerah dalam memastikan bahwa kau baik-baik saja. Aku menginginkan suatu cara untuk menjamin dan memastikan keselamatanmu, jadi….” Kata-kata Killian terputus dengan tidak biasanya. Dia menurunkan tangan yang tadi menyentuh tengkuknya. “Kira-kira begitulah ceritanya. Tapi seperti yang sudah kau tahu, kita jadi panas saat bertemu kembali.” Dia menaikkan pandangannya untuk menatap Rietta, kemudian melihat ke arah perapian dan melemparkan kayu bakar ke dalamnya. “Hal itu sudah tak ada artinya lagi.”
Rietta menatap Killian dalam kebisuan. Kayu bakar berderak-derak. “Tak bisa kupercaya kau setuju untuk melakukan kesepakatan seburuk itu,” Rietta berkata.
Killian menatapnya. “Memangnya itu kesepakatan yang buruk?” Dia teresnyum canggung. “Kurasa itu tidak buruk selama aku tahu kalau kau aman. Itulah inti utamanya, dan dia setuju untuk bekerjasama, jadi aku tak terlalu marah.”
“Killian, aku… aku tak pernah bilang kalau aku akan pindah ke Caligo.”
Killian tersenyum lemah. “Benarkah? Wah, dia membuatku percaya kalau kau menimbang-nimbang pilihan itu dengan cukup serius. Yah, aku juga berpikir kalau Kaligo akan jadi satu-satunya pilihanmu di luar Axias. Tapi kemudian kau memulihkan kesepakatanmu dengan iblis itu karena aku dan harus mempertahankan dia-”
“Killian.” Rietta menggelengkan kepalanya. “Kau sepakat untuk memindahkan makam Jade ke Axias kalau aku memutuskan untuk tinggal di sini. Bagaimana hal itu bisa memberimu keuntungan?”
“Pertanyaan yang bagus.” Killian menundukkan kepalanya, melengkungkan satu sudut bibirnya. Dia mengerutkan bibir dan mengarahkan pandangannya ke bawah. “Aku putus asa ingin melakukan segala yang kubisa untuk mempertahankanmu,” akunya. “Dan kupikir Jade yang ada di sana mungkin akan jadi alasan lain yang membuatmu ingin pergi.”
“.…”
“Itu hanya…. sesuatu yang kau butuhkan.”
Rietta memejamkan matanya lalu membukanya kembali. Dia mengangkat alisnya dengan cara yang tampak seperti senyum sekaligus tangis. Killian, aku tak butuh semua itu.
Killian menatap Rietta sebelum kembali menundukkan pandangannya. “Aku cuma… ingin melakukan semua yang mampu kulakukan untuk memberikan semua yang kau butuhkan.”
Meski tersenyum, untuk pertama kalinya Killian tampak seperti meragukan dirinya sendiri. “Caligo adalah lingkungan yang lebih baik. Di sini dingin, dan cuacanya ganas, dan- ”
“Killian.” Rietta menggenggam tangan Killian seraya tersenyum sedih. “Axias adalah lingkungan yang lebih baik. Kau yang membuatnya jadi lebih baik.”
Killian tersenyum kepadanya. Pantulan dari perapian yang hangat menari-nari di mata biru langit Rietta yang jernih.
“Kalau aku bilang aku akan pergi, apa kau akan membiarkanku pergi?”
“Tidak lagi,” Killian menjawab kikuk.
Sebenarnya, kemungkinan itu tak pernah terpikirkan oleh Killian.
Rietta mendekatinya. Memeluk kepala Killian, dia berbisik, “Kurasa kau juga tak selalu pintar.”
Killian memegangi Rietta dengan ragu. “Ini adalah hubungan percintaanku yang pertama. Dan kalau aku sampai melakukan hal bodoh…. Kuharap kau mengerti. Kau punya lebih banyak pengalaman dibanding aku.”
Rietta mulanya mengira kalau rasa takut, putus asa, dan kegelisahan bodoh hanya memengaruhi dirinya. Tak pernah terpikirkan olehnya bahwa Killian juga akan bergelut dengan perasaan-perasaan macam itu. Melihat sisi rapuh Killian untuk yang pertama kalinya, Rietta bisa berempati dengan rasa takut dan kesedihan dan rasa sakit Killian yang tak pernah terlihat olehnya.
Rietta memeluk Killian erat-erat. “Kau bersikap seakan kau takkan pernah melepaskan aku saat kita bertemu kembali.”
“Sejujurnya saja, aku memang tak pernah berniat melepaskanmu secepat itu,” Killian berkata, menggenggam tangan Rietta dengan mata tertunduk. “Bahkan saat aku kebingungan untuk mencarimu.”
Killian meneruskan setelah terdiam sejenak. “Kalau kau benar-benar tak mau menemuiku lagi selamanya, aku siap untuk melepaskanmu… dan tak pernah bertemu lagi denganmu. Aku berniat memintamu agar tetap tinggal di negaraku, bahwa aku tidak akan memintamu menemuiku.”
Dia sudah mempertimbangkan untuk memohon Rietta agar berada di suatu tempat yang aman di Axias sehingga setidaknya dia tahu bagaimana keadaan Rietta, supaya setidaknya dia bisa menganggap dirinya bisa diandalkan dalam menjadikan kampung halaman Rietta sebagai tempat yang lebih baik.
“.…”
“Bagaimanapun juga, Axias adalah tempat paling aman untukmu. Aku bisa mengirimkan orang-orang terpercaya, tapi aku mungkin akan ingin meyakinkanmu bahwa di mana pun tidak akan lebih aman bagimu selain tinggal di wilayah yang berada langsung di bawah kekuasaanku. Pokoknya, aku tidak akan membiarkanmu lepas sepenuhnya.”
Killian tersenyum dan mengarahkan dagunya ke perapian.“Tapi kemudian aku benar-benar melihatmu, dan tak satu pun dari hal ini yang terpikirkan oleku selain bahwa aku takkan pernah bisa melepaskanmu kecuali aku sudah mati.”
“Itukah sebabnya kenapa kau membuat keributan ini?”
Killian membaca suasana hatinya dan menutup mulut dengan malu. “Aku tak bermaksud menyakitimu dengan cara itu. Maafkan aku.”
Dengan mata berlinang air mata, Rietta mengulas senyum yang sedikit diwarnai kemarahan. “Kau tak tahu apa-apa,” dia berkata.
Killian mengangkat satu sudut bibirnya. Dia memeluk Rietta dan menyandarkan kepala ke bahu wanita itu. “Sebenarnya aku kaget bahwa kau tak tahu. Apa kau benar-benar berpikir kalau aku bisa hidup tanpamu?” Dia mendekatkan tangannya ke leher dan menambahkan, “Andai saja aku tahu kalau ini bisa membuatmu tetap tinggal.”
Rietta berakhir meninju punggung Killian. “Aku membencimu.”
Killian terkekeh.
“Jangan pernah melakukan itu lagi, Killian.”
Killian menjawab dengan seulas senyum tak tahu malu, memeluk Rietta, dan menundukkan kepalanya.“Tentu saja aku takkan melakukannya lagi. Sekarang karena aku harus ada untukmu seumur hidup, aku tak bisa mati sesukaku.”
Rietta terkikik sedih sambil memeluk Killian. Pria tak terkalahkan itu telah merasa takut kehilangan, membuat keputusan-keputusan tidak rasional, dan menderita kegelisahan hebat, semua karena dirinya. Rietta merasa sedih dan bersalah serta berterima kasih untuk itu, dan untuk segalanya. Dia menyadari betapa dirinya mencintai Killian.
Rietta membelai punggung Killian. “Tak bisa kupercaya aku sudah coba-coba meninggalkanmu seperti ini.”
“Aku juga.” Killian terkekeh, membenamkan kepalanya dalam pelukan Rietta.
Rietta balas memeluknya.
“Killian.”
“Ya?”
“Aku tidak akan pindah ke Caligo. Aku bahkan tak pernah mempertimbangkan untuk pergi ke sana.”
“Oh.”
“Axias adalah rumahku. Tanah tempatmu tinggal. Tanah yang telah kau bangun.”
“Aku mengerti.”
Rietta menangkupkan tangan ke pipi Killian dan menatap mata pria itu. “Di sini, aku punya semua yang kubutuhkan.”
Killian tidak langsung bereaksi.
“Semua yang kubutuhkan adalah dirimu.”
“.…”
“Terima kasih… karena menerimaku sebagaimana adanya, kesedihan dan rasa sakit dan kebingunganku, serta pernikahanku yang sebelumnya.”
Dia menatap Killian dengan senyum yang tak tergoyahkan. “Tapi sekarang kau adalah cinta dalam hidupku. Kau tak perlu lagi memberikan tempat untuknya.”