Like Wind on A Dry Branch - Chapter 180
“Saljunya turun dengan lebat. Jalanan mungkin ditutup,” Rietta berkata, melongok ke luar jendela. Killian menyelimutinya dengan syal lembut dan memeluknya dari belakang. Alih-alih memegangi syalnya, Rietta tersenyum dan menyandarkan punggung ke dada Killian. “Killian, aku merasa hangat.”
Rambut pirang platinanya menyebar ke seluruh tubuh Killian. Killian mendapati kalau cara Rietta memiringkan kepala ke belakang dan mendongak menatapnya begitu manis, cantik, dan nakal. Killian menariknya lebih dekat. “Pakaianmu tak kelihatan terlalu hangat,” ujarnya.
Rietta tersenyum. “Hangat kok. Kau itu cuma melebih-lebihkan.” Dirinya sudah terbungkus pakaian berlapis-lapis ditambah jaket dan syal yang Killian berikan kepadanya. “Juga, kurasa kita bisa mengurangi beberapa lapis pakaiannya karena perapiannya sudah bekerja sangat keras.”
“Aku tetap lebih suka kalau kau tidak menguranginya,” Killian berbisik, mengangkat Rietta dari bagian belakang lututnya. “Lakukanlah untukku.”
“Untukmu? Kenapa?” Rietta bertanya penasaran, melingkarkan tangan ke leher Killian.
Killian tak bisa menahan tawanya ketika mendengar pertanyaan polos Rietta. Dia tak tahu apa yang harus dia lakukan dengan wanita memikat yang ada dalam pelukannya selain mengecupnya di bagian dahi.
****
“Omong-omong, Apa ini benar-benar yang pertama bagimu?”
“Apanya?”
“Yah….” Riettta merasa malu untuk mengajukan pertanyaan semacam itu. “Kau selalu bilang kalau ini adalah kali pertama kau melakukan hal-hal semacam itu,” ujarnya dengan suara malu-malu.
Killian melihat wajah Rietta berubah jadi merah muda. “Maksudmu, apa kau benar-benar cinta pertamaku?”
Rietta merona mendengar kata-kata terang-terangan itu. “Wah, kedengaran lebih baik saat ada di kepalaku. Maaf. Kau tak perlu menjawab pertanyaan bodoh itu. Kupikir kau pernah bilang kalau ibumu adalah cinta pertamamu.” Dia menguburkan wajahnya di bahu Killian.
Killian tak bisa mengalihkan matanya dari Rietta. Kau pernah jatuh cinta sebelumnya, dia berpikir. Beginikah rasanya? Tak bisa dia percaya kalau orang bisa merasa seperti ini, seakan semuanya ada hanya demi Rietta.
*****
“Killian, saljunya masih turun.” Setiap kali Rietta memanggil namanya, kepala Killian menoleh seakan punya kompas yang selalu menunjuk ke arah wanita itu. Rietta tersenyum. “Kita mungkin akan terjebak dalam salju. Apa kau yakin kita tak perlu kembali ke kastel?”
Rambut Rietta yang berkibaran, kehangatan tubuh yang ada dalam pelukannya, suara Rietta, dan hanya menatap wanita itu sudah cukup untuk membuat Killian lupa untuk bernapas. Dia tak merasa lapar akan makanan, namun rasa haus akan diri Rietta tak kunjung pergi. Mungkin inilah rasanya jatuh cinta – atau mungkin ini adalah tanda-tanda dari sesuatu yang lebih dalam dan lebih istimewa daripada keterpikatan biasa. Kalau tidak, bagaimana orang lain bisa hidup dengan hasrat menggebu-gebu ini? Dia sungguh tak mengerti sesuatu bernama cinta ini.
*****
“Aku punya semua yang kubutuhkan di sini…. Sekarang kau adalah cinta dalam hidupku. Kau tak perlu lagi memberikan tempat untuknya.” Pengakuan Rietta yang membuat hatinya serasa melayang dan di luar bayangan memberi rasa tanggung jawab yang lebih berat bagi Killian.
Pria yang tak pernah ditolak itu pernah berkata, “Kuharap kau juga menyukaiku… aku akan menyembuhkanmu.” Kesulitan-kesulitan yang mengikutinya telah mengubah lamaran ini menjadi sebuah janji yang tak tergoyahkan, harapan penuh keputusasaan, komitmen sekokoh batu karang.
Aku akan menyembuhkanmu. Aku berjanji akan membuatmu bahagia. Aku akan menyerahkan nyawaku sendiri jika diperlukan. Aku takkan pernah melepaskanmu tak peduli apa pun yang menghalangi. Aku akan membuatmu tersenyum.
Terima kasih karena berada bersamaku. Aku takkan mengecewakanmu. Terima kasih, Rietta.
****
Rietta yang sepenuhnya menginginkan Killian ironisnya memiliki efek menjinakkan. Killian telah datang untuk mengurus Rietta dengan lebih banyak kehati-hatian dan kelembutan. Killian cenderung jadi kurang serius ketika dulu dia menganggap dirinya sendiri sebagai pengganti dari laki-laki yang dicintai Rietta, hanya sekedar orang yang bisa Rietta andalkan dan jadikan sandaran. Sebelumnya dia tak bisa menginginkan Rietta sepenuhnya dan mencintai apa yang tak pantas dia dapatkan.
Tapi kini ketika Rietta sudah berkata mencintai dirinya, bahwa tak ada hal lain yang lebih penting bagi wanita itu selain dirinya, mau tak mau dia jadi lebih memandang serius pada Rietta dan merasa berkewajiban untuk membuat Rietta sebahagia mungkin. Dia mencintai Rietta, jadi dia harus lebih sempurna, kalau tidak dia tak tahu bagaimana harus menanggapi cinta paling jujur yang telah Rietta berikan kepadanya.
****
Tangan Rietta meraba-raba ke sekitar hingga mengepal dan menarik kerah baju Killian agar mendekat. Perlahan tapi pasti kedua lengan Killian menarik pinggang Rietta.
Rietta suka memegangi kerah atau bahu Killian saat mereka berciuman. Ketika Killian menariknya lebih jauh, Rietta meluruskan lengannya dan menggelincirkan tangannya untuk memeluk leher Killian.
Killian tahu kalau hari ini kesabarannya akan kembali diuji. Alih-alih menyebut nama semua dewa yang tidak diimaninya, dia memeluk Rietta erat-erat. Rietta terluka, dan Killian takut kalau dia mungkin akan mematahkan Rietta kalau dia memeluk terlalu erat. Dia takut kalau kata-kata dan perbuatannya yang dilakukan tanpa pikir panjang mungkin akan memengaruhi Rietta, dan dia tak bisa melakukan apa-apa selain perlahan membaringkan Rietta ke atas ranjang untuk berciuman. Dia sedang mempersiapkan lamaran lainnya.
****
Aku memberanikan diri untuk bertanya kepadamu, penguasa jiwaku, sumpahku, dan pedangku, apakah kau bersedia mempertimbangkan kembali lamaran pernikahanku jika aku berlutut sekali lagi.
Aku akan memberimu semua yang kumiliki, dan aku memintamu untuk menerima semuanya.
Jika kau tidak menolak lamaranku agar kau tetap tinggal di tanah tandus ini setelah melalui semua kemelut, derita, dan kesukaran, aku berjanji untuk melindungimu sebagai kesatriamu untuk seumur hidupmu.
Jadilah satu-satunya pendampingku, cinta dalam hidupku.
****
“Kau yakin tak mau bergabung denganku, Killian?” Rietta bertanya ragu-ragu, mengintipkan kepalanya dari balik selimut.
Dengan lembut Killian menyisir rambut Rietta dengan jemarinya. “Kau tak bisa tidur?”
Suaranya, jemarinya yang perlahan membelai kepalanya, terasa sejuk dan menggelitik dan menyenangkan. Rietta mengerjap seraya mendongak menatap Killian. “Rasanya aneh karena kau tak ada di sisiku.”
Bibir Killian melengkung naik. Dia menunduk dan menekankan bibirnya pada dahi Rietta. Ciumannya ringan, namun lebih lama dan lembut. “Selamat malam.”
Rietta memejamkan matanya untuk menikmati sentuhan penuh kasih itu. “Saya tak bisa tidur kalau Anda duduk seperti itu, Tuan.”
Kata-kata Rietta mengingatkan Killian tentang apa yang telah wanita itu katakan kepadanya saat mereka pertama kali berbaring bersama di Kuil Havitas. “Ranjangnya terlalu kecil untuk ditempati oleh kau dan tuanmu,” Killian berkata.
“Ranjangnya memang kecil,” Rietta berbisik. “Tapi kita masih muat kalau berpelukan.”
Killian tersenyum seraya menyangga dagunya. “Cuma berpelukan? Tak ada yang lain?”
Rietta tersenyum tersipu dan menarik selimutnya hingga ke hidung. “Saya merasa hangat saat Anda berpelukan dengan saya. Membuat saya merasa aman.”
Killian terkekeh. “Aku juga merasakan hal yang sama saat aku memelukmu. Membuatku merasa aman.”
Rietta menyeringai. Dia mengangkat tangannya dan menautkan jemarinya dengan tangan Killian yang membelai kepalanya. “Kalau begitu, masuklah kemari dan berpelukanlah dengan saya.”
Tolong jangan turunkan kewaspadaanmu, Rietta. Aku merasa jahat.
****
Dinding pelindung sihir di rumah Rietta tidak berlaku bagi Killian, yang punya benda suci, dan Rietta sendiri. Killian tidak menyadari hingga beberapa waktu kemudian.
“Rumah ini ada di bawah dinding penyamaran?” Killian bertanya kepada Rietta.
“Ya, Morbidus yang memasangkannya untukku. Tak seharusnya kau bisa menemukanku. Rachel pernah masuk dua kali dan orang-orang lain juga pernah mampir, tapi tak ada seorang pun yang menemukanku.”
Killian memasang raut bingung sambil tangannya mengutak-atik cincin itu.
“Tak ada seorang pun yang melihatku. Banyak kesatria dan tetangga yang akan mengintip ke dalam dari jalan, dan Rachel bahkan sampai masuk ke dalam, tapi mereka cuma akan melewatiku.” Rietta membuat gerakan tos yang luput dengan tangannya.
Rietta meneruskan, “Jadi, aku percaya mentah-mentah pada dinding pelindung Morbidus.” Dia menutupi wajahnya dan menghela napas seakan mengingat-ingat saat-saat menakutkan itu. “Tapi kemudian kau masuk dan bertatapan denganku. Kau tak tahu betapa kagetnya aku.” Mata biru langitnya menatap Killian dari sela-sela jemari.
Killian tersenyum miring. “Bayangkan kalau waktu itu aku tidak datang,” gerutunya.
Rietta tersenyum dan mengulurkan tangannya. “Killian, pegang tanganku.”
****
Killian memberitahu Rietta kalau dia datang ke rumah itu sebagai hal pertama yang dia lakukan setelah menyisir seluruh kastel. Waktu itu Rietta tidak ada di situ. Dia juga sudah berkeliaran di jalanan di luar kastel gara-gara laporan tidak jelas bahwa Rietta telah terlihat di tempat-tempat itu.
Pasangan itu membicarakan tentang apa yang telah terjadi ketika mereka berpisah. Sebagian besarnya, Killian bicara tentang betapa sulitnya ketika dia berusaha mencari Rietta, dan Rietta mendengarkan.
“Aku cuma bersembunyi di dalam rumah ini,” Rietta berkata. “Aku menunggumu karena aku tak sanggup membuat diriku sendiri pergi tanpa melihatmu.”
“Dan aku takkan bisa menemukanmu tanpa mengenakan ini?”
“Mungkin tidak. Kurasa ini karena benda suci itu. Aku tak bisa memikirkan alasan lainnya.”
Perasaan-perasaan yang campur aduk berlintasan di wajah Killian.
Rietta tersenyum dan menepuk-nepuk kepala Killian. “Killian,” ujarnya, “aku akan minta dia agar tidak melukaimu, tapi di dekatku ada sesosok iblis wabah yang tak bisa diperkirakan. Apa kau bisa tetap mengenakan kalung itu untuk saat ini? Aku toh takkan bisa terkena wabah. Dan rumah ini akan menjadi tempat berlibur yang menyenangkan kalau kau menyimpannya.”
Rietta pun memutuskan untuk meminjamkan cincin putrinya kepada Killian.
****
Killian dan Rietta kembali ke kastel.
****
Rietta tak berpikir kalau dia harus menggenggam tangan Killian atau berjalan sendirian untuk membuktikan kalau mereka sudah berbaikan. Daripada merasa tertekan untuk memilih di antara keduanya, dia merasa bebas untuk kembali ke tempatnya seharusnya berada, di tempat yang diinginkannya. Terkadang dia menggenggam tangan Killian dan terkadang tidak. Tidak menjadi masalah; dia sudah memaafkan dirinya sendiri.
Dia belum sepenuhnya memikirkan bagaimana harus merespon ketika orang-orang datang menghampirinya. Akan tetapi, dia merasa damai, berkebalikan dari dugaannya. Orang-orang kastel memperlakukannya seperti biasa tanpa mengekspresikan sukacita atau kesedihan atau penyesalan yang kuat. Killian atau seseorang yang dekat dengan pria itu mungkin sudah melakukan tindakan pencegahan terlebih dahulu.
Semua orang bersikap seakan nama asli Rietta, kutukan di antara mereka, telah menghilang dari kastel. Killian pergi sejak fajar menjelang demi mencari Rietta hanyalah satu hari biasa di kastel. Rasanya seakan sejak awal mula memang tak ada hambatan besar di antara mereka.
Semuanya tetap sama persis seperti biasanya – sapaan biasa sang pengurus kediaman, sang kepala pelayan, wanita-wanita pendamping yang dekat dengannya, para pendeta dan kesatria; tempat yang biasa dia berkati; jendela kesukaannya; hembusan angin kegemarannya. Rietta tak menyangka kalau semuanya kembali ke normal tanpa cela dan menghargai orang-orang kastel karena memperlakukan dirinya seperti biasanya.
Rietta telah kembali ke kehidupan sehari-harinya yang biasa yang sebelumnya telah hilang darinya. Kedamaian baru telah mendatanginya. Ini bukan kedamaian pura-pura yang dengan penuh kecemasan menyembunyikan sesuatu di baliknya, melainkan jenis kedamaian sungguhan yang datang dari memilih untuk menerima dan memaafkan dirinya sendiri. Keyakinan bahwa dia bisa melalui apa saja menyembur seperti air mancur dari hati Rietta, dari tangannya yang menggenggam tangan Killian, dari matanya yang menatap mata orang-orang lainnya.
****
Rachel, yang telah menunggu di dalam kantor Killian, berjalan menghampiri Rietta dan memeluknya begitu melihat dirinya. Mulanya Rietta terkejut tapi segera balas memeluk wanita itu. Ketika mereka melangkah mundur, sesuatu terdengar berdenting di pergelangan tangan Rietta.
“.…”
Racchel telah memasangkan gelang pemberian para kesatria wanita dari Gedung Timur ke pergelangan tangan Rietta. Dia menghela napas singkat, mengenggam pergelangan tangan Rietta, dan menundukkan pandangannya sebelum kemudian menatap Rietta. Dari kebisuan dan sikap tak biasa itu Rietta merasakan empati yang memang khas Rachel.
Rachel segera melepaskan Rietta, memperoleh kembali ketenangannya, dan memberi hormat pada Killian seakan tak terjadi apa-apa.
Killian mengangguk singkat untuk menerima salamnya, kemudian langsung melanjutkan pekerjaan. “Mulailah laporannya.”
****
Ruang pakaian Rietta kini secara resmi diberi nama ‘Kamar Pemberi Berkat’. Beberapa memprotes karena ruangan ini tidak dinamai ‘Kamar Duchess Agung’, yang langsung Rietta abaikan. Rentetan label-label yang lalu – janda yang nyaris dikubur hidup-hidup, janda dari Sevitas, selir kesayangan sang duke agung – telah memberi tempat untuk gelar yang lebih sesuai. Beberapa orang mungkin akan mulai menyebutnya ‘keturunan Lamenta’ atau ’pemilik kutukan’, namun hal itu tak menjadi masalah. Rietta tahu kalau dia bisa mengatasinya. Dia tahu kalau dirinya bisa. Rietta menggenggam tangan Killian.
****
Rietta merasa siap untuk mendengarkan kata-kata terakhir ibunya. Dia berdiri di hadapan Morbidus, menggenggam tongkat yang ditinggalkan oleh ibunya. Dia berupaya membuka segel dari wasiat ibunya sebelum wafat yang semestinya ditinggalkan untuknya.
Dan dia gagal.