Like Wind on A Dry Branch - Chapter 178
Killian cemas kalau Rietta mungkin akan jatuh sakit. Wanita itu selalu jatuh sakit setiap kali dia telah beranggapan kalau Rietta akan baik-baik saja. Sehari sebelumnya, wanita yang jauh dari kata atletis itu telah menunggang kuda selama berjam-jam, terkena badai salju yang dingin hingga benar-benar kelelahan. Akan tetapi, Rietta sepenuhnya baik-baik saja di pagi hari setelah tidur seperti bayi dalam pelukannya.
“Rietta, kau baik-baik saja?” Killian bertanya kepadanya.
Rietta menguburkan wajah tersenyumnya ke dada Killian. “Aku tak mungkin lebih baik lagi dari ini,” ujarnya lirih.
Menatapnya, Killian memijit bagian-bagian yang kemungkinan besar terasa keram. “Aduh….” Rietta meronta dan mengerang tanpa kaget. Dia tersenyum mengibakan. “Memang ada sedikit keram otot. Tubuhku rasanya sakit di mana-mana.”
Ini pasti lebih dari sedikit keram otot. Sekujur tubuh Rietta pasti berteriak kesakitan setelah menunggang kuda secara intens yang tidak biasanya. “Kemarilah. Biar kupijat.” Killian memegangi punggung dan bahu Rietta.
Rietta berjengit. “Jangan! Kumohon, jangan! Aduh, sakit! Pelan-pelan, pelan-pelan! Ah, geli!” Dia mencicit seperti burung kecil sambil tertawa dan menjerit.
“Aku pelan-pelan kok.”
Rietta sudah tak tahan lagi, jadi dia mencengkeram pergelangan tangan Killian dan mendorongnya ke dinding. “Hentikan!” serunya.
Killian mengerjap, dikejutkan oleh sikap kasar itu. Hal itu membuatnya jatuh cinta lagi pada Rietta. Dia menatap wanita itu sebelum merundukkan kepala untuk menciumnya.
Kali ini Rietta menerjap.
Killian mengecup dahinya, matanya, dan tulang hidungnya. Rietta melepaskan pergelangan tangan Killian dan meletakkan tangannya pada kerah pria itu. Kepala Killian bergerak turun ketika bibir mereka saling menemukan satu sama lain.
Tubuh mereka benar-benar sudah saling berbelitan hingga Killian nyaris melompat turun dari ranjang, takut kalau dia mungkin akan berbuat lebih jauh lagi. “Kau mau pergi ke luar?” dia bertanya, menahan api liar yang menyebar dalam hatinya.
Rietta agak terengah dengan wajah merona. Dia memberikan kecupan kecil ke bibir Killian dan tersenyum. “Ya.”
****
Rietta pulih dengan kecepatan luar biasa bila melihat dari staminanya. Dia akan menatap Killian dan tersenyum pada Killian tanpa alasan yang jelas setiap kali mata mereka bertemu. Hal itu membuat Killian sampai lupa bernapas.
“Kau mau kugendong di punggungku?”
Rietta terkikik. “Tidak, terima kasih.”
Killian melebarkan langkahnya dan berjalan beberapa langkah di depan, kemudian berbalik dan mulai berjalan mundur sambil menghadap Rietta. Rietta merasa aman mengikuti langkah kaki pria itu yang telah meratakan halaman yang tertutup salju.
Rietta tersenyum tersipu. “Kau harus melihat ke depan.”
Killian tersenyum bangga sambil lanjut berjalan mundur di tengah salju. “Aku suka begini.”
Rietta tersenyum dan berjalan menghampiri Killian. “Bagaimana kalau kau jatuh?”
“Tak apa-apa. Kita kan di atas salju,” Killian berkata dan langsung terhuyung seakan kakinya tersandung sesuatu. “Eh-eh.”
Dia sudah menyeimbangkan dirinya sendiri ketika Rietta buru-buru mengulurkan tangan untuk memeganginya. Dia tak melewatkan kesempatan untuk meraih tangan Rietta. Jemari mereka bertautan. Rietta tersenyum ketika mereka mengayunkan tangan mereka yang bergandengan ke depan dan belakang seperti anak-anak yang kegirangan. Killian terus memancangkan matanya pada Rietta, yang mendongak menatapnya, untuk mengingat momen kedekatan ini.
“Killian,” Rietta berkata lagi seraya tersenyum.
Persis pada saat itulah, Killian mengangkat Rietta ke bahunya dan berputar. Rietta menjerit ketika kakinya meninggalkan tanah dan hembusan angin meniup wajahnya. Salju di sepatu Rietta menyapu pakaian Killian sebelum berjatuhan.
“Aku cukup berat.”
“Sama sekali tidak.” Langkah kaki Killian sama sekali tak tampak kesulitan. Killian melingkarkan lengannya pada lutut serta betis Rietta ketika dia berjalan perlahan.
“Kau kan juga membawa semua barangku….”
“Itulah kegunaan tangan ini.”
Rietta terkikik. “Bagaimana dengan tangan yang lainnya?”
“Ada untuk memegang tanganmu.”
“Tapi sekarang tagan itu sedang memegangi kakiku.”
“itulah sebabnya kenapa aku ingin kau memegangkannya untukku.” Killian menggerakkan jemarinya yang ada di kaki Rietta seakan hendak menarik perhatiannya. “Di sini. Tolong pegangi aku.”
Rietta menggodanya dengan mengetuk jemarinya, berpura-pura ragu. Dengan sengaja tangan Killian luput dari sasaran dan terjatuh ke gaun Rietta. Salju di bawah kakinya berderak seperti permen.
Tudung di kepala Killian merosot lepas karena Rietta duduk di bahunya dan dia mendongak menatap wanita itu. Rietta berusaha memasangkannya kembali, yang ditolak oleh yang bersangkutan, berkata bahwa tudung itu mengganggu. Rietta meletakkan satu tangan pada punggung tangan Killian dan tangan lainnya ke belakang kepala pria itu. “Kau tak kedinginan?” dia bertanya, membelai kepala Killian dan menutupi telinganya yang dingin.
Killian terkekeh. “Aku menyukainya.” Dia tak keberatan pada hawa dinginnya.
Sebelum pulang, mereka membeli makanan dan beberapa persediaan di pasar musim dingin. Pasar musim dingin Axias telah menjadi tempat kencan yang lumayan. Mereka baru tahu betapa nyamannya ketika semua orang sepenuhnya tertutup dari kepala hingga ujung kaki. Pasangan itu tak perlu berganti pakaian untuk menyamar. Cuaca dingin akhirnya malah memberi kebebasan pada mereka.
Ketika mereka tiba di rumah Rietta, seekor kuda putih sedang menunggu di samping tumpukan salju di pekarangan depan. Hewan itu meringkik dan berderap menuju pintu.
Killian menurunkan Rietta. “Halo, Tigris.” Rietta menepuk-nepuk kepala kuda itu seraya tersenyum. Rietta tidak mengikat kuda pintar yang tahu jalan pulang itu.
Killian menatap kuda yang sedang mengibaskan bulu matanya dengan gaya polos itu seraya membiarkan Rietta membelai kepalanya. Dia merasa cukup murah hati untuk menyerahkan wortel dari keranjang kepada Tigris. “Ini untukmu.”
Manusia dan kuda saling bersitatap. Kini Rietta sudah cukup mengenal kuda itu untuk menyadari bahwa mereka berdua tidak terlalu akur. Dia menatap bolak-balik antara Killian dan Tigris dengan mata sarat dengan antisipasi. Akan tetapi, si kuda berpaling dan menolak tawaran si manusia.
Kesunyian nan canggung pun mengikuti. Gelar duke agung tidaklah penting bagi makhluk bukan manusia. Rietta tertawa. Killian menghela napas singkat dan mengangkat bahu seraya menyerahkan wortel itu pada Rietta. Rietta mengambil wortelnya dengan senyum masih terpasang di wajah sementara Killian memasangkan sarung tangan pada tangannya yang telanjang.
Tigris langsung mengambil wortelnya dari Riettta begitu Rietta sudah membersihkan debunya dan mendekatkan wortel itu ke mulutnya. Si kuda melahap dua buah wortel lalu mengintip ke dalam keranjang untuk mencari satu lagi.
Tak bisa Killian percaya kalau kuda menjengkelkan itu dulunya adalah kepunyaannya. Tak masalah, dia berpikir. Apa lagi yang bisa dilakukan oleh binatang rendahan yang sudah dijinakkan itu kepadanya? Dia sudah cukup senang karena Tigris mematuhi pemilik barunya.
Kemampuan berkuda Rietta sudah meningkat pesat. Killian sudah tahu kalau kemampuan Rietta sudah semakin baik tapi benar-benar kaget ketika mengetahui bahwa Rietta telah menunggang kuda sendirian di sepanjang jalan dari Lembah Naga. Rietta mungkin bisa pergi ke mana saja sendirian. Akan bohong kalau bilang bahwa hal itu sama sekali tidak membuatnya cemas.
Killian memeluk Rietta dari belakang ketika wanita itu memberi makan Tigris. Dia menyandarkan dagunya pada bahu Rietta dan berkata, “Aku lebih suka kalau kita menunggang kuda bersama-sama.”
Rietta tersenyum, sedikit mengangkat bahunya pada perasaan menggelitik itu. Dengan kikuk dia membetulkan posisi sarung tangannya supaya tangannya tak tergelincir. “Sesekali kita bisa menunggang bersama-sama,” ujarnya, pura-pura tenang.
Killian menghembuskan desahan panjang ke lehernya. “Aku mengharapkan kau setuju denganku.”
Sensasi menggelitik itu merayap naik ke wajah Rietta. Rietta berdehem dan berkata, “Ada perbedaan antara menunggang bersama-sama karena aku tak bisa menunggang sendiri dan menunggang bersama karena aku menginginkannya. Juga akan menjadi kerja keras bagi Leah dan Tigris kalau harus ditunggangi dua orang.”
Killian terkekeh. “Aku tahu, Rietta.” Dia tak keberatan pada fakta bahwa Rietta bisa menunggang kuda sendiri untuk mendatanginya.
Killian menyimpan makanan dan persediaan di dalam rumah sementara Rietta mengurus Tigris.
****
Rumahnya terasa nyaman berkat perapian yang terus menyala ketika mereka keluar. Killian menggeledah kabinet dapur untuk membuat makanan ketika Rietta memeluknya dari belakang.
“Ada apa?” Killian berbalik seraya tersenyum. Matanya bertemu dengan wajah menggemaskan yang mendongak menatapnya seperti seekor burung kecil.
“Kau akan memasak untukku?” Rietta bertanya.
Selama sedetik Killian lupa apa yang sedang dia lakukan. Kau tak boleh memberiku tampang seperti itu tanpa peringatan lebih dulu. Dia menekan dorongan untuk mencium Rietta dan menutupi matanya dengan tangan. Dia tak sanggup menatap wajah menawan itu lebih lama lagi.
Rietta memasang raut bingung. Ketika Killian mengalungkan tangan ke lehernya dan menundukkan kepala, dia tersenyum dan mengalungkan tangan ke bahu Killian. Ini adalah ciuman terakhir untuk hari ini, Killian memberitahu dirinya sendiri.
Semenit kemudian, Killian mendapati dirinya sedang bercumbu dengan Rietta di meja makan, lalu lagi di depan perapian ketika menambahkan kayu bakar, dan lagi di tangga ketika mereka berpapasan. Baru Killian menyadari betapa banyaknya tempat di sekitar rumah yang bisa mendatangkan ciuman spontan. Dia bisa bersumpah kalau dirinya telah sibuk sepanjang hari, tapi semua yang dia ingat adalah mencium Rietta. Mereka selalu berciuman setiap kali Killian tersentak kembali ke kenyataan. Ini nggak baik, Killian.
Pipi Rietta merona. Mata dan bibir lembabnya berkilauan. Wanita itu tampak sangat jelita sampai-sampai Killian nyaris menciumnya lagi sebelum menegur diri sendiri untuk yang kesekian belas kalinya. “Bibir kita mungkin akan jadi pecah-pecah,” dia berkata, merasakan kebutuhan untuk menenangkan dirinya sendiri.
Rietta tak setuju. Dengan lembut dia meletakkan kedua tangannya ke pinggang Killian dan bersandar pada dada pria itu. “Apa itu akan jadi masalah?”
Rasanya Killian benar-benar akan kehilangan akal sehatnya. “Tentu tidak.” Dia tak bisa bilang yang sebaliknya kepada wanita yang menatapnya seperti itu, jadi mereka pun kembali berciuman.
Sebelumnya Killian cukup percaya diri pada pengendalian dirinya, namun semua ini menguji keyakinannya pada diri sendiri yang sudah dimilikinya sejak lama. Pada malam itu dia sudah menderita setengah mati di ranjang setelah menidurkan Rietta yang mabuk tanpa terjadi apa-apa. Killian yang sekarang sedang mengolok dirinya yang dulu karena merasa bangga pada dirinya sendiri. Dia memeras habis setiap tetes kendali diri yang tersisa dalam dirinya demi bisa mencengkeram leher nafsunya dan menyeretnya kembali ke tempat yang seharusnya. Dirinya terus-terusan menginjak batasan.
Duk! Dirinya baru tersentak kembali ke kenyataan setelah sebuah kursi terjatuh. Rietta tersenyum kepadanya ketika dia membungkuk untuk menegakkan kembali kursi itu.
Mata mereka bertemu. Pipi Rietta merona merah muda, dan bibirnya yang basah tampak lebih merah daripada biasanya. Semua ini rasanya seperti siksaan. Killian sudah amat nyaris kehilangan akal sehatnya. Dia melambatkan gerakannya, memanggil nama-nama semua dewa yang bahkan tidak diyakininya. Dia belajar seperti apa rasanya nyaris kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Tidak, Killian berpikir. Ini adalah Rietta. Dia adalah anak dari seorang Putri yang baru saja memaafkan dirinya sendiri. Bukan hanya itu, dia juga adalah satu-satunya tuannya, cinta dalam hidupnya yang lebih berharga daripada nyawanya sendiri. Kata-kata saja tak bisa menjelaskan betapa dirinya bersyukur atas diri Rietta. Dia tak mau menjadi orang yang membawa Rietta langsung ke kamar tidur segera setelah mereka kembali bersama. Dia ingin memperlakukan Rietta dengan perhatian dan respek tertinggi yang pantas Rietta dapatkan. Dia ingin memberikan semua yang dia miliki kepada kepada Rietta bahkan meski tak ada tingkatan formalitas dan prosedur dan hadiah yang cukup untuk mengekspresikan bagaimana perasaannya tentang Rietta. Tidak hingga saat itu tiba.
Meski demikian, dia mendapati dirinya sendiri melahap mulut Rietta, bibir mereka berciuman dalam sudut yang sempurna. Sial. Ini berbahaya. Pakaian Rietta jauh terlalu tipis untuk cuaca dingin. Dia bisa merasakan kulit Rietta dari balik kainnya, yang terus-terusan melontarkan pikirannya ke sisi dunia yang lain. Rietta tak bisa tampak lebih polos lagi dengan caranya mendengkur dalam pelukan Killian. Tak mungkin Rietta tak tahu betapa sulit hal ini baginya.
Ini bukan untuk mengatakan bahwa hubungan mereka saat ini tidak cukup bagi Killian. Dia amat sangat mencintai Rietta sehingga terkadang dia tak bisa mendekati wanita itu. Wanita yang membuatnya siap untuk menunggu selama bertahun-tahun akhirnya datang kepadanya. Tentu saja dia sanggup menunggu lebih lama lagi.
Namun hatinya membuncah setiap kali mata mereka bertemu. Dia tak bisa memakai kendali diri sebanyak itu ketika mereka berada sedekat ini. Dia merasa pusing dan tergoda untuk menguburkan hidung dalam pelukan Rietta dan menghirup aroma tubuhnya. Dia menekan mati-matian hasrat yang terus bercokol, memberitahunya bahwa Rietta juga takkan menolak. Ada gunanya juga mengingat-ingat betapa menderita perasaannya ketika Rietta telah memberinya persetujuan – bahwa dia tak butuh pernikahan untuk bisa tidur dengan selirnya. Hal itu bekerja selama lima detik sebelum ciuman lainnya menelan dirinya. Tidak jelas siapa yang memulainya, dan dia tak bisa menolak.
Rietta menggenggam kerah bajunya, kemudian menyusurkan tangan naik menuju bahunya untuk memeluk lehernya. Napas kian berat, dan ciuman kian mendalam. Otak Killian berteriak agar berhenti, tapi dia tak bisa melakukannya.
Persis pada saat itulah, bel berbunyi di luar pintu.
“…?”
Sepucuk surat menyelusup masuk lewat bawah pintu.
Pasangan itu mengalihkan pandangan mereka pada amplop yang ada di bawah pintu.