Like Wind on A Dry Branch - Chapter 177
Rietta berharap untuk menebus dosa-dosanya seumur hidup karena telah berpaling dari sesuatu yang begitu penting. Dia pernah berpikir bahwa ada sesuatu yang salah sejak rahasia itu terungkap dan dia telah menyerah untuk hidup dalam persembunyian.
“Jalanilah hidup yang kau harapkan. Beliau juga menginginkannya untukmu. Jadi, berbahagialah sebesar yang kau bisa.”
Kata-kata Lana, segel yang ditinggalkan pada tubuhnya, kehidupan yang telah dia jalani, semuanya itu memberitahukan kebenaran kepadanya, namun duka dan rasa takut telah menjauhkan kebenaran itu darinya.
“Akan jadi bagaimana perasaanmu jika putrimu berada dalam situasimu?” Air mata mengalir menuruni wajahnya ketika dia teringat kata-kata Morbidus. Jawabannya sudah jelas. Rietta takkan menginginkan putrinya menyia-nyiakan hidupnya untuk menangisi kematian ibunya. Tak ada yang akan lebih melukai dirinya daripada putrinya terus berduka, seperti yang telah dia lakukan. Dia pasti akan mendorong putrinya untuk meraih kehidupan yang diinginkannya, untuk berhenti membuang-buang waktu. Rietta takkan pernah mau putrinya menyerah atas apa pun demi dirinya.
Kudanya menendang padang berselimut salju dari tempat paling dingin di benua ini. Angin utara yang membekukan mendinginkan paru-parunya, tapi tak ada yang mampu menjinakkan hasrat yang membuncah dari dasar hatinya.
Dia tak bisa menjamin kalau ibunya akan menginginkan hal ini, karena ingatannya akan ibunya terbatas pada masa kanak-kanaknya, dan dia bukan ibunya. Akan tetapi, ada satu hal yang jelas: hati lebih penting dari kewajiban dan tanggung jawab. Tak ada yang namanya cinta terlarang, tak ada orang yang tak boleh dicintai oleh putrinya karena dirinya.
Di tengah salju, semua yang pernah dicintainya berlintasan dalam benaknya. Orangnya sudah pergi, namun cintanya masih ada. Cinta yang telah mereka berikan kepadanya, cinta yang telah dia berikan kepada mereka, tidak pergi ke mana-mana.
Pada saat itu, semuanya menjadi begitu jernih. Cinta itu tak terpatahkan.
****
Tanpa Rietta, bahkan angin telah menjadi diam. Killian mendongak menatap langit berawan. Rietta sudah minta waktu seminggu dan telah berjanji untuk kembali.
“.…”
Killian belum meninggalkan tempat yang ditinggalkan Rietta beberapa menit yang lalu. Dia berdiri di bukit berselimut salju tempat mereka telah berpisah, mengamati hembusan napasnya memudar di udara. Dia telah menerima penantian itu dan tahu kalau dia harus melakukannya, namun tanpa bisa dipungkiri dia merasa gelisah. Rietta telah memerintahkan masa tenggat kepada kesatrianya, yang pasti terasa lama dan menyakitkan. Apakah Rietta akan kembali kepadanya atau dia akan kehilangan wanita itu? Insting Killian memberitahunya bahwa hal itu akan diputuskan pada minggu ini.
“Kau memiliki takdir buruk dengan sang duke agung.”
Killian memejamkan matanya. Andai saja mereka tak punya sejarah dalam keluarga, akankah dia membuat Rietta lebih gembira? Bisakah dia memberi lebih banyak ketenangan dan lebih sedikit rasa sakit pada Rietta? Akankah dia telah memeluk Rietta, bebas dari trauma? Mungkin semuanya akan jadi lebih baik daripada saat ini. Mungkin saja dia bisa menepati janji untuk menyembuhkan Rietta dan memimpikan masa depan yang berbeda bersama-sama. Dia tak bisa lagi membayangkan dirinya tanpa Rietta.
****
Dunia telah berubah menjadi lintasan buram kelabu berkabut. Kesunyian telah datang di antara badai. Kepingan-kepingan salju menghiasi langit tak berangin bagaikan kandil yang membentang luas tanpa batas.
Rietta terengah. Dia menemukan Killian masih berdiri diam di puncak bukit dalam mantel merah gelapnya. Dia langsung bisa mengenali bahwa orang itu adalah Killian meski jarak mereka masih cukup jauh.
Dia bertanya-tanya, Kenapa dia masi ada di sini? Dia tak tahu apakah Killian sudah pulang lalu kembali keluar lagi atau telah berdiri di sana sepanjang waktu. Kehabisan napas, Rietta hampir terhuyung jatuh dari Tigris ketika dia memanggil nama Killian sekuat tenaga. “Killian!” Nama pria itu menggema di seluruh rimba raya.
Kilian tak menoleh ke belakang. Rietta menangkupkan kedua tangannya di sekeliling mulut dan sekali lagi menyerukan nama pria itu. “Killian!”
Barulah setelah Rietta memanggil dua kali dia menyadari kalau dunianya tidak bersinggungan dengan dunia Killian. “Oh….” Kupu-kupunya, subyek dari sihir penjaga dari Morbidus, masih berputar-putar di sekelilingnya. Dia telah berlari cukup cepat untuk mendahului sihir penyembunyi sang iblis wabah.
Rietta tak ragu untuk berlari ke arah Killian. Paru-parunya serasa terbakar dan napasnya terasa kian berat. Hanya ada satu pikiran yang memenuhi benaknya ketika dia memperkecil jarak mereka: Killian. Seluruh dunia penuh dengan pria itu. Barulah kemudian dia merasa hidup. Meninggalkan jejak kaki di padang salju, dia berlari sekuat tenaga. Dia tak peduli pada hawa dinginnya. Tak ada yang menghalangi mereka selain angin dan salju yang menerpa wajahnya.
Saat-saat itu terasa bagaikan seribu tahun. Rietta berlari dan terus berlari, mati-matian ingin mencapai Killian. Semakin lama dirinya semakin dekat. Sepuluh langkah sebelum dia tiba di sisi Killian. Lima langkah. Tiga langkah. Dua. Satu.
Rietta tiba persis sebelum dirinya nyaris pingsan. Dia hampir menabrak Killian ketika mengalungkan kedua lengannya pada pinggang pria itu. Begitu mereka bertemu, cincin pada kalung Killian berkedip sedetik dan berdenting seperti gelas anggur. Wanita itu telah muncul entah dari mana untuk mendarat dalam pelukannya.
Mata Killian melebar karena kaget. “…!” Refleks dia berputar untuk menindih orang yang telah menerjang ke arahnya. Dia membeku ketika melihat Rietta yang terengah-engah hebat. Bahu wanita itu naik turun dengan dramatis. Rietta memeluknya setelah berlari secepat mungkin.
Langkah-langkah kaki Rietta di padang salju, jejak-jejaknya saat berlari, keberadaannya – dalam sekejap semuanya bertumpang tindih dengan dunia Killian. Waktu telah berhenti. Dunia menjadi tak lebih dari pasangan yang saling berpelukan di atas padang salju putih.
Selama sepersekian detik Killian merasa kebingungan. Tak bisa dia percaya kalau kini dia sedang memeluk Rietta dalam dekapannya.
“Aku takut,” adalah hal pertama yang keluar dari mulut Rietta.
Killian tak bisa menahan diri untuk memegang bahu Rietta, terperangah. Dengan ragu dia melangkah mundur dan mengamati wanita itu. “Ada apa?! Kau tak apa-apa? Di mana iblismu?”
Rietta menumpahkan isi hatinya di hadapan pria yang menerima dirinya persis sebagaimana adanya. “Ini terasa sulit. Aku marah. Aku merasa seakan semuanya adalah salahku,” ujarnya seraya terengah. Mata mereka bertemu. “Dan aku mencintaimu.”
Killian berhenti bernapas. Dia menatap nanar pada Rietta, tak mampu berkata-kata.
Rietta tercekat. “Aku merasa seakan dunia hanya terus memberiku saat-saat yang sulit… aku ingin merahasiakan semuanya, dan aku juga ingin memberitahukan semuanya. Aku takut kalau kau akan meninggalkanku, dan aku ingin lari darimu. Aku merindukanmu, dan kemudian aku ingin lepas darimu, dan sekarang kupikir aku takkan bisa hidup tanpamu.”
Killian tak bisa memercayai apa yang telah dia dengar. Menatap Rietta, dia menangkupkan kedua tangannya pada wajah Rietta.“Apa… tadi… katamu?”
“Aku tak bisa hidup tanpamu.” Rietta meneruskan sebelum Killian bertanya lagi dengan suara bergetar, “Aku mencintaimu.”
Killian selalu membuat setiap kebingungan dan rasa sakit yang Rietta hadapi menjadi tak berdaya. Pada akhirnya dia telah membuat Rietta jatuh cinta kepadanya.
Setelah menempuh jalan penuh kekacauan yang panjang, berkelok, serta menyakitkan yang ingin dia jauhi, Rietta telah memutuskan untuk berdiri di hadapan Kilian di atas kakinya sendiri. Killian menatapnya tanpa mampu berkata-kata. Fakta bahwa dia akan memasang tampang seperti itu membuat Rietta lupa untuk bernapas.
Dug. Dug. Jantungnya berdegup. Sesuatu yang panas memenuhi rusuknya. Killian telah ada di sana untuknya saat dia melalui semuanya – rasa bingung, derita, duka, dan trauma. Killian telah begitu sabar dan gigih, meski dirinya membuat pria itu menunggu begitu lama tanpa kepastian. Cintaku begitu bodoh dan tidak pantas serta pengecut. Tapi kalau aku boleh memberanikan diri, aku takkan pernah melepaskanmu.
Dia mengangkat kepalanya, dan mata mereka pun bertemu. Rietta memeluk Killian sebelum Killian bisa melakukannya. Dia berjinjit dan menarik Killian mendekat, mencengkeram kerah baju pria itu untuk mencari bibirnya. Kedua tangannya gemetar bahkan meski dia tak punya setitik pun keraguan. Bibir mereka bertemu meski tidak dalam keselarasan sempurna, dan dia memejamkan matanya. Air mata mengalir menuruni pipinya.
Bibir Rietta menekan bibirnya dan meninggalkan gerakan sederhana namun penuh keputusasaan. Sentuhan yang bergetar itu menyatakan hatinya yang tak bisa ditahannya.
Killian menarik Rietta begitu wanita itu menjauh, dan ciuman yang tak beraturan itu berlanjut dalam penyatuan sempurna. Hasrat manis mereka bertautan ketika jantung Rietta berdebar dan tubuhnya memanas.
Rietta melingkarkan lengannya pada leher Kilian. Dia nyaris lupa bagaimana cara untuk bernapas bahkan meski ini bukan ciuman pertamanya. Jantungnya berdebar begitu kencang sehingga hampir terasa menyakitkan. Tangan besar Killian yang menopang kepalanya terasa begitu manis. Tarikan Killian pada lehernya terasa bagaikan belaian lembut.
“Uh….” Sesuatu seperti isakan terlolos dari mulut Rietta ketika dia berjuang untuk menarik napas.
Bibir mereka berpisah, dan Killian menatap begitu tajam padanya hingga seperti akan melubanginya.
“…!” Rietta membeku karena kaget. Dia menutupi bibirnya dengan punggung tangan untuk menyembunyikan rona wajahnya. Kenapa aku menangis di saat seperti ini? Dia merasa luar biasa malu dan sadar diri dengan bagaimana penampilannya.
“Jangan lihat,” dia berkata. Dia tak mau Killian melihatnya dalam kondisi seperti ini. Ini sungguh memalukan. “Aku tampak berantakan se-”
Killian menggenggam tangannya yang menutupi wajahnya. Pria itu kembali menundukkan kepala dan berkata, “Iya,” ketika bibirnya semakin mendekat. Menarik Rietta dari bagian belakang kepalanya dengan tangan yang lain, Killian memejamkan mata dan kembali mencium wanita itu alih-aliih menatap wajahnya.
Rietta mengepalkan dan melepaskan tangannya yang ada di bahu Killian. Sekujur tubuhnya terasa rileks. Ciuman itu tak berhenti selain untuk sesekali memberinya ruang untuk bernapas. Benaknya terasa kabur. Dia tak bisa bernapas, namun dia berharap Killian memeluknya lebih erat lagi. Jangan lepaskan aku, batinnya, bahkan ketika dia merasa seolah seluruh tulang di tubuhnya bisa diremukkan.
Kemegahan nan manis menyelimuti padang salju. Dunia berkelip dalam warna putih. Semuanya memburam sebelum kembali ke tempatnya semula. Rietta berharap dirinya bisa melebur ke dalam pelukan Killian.
Pasangan itu berciuman dalam waktu lama di tengah padang salju, seakan dunia telah berhenti. Rasanya mereka tak pernah bisa cukup lama berciuman; seberapa lama pun waktunya tetap terasa kurang. Namun dada bidang Killian terasa hangat dan kuat. Rietta menyukai lengan kokoh Killian yang memeluknya. Dia bisa tetap seperti ini selamanya.
****
“Kau tak akan tanya kenapa aku datang secepat ini?” Rietta berbisik, bibir mereka masih menempel.
“Apa Anda kembali untuk sesuatu yang baik, Bu?” Killian bertanya balik.
“Aku datang untuk sesuatu yang baik,” Rietta berbisik sambil terkikik. Terima kasih karena telah menungguku. Aku tidak akan lari lagi.
Killian menempelkan dahinya pada dahi Rietta dan mengulas senyum cemerlang. Rietta balas tersenyum kepadanya, kemudian menguburkan dahi pada tulang selangka Killian dan wajahnya berada di dada pria itu. “Jangan panggil aku ‘Bu’. Tak cocok untukmu.”
“Apa ini adalah perintah, Bu?”
Rietta merona. “Kubilang, hentikan.”
Killian tertawa lembut. Saat itulah Rietta berjengit. “Tunggu.” Dia mendongakkan kepala untuk melihat leher Killian dan menyentuh kerah bajunya, tampak cemas. “Kau berdarah. Lukamu pasti belum sembuh sepenuhnya.”
Dengan gugup Rietta mulai memanggil kekuatan penyembuhnya. Entah kenapa, luka itu telah terbuka, entah karena dia berlari menabrak Killian atau karena kekuatan sihir dan kekuatan suci saling berbenturan. Killian hanya terus menatap Rietta seakan sama sekali tak peduli pada luka irisnya. Toh tidak terasa sakit.
*****
Killian dan Rietta lari ke dalam rumah Rietta ketika badai salju brutal lainnya dimulai. Hawa dingin ekstrim tersebut membuat semua orang tetap berada di dalam rumah, jadi tak ada seorang pun yang melihat mereka di jalanan. Pasangan itu berganti pakaian dengan baju kering, mengisi ulang kayu bakar di perapian, dan menunggu ruangannya menghangat, bersandar pada satu sama lain seraya membungkus diri dalam selimut. Mereka berbaring bersisian di atas ranjang yang jauh lebih kecil daripada ranjang Killian. Rasanya tidak buruk juga jika melewatkan waktu bersama-sama, kadang terkantuk-kantuk dalam kamar yang mulai menghangat.
“Rasanya aku tak ingin kembali ke kastel,” Killian berkata. Rietta diam saja, tampaknya sudah tertidur dengan kepala bersandar pada dada Killian. Dia mendengar suara napas teratur wanita itu. “Kuharap aku bisa tetap di sini.”
“.…”
“Apa ibumu akan setuju denganku?” Killian bertanya pada dirinya sendiri sesaat kemudian.
“Kau telah menyelamatkan nyawaku, jadi… kurasa dia akan menyetujuimu,” Rietta menggumam. Dia pasti baru saja terbangun. Killian menepuk-nepuk punggungnya tanpa bersuara. Rietta menggumam dalam pelukan Killian, “Untuk waktu yang lama, aku lebih cemas kalau dia takkan memaafkan aku.”
“Apa kau sudah memecahkannya?” Killian bertanya.
“Aku tidak yakin,” Rietta berkata lirih. “Tapi aku sudah memaafkan diriku sendiri.”
Beberapa saat kemudian Rietta membuka matanya. Killian terus memandanginya sebelum membuat kontak mata. Dengan ragu Rietta menggerak-gerakkan tangannya di bahu Killian, menunduk, lalu kembali mendongak. “Apa kau sudah memaafkan aku?” dia bertanya, menatap ke dalam mata pria itu.
“Aku mencintaimu,” Killian menjawab.
Rietta menatapnya. “Apa kau akan memaafkan aku, tak peduli apa pun yang terjadi di masa depan?”
“Aku akan mencintaimu selamanya,” Killian berkata.
Rietta mengeluarkan kekehan kecil terisak yang terdengar seperti desahan. “Kau tak menjawab pertanyaanku. Kau membuat jawaban-jawabanku jadi kedengaran buruk.”
“Aku akan memberimu kesempatan untuk menebusnya.” Killian menarik Rietta seraya tersenyum. Dia menyandarkan kepalanya pada bahu Rietta dan mendekatkan telinganya ke bibir wanita itu. Pakaian dan rambutnya yang sejuk menggelitik pipi dan leher Rietta.
Rietta terkikik ketika Killian menunggu dalam kesunyian. Balas memeluk Killian, Rietta terus mendekatkan bibirnya pada telinga pria itu. Dia terus seperti itu selama beberapa saat tanpa bicara sepatah kata pun.
Mulutnya membuka, dan menutup, seakan dirinya sedang ragu-ragu. Dia berharap hatinya yang meluap-luap bisa mencapai Killian. Tak ada kata-kata yang mampu sepenuhnya mengambarkan perasaan kasih dan bersalah yang begitu menyesakkan. “Aku tak tahu bagaimana cara mengatakannya,” akhirnya dia menggumam dengan kata-kata tercekat.
Killian tak keberatan. Dia hanya tersenyum dan memeluk Rietta seerat mungkin. “Kau sudah mengatakannya.”