Legend of Concubine’s Daughter Minglan - Chapter 229
Momo Chang berbalik dan menunjuk pada wanita di belakangnya, “Ini adalah menantu saya. Marganya Hu.”
Si wanita paruh baya melangkah maju untuk memberikan penghormatannya kepada Minglan dengan kepala ditundukkan dan lutut ditekuk. Minglan dan tersenyum dan membalas dengan salam tidak formal, “Kakak Ipar Chang, senang bertemu denganmu.”
“Merupakan kehormatan untuk bertemu dengan Anda, Nyonya.” Chang-hu-shi sedikit menaikkan kepalanya. Wanita ini cukup cantik namun kulitnya agak gelap. Terlebih lagi, sudut mulutnya menurun sepanjang waktu, yang mana membuat wajahnya tampak masam. Begitu dia mulai bicara, dia langsung memuji Minglan seraya menyeringai, “Nyonya, saya sudah ingin melihat Anda sejak lama. Saya tak pernah percaya saat mereka semua bilang kalau Anda mirip dengan bidadari. Sekarang saya melihat Anda hari ini, astaga, saya jadi bertanya-tanya kenapa Ratu Langit membiarkan Anda meninggalkan kahyangan!”
Saat Minglan melihat pakaian Chang-Hu-shi, dia tak tahan untuk melengkungkan sudut mulutnya. Warna merah gelapnya tidak cocok dengan kulit wanita ini sama sekali. Sungguh sebuah keberanian untuk berpakaian seperti itu! Setelah mendengar pujian wanita itu, tawa Minglan pun meledak dan berkata, “Kakak Ipar Chang, kamu memang punya selera humor! Silakan duduk.”
Chang-Hu-shi tidak langsung duduk melainkan melirik pada ibu mertuanya. Sementara itu, Momo Chang menunjuk pada kedua anak yang dibawanya, berkata, “Ini adalah cucu perempuanku, Chang Yan. Yang itu adalah cucu laki-lakiku, Chang Nian. Yan, Nian, kemari beri hormat kepada Nyonya.”
Kedua anak itu langsung melangkah maju dan bersama-sama membungkuk pada Minglan. Kali ini Minglan akhirnya bisa merasa tenang menerima penghormatan. Saat mereka mendongakkan kepala mereka, Minglan mau tak mau tertegun.
Anak laki-laki dan perempuan tampak cukup serupa dengan kulit agak gelap serta wajah yang rupawan, namun temperamen mereka benar-benar berbeda. Chang Yan sama seperti nona-nona dari keluarga biasa dan bahkan tampak agak kasar, mungkin karena dia telah tinggal di pedesaan selama beberapa tahun terakhir ini. Chang Nian, Sebaliknya, bersikap baik dan anggun. Dia bicara dengan jelas dan membawa diri dengan anggun. Meski dirinya berasal dari keluarga biasa, dia tidak tampak kaku sama sekali saat tiba di keluarga kaya.
Semua orang duduk untuk bicara. Bahkan anak laki-laki dan perempuan itu ditawari bangku berkaki dua untuk diduduki.
Tampaknya ini adalah kali pertama Chang-Hu-shi dan anak-anaknya datang kemari. Setelah mereka bertiga duduk, mereka pun tak bisa menahan diri untuk memandangi semua hiasan yang ada di aula. Chang-Hu-shi, yang paling antusias di antara mereka, merasa kalau hiasan di dalam aula cukup halus dan indah namun tetap mempertahankan gaya mewah yang merendah.
Hanya ada sebuah vas kumala lemak domba setinggi satu kaki yang tampak benar-benar tak bercela diletakkan pada rak. Dua baris kursi rosewood berukirkan pola-pola bunga diletakkan pada kedua sisi aula. Warna kayunya gelap, namun permukaan kursinya berkilau. Chang-Hu-shi terus membelai kursi yang didudukinya dan memuji, “Nyonya, tempat Anda sungguh menakjubkan. Saya mendapatkan perasaan bahwa saya sedang berada di kahyangan saat ini. Aih, lihatlah pot tanaman itu… potnya terbuat dari kumala, kan? Dan matras tidurnya, dari bambu jenis apa matras itu dianyam….”
Cara Chang-Hu-shi bicara menunjukkan karakternya yang vulgar. Momo Chang, dengan alis sedikit bertaut, melirik menantunya namun masih menahan kata-katanya. Setelah itu, Momo Chang menatap Minglan, mendapati yang bersangkutan tak menunjukkan ketidaksabaran di wajahnya sama sekali. Akan tetapi, Momo Chang juga bisa merasa bahwa Minglan juga tidak sedang berusaha bersandiwara kepadanya. Sepanjang waktu ini, Minglan hanya bercanda dengan seulas senyum tipis di wajahnya seakan dirinya benar-benar dibuat geli oleh kata-kata Chang-Hu-shi.
“Aku tidak terlalu ingat dengan jelas.” Minglan berusaha mengingat-ingat, “Bambunya mungkin berasal dari Wilayah Shu. Mereka memotong bambu-bambu yang tinggi menjadi irisan-irisan dan kemudian memilih irisan yang memiliki tekstur terbaik. Setelah mereka membuat irisan-irisan itu menjadi tongkat bambu, mereka akan memakai batu putih bundar untuk menggiling tongkat-tongkat itu lagi dan lagi. Kurasa akan butuh ribuan kali bagi mereka untuk menggiling tongkat-tongkat itu menjadi filamen-filamen bambu. Terakhir, mereka akan menganyam filamen bambu itu menjadi matras tidur.” Setelah melewati semua prosedur itu, matrasnya akan menjadi halus dan putih seperti satin.
Chang-Hu-shi mendesah dalam-dalam. Dengan sorot iri di wajahnya, dia berseru, “Oh astaga, astaga, astaga, ada berapa banyak kerja yang telah dikerahkan! Harganya pasti sangat mahal! Tak heran begitu halus saat disentuh. Aih, kami orang-orang biasa takkan pernah mampu menikmati benda sebagus ini….”
Minglan tak bisa bersikap merendah tentang hal itu. Saat ini dirinya tidak tinggal dalam masyarakat komoditas. Terkadang uang memang tak bisa membeli segalanya. Pada periode feodal, barang-barang yang benar-benar bagus semuanya diserahkan kepada keluarga kekaisaran dan dibuat oleh para perajin dari bengkel kekaisaran.
Semenjak musim panas dimulai, persediaan untuk menyejukkan diri telah dikirimkan secara konstan dari istana, yang sebagian besarnya bahkan belum pernah Minglan lihat sebelumnya. Contohnya saja, kalau Minglan tidak takut bila bambunya akan dengan mudah berjamur begitu disimpan terlalu lama, dia sungguh ingin menyembunyikannya di dalam ruang penyimpanan.
Alis Momo Chang berkerut lebih rapat lagi. Dia melontarkan lirikan galak pada menantunya dan berhasil menutup mulut yang bersangkutan. Minglan sebenarnya tak keberatan dengan ocehan Chang-Hu-shi dan telah menanggapinya dari waktu ke waktu. Setelah Chang-Hu-shi berhenti bicara, Minglan berpaling pada Momo Chang dan bertanya, “… Saya dengan Momo tinggal di Gang Kuping Kucing sekarang. Bagaimana kediamannya? Apakah lokasinya mudah untuk dijangkau?”
Dengan raut di wajah keriput Momo Chang melembut, dia pun berkata, “Berkat Tuan Ye, kediamannya sangat bagus. Kami memiliki dua halaman dan dua gerbang. Bahkan saat Nian kelak menikah dan punya anak, kediaman itu masih cukup besar untuk keluarga kami, apalagi sekarang kami hanya berempat. Tetangga-tetangga kami semuanya adalah keluarga-keluarga yang baik. Di depan dan di belakang gang ada dua jalan utama. Sangat mudah bagi kami untuk menaiki kereta ataupun tandu.”
“Itu bagus. Tuan dan saya bisa tenang sekarang….”
Minglan mengambil buah segar pada piring hijau dan ingin meneruskan seraya tersenyum. Akan tetapi, Chang-Hu-shi mulai bicara lagi, “Tidak semua yang ada di sana bagus. Lokasinya agak terpencil dan tempatnya sepi. Setiap kali saya ingin membeli sejumlah kuas tulis dan kertas untuk Nian atau beberapa baju baru untuk Yan, saya harus menghabiskan waktu lama di perjalanan. Kalau kami bisa….”
“Diam.” Momo Chang dengan raut marah di wajahnya, mengetukkan cangkir teh ke meja dan menghardik, “Berhenti bicara sembarangan!”
Chang-Hu-shi langsung menutup mulutnya. Minglan mengamatinya dengan penasaran, mendapati bahwa meski Chang-Hu-shi telah berhenti mengatakan apa pun, wanita itu tak tampak malu sama sekali. Mungkin wanita ini berkulit tebal dan telah terbiasa dikritik oleh mertuanya; tampaknya dia tak merasakan apa-apa saat dimarahi di muka umum. Setelah itu, Chang-Hu-shi bahkan mulai makan cemilan seakan tak terjadi apa-apa.
Setelah mengamati menantunya, Momo Chang menolehkan kepala dan berkata pada Minglan, “Nyonya, harap jangan repot-repot dengan kami. Kami sudah membawa banyak masalah kepada Tuan Ye. Aih…. Seorang wanita tua sepertiku tidak takut dipermalukan. Aku hanya akan mengatakannya saja.” Dia mengesah dan meneruskan dengan nada tertekan, Semua ini gara-gara putraku yang tak bisa diharapkan! Dia tidak bagus dalam belajar dan hanya ingin belajar berbisnis. Bukan hanya dia telah kehilangan semua yang kami miliki setelah ditipu, dia juga dipukuli sampai setengah mati. Saat seluruh keluarga kami sudah akan terlibat, aku akhirnya memutuskan untuk membawa keluargaku ke Ibu Kota tanpa memikirkan tentang harga diriku sendiri. Aku tak tahu kalau nonaku telah wafat belasan tahun yang lalu. Kami beruntung masih ada Tuan Ye. Dia telah memberikan lahan pertanian dan rumah untuk kami. Itulah sebabnya kami bisa hidup hingga hari ini.”
Mendengar hal itu, Minglan tak bisa lagi menyembunyikan raut kagetnya.
Dia tak terkejut dengan cerita Momo Chang, melainkan pada fakta bahwa Momo Chang baru saja membicarakan skandal keluarganya di muka umum.
Gu Tingye tak pernah memberi tahu Minglan apa pun tentang hal itu, namun Minglan sudah memiliki perkiraan.
Pada masa kuno, orang-orang cenderung kembali ke tempat asal mereka alih-alih meninggalkan kampung halaman mereka. Kalau Momo Chang telah menjalani kehidupan yang baik di Hai Ning, kenapa dia sampai membawa seluruh keluarganya ke Ibu Kota? Lagipula, dia telah memutuskan semua hubungan dengan keluarga majikan lamanya selama lebih dari sepuluh tahun; kecil kemungkinan baginya untuk menunjukkan kesetiaannya dengan begitu mendadak. Di samping itu, Keluarga Chang tak memiliki cendekiawan yang perlu mengikuti ujian negara ataupun pebisnis yang ingin membuka toko di Ibu Kota.
Jadi, Minglan pun hanya terpikirkan satu kesimpulan. Orang-orang di Keluarga Chang tak bisa lagi tinggal di kampung halaman mereka dan hanya datang untuk mencari perlindungan dari Keluarga Bai.
Semenjak pernikahan Minglan hingga sekarang, Minglan masih bingung tentang banyak hal seperti kematian Yanhong, kisah Manniang, dan anak Gu Tingye yang lain. Kalau Gu Tingye bersedia menjelaskan kepadanya, Minglan tentu ingin mendengarkannya. Akan tetapi, dia tak pernah menanyakan tentang hal itu atas inisiatifnya sendiri. Meski mereka adalah pasangan, masih ada beberapa rahasia yang mereka ingin simpan sendiri. Juga, Gu Tingye pun tak punya niat untuk menyebutkan tentang hal-hal itu.
Momo Chang telah tiba di Ibu Kota selama hampir sepuluh tahun dan pasti tahu banyak rahasia, yang menjadikannya sebagai penerobos yang sempurna. Karenanya, sudah sejak lama, MInglan telah berusaha mencari tahu karakter Momo Chang.
Jadi, orang macam apa Momo Chang itu?