Legend of Concubine’s Daughter Minglan - Chapter 228
Malam itu, tidur Minglan tak terlalu nyenyak. Setelah dia setengah terbangun, dia merasakan seseorang tengah menatap dirinya. Saat dia membuka matanya dengan linglung, dia mendapati Gu Tingye sedang sedikit berbaring ke sisinya dan menatapnya. Minglan, dengan mengantuk, hanya menggumam, “Kenapa kau tidak tidur?”
Lama kemudian, Gu Tingue berkata lembut, “Kembalilah tidur, Sayang, kau sudah kelelahan akhir-akhir ini.”
Nada pelannya mengungkapkan perhatian lembutnya, dan bahkan sedikit rasa bersalah keapda Minglan.
Bulu mata panjang Minglan tiba-tiba bergetar.
Dia memang sungguh kelalahan.
Sangat melelahkan mengurus keluarga sebesar itu. Pergaulan sosial itu melelahkan. Berjaga dari muslihat dan siasat orang lain juga melelahkan. Dia harus menimbang-nimbang perkataannya setiap kali dia hendak mengatakan sesuatu dan mempertimbangkan hal-hal yang ingin dia lakukan lagi dan lagi. Dia takut ditegur dan dikritik. Dia lebih takut lagi kalau kesalahan-kesalahannya akan mendatangkan masalah bagi suaminya. Bila semuanya terus berlanjut seperti ini, suatu hari dia akan jadi gila.
Dahulu, dahulu sekali, dia pernah bersumpah di depan sang Buddha bahwa dia akan menjalani kehidupan yang baik.
Setiap hari, tak peduli seberapa lelahpun dirinya, dia akan menyempatkan untuk beristirahat, mengagumi bunga-bunga yang indah, membaca buku, bermain catur, melukis, menyulam pola Gunung Brokeback yang sangat membuatnya kagum pada kain dan melantunkan Naskah-naskah Buddhis saat menatap pemandangan yang jernih dan indah. Bait-bait indah dalam puisi dan buku-buku yang mencatat gunung-gunung serta sungai-sungai yang menakjubkan itu bisa menentramkan batinnya bagaikan angin sejuk yang berhembus melewati pegunungan.
Setiap hari, dia tersenyum dan memohon belas kasihan sang Buddha. Dia hanya menginginkan kedamaian, kesukacitaan, dan pikiran yang jernih.
Semua orang berkata kalau dirinya adalah gadis yang beruntung – Tetapi setidaknya pria di sisinya tahu tentang kelelahan dan kesulitannya.
Minglan menghampiri pria itu dan beringsut ke dalam pelukannya seperti seekor anak anjing kecil. Tengah malam di awal musim panas masih terasa dingin, tampaknya Minglan hanya bisa menemukan kehangatan di dalam pelukan pria itu.
Paginya, setelah sarapan, tiga orang yang tinggal di Wisma Keharuman Kapulaga datang untuk memberikan penghormatan mereka seperti biasa.
Mata Qiuniang bengkak seperti kenari besar, jelas dia telah menangis sepanjang malam dan masih berada dalam kondisi kecil hati. Hongxiao berkata seraya tersenyum seperti biasanya seakan tak ada apa pun yang terjadi. Lalu untuk Rong, berkat makanan-makanan bergizi beberapa hari ini, dia akhirnya tampak lebih baik daripada sebelumnya. Akan tetapi, gadis itu hanya mengucapkan sepatah kata atau satu frase sederhana sesekali.
Minglan bercakap-sakap ramah dengan mereka. Umumnya, dia akan mengucapkan tiga kalimat kepada masing-masing dari mereka dan membiarkan mereka bicara dengan bebas. Hongxiao memainkan peran sebagai pemimpin percakapan para sebagian besar waktunya. Akan tetapi, Minglan mengucapkan lebih banyak hal hari ini.
“Momo Chang akan datang siang ini. Katakan kepada Mama Hua untuk membawa Rong kemari pada saat itu.”
Qiuniang menggerakkan bibirnya namun tak mengatakan apa-apa. Rong juga sedikit menaikkan kepalanya. Hongxiao memasang raut gembira, berkata, “Apa Momo Chang benar-benar datang? Saya sudah pernah mendengar Tuan bicara tentang Momo ini. Karena sekarang Beliau juga tinggal di Ibu Kota, saya rasa kita bisa sering bertemu dengannya kelak.” Dia tampaknya menantikan kedatangan Momo Chang.
Minglan melirik pada Hongxiao dan mengangkat cangkir tehnya, berkata, “Tuan berkata kalau Momo Chang pernah merawat Rong sebelumnya. Jadi Tuan ingin Rong bertemu dengan Momo Chang.”
Wajah Qiuniang jadi semakin pucat dan lebih pucat lagi begitu mendengarnya. Rong, dengan kepala tertunduk, tampaknya telah teringat sesuatu. Hongxiao terpana sesaat namun langsung mengubah subyeknya dengan seulas senyum cerah. Setelah wanita ini bicara sesukanya selama lima menit, Minglan pun membubarkan mereka semua.
Setelah mereka pergi, Minglan mendongakkan kepalanya untuk menatap balok atap berukir dengan terbengong-bengong. Momo Chang, sungguh seorang wanita yang luar biasa.
Setelah putri pertama Momo Chang meninggal, dia pun pergi untuk bekerja di Keluarga Bai sebagai ibu susu. Berkat ketekunan dan kerjanya yang telaten, Tuan Besar Bai pun mengajukan untuk mempekerjakan dia dan suaminya di kediaman. Akan tetapi, dia langsung menolaknya meski dia sudah tahu berapa banyak keuntungan yang akan didatangkan oleh tawaran itu. Saat Tuan Besar Bai berhasil mengalami kemajuan dalam karirnya sendiri, Momo Chang semakin lama semakin dihargai berkat kesetiaannya. Setelah Keluarga Bai jadi semakin dan semakin kaya, saat Nona Bai sudah akan menikah, banyak pelayan yang telah bersaing untuk mengikuti Nyonya Bai ke Wisma Marquis Ningyuan demi menikmati kehidupan yang makmur. Akan tetapi, Momo Chang tidak berada di antara para pelayan itu. Dia kembali ke kampung halamannya untuk mengurus keluarganya sendiri.
Setelah Gu Tingye mendapatkan pencapaian pesat dalam karirnya, Momo Chang juga tidak bergegas untuk menempelkan dirinya sendiri pada pria itu. Alih-alih, dia menetapkan pikirannya untuk menjadi warga biasa. Saat Gu Tingye pindah ke wisma Cheng, dia telah datang untuk membantu membereskan berbagai hal sesuai dengan permintaan Gu Tingye. Setelah Tuan Gongsun kembali dari selatan, Momo Chang pun pulang lagi ke rumahnya.
Juga, kali ini Momo Chang pun telah menyatakan secara spesifik bahwa dia akan datang hanya pada siang hari.
Hal ini patut untuk dipikirkan. Pada masa kuno, sebagian besar tamu hanya datang pada pagi hari. Minglan berusaha menerka niat Momo Chang: Pertama, besar kemungkinan bagi Momo Chang untuk bertemu dengan Gu Tingye kalau dia datang pada siang hari. Kedua, bila Momo Chang datang pada pagi hari, dia akan harus tetap tinggal di sini untuk makan siang.
Tak peduli seberapa besar pun Gu Tingye menghormati Momo Chang sebagai seorang tetua, wanita itu dulu pernah menjadi ibu susu dalam Keluarga Bai, yang mana berarti bahwa dia bisa dianggap sebagai seorang pelayan. Untuk alasan itu, dia menolak makan di meja yang sama dengan tuan dan nyonyanya. Akan tetapi, dia tak bersedia merendahkan dirinya sendiri dengan berkata bahwa dia tak bisa makan bersama dengan tuan dan nyonyanya sebagai pelayan mereka. Karenanya, dia pun memutuskan untuk datang di siang hari.
Tetua ini berpegang kokoh pada aturan, namun sangat menghargai dirinya sendiri.
Sekitar dua perempat lewat dari Waktu Wei (pukul 1 siang), Minglan terbangun dari tidur siang dan mulai membasuh wajahnya. Saat dia sedang mengenakan riasan, seseorang masuk untuk melapor, “Momo Chang dan keluarganya telah tiba.” Minglan menyuruh Cuixiu menjemput Rong di Wisma Keharuman Kapulaga. Kemudian dia menyelesaikan berdandan dan pergi untuk menunggu di aula bunga. Tak lama kemudian, Istri Liao Yong memimpin jalan bagi Momo Chang dan keluarganya ke dalam aula.
Orang yang berjalan di depan adalah seorang wanita tua berambut kelabu. Dia mengenakan Beizi brokat hijau gelap dengan pinggiran beludru hitam selebar dua jari. Wajah keriputnya tak berekspresi sama sekali. Wanita paruh baya di belakangnya tampaknya berusia sekitar empat puluh tahun dan mengenakan jubah panjang satin merah karat bersulamkan pola-pola bundar dari benang berwarna gelap. Mengikuti kedua wanita itu adalah seorang anak laki-laki dan anak perempuan. Si gadis yang mengenakan mantel warna aprikot bersulamkan pola-pola ranting bunga yang saling berbelitan berusia sekitar lima belas atau enam belas tahun. Anak laki-laki di sampingnya yang tampaknya berusia sepuluh tahun mengenakan jubah cendekia berwarna terang.
Minglan cukup terbiasa dengan pakaian si anak laki-laki. Changdong biasanya mengenakan pakaian bergaya sama namun dalam bahan dan sulaman yang lebih baik.
Minglan, setelah perlahan berdiri, melangkah maju penuh senyum dan memberikan penghormatan kepada Momo Chang, “Momo, aku senang Momo ada di sini. Aku sudah menantikan Momo sejak lama. Tuan telah seringkali menyebutkan tentang Momo.”
Momo Chang sedikit berpaling ke samping untuk menghindari penghormatan Minglan. Sementara itu, dia sendiri menekuk lutut dan memberikan penghormatan formal kepada Minglan seraya berkata serius, “Sungguh suatu kehormatan bertemu dengan Anda, Nyonya.”
Seraya mengatakan hal ini, Momo Chang juga mengamati Minglan. Dia mendapati kalau sang nyonya muda di hadapannya tampak luar biasa menawan dan memikat dalam jubah kasa ungu muda bersulamkan pola cabang teratai. Sebuah tusuk rambut Ruyi bertatahkan kumala lemak domba tersemat dalam sanggulan rambut bergaya Wuo Duo milik Minglan, tampak bagaikan titik embun di pagi hari. Saat mereka berbicara, Minglan bersikap lembut kepada semua orang dengan sorot baik hati di matanya, tampak agung dan tak bercela.
Kesimpulannya, dalam hati Momo Chang terkesan oleh Minglan pada pertemuan pertama mereka.