Legend of Concubine’s Daughter Minglan - Chapter 194
- Home
- Legend of Concubine’s Daughter Minglan
- Chapter 194 - Makan di Luar, Hal Keluarga, Hal Negara, Hualan, Menusuk (1)
“Bukankah aku sudah bilang padamu kalau aku bisa pulang sendiri? Kenapa kau datang?”
Di dalam kereta yang dilapisi oleh tikar biru mineral, Minglan mengangkat poci teh di tangannya seraya menanyakan hal itu dalam suara rendah dengan wajah datar.
Karena sekarang masih kurang dari sebulan sejak Hai-shi melahirkan bayi, jadi sebagian besar tamu yang menghadiri upacara Hari Pemandian Tiga di sini adalah para wanita. Juga, sesuai dengan tradisi, takkan ada perjamuan. Wang-shi hanya mengundang para tamu untuk makan siang di wisma. Setelah wanita-wanita itu beristirahat sebentar sesudah makan siang, mereka semua pun pergi satu demi satu. Saat Minglan sudah akan berpamitan, Gu Tingye tiba di Wisma Sheng. Dia mengobrol dengan Sheng Hong selama beberapa saat dan kemudian pergi bersama Minglan.
Saat ini Gu Tingye tak tahu apakah harus tertawa atau menangis. Saat dia tiba di Wisma Sheng untuk menjemput istrinya, Minglan telah mengisyaratkan dengan penuh makna dengan raut malu-malu di wajahnya, “Sayang, akan sangat melelahkan bila menunggang kuda bolak-balik. Mari kita pulang naik kereta.”
Melihat pipi merona serta mata berair Minglan, kepala Gu Tingye langsung memanas dan dia pun naik ke dalam kereta dengan penuh semangat. Akan tetapi, dia tidak menyadari kalau Minglan akan menuangkan air dingin tepat di atas antusiasmenya….
“Aku cuma mampir, memangnya kenapa?” Gu Tingye menemukan raut gelisah Minglan tampak cukup menarik. Dia, merasa jemarinya cukup gatal, benar-benar ingin mencubit Minglan.
“Kau kira aku tak tahu jalan?” Minglan, merasa kecerdasannya telah dihina, serta merta meletakkan tiga cangkir teh di atas meja. “Kota kekaisaran di sini, wisma kita di sini, dan Wisma Sheng ada di sini…. Bagaimana mungkin kau bisa mampir di Wisma Sheng?!”
Minglan telah menggambarkan seluruh kota di atas meja. Wisma Gu dan Wisma Sheng masing-masing terletak di jalan lingkar pertama dan kedua Ibu Kota. Tempat kerja Gu Tingye berada di pemerintahan pusat.
Saat Gu Tingye mengamati Minglan menata cangkir-cangkir teh dengan wajah mencebik seperti seorang anak yang sedang menyusun balok, dia akhirnya tak bisa menahan diri untuk mencubit pipi Minglan. Kemudian dia berkata seraya tersenyum, “Setelah Laporan Pagi, aku menemani Jenderal Tua Bo untuk berkeliling kamp militer di Gunung Barat. Saat aku melihat kalau sudah tiba waktunya, aku pun pergi untuk menjemputmu… Bukankah merupakan hal yang baik kalau aku bisa menyokongmu di keluargamu?”
“Tidak terlalu baik.” Minglan menangkup wajahnya seraya berkata serius, “Kau lebih baik memperlakukanku dengan lebih acuh tak acuh di depan semua orang lainnya. Selama kau memenuhi tugasmu sebagai seorang suami, aku tak membutuhkanmu mengekspresikan kepedulianmu kepadaku saat ada orang lain di sekitar.”
Gu Tingye, terkaget-kaget, menatap Minglan dengan terkejut. Dia masih ingat bahwa pada waktu itu, dia belum menjemput Yu Yanhong di rumahnya, Yanhong nyaris meruntuhkan atap — Omong-omong, pernikahan pertamanya benar-benar telah memberinya banyak pelajaran.
“Apa kau belum melihat wajah Wang-shi, bibiku, dan kakak-kakakku barusan tadi? Lihatlah betapa dongkolnya mereka!” Untung saja, Wen Yanjing masih seorang pria yang peka. Suatu hari ketika dia pulang kerja lebih awal dari Akademi Kekaisaran, dia telah bergegas naik gunung dengan tujuan menjemput istrinya yang sedang bersembahyang di sana. Karenanya, Rulan kelihatan baik-baik saja dengan kehadiran Gu Tinye. Setelah dia melontarkan pujiannya, dia hanya menggoda Minglan sebentar.
Melihat ekspresi syok di wajah Gu Tingye, Minglan menjelaskan untuknya dengan sabar, “Aku bukan putri kandung Wang-shi. Bukan hanya aku telah menikah ke dalam keluarga yang lebih bermartabat daripada saudari-saudariku, aku juga telah dianugerahi gelar dan hidup secara mandiri. Sekarang, bahkan suamiku juga memperlakukanku dengan sangat baik. Aku jadi seperti orang yang memiliki semuanya! Tak ada hal hebat semacam itu. Kecemburuan akan menciptakan kebencian. Dan pada akhirnya, aku hanya akan disalahi oleh mereka tanpa alasan!”
Ini adalah kali pertama Gu Tingye mendengar tentang prinsip dalam berurusan dengan kaum wanita. Setelah menimbang-nimbang selama sesaat, dia tiba-tiba teringat pada wanita dengan penampilan kejam yang berdiri di samping Wang-shi. Dia mendengar yang lainnya memanggil wanita itu ‘Bibi Kang’. Juga, dia teringat melihat permusuhan di mata wanita itu. Kemudian ditatapnya Minglan dan berkata dengan suara berat, “Seseorang telah… iri kepadamu? Menindasmu?”
Minglan menggelengkan kepalanya, menjawab, “Semakin sedikit masalah, semakin baik. Orang harus selalu mampu namun rendah hati. Mereka semua adalah keluargaku; yang terbaik adalah bila standar kehidupan kami hampir setara. Aku tak mau menjadi pengecualian dalam keluargaku. Itu adalah alasan pertama. Kedua, bila orang lain melihatmu sangat menghargaiku, mereka pasti akan meminta bantuanku. Haruskah aku membantu mereka kalau mereka menginginkan bantuanmu dalam promosi, evaluasi, ataupun hal-hal lain seperti rekomendasi mereka?”
Minglan, sebagai wanita yang menikah, tahu bahwa dia harus selalu merendah di depan keluarganya. Dia tak pernah berniat untuk pamer atau membualkan tentang dirinya sendiri bahkan bila dirinya menjalani hidup yang makmur sekarang. Kalau tidak, orang-orang yang ingin meminjam uang, meminta untuk tinggal, meminta bantuan, meminta semuanya akan datang satu persatu…. Dan selama dia enggan untuk menyetujui perintah-perintah ini, dirinya akan dicaci kejam dengan kata-kata yang luar biasa sarkastis– Itulah yang akan dibawa oleh perbuatan pamer di depan semua orang!
Setelah Gu Tingye terbengong-bengong dalam waktu lama, dia pun berkata ragu, “Jadi… aku tak seharusnya terlalu peduli padamu saat kita berada di Wisma Sheng?”
“Itu benar.” Melihat pria itu akhirnya tercerahkan, Minglan memasang raut gembira, berkata, “Akan lebih baik kalau kau bisa keras dan bahkan galak kepadaku.”
Gu Tingye menatap Minglan, masih tak bisa mengerti, “Tidakkah kau akan jadi malu?”
“Apa kau akan memarahiku saat para tetua mengadukan aku?” Minglan bertanya penuh senyum.
“Tidak.” Gu Tingye langsung menyanggah itu.
“Apa kau akan membatasi kekuasaanku saat aku menangani urusan keluarga?”
“Kenapa aku akan melakukan itu?!” Gu Tingye meledak tertawa.
“Apa kau akan melarangku membuat pakaian, perhiasan baru, atau melakukan hal-hal yang ingin kulakukan?”
“Selama kau tak punya pemikiran jahat, kau bisa melakukan apa saja!” Gu Tingye mengatakan hal itu dengan raut tegas di wajah namun ada senyum di matanya.
Minglan mengibaskan lengan bajunya dan memegangi lengan kokoh suaminya dengan gaya menjilat, berkata seraya tersenyum, “Itu saja. Aku tahu kalau kau memperlakukan aku dengan baik, itulah semua yang kubutuhkan. Kedangkalan tak ada artinya bagiku! Kalau orang lain berpikir kau keras kepadaku, mereka mungkin akan memperlakukanku dengan lebih baik!”
Dengan cahaya berkilat di mata Gu Tingye, dia menaikkan alisnya dan menarik Minglan ke arahnya seraya tersenyum. Saat dia menggenggam tangan Minglan dalam genggamannya, dia berkata penuh senyum, “Biar aku menyimpulkannya untukmu. Maksudmu, kau ingin suamimu memasang kulit domba yang putih dan lembut di atas tubuh rubahmu yang licik, kan?”
Minglan mengedipkan sepasang matanya yang besar dan jernih, tampak cukup polos dan naif, “Sayang, kau adalah seorang komandan. Kenapa kau tak memakai seni berperang sebagai metafora? Ini namanya ‘Musuh berada di tempat terang, aku berada di tempat gelap’. Itu adalah situasi yang terbaik.”
Gu Tingye yang tak pernah menyadari bahwa Minglan akan bicara tentang seni berperang mendapati Minglan lucu sekaligus menyebalkan. Dia menarik Minglan ke dalam pelukannya dan mendekapnya erat-erat. Gadis itu hanya bisa merintih seperti bayi baru lahir dan sedikit meronta. Saat Gu Tingye menyurukkan wajah ke leher dan bahu Minglan, dia merasakan kulit lembut Minglan dan mencium keharumannya seraya terkekeh dengan suara rendah.
Saat Gu Tingye menaikkan kepalanya, dia tersenyum dan berkata, “Bagaimana makan siangnya?”
Minglan menutupi rambutnya dan meronta keluar dari lengan Gu Tingye yang kokoh, berusaha sebaik mungkin untuk mempertahankan riasannya, “Aku jarang pulang ke keluarga orangtuaku. Bagaimana bisa aku makan sampai kenyang seperti serigala kelaparan.” — Apalagi si Bibi Kang yang jahat itu duduk di seberangnya.
“Bagus sekali! Jenderal Tua Bo memiliki aturan selama empat puluh tahun ini bahwa para komandan harus memakan makanan yang sama dengan para prajurit di kamp militer. Aku bilang aku ingin melihat gudang senjata sebagai alasan dan pergi keluar. Jadi aku belum makan apa-apa! Biar kubawa kau ke Menara Kelezatan Langit untuk makan enak!” Gu Tingye tertawa lantang dan berkata demikian.
Minglan, dengan raut dongkol di wajahnya, menuding pria itu dengan telunjuknya yang lentik. Kemudian dia sengaja bicara dalam suara lembut dengan lesung pipit tampak di wajahnya, “Kau tuan muda yang selalu makan enak, kulihat kau tak mampu menanggung kesukaran apa pun. Tidakkah kau takut kalau Jenderal Tua Bo akan menghukummu dengan ganas setelah dia tahu tentang hal itu?”
“Apa kau pernah lihat tuan muda mana pun yang sebijak dan seberani aku?!” Gu Tingye berpura-pura marah seraya mengamati Minglan. “Jangan omong kosong lagi, kau mau pergi atau tidak?”
“Ya, ya, ya!” Minglan menjawab cepat, wajahnya berubah menjadi gembira, “Semua orang bilang kalau merpati goreng renyah dan Buddha Melompati Tembok di Menara Kelezatan Langit adalah yang terbaik di Ibu Kota. Tapi aku tak pernah punya kesempatan untuk mencicipinya.” Menara Kelezatan Langit adalah sebuah retoran terkenal di Ibu Kota. Hanya kaum bangsawan atau para pejabat penting yang bisa pergi ke sana. Terdapat kamar-kamar pribadi di atas bagi para wanita menjamu tamu-tamu mereka. Wang-shi pernah membawa Rulan ke sana. Selir Lin juga pernah membawa Molan ke sana. Setelah Hualan mengetahui tentang restoran itu, dia pernah ingin membawa Minglan ke sana. Akan tetapi, pada hari ketika mereka sudah akan berangkat, ibu mertua Hualan membuat keributan. Jadi Minglan tak pernah dapat kesempatan untuk mencicipi makanan di restoran terkenal itu.
Melihat raut ceria di wajah Minglan, Gu Tingye merasa agak pahit dalam hati tapi tak menunjukkan perasaan itu di wajahnya. Sebaliknya, dia hanya menggandeng lengan Minglan dan berkata seraya tersenyum, “Ibu Kota memiliki makanan terbaik di dunia. Lain kali aku akan membawamu ke restoran-restoran lainnya. Ikan Saus Buncis dan Ayam Lada Pedas di ‘Santapan Dunia’ benar benar unik. Juga, Babi Dongpo dan Babi panggang tumis madu di ‘Paviliun Liur’….” Dia mengomentari banyak restoran terkenal yang telah sangat dikenalnya. Sementara itu, Minglan menyeringai dan bersorak untuknya, diam-diam merasa gembira — Orang ini benar-benar patut disebut sebagai tuan muda yang selalu makan enak. Kalau Minglan adalah sahabatnya dan bukannya istrinya, dia mungkin sudah membawa Minglan untuk nongkrong di distrik lampu merah. Mungkin dia bahkan mendengar pria itu mendaftar rumah-rumah pelacuran terkenal di Ibu Kota menurut sikap pelayanan mereka, standar harga, dan kualitas barangnya.
“Tapi….” Sesuatu tiba-tiba muncul dalam benak Minglan. Kemudian dia berkata ragu-ragu, “Sekarang sudah sore. Akankah ada tempat untuk kita di Menara Kelezatan Langit?” Bila dirinya adalah laki-laki, dia takkan keberatan duduk di aula. Akan tetapi, di masa kuno, sungguh tidak pantas bagi wanita untuk menunjukkan wajah mereka di tempat umum. Jadi Minglan tidak yakin apakah ada ruang pribadi untuk mereka pada saat ini.
Gu Tingye berada di tengah pidatonya yang penuh hasrat. Mendengar pertanyaan Minglan, dia mendongakkan kepalanya dan berkata bangga, “Kau pikir aku ini siapa? Bahkan bila tidak ada meja untuk kita, aku akan buat mereka menyediakannya!”
Pria itu kedengaran seperti Robin Hood yang pemberani saat mengatakan hal itu. Minglan langsung terhuyung. Dia tak bisa menyalahkan dirinya sendiri karena memiliki imajinasi yang buruk. Dalam kehidupannya yang lalu, dia bahkan belum punya kesempatan untuk melihat seorang tokoh besar secara nyata sebelum dirinya mati dalam menjalankan tugas. Setelahnya dia direinkarnasi ke dalam tubuh baru, ayahnya yang sangat menjunjung tinggi reputasi tak pernah berani melampaui otoritasnya. Jadi Minglan tak pernah menyadari bahwa dia akan punya kesempatan untuk menikmati keistimewaan dalam kehidupan ini.
Dengan kegirangan di wajahnya, dia meletakkan dua tangan montok di atas lengan Gu Tingye. Setelah itu, dengan riang dia mendekati Gu Tingye, cahaya berkilat di matanya dan dia berkata terbata, “Bisakah kita, bisa kita, kita… mengusir para pelanggan lain di Menara Kelezatan Langit dan duduk di meja mereka?”
“Aku bahkan bisa mengusir koki dari Menara Kelezatan Langit dan membiarkanmu memasak sup ikan di sana!” Gu Tingye terkekeh dan berkata demikian. Kemudian dia memutar matanya pada Minglan dan mendengus, “Pikirkanlah identitasmu! Berhenti bersikap begitu naif.”
Dengan binar di mata Minglan, dia jadi lebih antusias lagi. Dia berusaha sebaik mungkin untuk menahan diri agar tidak tergagap, “Lalu, lalu… bisa kita makan makannya secara gratis?” Melakukan ‘makan dan kabur’ adalah misi kedua untuk orang-orang kaya di semua drama TV. Lalu untuk misi pertama, tak usah tanya!
Gu Tingye nyaris tersedak liurnya sendiri. Setelah dia menatap Minglan selama hampir setengah jam, dia menghela napas dalam-dalam, “Istriku, bisa tidak kau tidak terlalu naif, sedikiit saja.”