Buku Panduan Neraka - Chapter 296
Ye Yun sungguh seorang petarung yang hebat. Tubuhnya cukup mungil, namun seakan penuh tenaga meledak-ledak. Si pria kulit hitam sama sekali bukan tandingannya. Ketika menyadari hal ini, pria itu pun langsung menerkam ke arah Kano Mai. Bahkan jika dia tak berani membunuh Kano Mai di depan Ye Yun, setidaknya dia bisa menyandera Kano Mai dan memaksa Ye Yun agar melepaskan dirinya.
Gerakannya juga cukup cepat. Dirinya telah dilontarkan oleh Ye Yun, jadi sekarang jarak antara mereka cukup jauh. Jadi, dia menyadari bahwa jika dia menangkap Kano Mai sekarang juga, Ye Yun takkan bisa menghentikannya tepat waktu.
Tetapi persis ketika dia nyaris meraih Kano Mai, dia merasakan sakit yang luar biasa di perutnya. Sakit itu membuat sekujur tubuhnya berguncang sebelum dia roboh ke tanah, melolong kesakitan.
Tak terlalu jauh darinya berdirilah Ye Yun dengan posisi menendang. Sebuah luka seukuran satu jari di perut pria itu terus mengucurkan darah.
Ternyata Ye Yun tadi telah menendang sebutir batu kecil ke arahnya dengan sangat cepat. Kekuatan tingkat ahli milik Ye Yun mengubah batu ini menjadi peluru yang menembus tepat di perut si pria.
Si pria kulit hitam terbaring di tanah dan memegangi perutnya dengan kesakitan. Dia menggertakkan giginya kuat-kuat dan kondisinya kelihatannya tak terlalu bagus.
Ye Yun memanggil Kano Mai, “Kak Mai, ayo pergi! Kita pergi cari Kakak Su dan yang lainnya!”
Kano Mai masih termangu-mangu. Semuanya terjadi begitu cepat, dan dia tak sempat memikirkan tentang bagaimana semua ini terjadi. Tapi dia tahu kalau Ye Yun jelas telah menyelamatkan dirinya.
“Ye Yun, kau… kau luar biasa,” Kano Mai tak bisa menahan dirinya untuk memuji wanita yang lebih muda itu. Sebelum ini, semua yang dia ketahui tentang Ye Yun hanya berasal dari penggambaran Su Jin tentangnya. Dia sudah sering mendengar tentang Ye Yun tapi tak tahu apa-apa tentangnya, jadi dia jelas tak tahu bahwa bahkan tanpa kekuatan yang diberikan oleh Buku Panduan, Ye Yun tetaplah seorang petarung yang hebat.
Ye Yun balas menyeringai. “Tak masalah! Kakak Mai tak usah cemas! Selama ada aku, aku takkan biarkan Kakak terluka.”
“Kalau begitu aku mengandalkanmu, Dik.” Kini Kano Mai merasa sedikit lebih rileks. Dia lega karena ada orang sekuat itu di sisinya.
“Jadi… kita apakan dia?” tanya Kano Mai seraya melirik pria kulit hitam yang melolong kesakitan di tanah.
Ye Yun mengernyit dan berkata, “Batu yang kutendang menembus perutnya juga telah menembus organ-organ dalamnya, jadi bahkan meski sekarang tak kuapa-apakan, dia takkan bisa bertahan hidup dalam waktu lama.”
“Ada pepatah Tiongkok yang berbunyi, kebaikan menghasilkan kebaikan, dan kejahatan menghasilkan kejahatan, karma pasti akan terjadi, hanya saja kadang-kadang datangnya terlambat. Kurasa bisa dibilang kalau dia sekarang kena karmanya.” Kano Mai menggelengkan kepalanya. Merupakan hal lazim bagi para pemilik untuk saling membunuh di dalam Tantangan, tapi tidak lazim menemukan seseorang yang membunuh untuk kesenangan seperti orang ini. Pemilik semacam itu bisa dibilang merupakan musuh bagi semua pemilik, jadi kematiannya jelas merupakan kabar baik bagi siapa pun.
Mereka meninggalkan pria itu begitu saja dan berjalan pergi, tapi tak lama setelah mereka pergi, Ye Yun terdiam sejenak. Ujarnya pada Kano Mai, “Orang itu sudah mati. Aku baru saja menerima satu poin.”
Di sisi lain, Su Jin telah berjalan pergi meninggalkan tempat batu nisan besar itu berada. Dia lanjut melangkah dengan hati-hati, karena Pulau Kesalahan adalah tempat di mana meme, hantu, dan monster berkumpul jadi satu. Satu langkah salah bisa menghasilkan kematiannya.
Sekarang dia berusaha mencapai pinggiran pulau, yang pada dasarnya adalah pantai. Itulah batas terluar dari pulau dan cenderung lebih aman dari tempat lain. Atau setidaknya, pantai adalah tujuan yang mudah untuk dicapai oleh para pemilik lainnya. Asalkan mereka bergerak ke satu arah, pada akhirnya mereka akan tiba di pantai.
“Semoga Ye Yun dan yang lainnya memikirkan hal ini dan sampai ke pantai dengan selamat.” Su Jin menghela napas. Dia sangat cemas. Sulit untuk mengetahui ada berapa banyak dari ketiga puluh enam orang yang telah mendarat di pulau yang pada akhirnya selamat.
Su Jin menyembunyikan dirinya sendiri di belakang segerombolan monster kecil. Monster-monster ini ganas dan berbahaya, tetapi mereka mampu menghindari meme dan hantu. Jika tidak, sekarang ini mereka pasti akan sudah disapu bersih oleh makhluk-makhluk supernatural itu.
Namun Su Jin tak berani lama-lama mengikuti terlalu dekat di belakang monster-monster itu. Seringkali, begitu dia menemukan sesosok monster, dia akan memastikan makhluk itu menuju ke arah yang sama dengannya, kemudian berlari jauh untuk bersembunyi, setelah si monster peri, dia akan lanjut menyusuri jalan yang sama dengan si monster. Prioritasnya adalah memastikan keselamatannya.
Kali ini, Su Jin menemukan sesosok monster yang tampak seperti qilin, hewan mistis Tiongkok. Monster ini sangat mirip dengan qilin, tapi sekujur tubuhnya penuh borok dan jelas tidak keliatan seperti simbol keberuntungan dan kemakmuran sebagaimana seharusnya sesosok qilin. Makhluk itu tampak lebih mirip dengan mayat qilin yang membusuk.
Mayat qilin itu sangat ganas. Ketika makhluk itu berjalan maju, monster apa pun yang berusaha menghadangnya akan dicabik menjadi serpihan. Jalan yang dilalui makhluk itu bisa dibilang penuh dengan darah makhluk lainnya. Namun berkat mayat qilin itu juga Su Jin jadi bisa melanjutkan perjalanan dengan aman. Sama sekali tak ada makhluk apa pun yang mendekatinya.
Persis ketika Su Jin sudah siap untuk terus mengikuti makhluk itu, tiba-tiba si mayat qilin menghentikan langkahnya. Secara mendadak dia berbalik untuk menatap ke arah Su Jin dan menghasilkan suara ganjil.
Su Jin merasa kalau ini bukan kebetulan. Si mayat qilin pasti telah menemukan dirinya, tapi dia tak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi, karena selama ini dia terus mempertahankan jarak sejauh beberapa ratus meter.
Persis pada saat itulah, hembusan angin sepoi meniup wajah Su Jin dan dia pun langsung mengerti. “Ternyata angin. Makhluk ini punya hidung yang sangat sensitif dan angin telah meniup bauku ke arahnya. Karena itu aku ketahuan.”
Dirinya telah ketahuan, tapi Su Jin sama sekali tak berani bergerak. Dia sudah melihat bagaimana mayat qilin ini membunuh monster-monster lainnya tadi. Makhluk ini bergerak dengan kecepatan yang bahkan tak bisa ditandingi oleh seekor cheetah, apalagi Su Jin yang seorang manusia biasa. Jika dia berusaha untuk lari dan mayat qilin itu mengejarnya, dia sama sekali takkan bisa lolos. Jika dia tetap berada di sini, dia masih punya kesempatan.
Si mayat qilin perlahan mendekati Su Jin dan telapak tangan Su Jin sudah penuh keringat. Tetapi persis ketika jarak mereka tinggal 30 meter, si mayat qilin tiba-tiba berhenti bergerak, kemudian berbalik dan lari sekencang-kencangnya.
Su Jin sama sekali tak merasa senang ketika hal itu terjadi. Apa pun yang bisa membuat mayat qilin ini berbalik dan lari seperti itu pastinya lebih berbahaya lagi dari si mayat qilin.
Perlahan Su Jin berbalik untuk melihat beberapa orang berdiri diam di belakangnya. Mereka semua mengenakan mantel semerah darah, dan wajah mereka tersembunyi di balik tudung.
Mereka sama sekali tak bergerak, seakan mereka cuma patung. Su Jin bisa mencium bau darah menguar dari mereka. Bau itu sepertinya datang dari mantel merah mereka.
Su Jin menelan ludah kuat-kuat. Karena kelompok ini telah menakuti si mayat qilin, mereka pasti merupakan kekuatan yang tak boleh diremehkan. Tetapi kini dia hanya manusia biasa. Harus bagaimana?
Persis pada saat itulah, tiba-tiba salah satu dari mereka menyibakkan tudungnya ke belakang untuk menampakkan sebentuk wajah mengerikan. Dia botak, seluruh wajahnya penuh luka, dan matanya merah berkilau. Mulutnya penuh gigi yang tak digosok entah sudah berapa lama. Plak yang menyangkut di antara giginya baunya cukup menjijikkan untuk membuat siapa pun muntah.
ROAAR! Orang itu mengeluarkan raungan seperti binatang dan Su Jin langsung merasa pusing. Dia berusaha menjaga dirinya supaya tidak pingsan, tapi pada akhirnya tetap roboh dengan bunyi gedebuk.
Ketika dia terbangun, malam sudah tiba. Dia mendapati dirinya terikat pada batu. Benda yang mengikat dirinya ke batu bukan tali, melainkan usus dari suatu binatang. Usus berlumuran darah itu membelitnya beberapa putaran. Baunya saja sudah cukup untuk membuatnya hampir mati, jadi tak usah pikirkan soal berusaha melepaskan diri.
Tak jauh dari tempatnya berada, orang-orang berjubah merah itu duduk mengelilingi sebuah kuali besar, dan sesuatu yang ada di dalam kuali itu sedang meronta dan menjerit-jerit.
Su Jin melihat lebih seksama dan keringat langsung menetes-netes dari wajahnya. Air sedang dididihkan di dalam kuali itu, dan sesuatu yang meronta dan menjerit di dalamnya ternyata adalah seorang pemilik. Su Jin ingat pernah melihat pemilik ini sebelumnya. Dia tak tahu nama pemilik ini, tapi dia yakin kalau dia adalah seorang pemilik.
Jeritan si pemilik tak berlangsung terlalu lama, karena air mendidihnya telah merebusnya hidup-hidup. Perlahan si pemilik merosot ke dasar kuali dan orang-orang berjubah merah itu tampak cukup kegirangan. Mereka mulai berjalan memutari kuali itu seraya berdoa dan menggeramkan rapalan-rapalan aneh.
“Kanibal? Atau semacam sekte?” Su Jin merasa ngeri. Dia tak mati di tangan meme, tapi sepertinya dia akan berakhir sebagai makanan bagi orang-orang ini.
Sementara Su Jin berpikir, setelah orang-orang ini selesai dengan ritual mereka, mereka pun mengeluarkan si pemilik yang sudah matang itu dari dalam kuali dan memakai pisau untuk memotong-motongnya menjadi beberapa bagian. Su Jin bisa melihat dengan jelas bahwa pisau yang digunakan adalah pisau tulang. Pisau itu dipakai untuk mengiris-iris semua daging si pemilik dari tulangnya.
Tidak butuh waktu lama bagi si pemilik untuk menjadi tak lebih dari seonggok tulang belulang. Orang-orang aneh itu kembali berkumpul membentuk lingkaran dan mulai menikmati santapan mereka.
Ketika melihat orang-orang ini makan, Su Jin ternyata juga mulai merasa lapar. Bukannya Su Jin berminat dalam hal kanibalisme atau semacamnya, tapi dia sudah cukup lama mendarat di pulau ini dan telah memakai banyak tenaga hingga saat ini. Dia memang lapar sungguhan.
Setelah makan selama beberapa saat, orang-orang itu mulai menggumamkan sesuatu pada satu sama lain. Mereka sudah makan selama satu jam lebih, dan begitu mereka selesai makan, mereka pun mencuci pisau tulangnnya dengan penuh perhatian dan rasa hormat, kemudian menyembah untuk memuja pisau itu. Kelihatannya seakan pisau tulang itu adalah suatu totem bagi mereka.
Su Jin merasa kalau dirinya mungkin aman untuk sementara waktu ini, kecuali jika orang-orang ini makan setiap jam atau semacamnya. Namun kebahagiaannya berumur pendek. Cuma beberapa menit setelahnya, orang-orang itu berjalan menghampirinya dan mengelilingi dirinya.
Jantung Su Jin mencelos. Orang-orang itu berdiri mengelilinginya dan tak mengatakan apa-apa. Mereka hanya berdiri di situ dan menatap bisu ke arahnya. Su Jin merasa sepertinya ini juga suatu ritual.
“Apa kita bisa, eh, bicara?” ujar Su Jin. Dia tak mau cuma membiarkan orang-orang itu membunuhnya tanpa berusaha melakukan sesuatu tentang situasinya.
“Kau bukan penganut… kau makanan. Kami adalah… pendeta… pendeta… tidak perlu… bicara pada makanan.” Salah satu orang aneh itu bicara pada Su Jin dengan sikap amat kaku.
“Aku bisa pindah pada keyakinan kalian,” ujar Su Jin seraya tersenyum kikuk.
Segera setelah dia mengatakan hal itu, seorang pria lain mencengkeram lehernya. Dia menggenggam pisau tulang yang sama dengan sebelumnya dan hendak menusukkannya pada Su Jin.
Pada saat-saat kritis itu, mata Su Jin berkilat. Tiba-tiba dia menyeru, “Dewaku, Sheeveh!”
Setelah Su Jin membuat seruan itu, si pria tiba-tiba menurunkan pisaunya. Dia menatap bingung pada Su Jin sementara yang lainnya bertukar tatapan.
“Orang-orang ini… orang-orang ini ternyata memang adalah penganut dia!” Su Jin menyeringai pada dirinya sendiri. Perasaan baru saja lolos dari kematian membuat jantungnya berdebar gila-gilaan.