Buku Panduan Neraka - Chapter 255
Kembali ke dalam Gedung Sentral, Su Jin menatap Kassimo dengan tatapan membekukan. Tadi pria ini telah menggunakan sesuatu yang tidak datang dari tubuhnya sendiri pada saat-saat penting dalam pertarungan. Benda ini adalah sebuah bola bundar berukuran kira-kira sebesar telur merpati.
Kassimo terperanjat melihat betapa kuatnya Su Jin. Dia telah mengaktifkan bola itu dan benda itu merupakan sesuatu yang memiliki kekuatan memadai untuk meledakkan makhluk hidup apa pun hingga berkeping-keping. Bagaimana bisa Su Jin masih berdiri di hadapannya tanpa kurang suatu apa pun?
“Kau tak mau menjawab? Kau perlu aku mengulanginya?” Suara Su Jin tak mengandung emosi apa pun. Kalau Yun Tianye akan kalah karena dirinya tidak sehebat lawannya, Su Jin takkan ikut campur. Tetapi dia tak tahan pada fakta bahwa Yun Tianye akan kalah karena sebuah senjata telah dipakai secara tidak adil terhadapnya.
Kassimo akhirnya tersadar dari lamunannya. Setelah berpikir cepat, dia tersenyum dan berkata, “Maaf, tapi aku… tak mengerti apa yang kau bicarakan.”
“Apa yang barusan tadi kau pakai?” tanya Su Jin lagi. Kalau tadi suaranya sedingin matahari musim dingin, maka kini jadi kedengaran seperti angin Siberia yang membekukan.
Kassimo merasa jantungnya hampir berhenti saat itu juga. Dia menjilat bibirnya dengan gugup, tapi berakhir mengulang kata-katanya tadi, “Kubilang, aku tak mengerti apa yang kau bicarakan.”
“Begitu ya. Kau boleh mati sekarang.” Su Jin menudingkan satu jari pada Kassimo tanpa ragu, sangat mirip seperti bagaimana Kassimo telah menudingkan satu jari para Zhou Zhenghe pada pertarungan sebelumnya. Perbedaannya adalah bahwa jari yang ini bukan cuma untuk pertunjukan. Kepala Kassimo langsung meledak seperti semangka pecah.
Semua orang di dalam aula benar-benar tercengang. Itu adalah Kassimo, sosok legendaris dari Burung Api. Dia dijuluki Naga Hitam oleh dunia prajurit bayaran dan dialah yang dulu membawa Burung Api ke puncak industri ini sendirian. Bertahun-tahun sudah lewat sejak saat itu, namun tak ada seorang pun yang berani meremehkan dirinya dan menganggapnya sudah tua dan lemah sekarang. Pada kenyataannya, para petarung yang mahir tahu dengan jelas bahwa Kassimo hanya akan jadi lebih kuat seiring dengan berjalannya waktu. Dia masih jauh dari kemunduran.
Namun sekarang hal semacam itu tak penting lagi. Kepalanya baru saja meledak dengan tudingan satu jari. Dia sama sekali tak mampu menghadapi serangan itu dan bahkan tak punya kesempatan untuk berkedip sebelum kehilangan nyawanya.
Thomas juga dibuat terperangah habis-habisan. Kassimo telah dikirim oleh penyelenggara untuk menjemput mereka, tapi sekarang, Su Jin telah meledakkan kepalanya hingga berkeping-keping hanya dengan satu jari.
“Tertanya Tuan Su benar-benar lebih kuat!” ceplos Thomas.
Su Jin menatap orang-orang yang menemani Kassimo dan matanya akhirnya mendarat pada Panther Hitam. Tetapi Panther Hitam tidak bereaksi sama sekali, seakan orang yang baru saja mati tadi sama sekali tak punya hubungan apa pun dengannya.
“Kalau kau ingin balas dendam, aku siap menerimanya kapan saja,” Su Jin berkata pada Panther Hitam dalam Bahasa Inggris.
“Kenapa aku harus melakukannya?” Panther Hitam tiba-tiba bertanya.
Su Jin agak terkejut mendengar jawaban ini. Dia mengernyit dan bertanya, “Kau tak berniat membalaskan dendam gurumu?”
“Aku bukan muridnya. Aku cuma alat yang dia beli. Apa kau pernah melihat seseorang membeli linggis yang akan membalaskan dendam pemiliknya setelah si pemilik dibunuh?”
Sekarang giliran Su Jin yang merasa syok. Meski analogi itu masuk akal, tentunya seorang manusia berbeda dengan alat sungguhan, kan? Tapi karena Panther Hitam tak berniat membalas dendam, hal itu akan membuat Su Jin tak perlu kerepotan.
Panther Hitam menambahkan, “Tuan Kassimo gagal mengalahkan lawan dalam duel dan kehilangan nyawa sebagai hasilnya, jadi Burung Api akan mengirim beberapa orang untuk mengambil mayatnya. Boleh aku mengundang semua orang dalam timmu untuk mengikutiku ke tempat akomodasi kalian sekarang?”
Su Jin mengangguk samar dan melompat turun dari arena. Zhou Zhenghe dan yang lainnya secara instingtif mundur beberapa langkah. Bahkan meski Su Jin membunuh Kassimo demi menyelamatkan guru mereka, fakta bahwa Su Jin bisa membunuh orang sehebat itu hanya dengan satu jari telah membangkitkan rasa takut dalam hati mereka.
Sementara itu, Su Jin, tidak peduli pada apa yang mereka pikirkan tentang dirinya. Panther Hitam bersikap jauh lebih hormat pada mereka dibandingkan dengan Kassimo. Dengan sopan dia sendiri yang membawa mereka ke tempat akomodasi dan tidak menyarankan sesuatu seperti menyuruh Thomas mengantar mereka ke sana.
Tempat akomodasi mereka adalah sebuah bungalow yang berdiri sendiri dan pemandangan di sekitar mereka sangatlah indah. Juga, Su Jin cukup yakin kalau ini bukanlah akomodasi yang mulanya dialokasikan untuk mereka, karena barusan dia telah melihat kalau Panther Hitam memakai sebuah kartu berbentuk seperti berlian untuk membuka pintunya.
“Omong-omong, Thomas, membunuh seseorang di sini takkan membawa terlalu banyak masalah untuk kita, kan?” tanya Su Jin dengan santainya.
Thomas terbahak. “Tidakkah Anda berpikir kalau agak sedikit terlambat jika Anda mengajukan pertanyaan ini?”
“Oh tidak, jadi kami akan dapat banyak masalah? Baiklah kalau begitu, aku akan kembali ke sana dan membunuh mereka semua. Dengan begitu, takkan ada saksi mata dan tak ada seorang pun yang bisa melakukan apa-apa padaku,” ujar Su Jin bercanda.
Thomas ikut tertawa dan berkata, “Yah, saya rasa beberapa dari mereka sudah pergi sekarang dan Anda takkan bisa menemukan mereka. Tapi Anda tak perlu cemas. Masalah di dalam dunia prajurit bayaran akan diurus oleh orang-orang di dalamnya. Pemerintah setempat tidak akan ikut campur.”
Su Jin mengangguk. Dia paling takut pada masalah yang tidak diperlukan. Dia tidak benar-benar berniat membunuh semua saksi mata, tapi dia bisa memakai psikokinesisnya untuk sedikit mengubah ingatan mereka. Tadi dia telah meninggalkan setitik psikokinesisnya pada semua orang di dalam aula, jadi kecuali kalau mereka langsung meninggalkan negara ini, mereka masih akan berada dalam jangkauan dan dia masih bisa melacak mereka kalau mau.
Setelah kembali dari Gedung Sentral, Yun Tianye dan murid-muridnya kelihatan takut berada dekat-dekat dengan Su Jin. Su Jin tak terlalu peduli, tapi mereka semua semestinya tinggal bersama dalam satu bungalow, jadi jika atmosfer di dalam rumah terus seperti ini, semuanya akan jadi canggung.
“Jadi, katakan padaku, apa sebenarnya yang ada dalam pikiran kalian?” tanya Su Jin tenang seraya mengetuk pelan meja kopi dari kaca dengan buku-buku jarinya.
Yun Tianye menggertakkan giginya, kemudian bersoja dengan sopan seraya berkata, “Sebelum ini, kami dibutakan oleh kesombongan kami, namun kami masih berharap Anda bersedia memaafkan kami. Tapi jika Anda… jika Anda masih marah pada kami, saya, Tianye, bersedia menerima hukuman apa pun untuk mewakili murid-murid saya.”
Su Jin tidak yakin apakah harus tertawa atau menangis mendengar kata-kata ini. Dia menggelengkan kepalanya dan berkata, “Bukan itu yang kumau. Aku bilang bahwa, karena sekarang kita semua tinggal di sini….”
“Kami akan pindah ke tempat lain sekarang juga!” ujar Yun Tianye tanpa ragu.
Su Jin memutar matanya dan bicara langsung pada intinya, “Maksudku adalah, karena kita semua akan tinggal di tempat yang sama, kita tak bisa begitu saja bersikap seperti orang asing setiap saat, kan? Tidakkah menurut Anda sekarang adalah waktu yang tepat untuk kalian memperkenalkan diri?”
Mereka semua menghembuskan napas lega. Yun Tianye maju selangkah lebih dulu dan berkata, “Harap maafkan saya karena sudah bersikap kasar. Saya Yun Tianye dari Keluarga Yun di Tiongkok. Saya melatih teknik Keluarga Yun, Tangan Awan Terbang.
“Ini adalah murid tertua saya, Zhou Zhenghe, yang melatih teknik yang sama dengan saya. Saat ini dia adalah seniman beladiri tingkat ahli termuda dari Keluarga Yun.”
Zhou Zhenghe buru-buru melakukan sikap yang sama seperti gurunya untuk menunjukkan hormat pada Su Jin. Su Jin mengangguk samar padanya untuk membalas salam itu.
“Ini adalah murid kedua saya, Sang Qiu’er. Dia adalah murid saya, tetapi dia juga berlatih Teknik Pedang Hati dari Keluarga Qiu.” Sang Qiu’er juga bersoja dengan hormat. Dia adalah seorang gadis muda bertubuh kecil dan tampak sangat menggemaskan, namun ada kilatan di matanya yang tak bisa disembunyikan. sebelumnya Su Jin juga sudah pernah melihat kilatan itu di dalam mata Miyamoto Tooru. Ini adalah sesuatu yang muncul di dalam mata seseorang setelah mencapai tahap tertentu dalam pelatihan ilmu pedang mereka, namun kilatan Sang Qiu’er masih tidak secemerlang Miyamoto Tooru.
“Nona muda ini lumayan juga. Kau kira-kira seumuran dengan Miyamoto Tooru dari Jepang, tapi menurutku kau mungkin akan bisa bertahan melawannya,” Su Jin memujinya. Dia kini sedang bicara pada seniman beladiri terbaik di negaranya, jadi bahkan meski dia tak terlalu banyak berhubungan dengan mereka, tak pernah menjadi hal buruk untuk menjaga hubungan baik dengan mereka.
Sang Qiu’er buru-buru berkata, “Anda terlalu baik. Saya sama sekali tak sebanding dengan Tuan Miyamoto. Tuan Miyamoto adalah mahaguru termuda di Jepang dan dia sudah setuju untuk segera datang ke Tiongkok untuk melakukan pertukaran dengan para seniman beladiri terbaik senegara. Saya benar-benar menantikannya.”
“Miyamoto Tooru akan mengunjungi Tiongkok?” Su Jin agak terperanjat. Sebelumnya dia sudah menghancurkan jantung Miyamoto Tooru. Apakah pengetahuan medis Jepang sudah begitu maju sehingga mereka masih bisa menyelamatkan seseorang dalam kondisi seperti itu?
“Benar! Dia akan datang kira-kira sebulan lagi. Pada mulanya, guru saya takut kalau takkan ada seorang pun di generasi lebih muda yang bisa bertarung melawan dia dan kami akan dikalahkan oleh lingkaran seni beladiri Jepang. Tapi sekarang karena kami sudah mengenal Anda, kami tak perlu lagi mencemaskan soal ini.” Sang Qiu’er sangat pandai berkata-kata. Dia tidak yakin apakah Su Jin lebih kuat daripada Miyamoto Tooru atau tidak, tapi bagaimanapun juga dia dengan senang hati menempatkan Su Jin di atas panggung.
Alis Su Jin masih mengernyit dan Kano Mai sama kagetnya. Su Jin lalu bertanya pada Yun Tianye, “Tuan Yun, Anda tahu kalau Miyamoto Tooru terluka parah di Jepang belum lama ini?”
“Ya, kami tahu tentang itu. Kami dengar dia terluka sangat parah, jadi keluarganya mengirim dia ke sebuah kuil Shinto yang sangat tua dan meminta pendeta di sana untuk menyembuhkannya, dan begitulah bagaimana dia bisa sembuh sepenuhnya. Saya dengar orang yang mengalahkan dia waktu itu adalah seorang ahli beladiri dari Tiongkok, tapi ini merupakan berkah tersembunyi bagi Miyamoto Tooru, karena pertarungan itu membuatnya bisa menjadi mahaguru.” ujar Yun Tianye seraya menghela napas. Sulit untuk mengatakan apakah Yun Tianye menghela napas karena dia berharap Miyamoto Tooru sudah mati dalam pertarungan itu atau apakah dia iri pada keberuntungan Miyamoto Tooru.
Bibir Su Jin berkedut. Kuil-kuil Shinto adalah ciri khas dari budaya Jepang, tapi sangat sedikit yang masih berdiri di masyarakat modern. Bahkan Kano Mai juga tak tahu kalau kuil seluar biasa itu masih ada.
Su Jin amat penasaran untuk mencari tahu lebih banyak tentang bagaimana Miyamoto Tooru secara esensial telah bangkit dari kematian, tapi saat ini dia tak punya waktu untuk memikirkannya. Miyamoto Tooru sebentar lagi akan pergi ke Tiongkok dan berdasarkan pada apa yang telah dia dengar, Miyamoto Tooru mungkin cukup marah dengan kekalahannya. Pria itu menyatakan akan pergi ke Tiongkok untuk berlatih tanding dan bertukar ide, tetapi kemungkinan besar niat sesungguhnya adalah membalas dendam pada Su Jin.
“Ini adalah murid ketigaku, Wei Wu. Dia masih muda, jadi dia masih mengerjakan fondasinya dan belum mulai berlatih dalam teknik tertentu apa pun,” ujar Yun Tianye seraya menunjuk ke arah pemuda lain yang kelihatan berusia sekitar dua puluhan. Tetapi jika diperhatikan secara seksama, kau akan menyadari bahwa dia mungkin lebih muda daripada yang terlihat. Sebagai seorang seniman beladiri, dia terbiasa berlatih dalam kondisi cuaca yang berat dan sebagian besar pria tidak merawat kulit mereka dengan baik, jadi mereka seringkali tampak sedikit lebih tua dari usia sebenarnya.
Wei Wu juga bersoja dan berkata penuh semangat, “Senior! Harap ajari saya beladiri!”
Su Jin menatap kosong pada pemuda ini. Dia bukan seorang seniman beladiri, tapi dia juga tahu aturannya. Meminta orang lain untuk menjadi gurunya persis di depan sang guru sendiri jelas tidak pantas. Yun Tianye mulai naik darah mendengar kata-kata ini.
“Haha… saya cuma bercanda, cuma bercanda.” Untung saja, Wei Wu dengan cepat menyadari reaksi gurunya dan menertawakan sikapnya tadi sambil dengan kikuk menggaruk kepalanya. Yun Tianye menghela napas kesal, seakan dia sudah terbiasa pada mulut serampangan murid yang satu ini, dan hanya memelotot marah pada si pemuda selama beberapa saat.
“Tuan Su, nona muda ini adalah murid termuda saya, namanya Yun Han. Dia adalah anak yatim piatu dan saya menemukan dia di alam liar, jadi saya mengadopsi dia sebagai putri sekaligus murid.” Mata Yun Tianye berbinar dengan rasa bangga ketika dia bicara tentang Yun Han. Nona muda ini jelas membuatnya sangat bangga.