Buku Panduan Neraka - Chapter 145
Su Jin menerima panggilan telepon dari ayahnya. Ayahnya menghabiskan waktu beberapa menit untuk mengeluhkan tentang bagaimana istrinya telah memukul dirinya, tapi tak lama setelah dia menutup telepon, ganti ibunya yang menelepon untuk mengeluhkan tentang bagiamana suaminya telah memukul dirinya.
Su Jin mendesah tak berdaya ketika dia mendengar apa yang telah mereka katakan kepadanya. Secara umum orangtuanya memang agak terlalu mementingkan uang, tapi mereka tak bermasalah di aspek-aspek lainnya. Kalau mereka memberitahunya bahwa ada orang lain yang memukul mereka, Su Jin pasti akan sudah menggulung lengan bajunya dan menghajar orang itu. Tapi kalau ini adalah perkelahian di antara mereka berdua, tak ada apa pun yang bisa Su Jin lakukan tentang hal itu. Dia akan dihardik kalau dia berpihak pada salah satu dari mereka.
Pada akhirnya, dia hanya bisa berusaha menasihati mereka dan mendengarkan apa yang menyebabkan perkelahian ini. Karena masalah ini dimulai gara-gara beberapa butir telur, dia merasa kalau mereka akan melupakan semua soal hal itu dalam waktu singkat.
Setelah berjanji akan datang pada liburan tahun baru, Su Jin akhirnya menutup telepon dan memerosotkan diri ke sofa. Kano Mai sudah terkikik-kikik heboh. Ini jelas merupakan kali pertama dia mendengar tentang satu pasangan tua yang sampai berkelahi secara fisik gara-gara makan dua butir telur.
“Tak biasanya mereka seperti ini, sumpah!” Su Jin tak tahu bagaimana harus menjelaskan situasinya kepada Kano Mai, karena hal itu hanya membuat yang bersangkutan tertawa lebih keras lagi.
“Aku mengerti, aku mengerti,” ujar Kano Mai dari antara napasnya yang tersengal-sengal seraya mengacungkan tangan untuk menghentikan penjelasan Su Jin. Tapi hal itu hanya membuat Su Jin berharap dia bisa menguburkan dirinya sendiri ke lantai sekarang juga.
Tepat kemudian, telepon Su Jin mulai berdering kembali. Biasanya ponselnya tak pernah berdering, jadi dia benar-benar takut pada panggilan telepon ini. Dia melihat layarnya dan terkejut bahwa yang menelepon kali ini adalah adiknya.
“Apa yang terjadi? Kenapa semua orang meneleponku?”
Su Jin mengangkat telepon itu dan mendengar suara Su Qing, “Jin! Lagi ngapain sekarang?”
“Nggak ngapa-ngapain.”
“Halo, Kakak Su,” suara wanita lain bicara ke dalam telepon itu.
Mulanya Su Jin kebingungan sebelum kemudian mengenali suara ini sebagai suara Yang Mengmeng. Dia tertawa dan berkata, “Halo, Mengmeng. Bagaimana kabar ibumu? Sudah baikan?”
“Ya, sekarang ibuku sudah jauh lebih baik. Ibu bilang ingin mentraktir Kakak Su makan atau apalah untuk berterima kasih!” Yang Mengmeng kedengaran benar-benar gembira.
“Hei, kalau kau ingin bicara pada kakakku, nanti aku akan memberimu nomornya. Biar aku bereskan urusanku dulu,” ujar Su Qing seraya mengambil kembali ponselnya dari sahabatnya. “Jin, aku… aku memungut seseorang pada perjalanan pulang sekolah.”
“Kalau kau memungut sesuatu, berikan saja pada pol – tunggu, kau memungut apa?!” Su Jin akhirnya menyadari masalah yang ada pada apa yang adiknya barusan beritahukan kepadanya. “Kau memungut seseorang?! Kucing atau anjing tak masalah tapi kenapa kau memungut orang? Bawa dia ke polisi juga!”
“Kak! Biarkan aku selesai bicara dulu! Orang ini sepertinya kenal Kakak. Dia tadi menanyakan tentang Kakak sebelum dia pingsan,” Su Qing menjelaskan.
“Sebelum dia pingsan? Apa? Kenapa dia pingsan?” Kepala Su Jin berdenyut-denyut hebat sekarang. Sudah cukup konyol kalau orangtuanya sampai baku hantam gara-gara dua butir telur, dan sekarang adiknya telah memungut seseorang yang jatuh pingsan? Ada apa ini?
“Bukan itu intinya! Intinya adalah bahwa dia kenal Kakak!”
Su Jin mendesah. Dia terlalu lelah untuk mengomeli adiknya, jadi dia bicara langsung pada sasaran. “Apa kau tahu siapa namanya?”
“Dia nggak bilang, tapi aku menemukan Kartu Identitasnya di dalam dompetnya dan dia punya nama yang aneh. Marganya ganda dan nama lengkapnya adalah Situ Jin,” ujar Su Qing.
“Apa? Barusan tadi kau bilang namanya Situ Jin?!” Su Jin nyaris meledak. Pemikiran pertamanya adalah bahwa Situ Jin telah berusaha melukai adiknya, tapi entah bagaimana telah gagal dan berakhir jatuh pingsan di hadapan Su Qing.
Imajinasi Su Jin mulai berkeliaran tak terkendali. Mungkinkah Situ Jin berusaha membalas dendam kepadanya dengan cara yang berbeda? Apakah Situ Jin berusaha mendapatkan hati adiknya, kemudian membuangnya sehingga hati adiknya akan terluka selamanya?
“Orang ini lumayan ganteng sih. Dia teman Kakak, kan?” tanya Su Qing.
Aku benar! Kini Su Jin jadi lebih was-was lagi, tapi tiba-tiba dia menyadari sesuatu yang lain. Berdasarkan pada selisih umur mereka, Situ Jin lebih tua di atas sepuluh tahun daripada Su Qing. Apakah selera adiknya memang pada pria yang lebih tua?
“Oh! Oh! Dia sadar!” seru Su Qing.
Ekspresi Su Jin memburuk. “Su Qing, operkan ponselnya pada dia, kemudian kalian berdua… sembunyikan diri kalian di suatu tempat. Aku perlu bicara beberapa urusan penting dengannya.”
Su Qing merasa kalau cara bicara kakaknya sungguh aneh tapi karena itu adalah instruksi sang kakak, dia pun memilih untuk menurutinya. Su Qing memberikan ponselnya kepada Situ Jin, kemudian berlari pergi untuk bersembunyi di tempat lain bersama Yang Mengmeng.
“Halo, siapa ini?” Situ Jin kebingungan tentang kenapa Su Qing memberikan ponsel itu kepada dirinya. Kepalanya sakit luar biasa, jadi nada suaranya juga jadi agak tidak menyenangkan.
“Dengarkan ya, Situ Jin. Kalau kau berani melukai satu pun anggota keluargaku, maka aku takkan peduli tentang apa yang telah kujanjikan sebelumnya. Aku akan pastikan kau mati dengan mengerikan!” Suara Su Jin begitu dingin dan kejam karena kali ini dia benar-benar marah. Setiap orang punya batasan yang mereka tidak izinkan orang lain melewatinya. Bagi Su Jin, batasan itu adalah keluarganya.
“Kau itu siapa sih? Kau ngomong soal apaan?” Situ Jin sama sekali tak bisa mengerti apa dibicarakan oleh orang lainnya. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba dia menyadarinya. Dia berkata dengan suara lirih, “Apa kau adalah Su Jin?”
“Benar! Aku Su Jin! Kalau kau punya masalah denganku, maka datangilah aku! Kalau kau berani melukai keluargaku, aku akan membunuhmu!”
Situ Jin tertegun mendengar betapa agresifnya Su Jin, tapi dia balas membentak dengan suara yang sama tak ramahnya, “Baik! Kau di mana sekarang? Aku akan ke sana sekarang juga!”
“Aku ada di Gunung Awan di Provinsi Z, Hotel Awan Terbang! Aku akan menunggumu di sini. Juga, sebagai pengingat, JANGAN PERNAH sakiti keluargaku.” Su Jin masih takut kalau Situ Jin akan melukai Su Qing. Bagaimanapun juga, bahkan meski Su Jin jauh lebih hebat jika dibandingkan dengan Situ Jin, dirinya berada terlalu jauh dari adiknya untuk menolong gadis itu, jadi hal terbaik yang bisa dia lakukan adalah mengancam Situ Jin secara verbal.
“Kau tak usah mencemaskan soal itu.” Situ Jin kemudian menutup telepon Su Jin. Seulas senyum samar menyebar di bibirnya. Mulanya, dia berniat mengumpulkan informasi tentang Su Jin secara diam-diam dan tak mau Su Jin mengetahuinya secepat itu, karena Su Jin merupakan lawan yang terlalu tangguh untuk dia tangani. Tapi bahkan meski sekarang Su Jin sudah tahu bahwa dirinya telah mengawasi anggota keluarga pria itu, dia tak takut pada Su Jin.
Dia berjalan ke tempat Su Qing bersembunyi dan mengembalikan ponsel gadis itu. Kemudian dia bertanya kebingungan, “Omong-omong, apa yang terjadi padaku barusan tadi? Apa aku pingsan? Aku tak ingat lagi pada apa yang terjadi tadi.”
“Oh! Ya! Benda ini tiba-tiba bersinar sangat terang di wajahmu lalu kau pingsan. Apa kau mengidap ayan?” tanya Su Qing penasaran.
Situ Jin menatap tak percaya pada benda di tangan Su Qing. Pada dasarnya Su Qing telah menghapus ingatannya yang paling baru. Sial, dia membatin, apa yang telah terjadi sebelum aku pingsan?
Kalau saja dia belum berjanji pada Su Jin untuk tidak melukai Su Qing, dia mungkin sudah berusaha memaksa gadis itu agar memberitahunya apa yang telah terjadi sebelumnya. Pada akhirnya dia hanya berjalan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun, meninggalkan Su Qing dan Yang Mengmeng yang sangat kebingungan.
“Kacamata, belikan aku tiket ke Provinsi Z untuk hari ini. Lebih cepat, lebih baik,” Situ Jin menelepon Kacamata agar membantunya mengaturkan penerbangan.
Keesokan harinya, Situ Jin tiba di Provinsi Z sekitar tengah hari. Dia langsung menuju ke Hotel Awan Terbang dan Su Jin sudah berdiri di gerbang masuk hotel sambil memelotot ke arahnya.
Su Jin tak mengatakan apa-apa dan mulai berjalan, jadi Situ Jin dengan cepat mengikuti di belakangnya. Su Jin terus memakai jalan yang paling terpencil dan tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk tiba di bentangan alam yang jelas tidak mungkin dilewati oleh manusia biasa tanpa peralatan.
“Mai, apa dia masih di belakangku?” Su Jin memakai alat untuk bicara pada Kano Mai.
“Jangan cemas, Jin. Dia persis mengikuti jejakmu. Dia lumayan juga,” ujar Kano Mai.
Su Jin mengangguk dan lanjut berjalan hingga benar-benar tak ada jalan atau semacamnya lagi. Dia telah tiba di sebuah lembah dan berbalik untuk melihat kalau Situ Jin benar-benar ada persis di belakangnya. Tak heran Kano Mai bilang kalau pria itu lumayan juga.
“Kurasa kau tak punya niat baik dengan membawaku ke tempat seperti ini.” Situ Jin merasakan kalau ada sesuatu yang salah. Sorot membunuh di mata Su Jin memberitahunya bahwa pria muda ini serius soal menyerang dirinya, dan hal itu malah membuat Situ Jin agak gembira.
“Aku cuma tak mau menarik terlalu banyak perhatian,” ujar Su Jin seraya mendengus. Dia mengisyaratkan pada Situ Jin dan berkata, “Kau boleh menyerang duluan. Aku akan memberimu kesempatan yang adil.”
Tanpa ragu, Situ Jin melemparkan sebuah granat kejut ke arah Su Jin. Su Jin tak menyangkanya, jadi ledakan cahaya dari granat itu membuatnya tak bisa melihat apa-apa. Tapi tentu saja, hal itu bukan masalah bagi Su Jin.
Pada saat ini, Situ Jin sudah jauh lebih dekat pada Su Jin. Dia menyentakkan sebuah tongkat pendek yang terbuat dari suatu jenis logam campuran khusus ke arah Su Jin. Tongkat itu langsung memanjang dan diarahkan pada rusuk Su Jin.
Tang! Tongkat itu tak mengenai rusuk Su Jin, tapi malah ditangkap oleh yang bersangkutan. Situ Jin langsung berhenti menggunakan senjata itu dan melakukan salto ke belakang. Kemudian dia mengerahkan kekuatan di kakinya lalu melompat ke udara.
Itu saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa Situ Jin adalah seorang petarung yang benar-benar tangkas. Kedua gerakan tadi telah memberinya lebih banyak ruang di antara dirinya dan Su Jin, tapi sebelum dia bisa mendarat kembali ke tanah, tiba-tiba dia melihat sebuah bayangan di atas kepalanya.
Su Jin mengeluarkan seruan rendah. Kini tubuhnya sudah begitu kuat sehingga dia tak membutuhkan gerakan ataupun teknik keren apa pun untuk mengalahkan seorang petarung berkemampuan tinggi yang biasa. Semua yang dia butuhkan adalah ledakan energi dan kecepatan.
Situ Jin merasa seakan ada gunung yang menindih dirinya. Tapi dia terus bertahan menghadapi tekanan itu, tubuhnya menjadi kaku seperti paku yang mencuat dari sepotong kayu. Pada saat bersamaan, cahaya putih memancar dari kedua tangannya dan melingkupi seluruh tubuhnya.
Semuanya terjadi dalam hitungan detik. Situ Jin bermandikan keringat dingin, dan ketika dia berada dalam perlindungan cahaya putih itu, dia menyadari bahwa Su Jin bahkan tak bergerak sedikit pun. Su Jin masih berdiri persis di tempatnya semula dan semua yang telah dia alami sebelumnya seakan tak lebih dari ilusi.
Hal ini benar-benar membuat Situ Jin kebingungan. Apakah bayangan dan semuanya tadi itu benar-benar cuma ilusi? Tapi kalau memang cuma ilusi, tekanan mengerikan yang dia rasakan tadi tak mungkin terasa senyata itu. Dengan kata lain, Su Jin tak bergerak. Auranya yang menekan saja sudah cukup untuk melawan orang lain.
“Jadi sehebat itukah dia?” Situ Jin menatap Buku Panduannya dengan kecewa. Cahaya putih tadi sebenarnya adalah benda pelindung yang dia miliki. Dirinya tidak berada dalam bahaya apa pun, namun dia telah merasa begitu terancam sehingga mengaktifkannya.
Pada saat bersamaan, ekspresi Su Jin menampakkan keterkejutan murni. “Kau… kau adalah pemilik Buku Panduan Neraka?”