Thousand Miles of Bright Moonlight - Chapter 56
Rute dari istana menuju kuil Buddhis membuat mereka harus melalui jalan paling sibuk di kota, dan jalan itu seakan dilewati oleh aliran orang dan kereta yang tak kunjung usai.
Ketika kereta Yaoying meninggalkan istana dengan dikelilingi oleh prajurit berbaju biru dan berjubah putih, bahkan dari balik tirai felt tebal, Yaoying bisa mendengar suara-suara percakapan keras yang bagaikan deraan gelombang di kedua sisi jalan.
Dia duduk bersila, dan di depannya tampak ekspresi ngeri dari Banruo.
Sebelumnya, ini cuma gosip. Kini, dia bukan hanya telah menistakan dewa mereka tetapi juga akan tinggal di bawah atap yang sama dengan dewa mereka.
Ini bukanlah sesuatu yang Yaoying harapkan.
Yaoying menyandarkan dagu di kedua tangan, masih merasa kewalahan.
Ketika Tumoroga setuju membiarkan dia tinggal di istana, menurut pendapatnya, ini adalah tempat perlindungan terbaik yang bisa dia harapkan. Kini, ketika Tumoroga secara terang-terangan mengakui identitasnya, jangankan Banruo dan patah hatinya, bahkan dia sendiri juga dikagetkan oleh perubahan situasi ini.
Dia punya nyali untuk mendekati Tumoroga, dan rakyat dari Mahkamah Kerajaan hanya menganggap dirinya adalah seorang gadis muda yang dibuat gila oleh cinta. Tumoroga mengizinkan dia tinggal di kuil Buddhis berarti ada sesuatu yang lain.
Tentu saja, hal ini baik untuknya, namun jelas menodai reputasi Tumoroga. Setelah Yuanjue membacakan titah kemarin, para utusan dan pangeran yang hadir di kantor pemerintah kemarin mulai berspekulasi, Banruo menangis, dan Bisha, yang selalu bersikap hangat dan murah hati, tampak muram.
Yaoying memikirkan kembali kali terakhir dia melihat Tumoroga. Pada upacara puja, pria itu tampak begitu murni sehingga membuat dunia kelihatan pudar jika dibandingkan.
Tumoroga menyelamatkan dirinya.
Haidu Aling tak mau menyerah, jadi dia waspada siang dan malam. Lewat insiden ini, di mana Haidu Aling berani menerobos ke dalam istana di malam hari, Yaoying menyadari kalau Mahkamah Kerajaan tidak lagi aman. Persis ketika dia mulai merasa cemas, Tumoroga datang untuk membantunya.
Ketika dia pertama kali bertemu dengan Tumoroga, di hadapan pasukan dia berkata bahwa dia ingin mengikuti contoh Gadis Mordenga. Tumoroga menghentikan kudanya di depan formasi, mata biru pria itu menyapu ringan ke arahnya, tidak mengekspresikan pendapat.
Kini, Tumoroga memberikan jawabannya.
Tumoroga berkata ya.
Terlambat beberapa bulan, namun cepat dan tegas. Dua malam lalu, Haidu Aling menerobos ke dalam istana; kemarin, titah Tumoroga dideklarasikan di hadapan umum; hari ini, Tumoroga mengirim seseorang untuk menerimanya memasuki kuil Buddhis. Semua ini diselesaikan tanpa penundaan.
Ketika keretanya tiba di kuil Buddhis, kereta tersebut memasuki kuil lewat pintu samping tersembunyi, dan para prajurit Pasukan Pusat membawa Yaoying ke dalam.
Kaki Yaoying terasa lemas, dan dia mendapat perasaan tidak nyata kalau dirinya bagai terjun bebas menembus awan.
Kuil Buddha di Kota Suci sudah lama berdiri, dibangun menyandar pada dinding tebing. Kuil itu sederhana dan tak berhias, serius dan damai, megah dan mengesankan. Pagoda-pagoda, gua-gua Buddhis, bangunan-bangunan menjulang, serta balai-balai kuil ada di mana-mana. Batang-batang dupa yang menyala tampak hidup, rapalan Sansekertta terdengar terus-menerus.
Yaoying mengikuti di belakang para prajurit, berjalan melewati pilar-pilar batu di antara koridor. Sejauh mata memandang, dinding-dinding koridor itu dilukis dengan kisah-kisah dari kitab Buddhis, pegunungan dan sungai, serta lukisan dinding yang mengambang. Berkilauan dengan cahaya keemasan, kaya dan penuh warna, indah dan penuh, dengan garis-garis tebal dan halus, karakter-karakter kuat dan gagah, serta gaya nan indah dan memesona.
Griyanya berpencahayaan terang dan luas, pagodanya tampak seperti hutan. Semakin jauh dia melangkah masuk, semakin sejuk dan sepi tempat itu, dan semakin indah juga ukiran lukisan dindingnya, dengan bentangan luas warna emas dan hijau nan kaya. Suasananya begitu mengesankan, luas, dan megah.
Yaoying terperangah.
Pigmen-pigmen hijau, emas, dan merah terang luar biasa mahal; para pelukis paling terkenal di Chang’an tak mampu melukis dengan emas seperti yang mereka inginkan, namun di kuil Buddhis ini terdapat mural-mural hijau dan merah di setiap tempat, daun-daun emas memantulkan cahaya. Kekayaan Mahkamah Kerajaan sungguh teramat jelas.
Yuanjue dan Banruo mengawal Yaoying, yang satu dengan rona tenang, yang lain seakan sedang berkabung atas kematian orangtuanya, dan membawa Yaoying menuju sebuah griya terpencil yang jauh dari balairung utama, mengarahkan prajurit-prajurit lainnya untuk membantu membawakan hadiah-hadiahnya.
Griya itu tidak besar, namun ada beberapa bunga dan pohon yang ditanam di halaman, yang merupakan pemandangan langka di Mahkamah Kerajaan. Griya itu dalam, dengan rumah utamanya dibangun tinggi di atas tanah, dinding-dinding lorongnya berlapis tanah liat putih yang berkilauan, membuat griya itu tampak luas dan rapi. Dinding bunga kuningnya dipasangi rak-rak anggur, menyangga sulur-sulur yang saling berbelitan, menutupi sepetak area yang luas dengan bayang-bayang.
Dinding-dinding pada rumah utama dibangun dengan tanah liat putih yang serupa. Ruangannya berperabot sederhana dengan satu karpet felt, kursi panjang, meja duduk, meja tulis, satu layar, dan satu tirai yang menggelantung di depan kursi panjang, tanpa ada hiasan lainnya.
Yuanjue menunjuk ke arah rumah putih itu, berkata: “Putri, setiap tahun pada peralihan antara musim semi dan musim panas, angin bertiup kencang, malam-malamnya dingin. Rumah di sini tidak memiliki jendela-jendela samping yang terbuka, hanya ada jendela depan. Tak ada sumur di halaman; setiap hari seseorang akan membawakan air bersih untuk Putri. Putri bisa periksa dulu apa lagi yang kurang, sehingga saya bisa mengirimkannya ke sini.”
Dia lalu menambahkan, “Putri hanya mengabdikan dirinya kepada Agama Buddha dan tidak perlu mengikuti aturan-aturan untuk para rahib di kuil secara ketat, namun Putri juga tak bisa hanya berdiam diri. Nanti, para rahib akan mengirimkan kitab-kitab suci dan menjelaskan pelajaran pagi dan petang tiap harinya kepada Putri.”
Yaoying mengucapkan terima kasih kepadanya, berpikir sejenak, lalu bertanya, “Bolehkah sang Putra Buddha menemuiku?”
Di samping Yuanjue, mata Banruo langsung melebar dan dia melontarkan pelototan garang pada Yaoying. Bibirnya berkedut, tapi dia tak berani bersuara untuk menghardik, bersungut-sungut sendiri selama beberapa saat sebelum angkat kaki dan keluar.
Yaoying adalah orang yang Tumoroga perintahkan untuk dijemput; dia tak berani menjelekkan Yaoying.
Yuanjue mengangguk dan berkata, “Raja telah menginstruksikan bahwa ketika Putri tiba, saya akan membawa Putri ke ruang meditasi untuk menemui Beliau.”
Yaoying meninggalkan Xie Qing dan yang lainnya untuk membongkar barang bawaan serta menata barang-barang mereka sementara dia pergi bersama Yuanjue untuk menemui Tumoroga.
Ruang meditasi Tumoroga terbuat dari bata hijau. Tempat itu terpencil dan tenang. Semua gerbang lengkung, koridor, atap-atap kubah, serta pilar-pilar batu dicat dengan bunga-bunga biru dan daun-daun hijau, semua sudut dan pinggiran dihias dengan pola berpusar, dilukis dengan desain cabang-cabang berkelok dan berbunga. Elegan dan halus; sesuai dan alami. Di bagian depan koridor, pohon-pohon pinus dan cemara berdiri tegak, pohon-pohon poplar menjulang tinggi, dan area terdalam griya ditanami pohon-pohon jujube dengan bunga-bunga putih keperakan, menguarkan keharuman.
Griya itu sunyi. Para pengawal berdiri dengan kedua tangan lurus di samping tubuh, seperti boneka yang terbuat dari tanah liat.
Tumoroga duduk di depan sebuah meja di dalam aula meditasi, sedang menulis sesuatu, dari belakang sosoknya tampak ramping.
Yuanjue berjalan masuk untuk memberi tahu. Yaoying menuggu di depan serambi, matanya menatap hampa ketika tertuju pada Tumoroga.
Saat ini adalah waktu terpanas di siang hari. Hari ini Tumoroga mengenakan jubah rahib yang menampakkan bahu kanannya. Kulit pada bahu kanannya ternyata sewarna madu, tampak mulus dengan sedikit kilauan.
Yaoying memalingkan matanya dan menatap ranting-ranting berbunga yang berayun dihembus angin di depan griya, teringat bahwa pada malam sebelumnya, Su Dangu terhuyung ke belakang mengenai semak jujube padang pasir dan bunga-bunga putih keperakan pun berguguran ke tanah.
Pada malam di bawah cahaya rembulan, selama sepesekian detik ketika mata Yaoying bertemu dengan mata Su Dangu, suatu perasaan aneh tiba-tiba melambung dari dasar hatinya.
Dia tak tahu apa sebabnya, tetapi dia selalu merasa kalau wajah mengerikan Su Dangu pasti menyembunyikan sesuatu. Dia bahkan, pada saat itu, merasa kalau Su Dangu sedikit mirip dengan Tumoroga.
Akan tetapi, Tumoroga terus terbaring di ranjang karena sakit. Bahkan untuk turun dari kudanya, dia membutuhkan papahan dari para pengawal dekatnya. Sementara itu Su Dangu kuat dan sakti, goloknya buas dan ganas. Mereka berdua, yang satu adalah seorang putra Buddha yang penuh welas asih dan satunya lagi adalah wali penguasa yang kejam dan tak berperasaan.
Kecurigaan Yaoying sungguh tak berdasar.
Terlebih lagi, ketika Su Dangu menyelamatkan dirinya, dia bersandar dekat ke dada pria itu dan bisa merasakan kekuatan yang tersembunyi di dalam kedua lengannya. Melingkari tubuhnya dengan otot-otot yang kuat, sarat dengan kekokohan.
Satu-satunya kemiripan adalah mata biru kehijauan mereka.
Omong-omong, Bisha juga punya mata biru kehijauan….
Kesadaran Yaoying kembali dengan satu gelengan kepala dan tawa.
Dirinya memang punya imajinasi yang liar. Ketika Tumoroga sedang sakit parah, Su Dangu muncul untuk menakuti Xueyana. Bagaimana bisa Tumoroga yang begitu di luar duniawi dan Su Dangu yang mematikan bisa menjadi orang yang sama?
Yuanjue melangkah keluar dari aula dalam dan memberi isyarat pada Yaoying agar memasuki ruangan.
Yaoying menghentikan semua pemikirannya, mengangkat roknya, dan melangkah memasuki ruang meditasi.
Kamar itu rapi dan sunyi, tanpa ada dupa yang dibakar. Mejanya penuh dengan gulungan sutra, dan Tumoroga terus menulis dengan kepala tertunduk. Jemarinya panjang dan lentik, juga, walaupun kurus, memberikan kesan bertenaga.
Yaoying berlutut pada bangku di seberang Tumoroga, tanpa sadar menegakkan punggungnya, duduk dengan postur biasa. Dia bicara langsung pada intinya dan berkata: “Jiwa pangeran dari Rong Utara belum memudar, jadi saya sangat berterima kasih kepada Bhante karena telah megeluarkan titah untuk melindungi saya dan mengizinkan saya tinggal di dalam kuil Buddhis ini. Akan tetapi, tidakkah ini mencemari reputasi Bhante?”
Aura Tumoroga begitu tenang, dan ada kesan sosok mahatahu. Di hadapan pria ini, Yaoying tidak perlu bersikap formal, sopan, dan bicara bertele-tele. Dia bisa mengucapkan apa pun yang dia pikirkan. Apa yang ingin dia katakan, bagaimanapun juga, tak bisa disembunyikan dari pihak lain.
Setelah Yaoying selesai bicara, matanya melebar dan dia menatap tak berkedip pada Tumoroga.
Tumoroga berhenti menulis dan mendongakkan kepalanya, matanya jernih dan lembut. “Putri tidak perlu memasukkannya ke dalam hati. Ini hanya sekedar kritikan biasa. Satu tahun kemudian, ketika Putri pergi dengan aman, kritikan itu akan menghilang.”
Nada bicaranya tenang dan santai.
Tiba-tiba Yaoying merasa tak mampu menyampaikan ucapan terima kasih yang telah dia pikirkan semalaman.
Tumoroga itu cerdas; dia sama sekali tidak menganggap serius pernyataan Yaoying tentang menjadi Gadis Mordenga berikutnya. Dia tidak membutuhkan rasa terima kasih Yaoying, juga tidak butuh Yaoying membayar harga apa pun. Dia membantu Yaoying hanya karena gadis itu adalah orang yang membutuhkan bantuan di antara orang banyak. Yaoying telah menyelamatkan dirinya, dia bisa membantu Yaoying, dan ketika dia melihat Yaoying berada dalam bahaya, dia pun maju untuk membantu.
Yaoying telah bertemu dengan orang baik.
Yaoying tersenyum. Sekujur tubuhnya benar-benar santai, dan kemuraman yang bercokol dalam hatinya juga tampaknya telah terhembus pergi.
Matanya Yaoying sedikit melengkung, pupilnya secerah kristal, dan dia pun berkata lembut, “Terima kasih banyak.”
Sang gadis muda berusia lima belas tahun, feminin dan belia, untuk sementara telah melepaskan bebannya, berkilau dengan kecemerlangan bunga yang merekah untuk pertama kalinya.
Ruang meditasi itu seakan menjadi lebih cerah beberapa tingkat, berpendar dengan warna-warna musim semi.
Tumoroga meletakkan kuasnya, mengambil sejumlah sutra, dan menyerahkannya kepada Yaoying.
Yaoying menegakkan diri, mengambil sutra-sutra itu, dan mendapati bahwa ini adalah versi Mandarin dari Mahaparinirvana Sutra aliran Mahayana, Mahayanasamgraha, Sariputrabhidharma, dan sutra-sutra lainnya.
Kepalanya langsung terasa sakit.
Yah, seorang rahib memang tidak berbohong. Ketika Tumoroga mengeluarkan titah bahwa Yaoying harus datang ke kuil untuk melatih Buddhisme, dia benar-benar ingin Yaoying mempelajari Buddhisme dengan serius. Bukan hanya dia mengatur kelas-kelas pagi dan petang untuk sang Putri, dia bahkan mempersiapkan sutra-sutranya.
Orang ini sangat jujur.
Yaoying memeluk kitab-kitab yang berat itu, berpikir bahwa kelak dia bukan hanya harus berurusan dengan urusan-urusan ribet soal mengatur iring-iringan karavan tapi juga harus membaca kitab-kitab ini. Kulit kepala menggelenyar, tiba-tiba dia teringat pada hal lainnya. Dia mendongakkan kepalanya, matanya membara menatap Tumoroga.
“Bhante….” Dengan raut sungguh-sungguh, dia bertanya, “Apa saya juga harus mencukur rambut?”
Sejenak tampak kilatan kebingungan di wajah Tumoroga.
Rasa malu muncul di wajah Yaoying.
Gadis Mordenga mencukur kepalanya untuk berlatih demi bisa menikahi Pangeran Ananda; haruskah dia juga mencukur kepalanya? Walaupun jika dibandingkan dengan hidupnya, rambut tak patut untuk disebut-sebut, dan dia tak seharusnya ragu soal ini. Akan tetapi, dia takkan mencukurnya kalau memang tidak perlu. Rambutnya begitu tebal dan lebat setelah dirawat selama bertahun-tahun!
Dalam hawa panas ekstrim di pertengahan musim panas cahaya matahari bagaikan emas. Dengan benderang menerangi langit dan memasuki ruang meditasi, menyinari rambut hitam pekat Yaoying, kulitnya yang laksana salju, hingga ke gaunnya yang sewarna kabut serta lengan baju merah cerah. Dirinya begitu lembut laksana ranting yang berbunga di musim semi, merekah indah dan menakjubkan.
Tumoroga merundukkan matanya dan berkata, “Putri belum beralih ke Buddhisme. Putri bisa membawa rambutnya untuk berlatih.”
Yaoying menghembuskan napas lega dan menatap Tumoroga, matanya sarat dengan kekaguman dan kepercayaan, lalu tersenyum, “Terima kasih banyak, Bhante.”
Suaranya jernih dan santai, jauh lebih alami daripada ketika dia barusan tadi memasuki ruangan.
Tanpa mengatakan apa-apa, Tumoroga menatap Yuanjue yang berdiri di luar pintu.
Yuanjue mengerti dan mengantar Yaoying kembali ke griya.
Rok hijau muda sang gadis muda menyapu karpet, menambahkan warna, dan keharuman samarnya bertahan di udara.
Tumoroga lanjut menulis dengan kepala tertunduk.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar di koridor panjang, dan sosok tinggi Ashina Bisha pun muncul di luar pintu.
“Raja baru saja bertemu dengan Putri Wenzhao?”
Tumoroga menggumam dan tidak mengangkat kepalanya.
Bisha berjalan memasuki ruang meditasi, memberi hormat kepada Tumoroga, dan duduk bersila, “Raja, mengapa Anda membantu Putri Wenhao sedemikian banyaknya? Anda sudah membuat pengecualian dengan membiarkan dia tinggal di istana, dan kini Anda membiarkan dia pindah ke dalam kuil Buddhis. Ada banyak diskusi berlangsung di kota. Selama bertahun-tahun ini, dia adalah wanita pertama yang melangkahkan kaki ke dalam ruang meditasi Anda.”
Tumoroga berkata acuh tak acuh, “Orang-orang Rong Utara hidup dengan air dan rumput, buas dan tak beradab. Haidu Aling keji dan tirani, tak mau menyerah. Hanya dengan melakukan ini baru Putri Wenzhao bisa menyingkirkan Haidu Aling.”
Bisha menatapnya, “Raja, ada berbagai macam desas-desus beredar di antara rakyat.”
Tumoroga bahkan tak mendongak, “Ketenaran hanya sesuatu yang ada di luar. Aku adalah penguasa Mahkamah Kerajaan. Setelah satu tahun berlalu, gosipnya akan memudar.”
Bisha terdiam sejenak, “Setelah satu tahun berlalu, akankah gosipnya benar-benar memudar?”
Tumoroga menundukkan kepalanya dan menulis, “Bisha, kau kira Putri Wenzhao mengagumiku? Cemas kalau dia akan bersikap lancang dan tak mau pergi?”
Bisha tertegun.
Tumoroga berkata tenang, “Sang Putri berada dalam pengasingan di luar negaranya, bukan atas pilihannya sendiri. Setelah menemukan keluarganya, dia akan pergi.”
“Bagaimana dengan Raja?” Bisha terus mendesak, “Apakah Raja benar-benar membantu sang Putri tanpa alasan selain hutang budi dan simpati? Sang Putri adalah wanita paling cantik yang pernah saya lihat.”
Alis Tumoroga sedikit berkerut, “Segala macam hal ada di dunia ini. Yang bergerak tak bisa dihentikan, cinta hanya sementara, kecantikan bagai fatamorgana.”
Perlahan Bisha menghembuskan napas lega. Dia bangkit, berlutut, dan menyembah.
“Bawahan ini telah melangkahi batasan saya.”
Roga tidak tergoyahkan. Baguslah.
Dia cemas kalau Roga tergoyahkan oleh Putri Wenzhao. Paras cantik tak masalah, namun Putri Wenzhao memiliki lebih banyak hal tentang dirinya yang menarik perhatian orang lain. Untung saja, Roga punya hati yang kuat.
“Bisha.” Tumoroga berhenti menulis dan menatap Bisha, “Kau bilang kau mengagumi Putri Wenzhao. Apakah itu benar atau salah?”
Matanya lembut, dan kata-katanya tak memiliki maksud menginterogasi.
Namun Bisha bermandikan keringat dingin, terlalu malu untuk mengangkat kepalanya: “Raja, bawahan ini tahu salah.”
Semua hal yang dia lakukan hanyalah untuk menguji niatan Roga, untuk mengalihkan perhatian Putri Wenzhao, dan untuk mencegah gadis itu berhubungan dengan Roga.
Tumoroga menutup titah yang sedang ditulisnya: “Jangan biarkan sampai ada lain kali. Apakah aku melaksanakan kelima sila dengan taat atau tidak bukanlah urusan orang lain.”
Bisha menjawab penuh hormat, mengambil titah itu, dan matanya tiba-tiba melebar.
Ini adalah surat pribadi kepada Wakhan Khan, setara dengan surat negara, di mana di dalamnya Roga mendeklarasikan status dari Putri Wenzhao dan meminta Wakhan Khan menghukum Haidu Aling.
Roga bukan hanya memperingatkan orang-orangnya sendiri, tapi dia juga memberitahu semua negara dan membuatnya diketahui oleh seluruh dunia. Kelak, puluhan kerajaan dan kota di Pegunungan Tianshan dan Tebing Congling* akan tahu bahwa Putri Wenzhao tinggal di kuil Buddhis dan dinaungi oleh sang Raja!
(T/N: Area wilayah di antara Xiniang, Tajikistan, Mongolia, dan Kyrgyzstan. Dikenal sebagai Dataran Tinggi Pamir yang dikelilingi oleh jajaran pegunungan.)
Hati Bisha terguncang.
“Surat negara ini, kau sendiri yang akan mengantarnya ke perkemahan Rong Utara,” Tumoroga berkata, dengan nada normal.
Tangan Bisha dua kali bergetar sama. Menggenggam titah, dia pun mengiyakan dengan penuh hormat.
Bisha kembali ke kediamannya untuk mengatur barang-barangnya.
Prajurit pribadinya datang untuk melapor, “Jenderal, Putri Wenzhao telah mengirimkan sejumlah tanaman obat.”
Tangan Bisha terhenti di tengah udara, “Apa yang sang Putri katakan?”
Si prajurit pribadi menjawab, “Sang Putri berkata bahwa tanaman-tanaman obatnya adalah untuk Tuan Wali. Beliau meminta Anda membantunya memberikan obat-obatan ini. Beliau juga ingin menemui Anda untuk mendiskusikan kembalinya Pangeran Rong Utara ke Rong Utara.”
Bisha menggumam dan menyuruh prajurit pribadinya mengirimkan tanaman-tanaman obat itu ke shamen di kediaman.
Sang shamen memberitahunya bahwa tanaman-tanaman obat yang Yaoying kirimkan kesemuanya adalah herba langka dan berharga yang jarang terlihat di Xi Yu, termasuk herba obat untuk memar, penggumpalan darah, dan kerusakan organ dalam, yang beberapa di antaranya tak bisa ditemukan di seantero Xi Yu.
Sejenak Bisha larut dalam pemikiran sebelum memerintahkan prajuritnya agar menyimpan herba-herba ini di dalam gudang.
Si prajurit mengiyakan dan berbalik untuk keluar.
Tiba-tiba, suara langkah-langkah kaki menggema di belakangnya. Bisha mengejar si prajurit dan meraih bahunya.
Wajah si prajurit tampak kebingungan, dan wajah Bisha tampak mendung, menatap tanaman-tanaman obat di tangan si prajurit untuk waktu yang lama sebelum memejamkan matanya rapat-rapat.
“Kirim tanaman obat ini ke kuil Buddhis, berikan kepada Yuanjue, dan bilang padanya kalau obat-obatan ini dibawa kemari oleh pedagang. Ingat, jangan katakan soal ini pada siapa pun. Jika sang Putri bertanya, katakan saja aku sudah membantunya mengirimkan obat-obatan ini.”
Si prajurit menjawab dan pergi membawa obat-obatan itu.
Bisha tetap berdiam di tempatnya dan mendesah sedih.
Dia harap semua ini hanyalah dirinya yang berpikir terlalu berlebihan.