The Longest Day in Chang’an - Chapter 6
Gerbang Jinguang, yang berada di pusat Chang’an Barat dan satu blok ke timur dari Pasar Barat, merupakan satu-satunya jalan bagi karavan-karavan orang Barat untuk menuju menuju pasar Barat. Kereta-kereta barang yang membawa gemuk batu dari Yanzhou pasti memasuki Chang’an dari sini.
“Menurut prosedur masuk, para penjaga akan menusukkan tombak ke dalam gentong-gentong kalau-kalau seseorang bersembunyi di dalamnya. Bahan ini sulit untuk dihapus, jadi meminta pada penjaga gerbang untuk mencari tombaknya sudah cukup,” ujar Zhang Xiaojing.
Mendengar bahwa Gerbang Jinguang berada jauh dari sini, Yao Runeng buru-buru berangkat, namun dihentikan oleh Zhang Xiaojing. “kau tak perlu pergi. Kalau aku benar, kavaleri dari Departemen Jing’an sedang kemari, mereka akan membawakan apa yang kita mau.” Zhang Xiaojing memandangi pada jalanan yang kosong, penuh dengan kepercayaan diri setelah mengucapkan hal itu.
“Apa kau yakin?”
“Sicheng Li pasti melakukannya,” ujar Zhang Xiaojing lirih.
Yao Runeng tak menyembunyikan rasa hormatnya terhadap Li Bi, “Sicheng Li adalah orang jenius! Dia bahkan bisa melihat melalui muslihat cerdik tinta gemuk batu ini!”
Zhang Xiaojing hanya tersenyum dan tak mengoreksinya. Mungkin Xu Bin-lah yang sudah melihat lewat masalah gemuk batu ini. Saat mereka makan bersama, Zhang Xiaojing menceritakan beberapa kebiasaan di pasukan Barat dan dengan santai menyebutkan tentang gemuk batu yang misterius itu. Tak dinyana, Xu Bin memiliki ingatan yang begitu bagus dan masih mengingatnya.
Zhang tak punya banyak teman di Chang’an, dan Xu Bin adalah salah satu yang terlama. Bila orang ini mengambil kesempatan ini untuk membuat pencapaian besar, sehingga memenangkan sebuah kedudukan, hal itu akan membuat impian yang telah lama dikehendakinya menjadi nyata.
“Semoga belum terlambat. Kita sudah terlalu lama,” Zhang Xiaojing menggumam pada langit yang memudar. Wajah gelisah Zhang Xiaojing entah bagaimana telah membuat Yao Runeng tersentuh. Dia pernah curiga kepada terpidana hukuman mati ini, namun setelah terjadi hal-hal ini, dia mendapati dirinya telah salah. Apa yang dilakukan oleh Zhang Xiaojing masih perlu didiskusikan, tetapi orang itu sama sekali tak punya niatan egois, dan dia bahkan nyaris kehilangan nyawanya.
Setelah sedikit meragu, Yao Runeng membungkuk, berlutut dengan satu kaki, “Komandan Zhang, aku bersedia dihukum karena telah memperlakukanmu dengan curiga. Harap kau jangan mendendam atas kesalahanku, sehingga memengaruhi urusan Departemen Jing’an.”
Zhang Xiaojing menatap penuh minat pada pria muda berwajah merah itu, “Apa kau merasa bahwa tidaklah normal bagiku untuk bekerja sedemikian keras? Benar?”
“Ya, Komandan Zhang, aku berpikir kalau ketidaktulusanmu didorong oleh suatu motif egois lainnya,” Yao Runeng mengakui dengan jujur. Alasan ‘demi keselamatan Chang’an’ akan meyakinkan dia bila Li Bi yang mengatakannya; akan tetapi, saat seorang terpidana hukuman mati yang memendam dendam terhadap pemerintah berkata demikian, sedikit banyak jadi mencurigakan.
Di matanya, penyelidikan Zhang Xiaojing adalah untuk menutupi niatnya untuk melarikan diri, yang mana memang logis. Yao Runeng kini merasakan sensasi terbakar di wajahnya. Dia ingin kabur dari situasi yang memalukan ini, namun dia tak bisa. Bila dia tidak minta maaf kepada Zhang Xiaojing, dia takkan pernah memaafkan kebodohannya sendiri.
Alih-alih membantunya berdiri ataupun menyindirnya, Zhang Xiaojing menyentuh kepala si anjing di kakinya, perlahan mendongakkan kepalanya. Dia menatap ke balik bahu Yao Runeng, memandang dalam-dalam pada Pagoda Angsa Liar Raksasa yang menjulang dan megah nun jauh di sana..
“Runeng, apa kau pernah pergi ke Pagoda Angsa Liar Raksasa pada sekitar periode Guyu?” (T/N: Guyu adalah salah satu dari 24 istilah matahari dari kalender Tiongkok kuno, biasanya dimulai sekitar tanggal 20 bulan 4 dan berakhir sekitar tanggal 5 bulan 5)
Yao Runeng membeku, dan tak tahu kenapa tiba-tiba Zhang Xiaojing bicara tentang hal ini.
“Di sana ada seorang calon rahib yang menjaga pagoda. Kalau kau memberi dia setengah untai koin tembaga, dia akan menyelinapkanmu ke puncak, di mana kau bisa mendapatkan pemandangan yang luar biasa dari bunga-bunga peoni di seluruh Chang’an. Rahib kecil itu tak pernah menghamburkan uang yang dia simpan, tetapi selalu diam-diam membeli ikan-ikan sungai untuk memberi makan kucing di samping Kuil Ci’en,” Zhang Xiaojing berkata perlahan, dengan seulas senyum di bibirnya.
Saat Yao Runeng membuka mulutnya untuk bertanya, Zhang Xiaojing meneruskan, “Di Shengdao Fang, ada seorang pria tua dari Uighur yang ahli dalam membuat kue dadar Biluo. Dia selalu memilih wijen yang besar, jadi kue dadar panasnya beraroma sangat lezat. Saat aku sedang bertugas, aku selalu berlari ke gerbang Fang lebih awal di pagi hari dan menunggu gerbangnya buka untuk membeli beberapa buah.” Tut~ tut~ rasa yang tersisa seakan bertahan di mulutnya. “Juga nasi biji tunas tebu di Kuil Puji, tersedia pada tanggal satu dan lima belas setiap bulannya, rasanya luar biasa karena para rahib diam-diam menambahkan lemak babi di dalamnya.
“Komandan Zhang, kamu….”
“Alo adalah seorang penjinak unta yang bagus di Pasar Barat, dan impian seumur hidupnya adalah membeli sebuah rumah di Anyi Fang, kemudian menikah dan punya anak di sana, menetap di Chang’an. Ada seorang Taichang (T/N: pemusik istana) bermarga Xue yang berasal dari Luling tinggal di Changxing Fang. Dia selalu bermain suling di Jembatan Tianjing pada tengah malam yang cerah untuk menyegarkan sulingnya dengan cahaya matahari, dan aku sudah beberapa kali menutupi pelanggaran jam malamnya. Juga seorang gadis penari bernama Li Shi’er yang tinggal di Chongren Fang. Dia sama ambisiusnya dengan Nona Gongsun pada masanya. Dia berlatih demikian keras sehingga tumitnya mengelupas parah, jadi dia harus membungkusnya dengan sutra merah. Oh ya, saat Festival Hantu, sungai tertutupi oleh lentera-lentera yang mengambang. Kalau kau berjalan di sepanjang Kanal Longshou, kau akan melihat seorang wanita tua buta yang menjual perahu kertas demi membelikan sebuah tusuk rambut tembaga untuk cucunya, tapi aku tahu kalau cucunya itu telah wafat karena sakit sejak lama.”
Suara Zhang Xiaojing terseret melantur panjang dan mata tunggalnya menyala saat bicara tentang orang-orang dan urusan yang tak berhubungan ini, “Menjadi Komandan Buliang Ren selama sembilan tahun, aku berinteraksi dengan orang-orang itu setiap hari, melihat dan mendengar kehidupan ini setiap hati. Bagi para pembesar, orang-orang ini tidak penting, urusan-urusan mereka bukan hal yang tidak lazim, tetapi bagiku, Chang’an ini hidup, tidak dimangsa oleh para monster. Hanyalah di sisi mereka, aku merasa diriku hidup.”
Di sini, dia sedikit menurunkan suaranya, “Kalau orang-orang Turki itu berhasil, yang pertama mati adalah orang-orang ini. Aku akan melakukan yang terbaik untuk memastikan bahwa orang-orang biasa ini menjalani kehidupan biasa mereka. Yang ingin kulindungi adalah Chang’an ini, apa kau mengerti?”
Yao Runeng merasakan deru emosi pada kejujuran yang mendadak ini, dan dirinya dibuat tak mampu berkata-kata. Orang ini memiliki ide yang begitu unik bahwa di satu sisi, dia membenci pemerintah, namun di sisi lain, dia memiliki simpati pada rakyat jelata di Chang’an. Bagaimana cara menilai kesetiaannya ini?
“Apa kau selalu berpikir begitu?”
Zhang Xiaojing memberinya senyum separuh, “Aku telah menjadi seorang prajurit di Xi Yu selama sepuluh tahun dan Komandan di Chang’an selama sembilan tahun. Bagaimana menurutmu?”
Pada saat ini, derap tapal kuda dan debu yang bergulung di kejauhan membawa mereka kembali pada pekerjaan. Tak lama semudian, sebuah gentong ikan dan sebatang tombak bergagang kayu diantarkan kepada mereka oleh seorang penunggang cepat. Yao Runeng mengangkat tombak yang berbercak itu ke hidungnya, mencium suatu bau yang menyengat. Zhang Xiaojing membuka gentong ikan dan mengeluarkan sebuah catatan yang penuh tulisan.
“Markas telah menemukan bahwa Agen Kereta Su yang bertanggungjawab untuk pengantarannya. Mereka memasuki kota sekitar siang hari, dan kemudian menghilang. Para kurir, tukang kereta, dan keretanya tidak tercatat masuk.” Zhang Xiaojing meremas kertas itu menjadi bola dan berkata dengan suara rendah, “Kutebak mereka mungkin sudah dibunuh. Kereta-kereta juga telah diseka bersih dan tak bisa ditemukan.”
Kali ini Yao Runeng tidak terlalu geram. Untuk satu hal, dia merasa bahwa orang-orang itu pantas mati karena membantu musuh membawa barang; untuk sisanya, setelah berlarian selama beberapa jam, dirinya sudah kebas dengan keganasan para Pengawal Serigala.
Zhang Xiaojing mendekatkan ujung tombaknya pada hidung si anjing, dan menepuk-nepuk kepalanya. Pertama-tama anjing itu bersin dengan tidak senang, kemudian menegakkan lehernya, mengerutkan hidungnya, dan memberikan beberapa gonggongan keras menuju satu arah. Bila Zhang Xiaojing tak memegangi tali kekangnya, anjing itu pasti sudah berlari pergi.
“Waktunya mendesak, aku akan pergi duluan, dan kau tunggu kedatangan Brigadir Cui beserta pasukannya di sini. Lihat asap kuning sebagai sinyal.”
Yao Runeng melihat sekeliling dan akhirnya menyadari bahwa mereka telah mendapatkan sesuatu dari sebuah kesalahan. Bersemangat untuk membenahi kesalahannya, Cui Qi telah membagi-bagi Pasukan Lu Bi dan menyebar mereka menuju Fang-fang di sekitar. Akan butuh waktu bagi pasukan untuk bergabung kembali.
Bisa dikatakan, Zhang Xiaojing akan sendirian sebelum penggabungan itu.
“Bukankah terlalu berbahaya bagimu untuk pergi sendirian dengan tubuh terluka?” Yao Runeng sedikit cemas.
“Semua orang harus bertanggung jawab atas pilihannya sendiri.”
Zhang Xiaojing berkata singkat, lalu melepaskan kekangnya. Si anjing memelesat pergi, dan dia berlari-lari mengikutinya dalam jarak dekat. Memadangi pria dan anjing menghilang di sekitar sudut dinding Fang, Yao Runeng tenggelam dalam kondisi trans selama sesaat.
Bau gemuk batu begitu kuat sehingga mudah bagi si anjing untuk melacaknya. Anjing itu bergegas-gegas ke segala arah, menikung di sudut, dan berlari dengan kecepatan penuh. Zhang Xiaojing harus berlari secepat dia bisa demi menyusul anjing itu. Para pejalan kaki menatap penasaran pada mereka, mengira kalau itu adalah pertunjukan tambahan yang baru, dan seseorang di kedua sisi bahkan bersorak untuk mereka.
Anjing itu berlari sejauh dua li tanpa berhenti, dan mendapatkan beberapa kali penundaan di jalan. Dia hanya mengikuti baunya dalam garis lurus, tak tahu bagaimana cara memutar, sehingga sampai pada jalan buntu dan menggonggongi dinding. Zhang Xiaojing harus menariknya keluar dan mencari lagi.
Saat mereka berhasil mencapai gerbang sebuah Fang, si anjing berhenti, mengendus di sini dan di sana pada jalanan, dan kemudian menggonggong frustrasi.
Baunya menghilang di sini dan si anjing tak mampu melacaknya. Bagaimanapun juga, waktu sudah lama berlalu.
Namun ini sudah cukup.
Zhang Xiaojing segera memasang kekang pada si anjing dan memberangus moncongnya dengan tali, kalau-kalau para Pengawal Serigala benar-benar bersembunyi di sini, mereka akan dibuat waspada oleh gonggongan anjing itu.
Zhang Xiaojing melirik pada plakat kayu, yang bertuliskan ‘Changming Fang’. Dari dinding dan penghalang yang ditumbuhi ilalang, kepada bekas roda jarang-jarang pada jalan tanah di depan, semua itu menunjukkan bahwa tidak banyak orang yang tinggal di sini, dan tempat itu tampak terbengkalai dan sunyi. Fang ini bahkan tak punya menara jaga eksklusif dari Departemen Jing’an. Bagaimanapun juga, dananya terbatas, prioritas harus diberikan pada Fang-fang di Utara yang berpopulasi padat, sehingga daerah liar seprti ini tak masuk hitungan pada saat itu.
Itu berarti bila ada sesuatu yang terjadi, mustahil untuk memberitahu dunia luar tepat waktu.
Zhang Xiaojing berpikir selama sesaat, gagal untuk mengingat bagunan khusus apa pun di Fang ini. Andai saja Xu Bin ada di sni, orang itu mengingat semuanya. Para penjaga pasti sudah pergi untuk merayakan Festival Lentera, jadi dia berjalan perlahan ke dalam Fang tanpa ada hambatan. Changming Fang kini terbuka sepenuhnya bagi semua orang.
Ini benar-benar sebuah tempat persembunyian yang sempurna. Setelah memasuki Fang, Zhang Xiaojing setengah merenggangkan tali kekang di tangan kirinya, mengendalikan si anjing untuk berjalan perlahan di depan, dan pada saat bersamaan, dia melihat ke kanan dan ke kiri; tangan kanannya menggenggam busur silang, siap untuk menembak.
Bila para Pengawal Serigala telah meletakkan gemuk batu di sini, dia pasti telah masuk ke dalam area pengawasan musuh. Akan tetapi, Zhang Xiaojing tak merasa cemas. Begitu sesuatu yang tidak biasanya terjadi, dia bisa melemparkan bola asap untuk menandai tempatnya. Bahkan bila orang-orangTurki berlarian, mereka tak punya waktu untuk memindahkan gemuk batunya.
Tanpa gemuk batu, para Pengawal Serigala Turki tak lebih dari sekelompok berandalan putus asa.