The Longest Day in Chang’an - Chapter 5
Cao Poyan melihat Ma Ge’er, mengangkangi tubuh Wen Ran dan merobek pakaiannya dengan penuh semangat. Sebelumnya saat di Xiuzheng Fang, Ma Ge’er telah merasa terbakar oleh nafsu. Barusan tadi saat dia membawa Wen Ran berlari di sepanjang perjalanan kemari, saat permukaan kulit mereka saling bergesekan dan keharuman tubuh gadis itu menyelusup ke dalam hidungnya, dia tak mampu menahannya lagi. Wen Ran mati-matian meronta untuk menyingkirkan pria itu, namun perlawanan lemah itu sama sekali tak mampu menahan desakan yang seperti monster itu, jadi dia tak punya pilihan selain meneriakkan ‘Ayah untuk memohon pertolongan yang mustahil.
Cao Poyan menarik lepas wanita itu, meukul Ma Ge’er keras-keras di wajah. Apakah ini adalah waktu yang tepat untuk melakukannya? Apa dia masih punya nilai prioritas?
Ma Ge’er, mata semerah darah, meraung dan memelesat maju unutk mencengkeram bahu Cao Poyan. Cao Poyan melangkah ke samping dan meninjunya tepat di tenggorokan, membuatnya terlalu kesakitan untuk bicara sepatah kata pun. Ma Ge’er lalu teringat bahwa Cao Poyan sebenarnya adalah pelatih yang mengajari teknik-teknik bertarung pada para pendatang baru saat dirinya baru saja menjadi anggota Pengawal Serigala.
“Sekarang gudang ini kekurangan orang. Kalian bertiga pergilah dan bekerja keraslah di sana. Jangan membuat masalah saat kita tinggal selangkah lagi dari Quele Huoduo!”
Ma Ge’er menaikkan celananya dengan kekecewaan sekaligus kebencian, memimpin kedua orangnya menuju gudang. Wen Ran terbaring di lantai dan tak bisa berhenti terengah. Dadanya naik turun dengan kencang dan rambutnya berantakan. Cao Poyan mencondongkan tubuh untuk membantunya bangkit, namun gadis itu mengangkat tangannya sendiri, mengambil sebongkah kerikil di tanah dan menghantamkannya ke kepala Cao Poyan. Cao Poyan tak pernah menyangka bahwa di bawah situasi semacam itu, wanita ini malah berusaha balas menyerang. Dia memiringkan tubuh ke samping dan dengan mudah menghindari serangan Wen Ran, lalu mengangkat kakinya dan menendang gadis itu tepat di pergelangan tangan. Dan kerikil itu pun terbang ke sumur dan tercebur ke dalam air.
Kali ini, Wen Ran jadi benar-benar putus asa. Hawa membunuh dari pria itu hadapannya ini jauh lebih kuat daripada milik para gangster di Geng Api dan babi yang tadi itu. Dia menggosok pergelangan tangannya, dalam upaya untuk meredakan rasa sakit, dan dengan pasrah memejamkan matanya setelah mendapati bahwa pria itu perlahan merogoh ke dalam kantongnya sendiri.
Tak disangka, yang Cao Poyan keluarkan bukanlah pisau melainkan sebuah peti kotak kayu portabel.
Pria itu membukanya. Di sisi kiri adalah kantong tinta dari kulit samakan, dan di kanannya terdapat kuas tulis pendek serta segulung kertas yang pinggirannya terpotong. Peti ini dipersiapkan secara khusus untuk perjalanan panjang dan bisa dipakai sebagai meja kecil untuk menulis di atas punggung unta atau kuda.
Cao Poyan dengan tenang membuka gulungan kertas, menuangkan sejumlah tinta dari kantong tinta dan mengencerkannya dengan air sumur, lalu menyerahkan kuas tulis kepada Wen Ran. Wen Ran tak tahu apa muslihat pria itu dan menolak untuk mengambilnya. Cao Poyan mengulang tindakannya beberapa kali lagi, berkata dalam Bahasa Tang yang kaku, “Kamu akan mati. Tinggalkan surat untuk ayahmu, atau dia akan sangat sedih.”
Kata-kata pria itu mendorong hati Wen Ran dalam kekalutan. Apa maksudnya?
Cao Poyan tahu bahwa segera gadis itu akan jatuh ke tangan Jenderal Yousha dan mengalami akhir hidupnya dengan menderita. Namun barusan tadi sorot mengibakannya saat menjeritkan ‘Ayah’ tampaknya telah memicu suatu bagian dalam hatinya – bukan bagian sebagai Pengawal Serigala Turki, tetapi bagian sebagai seorang ayah.
Wanita ini adalah mangsa Jenderal Yousha. Bahkan bila Cao Poyan menolak, dia tak berani bertindak melawan perintah dan melepaskan gadis itu. Semua yang bisa dia berikan kepadanya adalah sebuah kesempatan untuk meninggalkan surat sebelum mati.
Wen Ran tiba-tiba menyadari bahwa orang-orang asing ini bukan kelompok yang sama dengan Geng Api. Jelas, pria itu telah salah mengira dirinya sebagai Wang Yunxiu dan berniat untuk membunuhnya. Wen Ran buru-buru berteriak, “Aku bukan dia! Aku bukan dia! Namaku adalah Wen Ran!”
Namun Cao Poyan tak memercayainya sama sekali. Dia berpikir bahwa gadis itu hanya berusaha mencari alasan untuk mengingkari kenyataan yang kejam ini. Perlahan Cao Poyan mencabut belati dari pinggangnya, dan, dengan seketika, menusukkannya ke dalam kantong tinta, menyarankan pada gadis itu supaya menghentikan perjuangannya yang sia-sia. Akan lebih baik bila dia menuliskan kata-kata terakhirnya.
Wen Ran menggigit bibirnya, menggenggam kembali kuas tulisnya, namun air mata secara tak terkendali bergulir jath dari matanya. Dalam waktu dua shichen, dirinya telah diculik dua kali, lelah lahir batin, dan kini disudutkan dalam keputusasaan seperti itu. Dia tak bisa menahannya lagi. Rasa lelah, ngeri, dan takut akan kematian melandanya dalam waktu bersamaan untuk menghancurleburkan pertahanan mentalnya.
Hal mengerikan yang telah terjadi pada keluarganya tahun lalu mulai dimainkan kembali dalam benaknya, dan dia berada dalam kengerian yang sama. Namun untuk perlindungan mati-matian dari tuan penolongnya, dia takut bahwa dirinya telah kehilangan akal sehat sejak lama. Kedukaan membanjiri hatinya. ‘Apa salahku? Aku hanya ingin hidup dengan normal!’
Tiba-tiba, Wen Ran melemparkan kuas tulisnya dan menghantam Cao Poyan dengan kepalanya. Tubuh pria itu sedikit bergetar namun tak bergerak sama sekali. Kemudian Wen Ran mengeluarkan kantong wewangian dan melemparkannya pada Cao Poyan, dan kantong itu pun meledak dalam kepulan asap di dadanya. Cao Poyan mengambil kesempatan itu untuk mencengkeram lengan Wen Ran dan menekannya di dekat sumur.
Tangis Wen Ran meledak.
Cao Poyan tak merasa kesal. Dia menganggapnya sebagai pertanda bagus yang mengindikasikan bahwa penolakan gadis itu sedang runtuh. Persis seperti domba kuning di padang rumput – saat mereka menyadari bawha tak ada jalan untuk lolos dari kelompok serigala, mereka akan berlutut dengan kaki depan mereka dan mengembik putus asa.
Karenanya, Cao Poyan tidak marah. Dia membungkuk untuk memungut kuas tulisnya dan meletakkannya kembali ke tangan Wen Ran. Kemudian terdengarlah suara bergemuruh dari gudang. Kedengarannya seperti sebuah ember besar terguling di tanah.
Cao Poyan teralihkan perhatiannya karena suara itu. Dalam sekejap, saaat dia kembali ke paviliun, tempat itu sudah kosong. Wen Ran sudah tak kelihatan.
***
Selusin penjaga dengan kuat membuka penutup bulat dari barisan tong-tong bermulut lebar dan mulai mengaduk cairan di dalamnya dengan tongkat kayu. Ujung kayu-kayu ini terbelah dan menggulung. Saat tongkat-tongkat itu diangkat dari tong, ujungnya basah oleh minyak yang menggelantung.
Ini adalah minyak biji rami yang baru saja diperas dan masih membawa keharumannya. Berkas-berkas mentari menyorot lewat gudang kerja di atas kepala. Beberapa mesin pemeras minyak semuanya telah dihentikan. Para pekerja yang setengah telanjang berdiri di satu sisi, tangan terlipat, menatap kosong pada pemeriksaan para penjaga, sama sekali tak tahu apa yang sedang terjadi.
Tidak jauh dari mereka, beberapa pejabat pemeriksa memegang buku akun berminyak, memeriksa jumlah tumpukan-tumpukan kue rapeseed, kue biji lobak dan wijen. Dalam gudang di halaman belakang, sekelompok pejabat lainnya sedang menghitung lebih banyak wadah, bahkan termasuk juga tungku-tungku yang dipakai untuk memproses minyak.
Pemilik lumbung minyak bergegas keluar dan pertama-tama merasa kesal dengan situasi yang kacau balau itu. Kemudian, setelah seorang pejabat memanggilnya dan berbisik ke telinganya, perilakunya pun berubah secara dramatis, mengangguk dan membungkuk.
Hal-hal serupa terjadi secara berturut-turut pada belasan lumbung minyak di Kota Chang’an Tak ada batu yang tidak dibalik. Entah itu adalah milik kerajaan ataupun lumbung minyak pribadi, semuanya telah mengalami penggeledahan secara menyeluruh dan dituntut untuk mengungkapkan detil transaksi mereka dalam kurun waktu satu bulan. Beberapa pemilik yang mempunyai koneksi orang belakang berusaha memprotes tetapi ditekan tanpa ampun.
Transaksi-transaksi dan angka-angka persediaan ini semuanya diserahkan ke aula Departemen Jing’an. Di sana, Xu Bin memimpin belasan pejabat statistik, menguburkan diri mereka sendiri dalam eprhitungan dan memeriksa dua kali apakah angka-angka ini sesuai dengan catatan yang telah dilaporkan sesuai aturan.
“Tuan, tidak ada perbedaan.” Xu Bin memegangi gulungan, yang tintanya masih basah, dan melaporkannya dengan hati-hati pada Li Bi yang berdiri di depan meja pasir.
“Apa?” Li Bi kedengaran aga kesal.
“Dalam waktu satu bulan, transaksi-transaksi atas lebih dari dua ratus kilogram minyak dari berbagai jenis, kecuali untuk yang disediakan bagi Istana, telah dilacak hingga persediaan fisik. Tak ada bagian yang mencurigakan – ini daftarnya.”
“Bagaimana dengan gudang-gudang di luar kota?”
“Pelaporan minyak di gerbang kota selalu diatur pada sebuah kategori tersendiri untuk pemeriksaan yang lebih ketat. Di sana… di sana juga tak ada yang mencurigakan.” Xu Bin cendering tergagap saat dia mulai gugup.
Wajah Li Bi ditarik panjang saat dia menghantamkan kebutan ekor kudanya pada tepian meja pasir, “Tidak ada kejanggalan! Hem, saat apinya menyala, mari kita lihat apa yang bisa kau katakan!” Xu Bin menunduk dan menurunkan kepalanya, tak berani menanggapi. Dia juga tak tahu harus menjawab apa. Dia tahu kalau atasannya pada kenyataannya hanya sedang melampiaskan amarah alih-alih menegur dirinya.
Sebenarnya, bukan hanya Sicheng Li, semua orang di aula sudah semakin gugup. Kejadian-kejadian sepele seperti tak sengaja membalikkan batu tinta, tersandung di atas lantai yang rata, desahan yang tak disadari, menjatuhkan cangkir teh di atas buku, menjatuhkan kertas ke lantai terjadi lebih dan lebih sering.
Xu Bin mengerti bahwa semua ini adalah tanda-tanda dari tekanan yang tinggi. Sejak waktu si (T/N: pukul 09:00 – 10:59) di pagi hari, kabar-kabar buruk terus berdatangan, dan masing-masingnya menambah beban kerja mereka berkali-kali lipat serta menyediakan jangka waktu yang lebih pendek lagi. Para petugas statistik ini biasanya menyelesaikan pekerjaan mereka per hari atau per bulan, namun sekarang di Departemen Jing’an, beban kerjanya dihitung dalam satuan jam.
Hari ini, seluruh Departemen Jing’an tampaknya seperti sedang duduk di atas tungku yang membara, bergerak-gerak gelisah tentang apa yang akan terjadi berikutnya.
Dia hanya seorang kurator biasa. Apa yang bisa dia lakukan? Xu Bin berbalik untuk menatap langit di luar aula, hanya berharap agar teman baiknya bisa mengirimkan kembali kabar baik secepat mungkin, sehingga para pejabat yang tenggelam dalam perhitungan ini akan bisa menghela napas lega.
Pada saat ini, suara Li Bi terdengar lagi, kasar dan menggerutu, “Pergilah memeriksanya! Saat minyak sudah selesai diperiksa, pergi periksa kayu bakar! Lalu arang! Kemudian pakan ternak, kertas, bambu, sutra! Semua benda yang bisa terbakar harus menjalani pemeriksaan secara menyeluruh!”
Pada permintaan yang tidak layak ini, Xu Bin tak memprotes namun mengiyakan dengan penuh hormat, lalu menyerahkan gulungan itu pada Tan Qi, membungkuk saat dia pergi. Sudah tentu, sekarang Sicheng Li sedang membara. Hanya akan jadi bunuh diri bila coba-coba balas bicara pada saat ini. Nanti biar dia tenang sendiri dan sadar.