Living Leisurely in Tang Dynasty - Chapter 86
Belakangan ini Li Yuanying sudah terobsesi dengan belajar dan berlatih kaligrafi, jadi dia belum sempat mengunjungi gua-gua Yique dan sebelumnya tak tahu kalau Li Tai punya proyek di sini. Yuanying selalu menjadi penganut kuat keyakinan bahwa seseorang harus berbakti ketika masih hidup, jadi setelah mendengar Li Tai bicara soal bagaimana yang bersangkutan ingin mengumpulkan jasa demi Permaisuri Zhangsun, dia pun merasa kalau keponakan gemuk ini tidak terlalu buruk dan karenanya memutuskan untuk dengan patuh mengikuti kelompok tanpa membuat masalah.
Li Yuanying cukup beruntung untuk terlahir dan tumbuh besar dalam kekayaan keluarga istana. Karenanya semua yang dia ketahui saat tumbuh dewasa adalah makan enak dan bersenang-senang. Dia tak pernah mendengar atau melakukan sesuatu secara serius. Ibu kandungnya, Liu Baolin berasal dari latar belakang rendah dan tak banyak yang bisa dia ajarkan kepada putranya. Tumbuh dengan cara demikian, Yuanying percaya kalau bahkan Buddha dan Dewa hanyalah ilusi dan tak punya kendali atas dirinya!
Kalau dia adalah Dewa, akankah dia punya begitu banyak waktu untuk mendengarkan orang-orang berdoa tentang ini dan itu? Di mata para Dewa, apa bedanya manusia dengan bunga, pohon, burung, dan binatang lainnya? Karena tak ada bedanya, kenapa para Dewa harus memperlakukan manusia secara istimewa?
Karenanya, Yuanying tak pernah berdoa atau bersembahyang. Dia hanya berkomunikasi aktif dengan para rahib karena dia ingin menjual teh.
Li Yuanying berjalan dengan tenang selama beberapa saat lalu mulai merasa agak lelah. Kemudian dia menculik anak-anak yang lebih kecil dan berjalan semakin dan semakin lambat. Sesaat kemudian, dia dan kelompok kepala lobaknya duduk di bawah bayang-bayang sebatang pohon di dekat sungai dan mulai menceritakan kepada mereka sebuah kisah tentang Permaisuri Zhangsun. Di antara kakak beradik Li, Sizi dan Hengshan adalah yang paling kecil dan memiliki ingatan paling samar tentang mendiang Ibunda Permaisuri. Lalu mengenai Bola Bundar Kecil yang kadang-kadang bergabung dengan mereka, waktu itu dia bahkan belum lahir.
Pada waktu itu Li Yuanying masih sangat kecil namun interaksi terus-menerus selama satu tahun sudah cukup bagi seseorang yang punya ingatan hebat seperti dirinya untuk membentuk kesan mendalam tentang Permaisuri Zhangsun. Sang Permaisuri adalah sosok yang benar-benar berbeda dari orang lain di dunia ini dan Yuanying ingin berbagi tentang kehidupan Beliau dan menenggelamkan anak-anak ke dalam kisahnya supaya mereka akan membenci diri mereka sendiri karena tidak lahir beberapa tahun lebih cepat.
Usia Li Zhi hampir sebaya dengan Chengyang dan Li Yuanying tapi ingatannya tidak bagus. Mendengarkan narasi Li Yuanying, masa lalu pun menjadi jelas dalam ingatannya. Ketika mereka sampai ke bagian penuh emosi dari ceritanya, Chengyang adalah orang pertama yang menangis, diikuti oleh Li Zhi yang menitikkan air mata tanpa suara. Atmosfernya sungguh menular dan segera semua anak kecil itu pun melemparkan diri mereka ke dalam pelukan Li Yuanying dan menangis bersama. Ini termasuk Bola Bundar Kecil yang menangis sedemikian kerasnya hingga bahunya naik turun. Dia memeluk Li Yuanying dan berkata, “Aku mau ketemu Beliau, dan aku juga mau ketemu Beliau.”
Wei Shu, yang tidak punya hubungan dengan keluarga itu, matanya memerah setelah mendengar kisah tersebut. Diam-diam dalam hati dia mengagumi kecerdasan dan kesabaran dari mendiang Permaisuri.
Tak ada seorang pun yang menyadari bahwa Sang Kaisar sudah kembali dan berdiri membisu tak jauh dari situ serta mendengarkan pengenangan kembali Li Yuanying yang mendetil tentang kehidupan Permaisuri Zhangsun.
Tak terlalu lama sebelumnya, Kaisar menyadari bahwa semua anak kecil telah menghilang. Ini pasti adalah perbuatan Li Yuanying dan bocah itu mungkin sedang memimpin mereka untuk bertingkah liar lagi. Beliau pun segera mengirim orang kembali untuk mencari anak-anak.
Para pengawal kekaisaran menemukan anak-anak itu tapi tak sanggup mengganggu mereka, jadi para pengawal pun diam-diam kembali untuk melapor kepada Baginda Kaisar, berkata bahwa Pangeran Teng sedang bercerita tentang Permaisuri Zhangsun kepada anak-anak lain dan bahkan anak paling kecil juga merasa tertarik.
Li Er seharusnya memimpin kelompok pejabat untuk mengagumi rupang Buddha yang telah dipesan oleh Li Tai untuk mendiang ibundanya. Beliau merasa bahwa putranya berbakat dan berperasaan, jadi Beliau berencana menyuruh Cen Wenben menulis artikel untuk mencatatkan hal ini dan kemudian menyuruh Chu Suiliang mengukirkan kejadian hari ini menjadi sebuah prasasti. Mendengar perkataan orang-orangnya, untuk sesaat Li Er menarik kembali kata-katanya, melambaikan tangan dan mengisyaratkan pada semua orang agar mendengarkan ‘sang raja pencerita’ bercerita tentang Permaisuri Zhangsun.
Ketika mendengarkan, Li Er merasa seakan suara dan senyuman Permaisuri Zhangsun berada persis di hadapannya. Mau tak mau Beliau merasa agak sedih. Bagaimanapun juga, seorang penguasa harus tetap tampil tanpa emosi di depan umum, jadi Beliau tak menampakkan jejak kesedihan di wajahnya. Melihat anak-anak kecil itu melemparkan diri ke dalam pelukan Li Yuanying sambil menangis, Li Er harus mengakui satu hal tentang adiknya ini: bocah ini menghargai hubungan.
Beberapa kejadian sudah agak samar dalam benak Li Er namun Li Yuanying ingat semua hal besar maupun kecil jauh di dalam hatinya. Kalau tidak, dia takkan bisa menceritakan kisah yang begitu jelas tentang Permaisuri Zhangsun. Bahkan cucu terkecil Beliau yang tak pernah berjumpa dengan Permaisuri Zhangsun juga ingin bertemu dengannya.
Li Er tak mampu menahan penyesalan dalam hatinya dan berkata kepada Zhangsun Wuji: “Wuji, zhen tak sebaik Yuanying, zhen tidak mengingat sejelas anak itu.”
Zhangsun Wuji sedang menyeka air matanya ketika sang Kaisar tiba-tiba berbalik dan mengucapkan hal ini. Dia menyeka bersih air matanya sebelum mengaku bersalah: “Saya sudah kehilangan sopan santun. Saya juga merasa kalau saya tidak sebaik Yang Mulia Pangeran Teng.”
Zhangsun Wuji tenggelam dalam kisah itu. Dia hampir merasa seakan dirinya bisa bertemu dengan adik perempuannya yang bergantung kepadanya, adik perempuan yang akan bersikap seperti anak-anak dan bermain dengannya. Dia bisa membayangkan sang adik tumbuh besar menjadi seorang ibunda permaisuri dari Dinasti Tang yang luhur.
Kedua kakak beradik itu telah kehilangan orangtua mereka sejak mereka masih kecil. Selain dari paman mereka, Gao Shilian, kerabat terdekat berikutnya bagi mereka adalah satu sama lain. Kini baik adiknya ataupun Permaisuri nan lurus yang mendiskusikann pro dan kontra serta keseimbangan dengannya, keduanya sudah tiada!
Melihat perilaku Zhangsun Wuji, Kaisar menyadari bahwa kisah itu juga telah mendatangkan kembali berbagai kenangan kepadanya. Melihat anak-anak dan cucunya menangis sekeras itu, Beliau terdiam sebelum menyuruh Cen Wenben mencatat hal ini.
Sebelumnya Wenben sudah menerima perintah lisan dari Kaisar untuk menulis artikel tentang Li Tai. Kini ketika dia sudah mendengar Li Yuaying bercerita tentang begitu banyak hal mengenai Permaisuri Zhangsun, tentu saja dia memang berniat untuk mengubah artikelnya yang semula.
Mendengar perintah sang Kaisar, dengan tenang dia menerimanya tanpa menolak.
Walaupun menteri-menteri lain merasa bahwa biasanya Li Yuanying terlalu berisik, pada saat ini mereka harus mengakui bahwa ketulusannya pantas untuk dipelajari.
Tak ada seorang pun yang merasa kalau Li Yuanying sedang berpura-pura. Lagipula, kelompok anak-anak itu sudah tertinggal di belakang. Kalau Baginda Kaisar tidak berbalik dengan sengaja, tak ada seorang pun yang akan mendengar apa pun kecuali anak-anak.
Semua orang bertanya-tanya kepada diri mereka sendiri, kalau mereka dirawat sejak sebelum usia lima atau enam tahun, akankah mereka ingat dengan sejelas itu? Bocah ini bahkan menepati janjinya kepada mendiang Permaisuri dengan serius di mana dia menjalankan peran sebagai tetua dan menjaga keponakan-keponakannya, membawa mereka ke sini dan ke sana untuk bermain.
Tampaknya anak ini masih punya sedikit rasa tanggungjawab!
Di antara semua orang yang hadir, satu-satunya orang yang tidak tersentuh melainkan sarat dengan amarah adalah Li Tai.
Dia sudah bekerja begitu keras dan membayar begitu banyak pekerja unntuk membangun gua Buddhis demi mendiang ibundanya. Merupakan kejadian langka bagi ayahanda untuk datang sendiri kemari dan Beliau bahkan meminta agar sebuah naskah dituliskan untuknya demi menyebarluaskan namanya sebagai anak yang berbakti. TAPI Li Yuanying cuma bicara beberapa patah kata dan kini ayahanda ingin hal itu juga dicatat ke dalam naskah!
Kenapa? Atas dasar apa? Kenapa bocah ini?!
Li Tai benar-benar merasa telah disalahi. Dia yakin kalau Li Yuanying dikirim oleh para Dewa untuk mengacaukan dirinya. Kalau tidak, kenapa pula anak ini selalu berlawanan dengan semua hal yang dia lakukan? Pertama-tama bocah ini memakai mulutnya untuk meyakinkan ayahanda tentang tubuhnya dan kini bocah itu ingin berbagi jasa dengannya!
Ada ribuan kebencian dalam hati Li Tai, tapi dia tak bisa menunjukkannya. Dia hanya bisa menyeka air matanya bersama dengan Zhangsun Wuji.
Air matanya! Air matanya adalah air mata yang sesungguhnya!
Aku begitu disalahi sampai-sampai aku menitikkan air mata!
Tak peduli seberapa besar pun Li Tai merasa sedih atau disalahi, sang Kaisar sudah bicara dan Cen Wenben langsung menjalankannya. Dia membaca satu kalimat dan Chu Suiliang menulis satu kalimat, keduanya bekerja secara sinergis. Hal ini melahirkan <<Naskah Kuil Buddha Yique>> yang dituliskan dengan indah.
Pertama-tama artikel ini menyebutkan alasan mengapa Pangeran Li Tai membangun gua Buddhis ini dan memuji baktinya. Kemudian artikelnya mencatat proses Pangeran Li Yuanying bercerita kepada anak-anak keluarga istana tentang kehidupan Permaisuri Zhangsun yang membuat semua orang menangis. Li Er merasa puas setelah membacanya dan meminta Li Tai dan Li Yuanying agar datang dan melihatnya.
Diam-diam Li Tai menggertakkan giginya penuh kebencian.
Dalam hal panjang artikel, bagian tentang Li Yuanying lebih panjang daripada bagiannya!
Ini tak masuk akal!
Li Yuanying menarik Chengyang dan yang lainnya ke depan dan menatap karya itu lagi dan lagi. Semakin dia melihatnya, semakin dia merasa kalau tulisan tangan itu sungguh indah. Dengan bodohnya dia bertanya penuh semangat kepada kakandanya: “Kakanda, saat Kakanda sudah selesai dengan naskah ini, bisakah Kakanda memberikan naskahnya pada kami? Akhir-akhir ini kami sedang berlatih kaligrafi!”
Begitu mendengar hal ini, urat-urat di dahi Chu Suiliang berkedut.
Kelompok belalang kecil ini akan datang ke tempatnya setiap dua bulan dan menyapu bersih tempatnya. Terutama si Li Yuanying ini. Setiap kali melihat dirinya, bocah itu akan bertanya: “Chu Tua, apa akhir-akhir ini kau sudah menulis sesuatu yang bagus? Kalau iya, apa kau bisa meminjamkannya pada kami? Lagipula ini tak ada gunanya bagimu, kalau kau memang mahir kau bisa tinggal menuliskannya lagi sesukamu.”
Tak pernah Chu Suiliang bertemu orang setebal muka ini!!
Apa yang kau maksud dengan ‘kau bisa tinggal menuliskannya lagi sesukamu?’ Siapa yang mau menulis ulang sesuatu lagi dan lagi.
Sekarang, orang ini dekat-dekat dengan Kaisar dengan niatan untuk mencuri hasil karyanya. Orang ini sungguh tak tahu malu!
Untung saja, naskah itu ditujukan untuk membuat monumen dan karenanya menjadi milik masyarakat umum. Walaupun Chu Suiliang merasa kalau Li Yuanying benar-benar tebal muka, dia tak terlalu marah sampai ingin muntah darah.
Hanya satu orang yang cukup marah untuk muntah darah.
Keponakan keempat Li Yuanying, Li Tai.
Li Tai yang sedang berusaha mempertahankan ekspresi baik, wajahnya menghitam.
Li Er tak merasa kalau ada yang salah dengan permintaan Li Yuanying. Beliau tahu kalau akhir-akhir ini bocah itu telah memimpin anak-anak untuk belajar dengan tenang. Mendengarkan Kong Yingda dan yang lainnya, bahkan nilai akademis Li Zhi telah meningkat pesat. Dia takkan kesulitan untuk diterima dalam Akademi Kekaisaran! Dengan jasanya dalam mengajari para keponakannya, Li Er merasa kalau takkan menjadi masalah jika menghadiahi Li Yuanying dengan naskah ini.
Li Er berkata pada Li Tai: “Begitu kita selesai, kau suruh seseorang mengirim nasah ini ke tempat paman kecilmu.”
Apa yang bisa Li Tai katakan, selain mematuhi perintah Baginda Kaisar.
Li Yuanying adalah orang yang lurus. Ketika dia membicarakan tentang mendiang Permaisuri Zhangsun, dia kedengaran sedih namun kini karena ceritanya sudah selesai, dia pun kembali ke semangat dan hiperaktivitasnya yang biasa. Mendengar bahwa Baginda Kaisar sudah berjanji untuk memberinya naskah asli Chu Suiliang, dia pun kegirangan dan merasa bahwa perjalanan ini sungguh sepadan. Nantinya mereka akan punya aksara-aksara baru untuk dilatih!
Dia melihat lagi dan merasa kalau karya kaligrafi ini lebih indah daripada yang sebelum-sebelumnya. Kalau tampak indah, maka berarti naskah ini ditulis dengan baik, tak ada yang salah dengannya!
Li Yuanying tak peduli kalau keponakan keempatnya diam-diam merasa dongkol, dia mengajak anak-anak pergi melihat-lihat gua-gua itu satu demi satu untuk mencari tahu gua mana yang punya rupang-rupang Buddha paling tinggi, paling besar, dan paling berharga mereka bermain hingga hari gelap di malam hari, sebelum dengan patuh Li Yuanying pulang bersama sekumpulan kepala lobak. Kemudian dia melewatkan malam di kuil Buddha bersama Baginda Li Er.
————–
Catatan Pengarang:
Chu Suiliang: Tak tahu malu!
Keponakan Keempat: Tak tahu malu!
Pangeran Kecil: Eh? Eh?