Like Wind on A Dry Branch - Chapter 52
“Apa Anda menugasi Leonard untuk mencari tahu tentang kejadian itu?”
“Benar.”
Hal itu takkan mudah. Sevitas sama sekali tak bisa dibilang dekat dengan Axias. Dan melacak para pedagang budak pengelana yang tak punya lokasi tetap….
Leonard hebat dalam mendelegasikan kerja dan cukup mahir dalam mengumpulkan informasi, mempertimbangkan perannya sebagai kesatria. Tapi dia adalah orang kepercayaan yang tak boleh terlalu lama meninggalkan sisi Killian. Ada batasan tentang seberapa hati-hatinya dia bisa mengendalikan berbagai hal dan membuat keputusan cepat dari tempat yang jauh.
“Haruskah saya menyuruh Rachel membantunya?”
Sesaat Killian mengarahkan tatapannya pada Giselle dan memikirkannya satu kali lagi tapi kesimpulannya tetap sama. Tak ada orang lain yang bisa membantu, selain Giselle atau Rachel.
“Aku akan memberimu tugas lain untuk diurus sebelum itu. Terserah padamu untuk memutuskan mana yang lebih mendesak.”
Giselle langsung menjawab. “Saya menunggu perintah Anda, Tuan.”
Killian terdiam, dan dengan suara lirih berkata, “Cari tahu apakah ada kasus tentang penganiayaan terhadap anak-anak di Biara Sevitas. Termasuk pelecehan seksual.”
Persis pada saat itulah, Giselle berputar ketika mendengar suara gemerisik yang familier.
Killian memberengut dan mendesah. “Leonard. Keluar.”
Leonard melangkah keluar dari balik pintu dan membungkuk dalam-dalam dengan wajah kaku. “Saya tak bermaksud menguping, Tuan…. Maafkan saya.”
Killian menatap Leonard, dan satu mata berkerut ketika dia terkekeh.
“Kau sudah jadi berani setelah menghabiskan waktu bersama Giselle. Tapi sepertinya kau juga butuh menghabiskan waktu bersama Rachel. Kau itu masih jauh dari mampu menyembunyikan jejakmu.” Killian tak menyalahkannya.
Leonard tak mengatakan apa-apa untuk membela diri dan hanya menundukkan kepalanya. “Maafkan saya, Tuan.”
Killian sudah memberi izin kepada Leonard, Giselle, Rachel, dan beberapa orang kesatria lain yang sedikit lebih dia sayangi untuk bisa masuk ke tempatnya tanpa minta izin terlebih dahulu. Tetapi ini tidak ada bedanya dari memakai kepercayaan atasannya untuk melewati otoritasnya, dan Leonard merasa malu.
Sungguh, dia tak bermaksud menguping. Dia menyadari bahwa dia telah melewatkan sesuatu dalam laporannya tentang kuil dan harus kembali. Tapi dia mendapati bahwa Giselle sedang menerima perintah dan bahwa dirinya telah kembali terlalu cepat.
Dia berpikir kalau hal ini akan kelihatan seperti dirinya telah mengikuti Giselle secara sengaja, jadi dia berniat mengurungkan langkah kakinya dan berjalan pergi…. Tapi dia berakhir dengan mendengar perintah itu sebelum dia bisa menghentikannya. Dia pun menyerah berusaha menyembunyikan keberadaannya dan mengungkapkan dirinya sendiri begitu dia menyadari kalau hal itu adalah sesuatu yang tak seharusnya dia dengar.
Bukan merupakan kesalahan kalau dia ketahuan, tapi dia tak berusaha menjelaskan dirinya sendiri. Dia tak bisa berkata dengan percaya diri bahwa dia tidak ada perasaan terhadap Giselle. Tak peduli jenis perasaan macam apa pun itu.
“Tak apa-apa, jadi kemarilah.”
Seakan dengan ekor terjepit di antara kedua kakinya, Leonard melangkah maju dan berdiri di samping Giselle. Giselle mengamati Leonard dari sudut matanya lalu kembali melihat ke depan.
Killian, bersandar ke kursinya, hanya mengarahkan matanya bolak-balik di antara kedua orang itu. Apakah respon aneh itu adalah karena hal ini? Tampaknya Leonard sangat perasa tentang perintah apa yang dia berikan kepada Giselle. Haa….
Orang benar-benar telah menghabiskan tenaga mereka di tempat-tempat yang tak berguna. Killian pun menyelesaikan perintahnya dengan kedua orang di depannya itu.
“Giselle, kau cari tahu apakah pernah ada kasus penganiayaan anak di Biara Sevitas. Perhatikan kepala biaranya baik-baik. Kalau kau sudah memastikan bahwa memang ada terjadi hal semacam itu, kau bebas melakukan apa pun yang kau inginkan untuk memperbaiki kebiasaan itu, patahkan sesuatu, atau potong sesuatu, apa pun yang kau anggap cocok.”
“Baik, Tuan,” Giselle menjawab tenang.
Killian meneruskan.
“Tapi jangan bunuh dia ataupun memberitahu Count Sevitas. Tak peduli mau pakai rute resmi atau tidak resmi, baik secara paksa atau tidak, bawa dia padaku sehingga aku bisa melihat wajahnya.”
Tidak sulit untuk memecahkan demi siapa Killian memberikan perintah ini.
Dari orang-orang yang mereka kenal, hanya wanita itu yang punya hubungan dengan Biara Sevitas. Pemberi berkat yang tidak banyak menceritakan tentang dirinya sendiri.
“Kalau ada anak-anak di biara, carikan tempat lain untuk mereka. Memang agak jauh, tapi tak masalah jika membawa mereka ke Axias kalau tak ada tempat yang sesuai.”
“Baik, Tuan.”
Killian sudah selesai memberi perintah, jadi dia pun berpaling pada Leonard. “Aku memberikan tugas ini kepada Giselle bukan karena aku tak memercayaimu.”
Leonard menundukkan kepalanya. “Ya, Tuan. Saya mengetahuinya.”
Killian meneruskan. “Ini hanya soal masalah sifat dari urusan ini. Kalian berdua punya gaya yang berbeda. Giselle fleksibel, dan kau lurus. Aku memberi kalian berdua tugas yang berbeda karena hal itu.”
Killian punya orang-orang untuk mengurus apa yang dia ingin diurus, tak peduli apa pun caranya, dan dia berpikir kalau dirinya sangat beruntung atas fakta itu.
Sebelah sudut bibir Killian terangkat, dan dia tersenyum. “Kesatria-kesatriaku tersayang. Kalian setia. Dan kompeten. Dan aku akan berpikir bahwa kalian berdua sudah tahu kalau kalian adalah orang-orang yang paling kuanggap penting.”
Giselle dan Leonard serempak mengangkat tangan mereka dan memberi salam hormat. Giselle tersenyum cerah, dan Leonard agak memerah serta menundukkan kepalanya. Namun wajah mereka berubah sama-sama tertegunnya pada kalimat Killian yang berikutnya.
“Jadi tak usah memperebutkan cintaku, dan berpacaran saja baik-baik.”
Mulut Giselle menganga, dan Leonard menatap syok pada majikannya. Mereka berdua saling berpandangan lalu langsung menyahut, “Tidak, Tuan!”
Mereka bahkan begitu mengasyikkan untuk ditonton. Bukankah orang-orangnya ini benar-benar manis?
Killian menyeringai dan melambaikan tangannya. “Kalian boleh pergi.”
***
Killian berjalan menuruni tangga setelah menyuruh pergi kedua kesatria itu. Dia bisa mendengar sebaris lirih lagu yang tak disangka-sangka datang dari suatu tempat di lantai itu. Killian melihat sekeliling dan memelankan langkahnya.
Suara seorang wanita yang familier sedang menyanyikan suatu melodi lambat nan indah yang terdengar penuh kehangatan. Suaranya tak terlalu menonjol, juga tak terlalu ahli, dan ini juga adalah baris-baris lagu yang didendangkan dengan banyak jeda di antaranya, namun suara jernih itu terasa nyaman, dan tidak sulit untuk didengarkan.
Killian telah berhenti berjalan bahkan tanpa menyadarinya.
Cahaya lilin nan samar memancar keluar dari pintu yang sedikit terbuka, bergoyang-goyang dihembus angin sepoi. Bayang-bayang kecil dari seorang manusia bergerak pelan di depan jendela karena tertiup angin.
Haruskah aku memberitahunya kalau pintunya tidak sepenuhnya tertutup? Apakah akan lebih baik bagiku kalau tidak menakuti dia tanpa alasan?
Melodi singkat itu berakhir ketika Killian sedang mempertimbangkan pilihannya dan menatap bayangan itu.Rietta sedang duduk di depan lilin, tak melakukan apa-apa.
“Saya akan menunggu Anda, Tuan.”
Killian terkekeh, dan hanya berjalan pergi. Dia memang bertanya-tanya apakah dirinya ingin mengatakan sesuatu, tapi sekarang sudah malam. Ini bukan waktu yang pantas baginya untuk mengunjungi seorang janda seorang diri di kamar wanita itu. Dan sudah waktunya bagi dia untuk berhenti mencemaskan tentangnya.
Apa yang telah dia suruh Giselle dan Leonard untuk lakukan, itu saja. Hanya itu.
Tanpa suara dia menutupkan pintu untuk Rietta dan pergi.
****
Ern telah memberikan kertas izin untuk memasuki perpustakaan ketika Rietta bertanya kepadanya apakah bisa memakai perpustakaan.
Rietta bangun saat fajar pada keesokan harinya dan pergi ke perpustakaan ketika tempat itu buka untuk meminjam buku. Seorang pelayan mengetuk pintunya dan memberitahunya tentang perintah Killian agar sarapan terlebih dahulu ketika dia kembali.
Rietta mengucapkan terima kasih kepada si pelayan dan berjalan seorang diri ke ruang makan untuk sarapan.
Sarapan yang tampak lezat dan indah sudah diatur di atas meja di depan kursi Rietta di ruang makan. Makanannya hampir tampak berlebihan. Tak seperti dua acara bersantap yang sebelumnya, bentangan makanannya tak mencengangkan, tapi sempurna baginya untuk makan seorang diri.
Rietta berpikir bahwa agak disayangkan kalau makan sendirian. Ini adalah makanan yang terlalu beragam untuk dirinya seorang. Kegiatan makan sendirian tanpa suara terasa canggung dengan anehnya.
Mungkin ini karena makan malam bersama para kesatria semalam begitu penuh semangat? Apa dia sangat sibuk…? Yang Mulia mungkin akan makan di ruang kerjanya sambil bekerja, kan?
Rietta duduk tegak dan mengambil garpunya dengan penuh minat. Dia berpikir dirinya juga akan bekerja keras untuk melakukan apa yang sang tuan minta darinya.
“Terima kasih atas makanannya.”
Sang koki meletakkan piring-piring di hadapan Rietta, tersenyum dan berkata, “Terima kasih,” lalu kembali ke dapur.
Untuk apa dia bilang terima kasih…?
Rietta sudah menggigit sepotong besar kentang yang masih panas mengepul dan sedang mengunyah, jadi dia tak bisa menjawabnya, tapi dia melihat si koki berjalan pergi dan memiringkan kepalanya dengan bingung. Sejenak Rietta merasa kebingungan, tapi dia harus fokus pada percakapannya dengan makanan.
Astaga. Ini lumayan enak.
Rietta sudah hampir selesai makan, ketika, “Meoong-.” Seekor kucing mengeluarkan eongan familier dari belakang.
Seekor kucing kecil dengan garis-garis putih dan coklat yang cantik sedang duduk di ambang pintu. Hewan itu mengerjapkan sekali mata sewarna labunya yang misterius lalu mengibaskan ekornya ke udara.
“.…”
Rietta meragu sejenak lalu meniru apa yang pernah Killian lakukan malam itu. Dia meletakkan sepotong ikan panggang di atas piring kecil lalu dengan hati-hati meletakkannya di bawah kursi.
Si kucing tak bergerak.
Rietta mendorong piringnya lebih dekat pada si kucing dengan jarinya, dan si kucing melompat mundur seakan hendak kabur.
Dengan kikuk Rietta menarik kembali tangannya.
Padahal dia mendekati Yang Mulia tanpa ragu….
Ketika si koki berjalan keluar dengan makanan penutup dan melihat Rietta tampak kecewa, dia pun tertawa. “Cinna si berandal itu takut pada orang.”
“Nama kucing itu Cinna?”
Seorang koki muda tertawa sambil mengangkat piring-piring kosongnya. “Ya. Dari Cinnamon.”
Si kepala koki mengisap-isap giginya dengan raut wajah kecewa. “Anak-anak di dapur bersikeras menamai kucing-kucing dengan nama bahan-bahan makanan, bilang kalau hal itu akan membuatnya hidup lebih lama…. Menamai kucing itu Cinnamon membuatnya jadi kucing pemalu dan penakut, takut pada orang.”
Si pembantu koki, yang sedang mengangkati piring-piring kotor, terkikik sambil mengolok si kepala pelayan. “Menurutku nama itu lebih cocok daripada Topan Gurun Junior Ketiga.”
Si kepala koki menghardik, “Kalau kita menamai dia Topan Gurun Junior Ketiga, maka dia akan jadi kucing yang cukup pemberani!”
“Kenapa juga kucing yang hidup bebas merdeka di kastel harus jadi pemberani? Dan apa salahnya dengan nama Cinnamon?”
Rietta tertawa.
Bagi seorang koki, sudah cukup kalau punya keahlian memasak yang hebat, dan tak perlu menjadi jenius dengan nama.
Si kucing, Cinna, sudah menghilang, meninggalkan orang-orang yang berdebat soal namanya.
Rietta sudah akan memungut lagi piring kecil dengan ikan di atasnya itu, tapi si kepala koki meyakinkannya kalau hal itu tak apa-apa.
“Cinna akan kembali untuk memakannya kalau kau meninggalkannya seperti itu. Jangan cemas. Apakah Anda menyukai makanannya?”
“Ya, makanannya lezat sekali. Saya sangat menyukainya. Terima kasih.”
Si koki tersenyum lebar.
“Tidak, terima kasih sudah memakannya dengan begitu nikmat.”
Rietta bertanya-tanya apakah dia harus menanyakannya.
“Um, apa Yang Mulia makan di ruang kerjanya?”
Sang kepala koki tertawa agak pahit.
“Tidak, Beliau turun kemari untuk makan saat Beliau mau makan. Tampaknya hari ini Beliau takkan makan.”
Mata Rietta melebar.
“Beliau sering melewatkan makan saat sedang sibuk. Kami harus berterima kasih pada Tuan Ern yang memohon kepada Beliau agar makan setidaknya satu kali dalam sehari, entah itu makan siang atau malam.”
Sang kepala koki undur diri sebentar dan kembali ke dapur. Kemudian dia keluar dengan sebungkus kecil kue-kue.
“Apa Anda bersedia memakan ini bersama dengan Yang Mulia, Nona? Tak peduli apa pun yang kami bawakan untuknya, Beliau sangat jarang makan di sana, tetapi Beliau mungkin akan makan kalau Nona memintanya. Anda adalah wanita yang paling dekat dengan Beliau dalam beberapa tahun terakhir ini.”
Dengan ragu si koki muda mengomentari kepala koki.
“Bu, Yang Mulia tak terlalu menyukai ini–.” Si kepala koki langsung memotong ucapannya.
“Apa, jadi Beliau menyukai yang lainnya? Beliau tak punya makanan yang disukai ataupun tidak disukai dan memakan apa pun yang kita berikan kepadanya dengan sama rata, jadi ini bukan masalah.”
Sebuah raut memahami mengembang di wajah si koki muda.
Rietta berakhir dengan membawa aneka kue itu.
****
Dia sering melewatkan makan? Rietta bahkan tak bisa membayangkannya.
Padahal aku sangat menikmati makanannya, dan dia…. Aku sangat tak tahu malu….
Rietta duduk bengong di belakang meja dan mengutak-atik bungkusan kue-kue itu ketika kembali ke dalam kamarnya.
Menyuruhku agar makan bersamanya….
Tak perlu lagi meragukan kemampuan si koki ataupun rasa makanannya, tapi…. Kalau sang Duke Agung begitu sibuk sampai harus melewatkan waktu makan, bukankah dia hanya akan mengganggu? Dan dia tidak dekat dengan Killian dalam cara yang dimaksudkan oleh sang koki.
Apa yang harus kulakukan? Tetap saja, dia harus makan…. Kalau dia juga melewatkan makan hari ini….
Tok, tok. Rietta tersentak pada suara ketukan yang berada dekat dengan telinganya dan berbalik.
Pintunya sudah terbuka, dan Killian sedang bersandar pada bingkai pintu. “Apa yang sedang kau pikirkan sampai-sampai tak bisa mendengarku mengetuk beberapa kali?”
Rietta meletakkan kue-kue itu di belakang tumpukan buku bahkan tanpa menyadari apa yang dia lakukan lalu berdiri.
Killian mengedikkan dagunya. “Ayo. Aku baru sadar kalau aku tak tahu di mana letak kediaman ini.”
Ah. Akan lebih baik kalau dia menugaskan seorang kesatria untukku….
Rietta tak bisa mengerahkan keberanian untuk meminta seorang kesatria lain agar menjaganya karena dia merasa bersalah kepada Killian, dan dia pun memarahi dirinya sendiri.
Kenapa aku bilang padanya, seseorang yang begitu sibuk sampai-sampai tidak sempat makan, bahwa aku ingin pergi dan mengambil barang-barangku, barang-barang yang tak terlalu penting itu, dan mencuri waktu Tuan yang berharga?
Wajah Rietta memerah mengingat dirinya sendiri yang memalukan dan menyedihkan, dan dia menundukkan kepala untuk menyembunyikannya. Dengan enggan dia pun mengikuti Killian keluar dari kamar.