Like Wind on A Dry Branch - Chapter 50
Dua minggu yang lalu.
“Apa ini?”
“Pencahar. Masukkan ini ke dalam kantong airnya.”
“… Giselle.” Leonard mengernyit.
“Perintah yang kuterima adalah ‘membunuh dia’. Bukan menyiksa dia.” Giselle menjawab sambil lalu.
“Apa aku bilang sesuatu? Aku cuma menyuruhmu agar memberikan ini kepadanya. Aku tak tanya padamu kapan kau berencana membunuh dia, juga tak memintamu menunda rencana-rencana itu.” Leonard, dengan kernyitan dalam di wajahnya, menekan tulang hidungnya kuat-kuat.
“… Begini. Inilah alasan kenapa Yang Mulia lebih memercayaiku, bahkan meski secara obyektif kemampuanmu dengan pedang lebih baik daripada aku.”
Giselle tampak kebingungan dan memiringkan kepalanya ke samping.
“Sebuah perintah kepada seorang kesatria berarti melaksanakannya persis seperti yang diinginkan sang tuan. Bukan secara sengaja memanipulasi situasi dan berpikir, ‘ini akan memberi hasil cukup mendekati apa yang Beliau inginkan.”
Giselle membalas kata-kata serius Leonard, “Memangnya aku menyuruhmu agar tidak membunuh dia? Hanya saja kau tak pernah tahu akan jadi bagaimana hasilnya. Aku cuma bilang kalau kita harus berusaha mencoba setidaknya satu cara lain yang bisa meluaskan pilihan kita. Itu saja.”
Wajah Leonard menggelap seakan sudah merasa muak. “Kataku, mencoba sesuatu seperti itu sendiri berarti sudah melewati batas.”
“Wakil kapten.” Giselle memiringkan kepalanya ke belakang seraya mengubah caranya memanggil Leonard. “Kupikir kau sudah lupa kalau aku juga adalah atasanmu.”
Leonard menutup mulutnya rapat-rapat.
Giselle meneruskan, “Ini bukan yang pertama kalinya, kan? Yang Mulia jelas sudah bisa meramalkan hal ini. Tentu saja, Beliau bisa saja mencegah situasi macam ini terjadi dengan menjadikanmu kapten orde kesatria dan aku sebagai wakil kaptennya.”
“.…”
“Akan tetapi, fakta bahwa akulah kaptennya berarti bahwa Yang Mulia menganggap penilaianku memiliki kualitas lebih tinggi daripada kepatuhan mutlakmu. Karena itu, kau harus mengikuti perintahku, berdasarkan pada otoritas dari Yang Mulia yang telah menjadikanku atasanmu.”
Giselle menepuk-nepuk bahu Leonard dan menyelesaikan kata-katanya. “Asalkan perintahku dan perintah Yang Mulia tidak berlawanan.”
Giselle menepukkan tangannya dan menyeringai. “Dan seperti yang kau tahu, aku bukan orang yang memberikan perintah macam itu.”
Mata Leonard mengikuti sosok Giselle dengan kesal.
“Sekarang. Jawab aku. Apakah perintahku untuk memberikan ini kepada orang itu berlawanan dengan perintah Yang Mulia?”
Tanda cantik di bawah mata Giselle dengan menjengkelkannya semakin memperindah wajah tersenyumnya. Leonard menatap Giselle dan akhirnya mendesah, menyambar botol itu dari tangan yang bersangkutan.
Dia menggumam, “Baiklah,” dan Leonard yang sarkastis pun berbalik.
Leonard membuat batasan dengan kegigihan terakhirnya. “Ini tidak berarti bahwa aku akan menunda perintah untuk membunuh dia.”
“Tentu saja. Kau ikuti perintah Yang Mulia.” Giselle tersenyum cerah dan melambai pada pria itu.
“Dan sepertinya kau tak tahu. Yang Mulia mungkin lebih memercayaimu, tapi orang yang lebih Beliau sukai adalah aku.”
Leonard tampak seperti sudah akan menangis dan memalingkan kepalanya, tapi itu setelah Giselle pergi.
****
Giselle memikirkan tentang Leonard, yang bersikap canggung dengan anehnya dan memutar-mutar payung di tangannya. Yah, waktu itu dia memang agak keterlaluan. Ketika dia tahu betapa sensitifnya Leonard terhadap perintah dan kepercayaan Tuan.…
“Giselle.”
“.…”
… Dia akan bersikap baik pada Leonard ketika pria itu kembali.
Dia akan mengalah berapa banyak pukulan saat mereka berlatih?
“Giselle!”
“Eh?” Giselle sedang larut dalam lamunannya ketika dia mendongak.
Rachel memberikan kabar kepadanya, menghela napas. “Leonard sudah kembali.”
****
Kelompok kedua, termasuk Leonard, yang ditinggal di Kuil Havitas, kembali ke Kediaman Axias.
“Wakil Kapten!” Tiga orang calon kesatria yang kotor berlari ke arah Leonard dan memeluknya, tampak seperti sudah akan menangis.
“Uwaa. Kami dengar Anda terluka parah. Apa Anda baik-baik saja?”
Leonard menunduk dengan kebingungan pada ketiga orang calon kesatria itu atas sambutan mereka yang tak disangka-sangka. Tubuh mereka penuh dengan kotoran, keringat, dan goresan, kesatria-kesatria kecil malang yang compang-camping. Leonard mendongak menatap pelaku di balik penampilan mengejutkan mereka.
Di sebelah Hasler…. Giselle sedang brdiri tenang dengan payung di atas kepalanya, pura-pura polos.
… Dia bisa lihat kenapa mereka merindukan dirinya.
Leonard terkekeh pada para calon kesatria itu, yang telah dihajar dengan begitu penuh kasih, dan mengacak rambut mereka.
Sudah cukup lama sejak dia bertarung dengan Giselle, tapi ingatan mengerikan atas tangan mematikan nona cantik itu dari beberapa hari yang lalu membara dalam ingatannya.
****
“Tunjukkan lukamu.”
Sedikit lebih pucat daripada biasanya, Leonard menunduk menatap kapten orde kesatria yang mengenakan gaun, dengan pahit berdiri di pintunya. Leonard sedang setengah berpakaian dengan perban membalut bahu kanannya dan mengenakan jubah hitam.
“Tak apa-apa. Hasler sudah mengurusnya, jadi berikan saja obatnya padaku dan pergilah.”
Giselle mendorong melewati Leonard untuk memasuki kamar pria itu dan berkata, “Lepaskan bajumu dan duduk.”
Leonard tak tahu apa yang ada dalam pikiran Giselle ketika wanita itu mengganti perbannya, tapi ada darah di rambut Giselle ketika wanita itu membawa masuk keranjang yang berisi perban, tanaman obat, air suci, dan obat-obatan untuk pertolongan pertama.
Leonard berkata kembali, dari balik bahu Giselle, “Kubilang aku tak apa-apa.”
Giselle terdiam dan berbalik menghadap ke arah Leonard dengan wajah datar. “…Apa?”
Leonard melintas lewat dan berjalan menuju ranjangnya. Dia membenahi jubah yang sudah merosot dari satu bahu dengan tangan kirinya.
Leonard mengabaikan Giselle, tampak lelah. “Pergilah.”
Giselle tak bisa memercayai telinganya. “Kubilang…. Kau harus diobati?”
“Aku sudah bilang padamu kalau Hasler sudah membantuku melakukannya. Merepotkan kalau membukanya lagi. Aku lelah.”
Giselle tertegun sejenak tapi kemudian menghardiknya dengan marah, “Apa-apaan yang kau katakan itu, tak peduli meski Hasler sudah melakukannya, semua yang bisa dia lakukan adalah menyeka darah dan memasang perban, dia tak bisa – .“
Leonard memotong perkataan Giselle. “Memangnya kau bisa melakukan sesuatu yang ajaib? Ini adalah luka yang akan sembuh begitu seorang pendeta penyembuh memeriksanya.”
“Ini karena kupikir lukanya adalah sesuatu yang takkan segera sembuh! Apa kau tahu ada berapa banyak pasien yang berjuang untuk tetap hidup? Hanya sedikit pendeta penyembuh yang berhasil selamat! Kalau kau menunggu sampai giliranmu tiba, kau akan mati tua lebih dulu!” Giselle akhirnya selesai berteriak.
Leonard merengut. “Seperti yang kau bilang, ini adalah luka yang tak mengancam nyawaku. Jadi, tak usah repot-repot membukanya lagi.”
Leonard mendorong tangan Giselle menjauh. Dengan keras kepala dia tak mau menunjukkannya pada Giselle. Giselle pun tak punya pilihan selain memberikan perintah dengan nada dingin.
“Berikan. Ini perintah.”
Leonard menjawab masam, “Tidak.”
Dengan syok Giselle menatap pria yang mungkin menolak hal-hal lainnya tapi tak pernah menolak ‘perintah’. “Kau gila ya?”
Leonard memalingkan kepalanya miring ke arah Giselle. “Aku akan berusaha menjadi seseorang yang juga bisa disukai oleh Yang Mulia.”
“Ha?” Giselle mencibir pada sikap absurd itu.
“Leonard. Sepertinya kau sudah salah paham tentang sesuatu.” Dia menjatuhkan keranjangnya ke atas meja dan berjalan menghampiri Leonard.
“Aku bertindak dengan fleksibel, bukan melawan.”
Leonard mendongakkan tatapannya ke arah Giselle.
Jarak Giselle hanya satu hembusan napas darinya.
“Dan alasan Yang Mulia lebih menyukaiku ketimbang drimu.”
Seketika itu juga Giselle mencengkeram lengan Leonard, mengalahkannya, lalu menindih tubuhnya.
“Adalah karena aku lebih kuat darimu.”
Leonard menggertakkan giginya agar tidak mengeluarkan suara sedikit pun dari rasa sakit karena lengannya dicengkeram dan tubuhnya berada di bawah Giselle.
Wanita itu bersikap seakan takkan berbaik hati hanya karena Leonard sedang terluka.
Leonard berusaha melawan, tapi dirinya terluka, dan lawannya adalah petarung pedang ganda terkuat dalam orde kesatria Axias serta merupakan orang yang tak pernah berhasil dia kalahkan bahkan ketika dirinya tidak sedang terluka.
Pasien yang bersikap buruk itu, balas melawan dengan segenap tenaga, pada akhirnya kelelahan dan pingsan.
Ketika dia tersadar seorang diri di ranjangnya, mengerang dari rasa sakit di bahunya, dia pun mendapati bahwa lukanya telah dibersihkan secara ahli dengan tangan yang familier.
Dia jelas memercayai keahlian Giselle dalam menawarkan racun atau mengurus luka….
Tapi sakitnya luar biasa….
“Padahal sudah kubilang padanya agar tidak membukanya….”
****
Hasler mengalungkan lengannya pada bahu para kesatria muda. “Sudah selesai untuk hari ini. Ayo kita pergi dan mendinginkan tubuh kalian berandal-berandal kecil ini.”
Para kesatria itu langsung menghilang, dan tinggal Giselle dan Leonard yang tertinggal di lapangan balai pelatihan kuil.
Leonard mendesah.
“Bagaimana lukamu?”
Leonard mengangkat bahunya yang terluka untuk menjawab pertanyaan Giselle.
“Sudah lebih baik. Tak masalah. Dan luka ini sembuh dengan cepat karena para pendeta penyembuh telah mengobatinya.”
Dengan curiga Giselle memicingkan matanya. Seketika itu juga Giselle menggerakkan payung di tangannya, dan benda itu pun terbang ke arah bahu kiri Leonard.
Leonard menangkap payung yang terayun ke arahnya dengan tangan kanan dan menghentikan lajunya dengan gerakan ringan.
“Yang sakit bahu kananku, bukan yang kiri.”
Giselle tahu.
Dia tidak sedang berusaha memukul bagian tubuh Leonard yang terluka, alih-alih, dia sedang berusaha memeriksa apakah bahu kanan Leonard bergerak seperti yang seharusnya.
Giselle melihat kalau pria itu bergerak seperti sebelumnya, tanpa terlalu kesulitan, dan mengamatinya. “Tapi kenapa kau butuh waktu begitu lama untuk kembali?”
Leonard menggaruk sebelah alisnya, “Aku pulih dengan cepat, tapi Aren, yang ada dalam kelompok, terluka sangat parah sampai tak bisa bergerak selama beberapa waktu. Dan kecepatan dari kelompok yang cuma terdiri dari kesatria seperti kalian berbeda dari kecepatan kelompok yang terdiri dari kereta dan pelayan seperti kami.”
Leonard biara seakan hal itu tidak penting, tapi Giselle sudah melihat enam bekas luka dari cakar chimera itu dengan matanya sendiri.
Cakar-cakar itu tadinya akan menembus tenggorokannya. Luka dengan lebam menghitam karena racun.
Giselle tak tahu kegilaan macam apa yang mendorong Leonard untuk berbuat demikian, tapi kalau dia tidak cepat mengobatinya, luka ini bisa saja mengancam nyawa Leonard.
Bahkan meski para pendeta sudah mengobatinya, sebuah luka dengan racun iblis tidak sembuh dengan mudah.
Giselle tak berkomentar dan memalingkan kepalanya.
“Dan mengenai laporan atas kepulanganmu kepada Yang Mulia?”
“Aku sudah mampir, tapi di sana ada banyak petugas, jadi aku memberitahu Ern kalau aku akan kembali. Barisannya panjang sekali. Kurasa itu adalah barisan terpanjang yang pernah kulihat.”
Giselle terdiam sebelum bertanya, “Ada bekas luka, kan?”
“Nggak juga.” Sebuah jawaban datar yang mirip dengan seseorang yang mereka berdua sayangi pun muncul.
Bertingkah sok kuat, ya?
Giselle diam saja, tapi kemudian mencecar, “Apa yang kau pikirkan, melompat masuk begitu saja untuk melindungiku padahal kau lebih lemah daripada aku?”
Leonard mendengus kesal. “Tak bisakah kau bilang terima kasih saja?”
Rachel dan sekelompok mata-mata bersembunyi dan menonton mereka, di bawah alasan sedang berlatih bagaimana melakukan perjalanan tanpa ketahuan. Mereka memelintir ranting dengan frustrasi.
“Mereka takkan berhasil. Mereka mustahil. Ada alasan kenapa sesuatu yang tidak berhasil selama sepuluh tahun terakhir ini jadi tak berhasil!”
“… Ayo berikan, berikan, masing-masing sepuluh keping emas.”
Rachel, yang sudah siap merayakan kelahiran pasangan baru dengan mentraktir makan, menggerutu dari sela-sela napasnya dengan sorot membekukan di wajahnya.
Para kesatria yang sudah dirampok oleh Rachel mengeluh, “Ini tidak benar. Rachel, bilang pada Yang Mulia agar memerintahkan mereka berhenti buang-buang waktu dan berkencan saja!”
Bagaimana bisa mereka masih saja seperti itu!
Rachel mulai mempertimbangkan saran mata-mata terakhir dengan serius.
****
Killian mendengar bahwa Leonard dan kelompok kedua sedang dalam perjalanan pulang setelah dirawat di Kuil Havitas. Hal pertama yang dia lakukan adalah melihat jam, dan kemudian menatap tumpukan kertas di atas mejanya.
“Ada berapa banyak orang lagi yang harus kutemui?”
“Mereka yang bilang kalau besok pagi saja tak masalah sudah ditangguhkan hingga besok, dan orang-orang yang harus Anda temui hari ini kira-kira ada tiga puluh orang lagi, Tuan.”
Killian mendengarkan jawaban Ern seraya menerima kenyataan harus memusatkan perhatian pada pekerjaan hari ini.
Tak mungkin hal itu bisa dilakukan hari ini.
Killian mengangat penanya langsung ke atas selembar kertas lain dan menulisi halaman itu dengan cara yang sama seperti ketika menuliskan perintahnya pada dokumen, menandatanganinya, lalu memberikannya kepada Ern.
“Berikan ini pada Rietta.”
****
[Makanlah bersama para kesatriaku. Maaf. Kalau tak keberatan, aku akan pergi ke rumahmu besok karena sepertinya aku tak bisa pergi hari ini.]
Rietta sudah membacanya tiga kali dan melihat bagian belakang kertasnya, tapi yang tertulis memang cuma itu saja.
Coretan apa ini yang ada di baris paling bawah?
Rietta memicingkan mata pada tulisan itu tapi tak bisa memecahkannya. Dia tak bisa mengenali kata-kata di bagian tengah dengan jelas, tapi dia bisa memahami kata yang pertama dan terakhir.
Killian… … Axias?
Apa ini adalah nama lengkapnya? Kenapa dia menandatangani ini?
Tentu saja, bukan hal aneh kalau menuliskan namamu pada bagian bawah surat, tapi tanda tangan yang terdiri dari nama lengkapnya ditulis dalam aksara cantik, yang biasanya bisa terlihat pada kontrak atau semacamnya….
Rietta memeriksa kertasnya, mencari informasi penting yang mungkin dia lewatkan, lalu mendongak pada pengurus rumah tua yang memberikan kertas itu kepadanya.
Kalau isinya adalah pesan yang sesingkat ini, tak bisakah dia menyuruh Ern menyampaikan secara verbal saja kepadanya?
Namun dia tak bisa mempertanyakan niat dari atasannya secara terang-terangan, melupakan posisinya.
Dia tak bisa sekedar berkata, “Katakan kepada Tuan bahwa saya mengerti,” ketika Killian menuliskan sendiri suratnya, jadi Rietta pun meminta Ern menunggu sebentar dan masuk ke dalam kamarnya.
Untung saja, di dalam kamar itu ada kertas dan pena.
Rietta duduk pikiran linglung dan membaca ulang suratnya. Kemudian, dia mulai menulis sebuah tanggapan atas undangan untuk makan bersama pria yang berada satu lantai di atasnya.
Dia mempertimbangkan selera Yang Mulia dan batasan yang tak boleh dilewatinya sebagai seorang rakyat jelata, tidak terlalu panjang, tidak terlalu singkat, jawaban ringkas tentang mematuhi perintah sang tuan, tanpa protes.
Meski terburu-buru supaya Ern tidak terlalu lama menunggu dirinya, Rietta membaca ulang surat sang Duke Agung beberapa kali dan menata pikirannya sebelum dengan hati-hati menuliskan jawabannya.
Dan dia berpikir kalau dirinya mungkin perlu melakukannya dan meniru gaya tulisan Killian, menuliskan namanya sendiri dengan hati-hati di sudut kertas.
Kemudian dia segera mengipaskan tangannya untuk mengeringkan tinta, melipatnya, lalu dengan penuh hormat memberikannya kepada Ern dengan kedua tangan.
“Ini jawaban saya.”
****
“Ada beberapa yang ditangguhkan sampai besok, tapi orang-orang yang harus Anda temui hari ini semuanya sudah beres. Jadi, silakan Anda makan, Tuan. Makanannya hampir siap.”
Killian menatap kertas-kertasnya dan menghela napas. Kenapa manusia harus makan?
Ern menambahkan seakan sudah bisa melihat apa yang Killian pikirkan.
“Ini adalah perjamuan perayaan, Tuan. Kalau Anda melewatkannya….”
“Aku tahu.”
Killian telah memberitahu para kesatrianya agar bergabung dengannya di aula perjamuan untuk merayakan kembalinya Leonard dan kesatria-kesatria lainnya serta untuk menghadiahi mereka.
Semua orang yang telah menjalani saat-saat sulit di Havitas ada di sini, jadi saat ini adalah waktu yang tepat untuk makan bersama.
Si pengurus rumah tua tersenyum. “Bahkan meski Anda tidak menghadiri perjamuan, harap jangan melewatkan makan Anda. Kokinya akan merasa depresi, Tuan.”
Sudut-sudut mulut Killian terangkat naik pada kebawelan Ern. “Dan ini adalah jawaban Nona Tristi atas surat Anda, Tuan.”
Killian menandatangani kertas yang sedang dibacanya lalu dengan tenang membuka surat Rietta.
“.…”
Mungkin dia tidak mendengar sarat Ern agar segera pergi menuju aula perjamuan, tapi sejenak Killian membeku. Tangannya terangkat ke mulut, menurunkan surat itu ke lutut, mengganti tangan yang memegang surat itu, menyandarkan sikunya ke meja, dan mengangkat alisnya dengan raut wajah serius.
Ern menatap bingung pada majikannya, yang entah kenapa tampak gelisah.
Tunggu. … Apa yang kutulis kepadanya?
Tak peduli seberapa kacau pun pikirannya, tak mungkin dia akan menuliskan sesuatu semacam itu.
Bagaimana surat semacam ini bisa ada di tanganku?
Killian yakin dia tak ingat pernah menulis sesuatu yang akan memberikan tanggapan semacam ini.
Dengan tangan kering Killian mengusap wajahnya dan menolehkan kepala ke arah Ern. “Apa yang tadi kutulis kepada Rietta?”
“Tuan?”
“Kau tak tahu apa yang telah kutulis?”
Tak mungkin Ern bisa tahu. Ern yang setia bukanlah seseorang yang akan membuka surat bertulisan tangan majikannya, bahkan meski secara kebetulan.
Ern mengangkat bahu dan berkata, “Kalau Anda mengizinkan saya melakukannya, saya akan mulai membukanya secukupnya dan mengingat apa yang Anda tulis.”
Killian menjawab dengan raut serius dan menatap jawaban Rietta.
Tidak. Tidak. Tak mungkin dia bermaksud begitu.
Membuat kesalahan yang sama tidak diperbolehkan. Dia membeku sesaat dengan mata terpancang pada catatan Rietta.
Kenapa…. Apa dia tak perlu pulang ke rumah? Apa maksudnya dengan berkata kalau dia akan menunggu?
“… Apa ada masalah dengan rumah Nona Tristi? Apa saya harus mengirim seseorang?”
Killian berjengit pada pertanyaan Ern dan mendongak.
Oh.
Killian memegangi dahinya, dan sebuah desahan terlolos dari bibirnya. Kemudian, dia terbahak.
Tidak akan pergi mengambil barang-barangnya…. Dia tak bermaksud bilang kalau dia takkan pulang ke rumah. Karena mereka tak bisa pergi hari ini….
Akhirnya Killian kembali rileks dan terkekeh. Dia menyangga dagunya dengan tangan dan membaca ulang surat Rietta. Lalu dia menggelengkan kepala.
Apakah merupakan sesuatu yang harus menghabiskan banyak waktu, berusaha menebak makna dari pesan sederhana ini? Sama sekali tidak.
Killian melompat bangkit dengan perasaan ringan, menatap pengurus rumah yang sedang menatap heran pada dirinya seakan tengah mengamati sesuatu yang aneh.
“Ayo pergi.”
Dia harus mengembalikan akal sehatnya. Tak ada seorang pun yang menipunya, tapi dirinya nyaris tertipu.
Kenapa juga aku sampai menulis surat lengkap?
Menulis jawaban untuk menyesuaikan dengan apa yang telah dia lakukan sudah jelas dan pasti adalah gaya ala Rietta. Killian dibuat tak mampu berkata-kata.
[Tidak ada perlunya bagi saya untuk segera pulang ke rumah. Saya akan menunggu Anda, Tuan. – Rietta Tristi]
Killian kembali menunduk menatap surat itu, dan yang cukup menjengkelkan, tulisan Rietta begitu jelas.
Bagaimana bisa kelihatan seperti ini?
[Tidak ada perlunya bagi saya untuk pulang ke rumah. Saya akan menunggu Anda, Tuan. – Rietta Tristi]
Bagaimana aku sampai melihat itu?
Pikirannya sedang kacau gara-gara membaca semua dokumen dan kertas-kertas itu dengan begitu penuh kerja keras.
Dia menyeringai dan menunduk untuk sekali lagi membaca surat Rietta, melipatnya dengan seksama dan meletakannya ke dalam laci meja kerjanya sebelum pergi meninggalkan ruang kerja.