Like Wind on A Dry Branch - Chapter 183
“Tidakkah menurutmu dia itu bersikap lancang padamu?”
Rietta mengulas senyum canggung. “Itu karena dia sudah mengenalku sejak aku masih kecil. Sepertinya dia memandangku sebagai seorang anak berumur tujuh tahun.”
Killian menatap Rietta dan menggaruk pipinya dengan ujung jari, menyadari bawa dia mungkin telah bicara terlalu jahat tentang iblis itu.
“Saat masih kecil, aku sering sakit-sakitan,” Rietta berkata, “dan Morbidus yang akan merawatku. Kekuatan suci tak selalu bekerja pada penyakit, jadi… kadang-kadang Morbidus lebib berguna daripada energi suci ibuku.”
Killian tak beranggapan kalau dirinya tampak kecewa, tetapi Rietta melihat wajah cemberutnya. “Killian.”
“Ya?”
Rietta sedikit menekuk lututnya dan menatap Killian seraya tersenyum. “Kau mau menari?” dia bertanya, lalu menjinjing roknya dan berputar. Rambut pirang platina serta gaunnya yang bersulamkan keping-keping salju keperakan berkibar lalu turun kembali.
Killian tersenyum miring sebagai tanggapannya. Mata tersenyum mereka bertemu.
“Rietta.”
“Ya?”
Killian tertawa pada raut nakal di wajah Rietta. “itu sangat jelek.”
Rietta menjulurkan lidahnya dan menyerinai seakan menyetujui. “Ini karena aku melakukannya seorang diri. Aku akan lebih baik kalau kau bergabung denganku.”
Dia berjalan ke hadapan Killian dan menarik tangan pria itu. Killian membiarkan Rietta memimpin. “Bagaimana bisa kau sudah melupakan semua yang telah kuajarkan padamu?” goda Killian.
“Aku tak setuju pada kritikan itu,” Rietta memprotes. “Aku tak separah itu.”
“Hm.” Killian tersenyum, membetulkan genggamannya pada tangan Rietta sambil menopang punggung Rietta dengan tangan yang lainnya.
Rietta meraih lengan Killian, tampak termotivasi. “Mari kita coba bersama. Akan kubuktikan padamu kalau pelajaran darimu tidak sepenuhnya membuang-buang waktu.”
Killian memberinya tatapan baik hati. “Tak apa-apa. Aku suka bagaimana rasanya selalu seperti ini adalah tarian pertama kita.”
“Jangan terlalu senang. Kau mungkin akan kecewa,” Rietta berkata seraya tersenyum penuh percaya diri. “Kau akan kaget ketika melihat betapa banyak kemajuanku.”
Killian sedikit menundukkan kepalanya dan menutupi mulutnya denan kepalan tangan, berdehem seakan hendak menahan tawa. “Bagus. Aku siap.”
“Satu, dua,” Rietta menghitung langkah sambil mendongak menatap Killian. Dia memulai langkah-langkahnya dengan penuh percaya diri, memegangi tangan dan bahu Killian. Akan tetapi, dia menginjak kaki Killian pada langkah ketiga. “Oh, maafkan aku.” Dia buru-buru melangkah mundur, merona. Wajahnya memerah.
Tawa Killian meledak. “Apa kau baru saja melakukannya dengan sengaja? Kelihatan begitu alami sehingga tampak seperti kesalahan sungguhan.”
“Sungguhan kok! Aku jadi gugup karena kau menggodaku -”
“Kubilang, tak apa-apa. Terima kasih. Itu lebih baik daripada yang diperkirakan. Aku menanti-nantikan kakiku diremukkan lagi.”
Rietta langsung melepas sepatunya sehingga Killian takkan merasa kesakitan bahkan jika dia menginjak kakinya. Dia jarang menginjak Killian ketika mengikuti pengarahan Killian tanpa ada pengalaman sebelumnya tetapi langsung membuat kesalahan begitu dia mengambil alih. “Kata-katamu membuatnya terdengar seperti kalau aku terus-terusan menginjak jari kakimu. Itu kan kesalahan yang jarang-jarang -”
Bantahan Rietta berhenti di tengah kalimat. Begitu kakinya merasakan lantai yang dingin, Killian mengangkatnya dan membuatnya berdiri di atas kaki pria itu.
Killian tersenyum. “Aku juga ingin mencobanya dengan cara seperti ini.”
Rietta menatapnya. Mereka jadi lebih dekat daripada ketika menari. “Apa ini tidak membuat kakimu sakit?”
“Menurutmu?” ujar Killian seakan merasa geli.
“.…” Rietta merasa kikuk berdiri bertelanjang kaki di atas punggung kaki Killian. Momen menggelitik itu membuatnya berjengit dan menundukkan kepalanya. “Killian, kita tak bisa menari seperti ini.”
“Bisa. Killian menahan Rietta tetap di dekatnya dan mengalihkan berat badannya di antara kedua kaki. Tangan mereka bergerak naik turun seiring dengan gerakan tubuh.
Rietta berakhir mengalihkan berat tubuhnya bersama Killian seperti bayi yang baru pertama kali berjalan. Tarian ini juga tampak seperti sebuah tarian romantis yang cocok untuk malam di musim dingin. Pasangan itu berayun perlahan, saling berpelukan erat. Pengalaman baru itu entah bagaimana terasa nyaman dan aman.
“Kurasa ayahku akan sudah menari bersamaku andai dia masih ada,” Rietta berkata.
“Ayahmu?”
“Dia meninggal saat aku masih sangat kecil.” Rietta tersenyum tersipu seraya menyentuh dahinya. “Walaupun aku tak tahu banyak tentangnya karena tak ada seorang pun yang bicara tentang dia.”
Killian tak pernah mendengar cerita tentang ayah Rietta. Wanita itu tampak cenderung damai alih-alih sedih.
“Aku tidak benar-benar merasakan ketiadaannya saat aku tumbuh besar karena ibuku selalu ada bersamaku, dan kami tinggal bersama dengan beberapa iblis. Ayah Rietta telah meninggal tanpa sempat melihat keluarganya tumbuh. Para iblis kurang lebih telah mengisi kekosongan itu.
Rietta meneruskan. “Ibuku mendapat banyak bantuan ketika membesarkanku seorang diri. Dia akan menyuruh iblis api menangani urusan masak dan penghangat ruangan, iblis air akan mencuci pakaian dan piring, dan iblis mimpi akan menjagaku. Lucu, kan?”
“Itu kedengarannya amat praktis.”
“Aku tahu.” Mata Rietta melengkung membentuk senyuman. “Apa aku seharusnya tinggal bersama dengan sekelompok iblis juga, kalau ada kesempatan?”
Killian menatapnya dan nada suaranya beralih ke normal. “Apa saya saya tidak cukup bagi Anda, Bu?”
Mata Rietta membelalak. “Ya?”
“Saya adalah kesatria Anda, dan semua orang yang bekerja untuk saya juga akan melayani Anda.” Killian mengecup bulu mata Rietta. “Apa Anda, yakin, Anda membutuhkan, semua, iblis itu, juga?” dia berkata, menjeda setelah satu atau dua kalimat untuk mencium Rietta.
Rietta terkikik seraya menutupi bibirnya dengan tangan. “Pergunakanlah saya, saya adalah milik Anda.” Killian merengut, suaranya teredam oleh tangan Rietta.
Menatap si wanita dengan senyum gundah, Killian menarik Rietta mendekat dan memohon, “Aku akan memberimu pelayan sebanyak yang kau butuhkan. Aku juga takkan meninggalkanmu. Jadi, kumohon jangan melibatkan yang lainnya.” Dia tak mau Rietta bertanggungjawab dan mengambil risiko atas kontrak dengan iblis, dan saat ini saja pengganggunya sudah cukup banyak.
Rietta tersenyum untuk mengiyakan. Killian melingkarkan lengannya ke sekeliling tubuh Rietta dan berkata, “Ceritakan padaku soal masa kanak-kanakmu.”
Untuk beberapa menit berikutnya, Rietta menceritakan pada Killian tentang iblis-iblis yang telah menjadi keluarganya selama bertahun-tahun, tubuhnya berayun di atas kaki Killian. Seraya mendengarkan, Killian membayangkan Rietta kecil. Rietta dulunya pasti adalah seorang gadis kecil menggemaskan yang tinggal di dalam pondok di pegunungan bersama ibunya dan beberapa sosok iblis.
Apa dia akan menceritakan tentangku kepada Morbidus seperti halnya dia menceritakan tentang para iblis kepadaku? Killian bertanya-tanya. Dia menghela napas seraya mendengarkan cerita Rietta.
Rietta menepuk-nepuk kepala Killian. “Killian, ada apa?”
“Aku mengakui kalau Morbidus adalah penjaga keamananmu yang tak tergantikan, dan aku mengerti kalau kau memercayai dia.” Killian menyandarkan dagunya ke atas bahu Rietta. “Tapi aku memang merasa cemburu.”
“Kau cemburu?” Rietta bertanya dengan kikikan yang gagal ditahannya.
“Aku terganggu karena dia tahu sesuatu tentangmu yang tidak kuketahui.” Killian menghela napas, memeluk Rietta. Dia bahkan tak bisa membayangkan sungguh betapa manisnya Rietta yang berumur tujuh tahun.
Namun Rietta tertawa seakan tak menyadari apa yang Killian dambakan.
“Kamu tertawa? Rietta, aku tak bercanda.”
“Tolong deh, Killian. Morbidus itu iblis.”
Killian memelotot main-main pada Rietta. “Aku takkan membiarkan dia dekat-dekat padamu kalau saja dia itu manusia. Aku tak bisa melakukannya karena dia iblis.”
Rietta menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Morbidus cuma seorang anggota keluarga lainnya yang selalu bawel sepanjang waktu.”
“Bagaimana denganku?”
“Kau adalah….” Kata-kata Rietta memudar, wajahnya merona. Dia memeluk Killian untuk menyembunyikan wajahnya lalu berkata, “Kau adalah cinta dalam hidupku.”
“Benarkah?”
“Tentu saja.”
“Sejak kapan?”
“Itu….” Rietta kembali merona. Wanita itu memutar otaknya untuk menjawab pertanyaan: Kapan aku mulai mengembangkan perasaan kepadanya? Sejak di Lembah Naga? Tidak, aku menyukai dia sebelum itu.
“Saat kita menari di perpustakaan?” Killian bertanya, menautkan jemarinya di belakang punggung Rietta.
Rietta mengerjap beberapa kali untuk berpikir. Dia sudah akan mengingat malam itu. “Kurasa waktu itu aku ada di atas pagar….”
Senyum Killian seakan menyatakan bahwa dia telah membaca pikiran Rietta, yang membuat Rietta lebih merona lagi.
“Bagaimana dengan saat kita pergi bersama ke festival musim gugur?”
“Bukan… bukan saat itu.” Pada saat itu dia sudah menyadari bahwa Killian adalah orang baik, tetapi situasinya sedang tidak tepat dan Killian tampak berada di luar jangkauannya. Dia telah berniat untuk menolak Killian, berpikir bahwa itu akan menjadi kencan terakhir mereka – atau benarkah demikian?
“Sebenarnya, aku tidak yakin. Pada saat itu ada banyak sekali hal yang memenuhi pikiranku.” Dirinya telah terlalu larut dalam kesedihan dan rasa bersalah untuk memikirkan tentang hal lainnya. Tetapi itu bukan berarti bahwa dia tak menyukai Killian? Rietta terus memikirkannya supaya bisa mendapatkan jawaban terbaik.
Gaya merenung Rietta membuat Killian tersenyum. Meski penasaran dengan jawaban Rietta dan senang melihat Rietta memikirkannya, yang terpenting adalah bahwa saat ini Rietta menyukai dirinya. Kapan hal itu dimulai tidak terlalu penting.
Sebenarnya, Killian ingin memberitahu Rietta kapan dirinya mulai jatuh cinta pada wanita itu. Dia teringat saat-saat ketika dirinya mulai menyadari perasaan-perasaannya. Perlahan dia sudah mulai mencemaskan Rietta, memikirkan Rietta, dan merindukan Rietta, tetapi dia tahu kapan pastinya dia jatuh cinta. Ini adalah cinta, bahkan meski pada saat itu dia belum mengakuinya. Cahaya mentari di hari musim panas yang menyilaukan ketika dunia berjungkir balik terus bertahan sebagai kenangan indah dalam benak Killian.
Killian menempelkan dahinya pada dahi Rietta dan bertanya, “Kenapa kau tidak mengajukan pertanyaan yang sama padaku?”
Rietta tetap membisu.
“Kau tak penasaran?”
Rietta menghindari kontak mata. “Entahlah…. Bagaimana kau akan tahu itu?” Tersipu, akhirnya Rietta bersembunyi di dada Killian. Killian merasa sikapnya itu tak bisa lebih menggemaskan lagi.
Killian tersenyum dan menepuk-nepuk kepala serta punggung Rietta dari balik rambutnya. Kalau dia jatuh cinta pada pandangan pertama, mungkin dia tidak akan menyesali karena tidak memperlakukan Rietta dengan lebih baik. Meski saat ini dia tak bisa membayangkan memperlakukan Rietta selayaknya memperlakukan orang lain, ada saat-saat ketika dia hampir tak bisa mengingat Rietta. Dia telah mengucapkan komentar-komentar yang dilontarkan tanpa pikir panjang, mengamuk, dan berusaha memanfaatkan Rietta. Ada saat-saat ketika dirinya bersikap tidak sensitif pada penderitaan Rietta.
Seharusnya aku bersikap lebih baik padanya, Killian membatin. Dia sudah tahu rasa sakit yang ditanggung oleh wanita itu. Dia terus menyesali kata-kata dan saat-saat yang pasti telah menyakiti Rietta.
“Maafkan aku karena bilang begitu saat kita baru saja bertemu,” dia berkata.
“Apa yang kau bilang?”
“Tak usah dipikirkan kalau kau tak ingat. Tolong maafkan dan lupakan saja.” Killian memiringkan kepalanya ke bawah dan menarik Rietta mendekat. Mereka terus berayun dari satu sisi ke sisi lain.
“Waktu itu kau tidak mengenalku,” gumam Rietta,“tapi aku juga tak mengenalmu.”
“.…”
Dia memeluk Killian seraya tersenyum. “Aku tak menganggap hal itu menyakitkan. Sebenarnya aku merasa berterima kasih kepadamu.” Waktu itu Killian tak tahu siapa dirinya, juga tak tahu kalau kelak akan mencintai dirinya. Waktu itu dia bukan apa-apa bagi Killian. “Terima kasih karena telah mengulurkan tangan dan menolongku.”
Killian membelai punggung Rietta. Jangan berterima kasih kepadaku, Rietta. Dia menyelamatkan Rietta bukan murni karena kebaikan hati. Dia pergi ke Sevitas untuk menagih uang dan menyelamatkan Rietta karena rasa penasaran alih-alih urusan keuangan. Meski dia tahu bahwa Rietta selamanya merasa berhutang budi karena hal itu, dia tak merasa dirinya pantas menerima hutang budi semacam itu.
Dia menyelamatkan Rietta karena dorongan sesaat dan merasa agak bersimpati atas situasi yang dialami wanita itu. Cara dirinya berlaku di sekitar wanita yang sedang berjuang menghadapi pusaran derita tanpa akhir tak bisa dibilang tidak disesalkan. Aku bukan orang baik dan kesatria seperti yang kau kira, Rietta. Dia tampak demikian hanya karena kompas moralitasnya telah tersusun ulang di sekitar Rietta. Rietta memotivasi dirinya untuk menjadi orang yang lebih baik, dan hal itulah yang menjadikan dirinya orang yang seperti sekarang ini.
“Dulu aku bersikap kejam,” akunya pada Rietta.
“Kau tak bermaksud begitu,” Rietta berkata seraya tersenyum. “Sekarang aku mengenalmu dengan lebih baik.”
Killian tersenyum tipis, menekan dorongan untuk berkata, Tidak, kau belum mengenalku. Sepertinya Rietta tak tahu laki-laki tergoda untuk melakukan apa dengan wanita yang mereka cintai. Aku bukan pria terhormat seperti anggapanmu. Aku cuma… aku cuma seorang pria kehausan lainnya. Dia menelan kata-katanya. Alih-alih dia pun berkata, “Saat kita pertama bertemu, aku menyadari kalau kau adalah wanita yang cantik. Tapi….”
Si wanita mendongak menatapnya ketika dia terdiam. “Tapi…?”
Saat itu kecantikan Rietta tak bisa dibandingkan dengan kecantikannya sekarang ini. Sejenak Killian menatap ke dalam mata Rietta sebelum berkata, “Waktu itu aku tak tahu betapa cantik dirimu. Kau membuatku lupa bernapas.” Dulu dia tak tahu betapa indah senyum Rietta, akan menjadi sepenting apa wanita itu baginya. Waktu itu dia tak tahu sebesar apa dia akan mencintai Rietta. Terkadang dia merasa seakan jantungnya bisa berhenti berdetak, secara harafiah.
Rietta mengulurkan kedua tangannya seraya mengulas senyum yang Killian cintai. “Aku takkan menginginkan kau sampai lupa bernapas.” Lengannya menyapu leher Killian untuk memeluknya. Menundukkan kepala, Killian berpikir kalau dia tidak akan keberatan jika saat ini harus menghembuskan napasnya yang terakhir. Jika saja bukan karena hati ini yang tak mungkin berani bersikap buruk di sekitar Rietta, Rietta akan sudah mengenal dirinya lebih baik.
Bibir mereka memendekkan jarak hingga keduanya berhenti, menyiksakan beberapa inci di antaranya. Di balik kepura-puraan sikap penuh perhatian, terdapat upayanya untuk menutupi hasrat yang tak terkendali.
Pasangan itu tersenyum pada satu sama lain. Jarak semakin memendek, dan bibir mereka pun bertemu. Gerakan berayun pun berhenti.
Kedua tangan Killian meluncur menaiki bahu Rietta lalu menuruni sikunya. Rietta mengalungkan tangan ke leher Killian untuk menarik pria itu mendekat.
Mereka melahap satu sama lain dengan hasrat membara di antara bibir, yang segera berubah menjadi ketegangan manis, menyengat, dan menumpulkan akal sehat. Bibir mereka berpisah, dan beberapa detik kemudian perlahan Rietta membuka matanya. Dia menghadap ke arah Killian, yang menatap dirinnya dengan mata sarat dengan hasrat yang gagal disingkirkannya.
Akan tetapi, Killian lalu menunduk dan berpaling dari mata biru Rietta. “Maaf.”
“Untuk apa?”
Dengan ragu Killian menggenggam kedua tangan Rietta dengan gerakan tidak biasanya, kemudian berusaha melangkah mundur.
Rietta mendongak menatapnya, mencengkeram lengan bajunya.
“.…”
Killian menatap ke dalam mata Rietta, kemudian menariknya kembali untuk kembali menciumnya secara mendalam.